Ondeeh Murai, lah tadanga kicaunyo gbaliak, kini jauah dari Himalaya. Pasti 
tadanga sampai ka Sarangnjo di Kukuban di Tapi Danau Maninjau nan indah. Nan 
jaleh kicaunyo nyariang saroman dahulu juo, lapeh jaleh tadanga manyubarangi 
Lautan Basa, sampai ka Tapi Riak nan Badabua di Santa Kuruih Kalipornia. Lapeh 
taragak MakNgah mandanganyo.

Maa Rang Lapau nan Basamo, 
Rita Desfitri dengan pangggilan Murai Kukuban di Lapau ko, ruponyo baru 
mandaftar duo hari nan lalu baliak ka Lapau. Rita adolah anggota lamo Lapau 
kito, lah lamo absen, takuruang di lua, mampunyoi sumber informasi budaya nan 
banyak ragamnyo. 

Salamat malayo-layok, Salamat Baliak ka Lapau.
Salamat Bakicau Murai.

Salam,
--MakNgah
Di Tapi Riak nan Badabua
Santa Kuruih Kalipornia
http://www.santacruzsentinel.com/localnews/ci_12030675


--- In rantau...@yahoogroups.com, Rita Desfitri Lukman <desfi...@...> wrote:
> 
> KETENANGAN DAN KERAMAHAN ALAM HIMALAYA
> 
> Summer memang belum mencapai puncaknya, tapi suhu panas kota New Delhi yang 
> sudah melambung menyentuh titik 48 derajat celcius, sementara kelembaban 
> udara bertahan hanya di level 7 dan 8%,  membuat saya akhirnya menyerah. 
> Kulit sudah gosong terbakar matahari setiap keluar rumah, paru-paru juga 
> sudah overload dengan debu dan abu karena hujan tidak juga berkunjung dalam 
> kurun waktu yang sudah berbulan-bulan. Semua itu memaksa saya untuk melarikan 
> diri sejenak dari tumpukan tugas dan tuntutan kerja di sela hiruk pikuknya 
> ibu kota tanah Gandhi ini. Tidak ada jalan lain, saya membatin sendiri, saya 
> sekarang harus AMBIL CUTI.  (Toh kontrak saya disini juga hampir berakhir, 
> dan saya bisa kembali pulang ke tempat yang paling Indah di dunia, Pinggiran 
> Danau Maninjau, hehehe.)
> 
> Berbekal alasan bla bla bla, bla bla bla, bla bla bla, akhirnya saya 
> diizinkan off selama seminggu, sekalian diizinkan juga menggunakan dana field 
> trip yang memang tersedia untuk setiap ASF Fellow. Waaah, Alhamdulillah, 
> memanah dua burung dengan hanya satu anak panah, menembak dua rusa hanya 
> dengan satu peluru, sekali merangkuh dayung dua tiga pulau terlampau, sambil 
> berdiang nasi masak, sambil menyelam ikan ditangkap, sekali menerima gaji dua 
> tiga utang terbayar :-)
> 
> Mereka lalu bertanya, emang you mau kemana? Dalam sepersepuluh kejapan mata 
> (menghitungnya tanpa kalkulator ataupun stopwatch  lho), mantap saya jawab: 
> †Himalaya, daerah yang saya idolakan sejak usia muda belia†. Mereka lalu 
> memberi saran, kalau mau ke himalaya, kunjungi himachal pradesh, himalaya 
> bagian utara saja, lebih aman, bagus, lebih ramai, juga transportasi lebih 
> lancar di sana. Di samping you tak perlu menambah urusan visa karena masih 
> masuk daerah administrasi India. 
> 
> Memang, secara geografis, kalau dari New Delhi kita bergerak lurus ke arah 
> Timur, akan sampai di negara Nepal. Kalau dari Delhi kita bergerak menuju 
> arah timur laut, akan sampai di himalaya yang masuk daerah Cina (Tibet, yang 
> sampai sekarang masih jadi polemik sejak kedatangan Cina), tapi kalau dari 
> Delhi kita bergerak lurus ke Utara tentu saja akan sampai di himalaya yang 
> terletak di bagian utara India, toh anak kecil juga tahu arah barat, timur, 
> selatan, dan utara kok! Hehe. Karena memang himalaya melintang dari arah 
> Utara ke arah Timur/Tenggara. 
> 
> Okelah, saya menurut, kami hanya akan ke himalaya yang di India utara. 
> Setelah konsolidasi dengan teman-teman untuk urusan transportasi dan 
> akomodasi, saya telpon juga sobat alias konco palangkin saya (sebut saja si 
> centil dari Surabaya, teman sesama ASF fellow asal Indonesia yang juga 
> dilemparkan ASF ke nagari uda Shah Rukh Khan, tapi dia jatuhnya di daerah 
> Gujarat, India Barat sana). Berlangsunglah percakapan ibu-ibu ngaco seperti 
> biasa kami lakukan:  Kebetulan berinisial sama, jadi percakapannya antara 
> RD1 dan RD2 (Bukan RI 1 dan RI 2 lho ya).
> 
> RD1 : Hey, aku dapat cuti nih seminggu, mau kabur dari Delhi, kamu mau ikutan 
> nggak?
> 
> RD2 : Asyik dong, ke gujarat aja buk, dari sini nanti kita langsung terbang 
> ke Bangalore di south, kan bu Rita dari dulu bilang mau mengunjungi silicont 
> valley nya India
> 
> RD1 : Ogah ah kalau sekarang, pasti panas, di Delhi aja aku  sudah gosong 
> apalagi di Gujarat, ntar kalau kulit mulusku meleleh, kamu mau ganti?
> 
> RD 2: Gimana mau ganti, kulitku yang super halus ini saja udah hancur duluan 
> nih, aku malah mau pinjam kulit bu Rita, kalau-kalau masih ada yang tersisa, 
> hahaha. 
> 
> RD 1: hahaha, hihihi, hehehe
> 
> RD 2 : Emang pada mau kemana sih?
> 
> RD 1 : Kita mau ke north, himachal pradesh, himalaya, sekalian melihat 
> kehidupan komunitas Tibet di India Utara dan kompleksnya Dalai Lama
> 
> RD 2 : Wah asyik nih kayaknya, aku juga off lah, kerjaan bikin mumet gini, 
> tapi peta-peta ku belum selesai. Bagus nggak pemandangannya?
> 
> RD 1 : Ya baguslah, topografinya kira-kira mirip lembah anai dan ngarai sianok
> 
> RD 2 : Aku mau, aku mau, aku mau …
> (lalu terdengar seperti orang melonjak-lonjak di telepon yang menempel 
> ditelinga saya sebelah kanan)
> 
> RD 1 : senyum, (dalam hati) Nah kena lho. 
> Si centil dari Surabaya yang asal Jogja tapi kelahiran Batusangkar ini memang 
> paling nggak tahan kalau sudah dirayu dengan keindahan alam Bukittinggi dan 
> sekitarnya.
> 
> RD 2 : Kapan berangkat?
> 
> RD 1: Saya off mulai senin depan. Jadi kita berangkat Jumat minggu ini pulang 
> kerja. Kalau mau ikut, usahakan sudah di New Delhi Jumat siang, ambil saja 
> penerbangan pertama Jumat pagi dari Ahmedabad ke Delhi. Akomodasi hotel untuk 
> setiap kota yang akan dikunjungi di himachal sudah dipesan kok. Route kita 
> rencananya cukup New Delhi â€" Dharamshala â€" Kullu â€" Manali â€" Shimla 
> â€" New Delhi, waktunya 10 hari, hari Jumat sampai hari Minggu tapi pada 
> minggu berikutnya.
> 
> RD 2: Wah dimana saja itu? Tapi ... OK, OK, OK, yang penting aku ikut.
> 
> RD 1: Lho...?!!?
> 
> Jumat pagi benar saja si centil udah nongol di New Delhi pakai pesawat 
> pertama dari Ahmedabad, Gujarat, hehehe. Gila juga tuh si ibuk dosen arsitek 
> yang satu ini.
> 
> Jumat siang itu, begitu urusan saya selesai, kami langsung berangkat ke 
> kantor tourism-nya himachal, Chanderlok Building, di Jan Path, pusat kota New 
> Delhi, kami memang sudah pesan tiket bus dan starting pointnya dari sana. 
> Karena banyak yang menyarankan agar kami menggunakan bus tourism pemerintah 
> dengan alasan keamanan lebih terjamin, walaupun fasilitasnya standar. 
> 
> Tanggal 8 Mei 2009 hari itu, tepat pukul 5 Jumat sore waktu New Delhi, bus 
> himachal tourism mulai bergerak ke arah utara, tepatnya menuju kota 
> Dharamshala, district Kangra, State of Himachal Pradesh, northern India, 
> pusat kegiatan agama budha sedunia sekaligus tempat berdomisilinya Dalai Lama 
> XIV, yang mengungsi dari Tibet sejak awal tahun 60-an karena kedatangan Cina. 
> 
> Begitu keluar kota New Delhi, jalan mulai agak mendaki, sementara matahari 
> mulai malu-malu dan akhirnya sembunyi di balik gunung, digantikan sang 
> rembulan yang langsung bersinar karena memang bulan empat belas kata orang 
> tua-tua. Jalan makin menanjak, bus semi lux kami bergerak makin pelan. 
> Setelah istirahat sejenak untuk makan malam, perjalanan bus dilanjutkan. 
> Musik India yang dilantunkan dalam bus juga sudah berganti, yang terdengar 
> sekarang adalah lagu-lagu daerah tibet yang lebih banyak ditingkahi suara 
> alam. 
> 
> Tidak lama setelah melewati kota Chandigarh, ibu kota negara bagian Haryana, 
> kami mulai memasuki negara bagian Himachal Pradesh. Wooww, inilah tanah 
> himachal, himalaya, the land of eternal snows, the land of God seperti yang 
> selalu didendangkan orang-orang selama ini. Para penumpang bus yang kalau 
> boleh hanya dikategorikan dua kelompok besar: orang-orang turis dan 
> orang-orang (keturunan) tibet mulai menutup mata satu persatu. Tapi saya dan 
> teman-teman malah makin membuka mata yang sudah lebar ini menjadi makin 
> lebar. 
> 
> Bagaimana tidak, keindahan malam di bawah sinar bulan purnama, jalan yang 
> juga berkelok-kelok bagaikan ular yang panjang sekali. Di satu sisi terdapat 
> bukit menjulang dan di sisi lainnya terbentang jurang yang dalam memang 
> membuat kita mau tidak mau membandingkannya dengan perjalanan dari Kayutanam 
> menuju Bukittinggi, hanya saja hutannya bukan hutan lebat/ tropis dan 
> jurangnya sangat lebar tidak seperti lembah anai. 
> 
> Di kejauhan terdengar berbagai suara alam dan binatang malam, di bawah sana 
> juga berpendaran cahaya lampu dari berbagai kota yang sudah ditinggalkan. 
> Bunyi gemericik air sungai mengalir, desiran angin dan nyanyian burung 
> menyatu dalam alunan lagu-lagu tibet pedalaman yang disenandungkan dalam bus 
> tercinta. Suasana yang membuat perasaan terasa tentram dan damai. Terkadang 
> sopir harus menghentikan bus nya sejenak mempersilahkan segerombolan domba 
> atau sekelompok sapi yang melintasi jalan raya di depan kami. Malam makin 
> panjang, tetapi anehnya masih banyak penumpang khususnya kelompok turis yang 
> tidak merasakan kantuknya menjelang. Sopir bus pun tetap setia dan penuh 
> konsentrasi menyusuri jalan panjang yang semakin berliuk-liuk mendaki dan 
> mendaki menyusuri pegunungan. 
> 
> Tanpa terasa si bulan bundar sudah menghilang, digantikan pagi berikutnya 
> yang sudah kembali diiringi kicauan burung-burung yang bernyanyi menyambut 
> munculnya sang mentari. Pencahayaan dari dalam bus juga tidak lagi 
> remang-remang. Pemandangan dilihat ke atas, Olala.... ternyata puncak 
> pegunungan yang ada di atas kepala juga sudah berganti warna, tidak lagi biru 
> merayu tetapi menyerupai putih melati. Jajaran Pegunungan Himalaya 
> benar-benar sudah di hadapan mata. Masya Allah... indahnya ciptaan dari Yang 
> Maha Indah...
> 
> Perjalanan panjang bus sejauh 530 km dari kota New Delhi yang ditempuh selama 
> 14 jam itu menjadi tidak terasa. Ya Allah.... Allah Maha Besar. 
> 
> Pukul 7.30 Sabtu pagi tanggal 9 Mei 2009, tak lama setelah melewati sebuah 
> pigura besar bertuliskan: †Wellcome to Dharamshala, the House of Dalai 
> Lama†, bus yang setia itu pun mencapai titik pemberhentian terakhirnya. 
> 
> Semua penumpang keluar, meregang badan yang mulai dingin dan kaku, tapi rasa 
> pegal itu langsung terobati dengan suasana kedamaian pagi kota Dharamshala 
> dan kebersihan udara pegunungannya. Monyet-monyet berhidung merah berjalan 
> melintas, sebagian lagi duduk-duduk di atap perumahan penduduk, sementara 
> sisanya asyik bergelantungan di pohon-pohon pinggir jalan seolah-olah ingin 
> mengucapkan selamat datang. Mobil-mobilpun terus berdatangan lalu menurunkan 
> penumpang. 
> 
> Masyarakat penduduk yang mayoritas berkulit kuning dan mata agak sipit khas 
> keturunan tibet dengan senyuman tulusnya juga mulai keluar rumah dan 
> beraktivitas satu persatu,  kelompok pendeta berbaju kombinasi merah bata 
> dan kuning menyala juga  mulai tampak memenuhi sudut-sudut kota kecil itu. 
> Teman saya pun tak tahan untuk berkomentar: †Kok sepertinya kita tidak lagi 
> di India ya?† Hehehe....
> 
> Setelah istirahat sejenak, pagi itu kami langsung menuju hotel untuk 
> istirahat. Berbekal surat pengantar di tangan, saya tidak jadi dianggap turis 
> internasional, sehingga kami tidak perlu repot-repot memperlihatkan paspor 
> dan segala macam dokumen tetek bengek lainnya dibagian resepsionis. 
> 
> The Club House hotel, daerah McLeodganj atau Upper Dharamshala tempat kami 
> menginap, jaraknya hanya 200 meter dari Dalai Lama Temple dan 500 meter dari 
> Dalai Lama Residence. Suasana terasa benar-benar teduh dan tenang. Posisinya 
> yang di ketinggian juga menambah indahnya pemandangan. Dentang lonceng dari 
> Dalai Lama Temple pun terdengar indah bersahut-sahutan. Udara pegunungan yang 
> bersih serasa menghidupi paru-paru yang sudah lama merindukan kesegaran. 
> Puncak gunung yang memutih di belakang hotel dipadu pemukiman lumayan padat 
> di depan bawah sana, membuat kita seolah-olah memandang lukisan hidup yang 
> indahnya tak terkira. 
> 
> Bangunan rumah-rumah yang bersusun sambung menyambung secara vertikal 
> sepanjang kota  mengikuti kontur tanah dengan kemiringan yang mencapai lebih 
> 45 derajat itu membuat si centil dari Surabaya yang notabene sang arsitek tak 
> berhenti berdecak dan geleng-geleng kepala. 
> 
> Setelah tidur dan beristirahat sejenak, kami menyiram badan dengan dinginnya 
> air pegunungan kemudian makan siang. Sesudah Shalat Zhuhur, sambil memegang 
> peta di tangan dan buku-buku petunjuk, kami minta segala macam saran yang 
> mungkin diperlukan kepada petugas hotel sambil menanyakan daerah-daerah yang 
> ’wajib’ dikunjungi. Karena hotel ini memang milik tourism department nya 
> negara bagian himachal pradesh, semua informasi yang diperlukan sudah ada 
> tersedia.
> 
> Kemudian....Dengan mengucapkan Bismillah, kakipun melangkah. Kota pertama 
> yang kami kunjungi, Dharamshala, dan daerah sekitarnya, siap untuk di jelajah 
> ....
> 
> New Delhi, Mei 2009
> 
> Wassalam
> 
> Rita Desfitri
> †Murai Kukuban†



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke