Indra J. Piliang tentang Buku 'Mengalir Meniti Ombak' (3) Di Internet, Saya Dihajar Sebagai Tulang Fitnah
Top of Form Bottom of Form Jum'at, 09 April 2010 08:17:18 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan Jember (beritajatim.com) - Sejarah hanya untuk para pemenang. Agaknya diktum itu tak berlaku bagi seorang Indra Jaya Piliang. Politisi cum intelektual muda Partai Golkar itu justru mendokumentasikan tiga kekalahannya dalam berpolitik dalam buku setebal 568 halaman berjudul Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan. Beritajatim.com mewawancarai Indra Piliang seputar bukunya., dan diturunkan secara bersambung. Machiavelli mengatakan soal menjadi pemimpin yang ditakuti atau dicintai. Selama berkarir di dunia politik praktis, kini bagaimana cara pandang Anda terhadap diktum-diktum Machiavelli? Machiaveli adalah guru politik yang baik, hehe. Dan banyak guru semacam itu dalam politik praktis. Suatu hari, Prof Dr Muladi mengatakan kepada saya, "Indra, kamu terlalu lunak. Kalau saya menjadi kamu, saya telan itu yang menjadi lawan kamu!" Saya kaget. Mana pernah Prof Muladi menelan orang? Bicaranya juga sangat terukur. Dia mungkin geregetan saja dengan gaya "intelektualis" yang saya pakai ketika berdebat. Kalau senior sudah banyak yang marah, ya, saya naikkan tensi: hajar! Tapi, tidak ada yang melewati batas. Ketika saya katakan, "Siapa yang menggunakan Istana Bogor untuk pesta perkawinan anaknya? Siapa yang menempatkan keluarganya sebagai direksi di salah satu bank pemerintah?" Banyak yang marah. Tapi itu kan fakta? Itu bukan fitnah. Di internet, saya dihajar sebagai tukang fitnah, padahal tidak satupun saya menerima somasi. Untuk beberapa hal, mungkin ketakutan itu diperlukan, yakni demi kedisiplinan. Kedisiplinan yang menjadikan politik dan demokrasi tidak berjalan liar. Dalam posisi seperti saya, belum ada kuasa apapun membuat orang lain takut. Ya, mungkin kalangan Partai Golkar di Sumbar yang melihat bahwa setiap kali Pak Aburizal Bakrie, saya ikut rombongan kecilnya di pesawat pribadi. Nah, mulai ada nuansa bahwa saya ada "di garis edar" elite-elite Partai Golkar. Dulu, waktu pileg, mana ada yang yakin bahwa saya "dekat" dengan pak JK. Sekarang kata pengantar buku saya dari Pak JK, hahaha... Siapa 'guru' yang berjasa di dunia politik bagi Anda? Machiavelli menurut saya adalah guru yang sedih. Sama dengan Aristoteles yang mendidik Iskandar Agung sejak muda. Sekarang, semua ilmu pasti ada banyak gurunya. Kepada Pak Wiranto saya juga berguru. Kepada Pak JK. Pertanyaan terpenting sebetulnya siapa guru politik saya? Saya terus terang mulai juga memikirkannya. Ada banyak tokoh yang saya kenal. Hal-hal yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hidup saya, saya amalkan. Tetapi, kalau suatu saat melenceng, saya melawan. Barangkali, dalam garis yang luas dan lebar, saya ingin menjadi seorang Ibnu Khaldun. Tapi bukunya begitu tebal. Dia kan pelaku politik, sekaligus sejarawan. Tapi, dalam beberapa hal, saya terkadang ingin menjadi Jalaluddin Rumi: beriman kepada kata, berpelurukan puisi-puisi jiwa. Mana yang paling menantang: menjadi tim sukses JK atau Yuddy Chrisnandi? Kalau memilih, ketika menjadi juru bicara dan juru debat JK-Wiranto. Tapi bagi saya, hampir tidak ada yang menantang, dalam artian menguras pikiran. Tentu yang paling jarang tidur ketika menjadi juru bicara dan juru debat JK-Wiranto. Saya jarang tidur dan menjadi manusia kalong. Sesungguhnya, hampir semua tantangan itu sudah saya lewati. Pengalaman saya selama memasuki daerah-daerah konflik dan bencana, sudah sampai menempatkan saya pada tingkat manusia yang kebal kepada rasa takut. Bahkan kewarasan saya hilang selama dua minggu, setelah pulang dari tsunami Aceh. Badan saya kena penyakit berbulan-bulan, setelah pulang dari Ambon. Dalam buku, secara implisit dan eksplisit saya mengkritik media massa. Mutu perdebatan menjadi begitu naif dan rendahnya, terutama di televisi. Mungkin karena itu, suatu hari, Pak Harry Tjan Silalahi mengatakan kepada saya: "CSIS mengirim kamu ke dunia politik agar masyarakat menjadi cerdas. Eh, ini malah kamu sendiri yang menjadi bodoh!" Pak Harry tampaknya kecewa kepada saya. Dulu, dia tidak suka saya masuk Partai Golkar. Barangkali karena lobi Maruarar Sirait kepadanya, agar saya masuk PDI Perjuangan. Jadi, dalam kapasitas pribadi, saya tidak merasa ada tantangan serius, menyangkut fungsi saya sebagai juru bicara dan juru debat. Ganjaran sebagai Komunikator Terbaik pasangan JK-Wiranto sudah membuktikan itu, kan? Bersama Fadli Zon dari Mega-Prabowo dan Anas Urbaninggrum dari SBY-Boediono. Kalau diibaratkan pertempuran, dengan JK-Wiranto dan Yuddy Chrisnandi, saya mengandalkan serangan udara. Kalau pileg, serangan darat. Ketika mendukung Yuddy, tidak ada debat antar jubir atau juru debat. Sebagian besar berita hanya soal kekuatan dukungan dan modal politik, bukan visi-misi memajukan partai. Ketika jadi jubir JK-Wiranto, masih mending terdapat sejumlah topik dalam seminar dan diskusi publik, misalnya menyangkut reformasi birokrasi. Jika waktu bisa diputar, belajar dari tiga kekalahan di buku Anda, hal terpenting apa yang seharusnya dilakukan JK-Wiranto dan timnya agar tak kalah dalam pemilu presiden? Pertama, mundur sebagai wakil presiden yang sedang menjabat. Tapi apakah itu tindakan ksatria? Saya tulis itu dalam buku. Kedua, membentuk tim super yang jumlahnya sedikit, bukan 700 orang, lalu tidak terjebak dalam arus pemberitaan media. Saya sudah sampaikan via pesan-pesan pendek, agar JK-Wiranto berbagi wilayah dengan merebut provinsi-provinsi dengan jumlah penduduk sedikit, guna menahan laju satu putaran. Ketiga, menggelar jumpa pers secara rutin yang dilakukan oleh pasangan kandidat, lalu diteruskan oleh seluruh tim kampanye di semua tingkatan. Ada satu metode lagi dan ini bisa menentukan dalam masa kampanye yang singkat. Saya mendiskusikan ini dengan seorang kawan yang sedang kuliah di Amerika Serikat. Tapi, saya tidak mau mendiskusikannya sekarang. Biar metode ini saya terapkan dalam pilpres berikutnya, itupun kalau masih dipakai oleh capres-cawapres yang diajukan oleh Partai Golkar. Biayanya murah, dampaknya efektif. Secara tersirat, saya menulisnya dalam buku. [wir] http://beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2010-04-09/60984/Di_Inter net,_Saya_Dihajar_Sebagai_Tulang_Fitnah -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.