Harian Singgalang, 24 April 2010 Pilkada dan Bencana Oleh Indra Jaya Piliang Penulis Buku “Mengalir Meniti Ombak” dan “Bouraq-Singa Kontra Garuda”
Tragedi gempa bumi yang melanda Sumatera Barat tanggal 30 September 2009 lalu menjadi pemandangan sehari-hari sampai kini. Entah sampai kapan seluruh bangunan bisa pulih seperti sedia kala. Dampak-dampak susulan terus berjalan, antara lain dengan longsor di banyak titik. Bumi yang rengkah begitu mudah terbawa arus air, ketika hujan datang. Apalagi kayu-kayu mulai banyak ditebangi untuk membangun rumah darurat. Di sela-sela itu semua, datanglah musim Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Persoalannya, mana menyela apa? Apakah penanganan pasca-gempa kini hanyalah penyela bagi kegiatan pilkada, atau pilkada hanya sela bagi kegiatan penanganan pasca gempa? Kalau saya memilih yang kedua. Biarlah pilkada hanya sebatas sebagai kerumunan biasa, sementara penanganan tragedi gempa menjadi agenda bersama. Bagi yang percaya kepada survei, pengaruh kegiatan kampanye selama pilkada tidaklah besar. Hanya sekitar 3-5 persen. Pengaruh terbesar tentu ada, sekitar 20%-30%, tetapi itu terkait dengan massa mengambang yang tidak mudah ditebak. Suara 20-30 % itupun pastilah tidak langsung masuk ke salah satu pasangan, melainkan terbagi-bagi kepada pasangan yang ikut serta. Jadi, potensi penambahan suara hanya sekitar 3-5% saja bagi setiap pasangan. Kecuali pasangan yang bertarung hanya dua, sebagaimana di Kabupaten Pasaman antara Benny Utama lawan Yusuf Lubis. Masyarakat akan benar-benar terbelah perhatian dengan suhu politik tinggi. Persaingan dua pasangan ini menjadi menarik, mengingat setiap suara biasanya punya makna. Potensi sengketa pilkada juga besar, terutama berkaitan dengan kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. *** Minang kini menjadi pusat perhatian bukan karena pengaruh dari sejumlah prestasi, melainkan pusat belas-kasihan warga negara Indonesia dan manca-negara. Uluran tangan orang lain menempatkan Minang pada posisi menengadah, sementara orang lain memberi. Sebaik-baiknya tangan itu tentu tangan yang di atas, bukan tangan yang di bawah. Sehingga, perlakuan terhadap beragam tamu asing itu layak diberikan dengan baik. Sesuai pepatah, lunak gigi daripada lidah. Tetapi, Minang juga sedang mengalami euforia. Banyak orang Minang menjadi anggota Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II). Sekalipun KIB II ini belum menunjukkan kinerja terbaiknya, terbungkus oleh silang sengkarut beragam masalah dari Bank Century sampai Susno Duadji, tetap saja semangat kebanggaan etno-politis mewarnai. Sehingga, dalam posisi seperti ini, apapun kebijakan pemerintah pusat akan didukung penuh. Masalahnya pada level rakyat badarai. Apakah mulut-mulut kritis mereka yang membutuhkan perhatian pemerintah layak disumbat, demi hanya sekadar menunjukkan sikap terima kasih? Penanganan pasca-gempa tidak sehebat penanganan pasca-tsunami di tanah Aceh. Rakyat sebagian besar masih tinggal di rumah-rumah kayu yang rata-rata sumbangan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang memanfaatkan dana corporate social responsibilities (CSR). Dana CSR itu adalah pemisahan sebagian keuntungan perusahaan yang didapatkan dari untung yang diraih. Beberapa badan atau negara asing juga masih beroperasi. Sebagian langsung menjemput bola, yakni datang ke area-area bencana. Mereka mengirimkan tim-tim survei pendahuluan untuk mendapatkan informasi, lalu setelah melewati proses administratif, baru kemudian mengucurkan bantuan. Tidak ada yang langsung turun pakai helikopter, lantas menyebarkan bantuan dari udara, kecuali pada waktu tanggap darurat. Bahwa pemerintah pusat terlalu sibuk dengan masalah-masalah yang muncul tiap hari di layar televisi, bukan lagi rahasia umum. Kita tidak mendengar manajemen satu pintu diterapkan oleh pemerintah pusat untuk menangani akibat-akibat bencana yang hebat ini. Masyarakat seperti anak ayam yang kehilangan induk, karena harus mengais-ngais sendiri apa saja yang bisa dijadikan sebagai bahan makanan, sandang dan papan. Berbeda dengan Aceh yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, Minang tentu tidak bisa memiliki apa-apa. Yang tersedia hanyalah area-area pariwisata yang belum dibuka dan dibenahi seluruhnya, terutama pemandangan alam. Kalaupun ada area pertanian yang luas di sejumlah daerah, itupun sudah sejak lama diolah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta. Minyak dan gas alam? Tidak bisa lagi ditemukan, termasuk bahan-bahan galian Golongan C. Jadi, apa yang bisa menjadi maghnet untuk pemerintah pusat? *** Minang kini seperti mengalami quo-vadis. Kalau bersikap terlalu kritis kepada pemerintah pusat, bisa jadi malahan kesulitan dalam mengurus penanganan bencana. Kalau diam saja, dianggap sudah tidak ada masalah. Aparat-aparat penjemput dari pusat untuk masalah-masalah yang terkait dengan penanganan bencana terlihat kurang banyak di lapangan. Padahal, sebagai negara, justru akan terlihat berfungsi-tidaknya ketika terjadi masalah yang terburuk, yakni bencana alam. Dalam keadaan yang serba-sulit saja pemerintah pusat sebagai perwujudan negara “anok-anok sajo”, bagaimana dalam keseharian yang normal? Karena itu juga, pilkada adalah jalan tembus untuk menyusun program-program realistis penanganan bencana. Memang, dari 19 kabupaten dan kota di Sumbar, dampak gempa hanya terasa di 7 kabupaten dan kota. Tetapi jangan lupa, sebagai satu kesatuan wilayah dan pemerintahan, kegagalan dalam menangani 7 kabupaten-kota itu bisa menyeret daerah-daerah lain untuk mengalami penurunan tingkat kemakmuran. Ketika Pasar Tanah Abang terbakar beberapa tahun lalu, terjadi penurunan ekonomi di Sumbar akibat wesel-wesel pos dari rantau jarang lagi dikirim ke ranah. Tanpa ada kekayaan alam yang menjamin, sulit bagi pemerintah pusat untuk menanamkan banyak dana di Minang. Begitu juga investor-investor asing. Makanya, para pemilih dalam pilkada sedari awal layak memahami kemampuan para pasangan calon kepala daerah yang sama-sama tidak memiliki banyak dana kampanye. Siapa yang mau menyumbang pasangan calon itu, apabila dalam lima tahun ke depan justru Sumbar memerlukan banyak sumbangan lainnya? Untuk itu, terobosan metode kampanye sangat diperlukan oleh masing-masing pasangan kandidat. Kalaupun ada pasangan yang memiliki dana besar, sebaiknya memikirkan juga bagaimana menahan laju penurunan ekonomi yang di ambang pintu. Sehari setelah dilantik, beragam masalah akan datang di depan pintu gubernur, bupati dan walikota itu. Marilah kita sama-sama menjalankan manajemen keprihatinan dalam pilkada yang sedang dihelat ini. Tidak perlu ada banyak band, orgen tunggal ataupun artis ibukota, dalam baralek gadang di tengah rumah-rumah yang runtuh sekarang. Selamat berpilkada. -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe