Assalamualaikum.
Ingin rasonyo manonto pacu kudo di kampuang. Kok di solok, dulu kami
manonto pacu kudo di ampang kualo.
Ogomong2 pacu kudo, di tampek awak tingga kini, ado keunikan
tersendiri. Di bima (p.sumbawa) pacu kudo joki-nyo paja kaciak. Antaro
6-12thn/umua anak SD.  Kok lah smp, lah dak dipakai lai.
Cuma sayang, budaya pacu kudo manjadi ajang pajudian tuo-mudo, gadang
kaciak, bahkan padusi sato lo gai. Mulai dari pasang saribu2, sampai
pasang jutaan.
Salam,
alang palabah, 31, L, bima-ntb

Pada tanggal 21/07/09, Harman <harman_ira...@yahoo.com> menulis:
>
>
>
> http://www.tempointeraktif.com/hg/perjalanan/2009/07/21/brk,20090721-188174,id.html
>
> Padangpanjang, Kota Sastrawan yang Masih Menawan
> Selasa, 21 Juli 2009 | 12:47 WIB
>
> TEMPO Interaktif, Padang - Setelah membaca novel lawas Tenggelamnya Kapal
> Van der Wijck karangan Hamka, saya terobsesi ingin menonton pacuan kuda di
> Gelanggang Bancah Laweh, Padangpanjang, Sumatera Barat, salah satu latar
> novel percintaan yang romantis nan tragis itu.
>
> Saat ada kabar pacuan kuda di sana pada pertengahan April lalu, tanpa buang
> waktu, saya meluncur ke Padangpanjang, sekitar 80 kilometer dari Padang,
> tempat saya bermukim. Namun, saya datang terlalu pagi karena acara baru
> dimulai pada pukul 12.00 WIB. Akhirnya saya berjalan kaki mencari sarapan ke
> Pasar Padangpanjang, dekat jalan raya Padang-Bukittinggi.
>
> Samar-samar tercium wangi bunga mawar. Ternyata wangi itu berasal dari kebun
> mawar di depan rumah-rumah warga. Di kota ini masih banyak rumah lama dengan
> gaya arsitektur awal abad ke-20 dengan fondasi semen dan berdinding kayu
> dengan hiasan ukiran kayu di atas pintu yang mirip mahkota Ratu Wilhelmina.
> Selain mawar, halaman rumah penduduk ditanami aneka bunga pegunungan,
> dahlia, gladiol, dan anyelir merah jambu.
>
> Padangpanjang tak sehiruk-pikuk Bukittinggi, tak terlihat orang bergegas.
> Dari segi sejarah, kota kecil ini juga tidak ketinggalan. Sekolah-sekolah
> Islam modern pertama di Sumatera Barat lebih dulu tumbuh di kota ini,
> seperti Tawalib, tempat sekolah Hamka, dan Perguruan Diniyah Puteri, untuk
> sekolah khusus kaum perempuan. Kedua perguruan Islam ini hingga kini masih
> bertahan.
>
> Pada awal abad ke-20, Padangpanjang juga punya pengaruh yang besar karena
> menjadi tempat perlintasan yang strategis antara darek (darat) dan pedalaman
> Minangkabau. Saat itu Padangpanjang menjadi tempat lalu lintas ide dan
> kemajuan, pusat pergerakan pemuda dan pendidikan Islam, yang tumbuh subur di
> Padangpanjang.
>
> Namun, kini Padangpanjang seolah terlupakan. Padahal kota ini sangat
> menawan, dikitari Gunung Singgalang dan Gunung Marapi serta menjadi setting
> cerita beberapa karya sastra. Sastrawan A.A. Navis menjadikan Padangpanjang
> latar sebagian besar karyanya karena ia memang lahir dan besar di kota ini.
>
> Saya segera mencari lapau (kedai makanan) yang agak ramai di Pasar
> Padangpanjang sekalian ingin mengetahui topik hangat yang sedang menjadi
> pembicaraan para pria tua-muda yang punya hobi nongkrong di lapau itu.
> Lelaki Minang sejak dulu memang suka duduk di lapau sehingga lahir istilah
> politik lapau dan ota lapau. Dari ota lapau, konon, sastrawan A.A. Navis
> banyak mendapatkan inspirasi untuk cerpen-cerpennya.
>
> Saya masuk ke salah satu lapau yang terlihat penuh. Semuanya lelaki,
> tua-muda. Perempuan memang tidak akan tertarik nongkrong di lapau, apalagi
> pagi-pagi begini.
>
> Dengan sangat sopan, mereka menyapa dan menawari saya ikut makan. Di meja
> tergeletak koran lokal terbitan hari itu yang disediakan pemilik lapau.
> Setelah menguping, topik obrolan ternyata bukan politik, melainkan kuda pacu
> yang akan bertanding siang nanti.
>
> Saya menyudahi sarapan saat asap rokok mulai banyak mengepul. Di sini orang
> memang gemar merokok walaupun pemerintah kota sudah mengeluarkan larangan
> merokok di tempat umum. Satu-satunya yang bisa diterapkan pemerintah adalah
> melarang papan reklame rokok. Jadi tidak satu pun baliho rokok yang terlihat
> mejeng di pinggir jalan.
>
> Karena pagi masih panjang, saya memutuskan jalan-jalan ke stasiun kereta
> api, sekitar satu kilometer dari pasar. Ini stasiun kereta api pertama yang
> dibuat Belanda di Sumatera Barat. Stasiun itu terlihat sepi karena kereta
> api wisata hanya beroperasi pada hari Minggu dari Padangpanjang ke
> Sawahlunto, yang melewati tepian Danau Singkarak nan cantik. Acara pembukaan
> rute ini pada tahun lalu amat meriah; pegawai PT Kereta Api mengenakan
> seragam layaknya meneer Belanda.
>
> Pada September mendatang, rute Padang-Padangpanjang akan menyusul dibuka.
> Ini jalur yang paling menarik, melintasi jembatan yang tinggi sekali di
> Lembah Anai.
>
> Sastrawan A.A. Navis pernah mengatakan banyak mendapatkan ide cerita dalam
> perjalanannya naik kereta api dari Padangpanjang ke sekolahnya di Kayu Tanam
> melintasi jembatan tinggi di Lembah Anai setiap hari.
>
> Bayangkan, setiap hari. Betapa beraninya. Saya saja masih berdebar mengingat
> pengalaman melintasi jembatan Lembah Anai yang tinggi dengan kereta api
> tahun lalu, benar-benar menegangkan.
>
> Dari stasiun, saya ke pemandian Lubuak Matokuciang untuk melihat bekas kolam
> renang buatan Belanda yang berair jernih. Kolam renang itu ternyata masih
> ada, di sisi sebuah bukit. Dulu rumah tempat Sjahrir dilahirkan berada tidak
> jauh dari Lubuak Matokuciang itu. Apakah mantan perdana menteri itu pernah
> mandi di sana? Tidak jelas. Sebab, pada usia empat tahun, ia dibawa pindah
> keluarganya dari Padangpanjang.
>
> Kolam renangnya dari semen dan airnya amat jernih, tanpa kaporit.
>
> "Dinamai Lubuak Matokuciang karena air yang keluar itu berbongkah-bongkah
> bulat dengan warna sehijau mata kucing," kata Pak Mus, penjaga lubuk.
>
> Sayang, saya tidak bisa melihat air yang keluar hijau mengkilat seperti mata
> kucing itu karena kolam sedang penuh air. Namun, kesegarannya terasa di
> kulit.
>
> Pada pukul 11 siang, saya menuju Gelanggang Bancah Laweh, arena pacuan kuda
> yang terletak di sisi bukit kapur dan Bukit Tui. Di jalan, orang
> berduyun-duyun datang dari kampung-kampung di sekitar Padangpanjang, seperti
> Batipuh dan Gunung Rajo. Masih mirip cerita dalam novel Tenggelamnya Kapal
> Van der Wijck. Rupanya acara pacuan kuda ini masih jadi arena pesta rakyat.
> Tiketnya murah meriah, hanya Rp 3.500.
>
> Pengunjung, baik orang tua maupun anak-anak, mengenakan pakaian terbaik
> layaknya hari raya. Uniknya, para lelaki tua dan muda mengenakan topi koboi,
> yang menjadikan mereka mirip koboi Texas.
>
> Ibu-ibu membawa rantang dan nasi bungkus daun untuk bekal makan siang.
> Bahkan banyak anak yang bolos sekolah karena ikut orang tuanya menonton
> pacuan kuda. Arena pacuan Bancah Laweh cukup luas.
>
> Bendera tiap-tiap daerah yang ikut pacuan berkibar-kibar aneka warna. Merah
> warna bendera Agam, kuning Batusangkar, hijau Padangpanjang, kuning-hijau
> Pariaman, biru Payakumbuh, putih-kuning-biru Sawahlunto, kuning-biru Padang,
> dan kuning-merah Solok. Warna bendera ini sama dengan warna pakaian joki.
> Bendera ini menandakan betapa tradisi pacuan kuda sudah ada sejak zaman
> Belanda.
>
> "Bancah laweh" artinya rawa yang luas, karena dulu gelanggang itu adalah
> rawa. Siang itu, dalam sekejap, arena tersebut kembali berubah menjadi rawa
> saat hujan tiba-tiba datang dan lapangan dipenuhi air. Ini salah satu tabiat
> Padangpanjang: tiada hari tanpa hujan. Pertandingan terpaksa ditunda
> beberapa jam, menunggu jalur lintasan disiram pasir agar kuda tidak
> terpeleset.
>
> Dari atas tribun, saya kembali membayangkan novel Tenggelamnya Kapal Van der
> Wijck dan menduga-duga di tribun manakah Hayati duduk gelisah memikirkan
> Zainudin. Apakah di tempat saya duduk saat ini, menghadap ke lapangan yang
> sama dan menatap bukit kapur yang sama?
>
> "Tribun lama sebelah situ, sudah dirobohkan. Ini tribun baru," kata
> Sabarudin, penonton di sebelah, membuyarkan rekaan saya. Sabarudin membawa
> tiga anak lelakinya dan satu putrinya menonton pacuan kuda. Di dekat mereka
> duduk, ada kantong plastik besar berisi nasi bungkus.
>
> Dulu, menurut lelaki 50 tahun ini, untuk menonton pacuan kuda setahun
> sekali, ia lebih sering berjalan kaki dari kampungnya di Gunung Rajo, yang
> berjarak sekitar 16 kilometer ke Padangpanjang, karena angkutan umum penuh
> orang-orang yang hendak menonton pacuan kuda.
>
> "Jalan kaki dua sampai tiga jam, dan tengah malam baru sampai di rumah,"
> ujarnya mengenang. Selain pacuan kuda, saat itu ada pasar malam.
>
> Akhirnya pertandingan dimulai untuk kuda pemula dengan jarak 600 meter.
> Kuda-kuda pacu yang tinggi dan besar itu dibawa ke gelanggang. Saya
> menjagokan dua kuda betina yang cantik, namanya Mahligai dan Aura Kasih,
> yang baru berusia dua tahun serta tampil perdana.
>
> Tidak aneh, saat masuk ke kerangkeng besi untuk start, kuda-kuda itu tampak
> stres, bahkan, menjelang start, Mahligai sempat melemparkan sang joki dari
> punggungnya hingga terjatuh dan hidung si joki berdarah.
>
> Namun, di tengah derasnya hujan, pertandingan jalan terus. Kuda-kuda berlari
> dan penonton bersorak-sorai. "Sirah...! Hijau!" teriak penonton menjagokan
> kudanya.
>
> Ternyata Mahligai, kuda jagoan saya, yang mewakili Agam, menang. Kuda
> cokelat yang dihiasi guratan putih seperti petir pada dahinya itu menjadi
> nomor satu dan jidatnya ditempeli pita kemenangan. Sedangkan Aura Kasih
> menjadi runner-up.
>
> Banyak yang bersorak saat Mahligai mendekati garis finis.
>
> "Yang teriakannya paling keras itu pasti ikut taruhan," kata Sabarudin. Ia
> mengatakan, tidak seperti dulu, kini taruhan dilakukan diam-diam, di luar
> arena.
>
> "Namanya juga pacuan kuda, apa enaknya kalau tidak pakai taruhan?" kata
> Sabarudin. Namun, ia mengaku tidak ikut bertaruh karena hanya ingin
> menikmati kenangan masa kecilnya sambil membawa anak-anaknya.
>
> Pertandingan kuda pacu ini berakhir sore saat hujan berhenti. Orang-orang
> bubar meninggalkan Padangpanjang, yang kembali lengang.
>
> Febrianti
>
>
>
>
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke