Baru Sekadar Sadar Potensi

Jumat, 20 Maret 2009 | 16:19 WIB

KOMPAS.com - Pulau Bali-dengan segala potensi wisata baharinya-memang
sudah begitu mendunia. Begitu juga Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat.
Sampai-sampai orang luar negeri lebih kenal Bali dan Mentawai ketimbang
Indonesia. Ini mungkin aneh, tetapi begitulah kenyataannya.

Ironisnya, di dalam negeri sendiri, masyarakat Indonesia (yang gemar
berwisata) hanya kenal Bali dan Bunaken di Sulawesi Utara. Sedikit
sekali yang kenal Mentawai. Di luar itu, mereka buta sama sekali akan
potensi wisata bahari di Tanah Airnya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi?

Bali dikenal luas, boleh jadi karena berkali-kali acara kenegaraan untuk
tingkat internasional digelar di sana. Untuk pertama kalinya, Asian
Beach Games digelar di Bali, Agustus 2008. Sukses sebagai penyelenggara
dan sukses prestasi, meraih medali emas terbanyak. Berbagai event
kepariwisataan tingkat nasional juga kerap dipusatkan di Bali.

Bunaken? Tanggal 11-15 Mei tahun ini akan digelar World Ocean Conference
(WOC) di Manado, Sulawesi Utara, yang akan diikuti 121 negara dan
dihadiri enam kepala negara. Pascapenyelenggaraan WOC, yang diliput pers
nasional dan internasional tersebut, diharapkan wisata bahari di Manado,
khususnya Bunaken, akan lebih mendunia. Kemudian, memang, event tersebut
akan dimanfaatkan untuk semakin mendorong promosi potensi wisata bahari
Indonesia.

Tak salah slogan yang diusung adalah "Mewujudkan Manado Kota Bahari
Dunia 2010". Agenda khusus dari WOC adalah membicarakan perubahan iklim
laut dan bagaimana Indonesia mendapatkan hibah yang, kata Sekretaris
Panitia WOC Indroyono Soesilo, telah terhimpun 250 juta dolar AS. Dana
hibah dapat, promosi wisata bahari pun terangkat.

Pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya, apakah wisata bahari di
Indonesia hanya Bali, Kepulauan Mentawai, dan Bunaken?

Ada ilustrasi yang menarik. Belum lama ini, di Sumatera Barat, Ridwan
Tulus dari Green Tourism Institute of Sumatra & Beyond dan Nofrins
Napilus dari www.West-Sumatra.com mengundang sejumlah artis, antara lain
Christine Hakim dan Katon Bagaskara, Ira Wibowo, Henidar Amroe, Tasman
Taher, Tina Astari, dan Jian Batari. Sutradara Budhinova Restu dan
produser Bambang Driasmoro juga turut serta. Kegiatan yang dilakukan
para artis itu adalah melepas anak penyu hijau (tukik) dan menanam
terumbu karang di Pulau Sikuai, kawasan wisata bahari di Kota Padang,
sekitar 30 menit naik kapal dari Pelabuhan Bungus.

Apa yang terjadi? Menurut Ridawan Tulus, para artis kaget dan
terkagum-kagum. Luar biasa eloknya alam Ranah Minangkabau, termasuk
wisata baharinya. Tak kalah indahnya daripada Bali. Mereka menyesal,
kenapa baru tahu sekarang potensi wisata bahari di Pulau Sikuai itu.

Christine Hakim akhirnya menggarap film yang sekaligus dimaksudkan untuk
mempromosikan potensi pariwisata Sumatera Barat. Adapun Katon Bagaskara
berjanji akan datang lagi untuk menggarap videoklip berlatar belakang
rancaknya alam di kawasan Pulau Sikuai yang berpasir putih dan terumbu
karang yang memesona.

Apa yang dialami Christine Hakim dan Katon Bagaskara, terlambat tahu
dengan potensi wisata bahari di Kota Padang, khususnya di Pulau Sikuai,
barangkali juga dialami banyak masyarakat lain. Lucu juga, dari sekitar
900.000 penduduk Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu, tak
sampai 10 persen yang tahu keberadaan Pulau Sikuai dan mungkin tak
sampai 1 persen yang pernah berkunjung ke sana.

Itu artinya, pemerintah memang belum begitu serius dan kreatif menggarap
potensi wisata bahari. Tidak hanya di Padang, tetapi juga di kota-kota
pantai lainnya di Indonesia.

"Potensi wisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Indonesia kaya
dengan sea, sand, dan sun. Ada 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies
ikan tropis, 555 spesies rumput laut, 18 spesies padang lamun (sea
grass), dan 81.000 kilometer coastlines, multycultural coastal
communities," kata Indroyono.

Begitu banyak kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan. Sebutlah
seperti selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, renang selat,
triathlon, upacara adat laut, dan ski air.

"Wisata bahari selama ini belum maju di Indonesia karena, pertama,
aksesibilitas. Kedua, aksesibilitas, dan ketiga, aksesibilitas," ungkap
Indroyono.

Terlepas dari persoalan itu, Alex Retraubun, Direktur Pulau-pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan, membenarkan bahwa kekayaan wisata
bahari Indonesia, khususnya wisata bahari pulau-pulau kecil, selama ini
kurang mendapat perhatian. Pemerintah selalu memfokuskan ke Bali.
Padahal, banyak contoh yang menunjukkan bahwa potensi wisata di
pulau-pulau kecil luar biasa masifnya.

"Persoalannya sekarang adalah political will dari pemerintah untuk
mewujudkan ini. Tidak cukup sebatas ngomong doang," kata Alex Retraubun.

Masalah di balik potensi

Karena minimnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil yang
kaya potensi wisata baharinya itu, orang asing diam-diam mengeruk
keuntungan besar. Mentawai maju dan menjadi tujuan utama wisata selancar
karena yang menjualnya orang asing. Bahkan, ada di sebuah pulau di
Kepulauan Mentawai, investor asing membangun hotel yang biaya
menginapnya ratusan dollar AS per malam.

Wakatobi, seperti dikemukakan Son Diamar, Staf Ahli Bappenas, dikelola
orang Amerika, yang membeli tanah di pulau itu sekitar Rp 50 juta. Ia
bangun 20 cottage sederhana dari kayu beratap rumbia. Setahun
revenue-nya mencapai Rp 50 miliar.

Menurut Son Diamar, ketika hal ini ditanyakan ke bupati, ternyata daerah
hanya dapat Rp 50 juta. Hanya kurang dari 0,1 persen setahun, padahal
orang asing dapat Rp 50 miliar. Bagaimana kesejahteraan rakyat? Rakyat
dibeli tanahnya dengan murah, lalu jadi budak angkat-angkat barang,
memanggul alas snorkeling diving dengan upah standar minimum provinsi.
Menurut bupati setempat, kata Son Diamar, ada 20 lokasi lainnya seperti
kasus Wakatobi ini.

"Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah sistematik untuk
pengelolaan kekayaan negara di pulau-pulau kecil. Segera lakukan
inventarisasi. Jangan sampai orang asing menguasai aset luar biasa
bangsa ini," ujarnya.

Sudah saatnya dilakukan pemantauan dan evaluasi setiap obyek yang
dilakukan oleh pihak ketiga menggunakan aset bangsa ini. Pemerintah tak
cukup bicara potensi, tetapi perlu juga dengan segara menyiapkan sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia yang profesional. Setelah itu
lakukan promosi dengan gencar dan buat sejumlah event. Tidak mungkin
menjual sensasi wisata bahari tanpa promosi.

Namun, M Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara), mengungkapkan sejumlah konflik alokasi eksternal: perikanan
versus pariwisata bahari, yang perlu mendapat perhatian serius.

Di Tomia, Wakatobi, misalnya. Ada konflik masyarakat nelayan dengan PT
Wakatobi Dive Resort (Swiss). Masyarakat yang semula bebas melaut, oleh
perusahaan asing yang mengelola wisata di sana dibatasi ruang geraknya.
Ada pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap untuk kebutuhan
dive point, dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan
infrastruktur desa. Terjadi penguasaan kawasan pantai Onemo Baa, yang
sebelumnya menjadi area rekreasi komunitas Tomia. Bahkan, juga ada
temuan, terjadi pencaplokan dan perampasan tanah, tanaman, dan bangunan
komunitas untuk membangun Bandar udara Maranggo Tomia (Maranggo Air
Strip).

Di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah, yang dikuasai PT Walea (Italia),
juga ada konflik dengan masyarakat. Ada larangan untuk kegiatan
perikanan tradisional sejauh 7 kilometer, dengan alasan konservasi. Di
Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kata Damanik, juga terjadi
konflik masyarakat dengan perusahaan pengelola ekowisata di sana.

Karena itu, menurut Riza Damanik, pariwisata bahari tidak boleh
dipandang sebagai komoditas industri. Komunitas nelayan dan masyarakat
lain yang bergantung pada sumber daya laut, harus menjadi titik
berangkat kegiatan pariwisata bahari.

"Inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami
sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir,"
katanya.

Mencermati konflik di pulau-pulau yang menjadi tujuan wisata ini, sudah
seharusnya Departemen Budpar duduk semeja dengan Departemen Kelautan dan
Perikanan, serta dengan pemangku kepentingan lain. Paradigma dan egoisme
sektoral harus dihilangkan. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana
konflik dicarikan solusinya, wisata bahari maju, masyarakat nelayan
sejahtera, dan negara mendapatkan devisa. (YURNALDI)

http://travel.kompas.com/read/xml/2009/03/20/16192121/baru.sekadar.sadar
.potensi

 

 


The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you.

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke