Assalamu'alaikum Wr. Wb.,

Dunsanak-dunsanak di Palanto 'ko nan ambo hormati,

Berikut ini berita di Kompas hari ini: 





PELUNCURAN BUKU

Pandoe,  Wartawan
Otodidak

Minggu, 9 Mei 2010 | 05:26 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Genap berusia 80 tahun pada
Senin (10/5), wartawan tiga zaman Marthias Duksy Pandoe, Sabtu di Ballroom
Gedung Penerbitan Kompas, Jalan Palmerah Barat, Jakarta, meluncurkan buku
Jernih Melihat Cermat Mencatat (Editor Julius Pour, Penerbit Buku Kompas, Mei
2010). Wartawan senior yang sudah pensiun dari Kompas itu tak ingin berhenti
menulis. Banyak keteladanan yang patut ditiru wartawan muda.

”Menulis untuk terhindar dari kepikunan,” ujar
Marthias Dusky Pandoe. ”Saya menulis sampai di usia senja, tantangan bagi
generasi muda untuk lebih produktif di usia muda. Saya menjadi wartawan tanpa
ijazah. Ini tantangan bagi mereka yang mengantongi ijazah perguruan tinggi,
lebih-lebih jurusan jurnalistik, publistik, komunikasi massa.”

Peluncuran buku kedua Pandoe setelah yang
pertama, A Nan Takana (Penerbit Buku Kompas, 2001), ditandai penyerahan buku
oleh Executive Chairman Kompas Gramedia Jakob Oetama kepada Marthias Dusky
Pandoe. Hadir sejumlah tokoh pers, seperti Rosihan Anwar, Dja’far Assegaf,
Basril Djabar, Rikard Bagun, Sutan Zaili Asril. Juga mantan menteri Fahmi 
Idris, Hasan Basri Durin, sejarawan Taufik
Abdullah, dan sejumlah tokoh Sumatera Barat.

Marthias
Dusky Pandoe dilahirkan di Kampung Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 10
Mei 1930. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1953 dalam koran sore Keng Po.
Kemudian pindah ke Pemandangan, Abadi, Aman Makmur, dan tahun 1970 bergabung
dengan Kompas sampai pensiun tahun 1998. Hingga kini ia masih aktif
menulis.

Kritis dan cerdas

Jakob mengatakan, walau Marthias tidak memiliki
ijazah, ia tak kalah dari wartawan lulusan perguruan tinggi. Hal itu karena
Marthias terus belajar. Otodidak. Pekerja keras, gemar membaca, dan membangun 
jaringan
luas. ”Bung Marthias sosok pekerja keras, cerdas, dan tajam melihat persoalan. 
Inisialnya MDP nyaris identik dengan
Sumatera Barat, dengan sosiologi budaya Minang, termasuk kedekatan yang
disertai sikap kritis dan kecerdasan mengambil jarak dengan sumber berita,
terutama dengan kalangan pejabat. Sikap itulah yang mengesankan saya,” katanya.

Marthias
Pandoe mengatakan, ”Saya dididik 20 tahun oleh Pak Jakob Oetama.”

Bung
Marthias, kata Jakob, ibarat ”pembawa bendera” karena Bung Marthias, Kompas
dikenal di ranah Minang. Sebaliknya, karena Kompas keberadaan Sumatera Barat
lebih dikenal luas, yang sudah dikenal sejak tahun 1920-an lewat nama-nama
besar dan karya-karya fiksi klasik Indonesia.

Rosihan
Anwar, senior Pandoe yang lebih tua 8 tahun dan lahir pada tanggal yang sama,
mengatakan, Pandoe telah membuktikan dalam kariernya sebagai wartawan yang
sangat berharga dan menentukan, yaitu integritas, jujur pada diri sendiri,
keikhlasan dengan hati. (NAL)
Sebagai urang awak ikut bangga atas prestasi pak Marthias Dusky Pandoe itu.
Salam,Fashridjal M. Noor Sidin, Bandung


-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke