Tulisan yang menarik sekali, tarimo kasih banyak alah di sharing ... 
Emmi

--- On Sun, 9/26/10, Nofend St. Mudo <nof...@rantaunet.org> wrote:

From: Nofend St. Mudo <nof...@rantaunet.org>
Subject: [...@ntau-net] KETIKA KAKAK MEMANGGIL
To: solok-sela...@yahoogroups.com
Cc: rantaunet@googlegroups.com
Date: Sunday, September 26, 2010, 8:06 AM

Ragam Situasi Menulis 12 : KETIKA KAKAK MEMANGGIL
oleh Ersis Warmansyah Abbas pada 26 September 2010 jam 14:26

TERUS terang aku anak kampung. Lahir di atas bantaran Bukit Barisan yang 
membelah pulau Sumatera. Rindu kampung rindu jiwa tak bertepi. Aku mungkin 
‘anak durhaka’. Puluhan tahun merantau hanya beberapa kali ke Muaralabuh.    
 
Menatap Earth Google berkelana ke Singapura, Thaskent, Vladivostok, Yokohama, 
Bosporus, Sarajevo, Warsawa, Washington, Havana, Rio de Janeiro, sampai 
Tasmania. Menelusuri lekuk-lekuk Arlington atau negeri Vlad Dracula sehabis 
membaca The Historian Elizabeth Kosotova, menikmati Digital Fortress Dan Brown, 
suguhan Casino Royal James Bond, Muaralabuh lebih eksotik.    
 
Aku membawa Erwin Dede Nugroho, GM dan Pemimpin Redaksi Radar Banjarmasin ke 
Muaralabuh. Kata Erwin: “Muaralabuh adalah perawan Nusantara yang tersisa”.    
 
Bila ingin memuas dahaga indahnya alam, selepas dari Minangkabau Airport sajian 
kenyamanan kota Padang akan menggadai hati. Ke Muaralabuh melewati Sitinjau 
Lawik dengan panorama khasnya. Yang mirip-mirip kutemui di Genting Higland, 
Malaysia. Mendaki Sitinjau Laut dengan pemandangan ke Samudera Hindia, suguhan 
pemandangan alam dengan hawa sejuk melegakan nafas berpilin aroma udara bersih.
 
Dalam 60 menit di hadapan terhampar danau kembar, Danau di Ateh dan Danau di 
Bawah. Duh Gusti, indah tak berbatas. Tak ada danau menawan di dunia ini 
seindah Si Kembar.Berburu Pesawat    Perjalanan berawal dari panggilan telepon 
jam 14.00. “Da, Uni Er —kakakku satu-satunya yang bermukim di Bengkulu— koma”, 
kata adikku Faidillah Abbas. Aku, Erwin, dan Jaya, pengusaha muda Kalimantan 
Selatan sedang makan di RM Padang Ampera Baru, Banjarbaru. Sontak tidak enak.   
 
“Ya”, kata Erwin, “aku ikut”. Sebagai tokoh ESQ Kalsel Jaya sudah ada acara. 
Aku mencarikan tiket, katanya. Pesawat Garuda ke Jakarta jam 16.00. Kami 
nongkrong di Blue Sky Restaurant. Sesampai di Soekarno Hatta, telepon Jaya 
berkabar: “Bos, kadada tiket, pesawat ke Padang penuh”. Kami berburu tiket. 
Nihil.   
 
Saya menelepon minta bantuan Rudy Resnawan. Dapat seat. Sekitar pukul 22.00 WIB 
mendarat di Minangkabau Airpot. Aprison, sopir taksi, langsung membawa ke 
restoran Kubang. Mampir di Marapalam, markasku sewaktu di Padang. Risauku agak 
terobati disiram dingin air nan sejuk.   
 
Menelusuri jalan ke Indarung, Erwin membayangkan indahnya Sitinjau Lawik. Sejak 
di Jakarta sudah ditelepon, Uni Er sudah berpulang ke Rahmatullah. Erwin 
mengira-ngira ketika matanya bersirobok di sela-sela kegelapan dengan Danau di 
Ateh dan Danau di Bawah. Kubiarkan berfantasi.   
 
Jam 01.00 dini hari sampai di rumah, Jalan Batang Laweh Nomor 53, Muaralabuh. 
Amakku, Nurbainar, wanita surga yang melahirkanku meraung memeluk saatku 
menghampiri kakak tercinta yang sering kunakali waktu kecil. Bapakku, Ibnu 
Abbas, lelaki Adam yang kokoh, guruku, kawanku, dan sahabat batin, tidak kalah 
memilukan. Aku jarang menangis. Apalagi Bapak baru sekali itu kulihat 
airmatanya. Aku tak sanggup menceritakan drama keluarga ini.
 
PRRI/PERMESTA   
 
Aku tidak mempedulikan keluarga besar, handai taulan, yang diliputi suasana 
duka. Setengah jam kemudian kepala dan rasa terasa normal. Aku baru melihat 
yang hadir satu-per satu dan menyalami. Dan, baru sadar bahwa temanku, Erwin 
ada di tengah keluarga besar kami, di Muaralabuh.   
 
Sampai pagi badan tidak berasa. Begitu mobil meninggalkan Sigintir, siang itu, 
doanku bersama Uni ER. Kakaku satu-satunya, Ya Allah Yang Mahakasih. Llimpahkan 
segala kebaikan buatnya, lipatgandakan amal baikny. Amin.   
 
Muaralabuh ibarat mangkok dikelilingi perbukitan. Sigintir desa kelahiranku 
saat peristiwa PRRI/Permesta. Masih terbayang beberapa rumah diberi tanda 
silang. Kata mamak, adik ibu, Buchari, tanda pengikut PRRI. Yang paling 
kuingat, di jalan raya Muaralabuh mobil Gas tentara kuhadang. “Untung kita 
tidak ditembak”, kata mamak.    
 
Kami meninggalkan Sigintir sehabis mengubur Uni Er. Aku lahir di Sigintir, 
kemudian keluarga pindah ke Batang Laweh. Bapak pemborong. Gedung Nasional, 
penjara Muaralabuh, dan bangunan lainnya Beliau yang mengerjakan.   
 
Ketika bersekolah, di Sekolah Rakyat Nomor 1 Muaralabuh, aku sering ke 
Sigintir. Batang Laweh Muaralabuh berjarak 2 km, Batang Laweh Sigintir 2 km. 
Sehari berjalan 4 km ketika masih bocah, dan … pakai sandal jepit. Luar biasa. 
Kata orang aku cerdas dan … nakal.     Di Rawang, antara Batang Laweh-Pasar 
Muaralabuh, aku punya iciak, adik Bapak, Iciak Gadi. Sepulang sekolah mampir … 
langsung ke meja makan. Sesampai di rumah … makan. Sesampai di Sigintir, aku 
punya nenek yang sangat menyayangi, makan lagi.
 
RAJIN MEMBACA SEJAK SR    
 
Jadi, wajar tenagaku luar biasa. Itu sampai kelas 4 SR. Kelas 3 SR sekolah ke 
Surian ikut Iciak Biah, guru SD 4 Surian dan Angku Maknur (kakak Ibu) yang 
menjadi Kadiscam (aku ngak ingat istilahnya) Depag.   
 
Sejak kelas 5 lain lagi ceritanya. Aku berkawan dengan agen dan kenek bis 
Muaralabuh-Padang. Suatu kali, Bapak menyuruh menanyakan hasil Pacikgadai 
(sawah dikerjakan orang dan hasilnya dibagi dua) ke Sungai Kalu. Aku naik ke 
atap bis. E … padi sudah jadi beras. Sekalian kubawa ke Padang. Setelah dijual 
kubelikan radio, dan … buku-buku. Sesampai di rumah, tiga hari kemudian, Bapak 
senyum-senyum. Bukannya marah malahan memuji inisiatifku.   
 
Senakal-nakalnya aku, kelas 5 SD sudah membaca Winnetou, Raja Minyak, Berkelana 
ke Kakukasus karya Karl May, sampai Ihya Ullumuddin Al Ghazali, buku-buku 
Bapak. Aku hapal kisah Thariq bin Ziad, Shalahuddin Al Ayubi. Bapak 
berlangganan majalah Kiblat dan surat kabar Haluan.   
 
Setelah peristiwa menjual beras aku mengatakan niat merantau. Bapak 
terkekeh-kekeh. Besoknya dikasih 100 sukat beras untuk belajar menjahit pada 
Kak Muchlis. Duh, kenangan semasa kecil. Ketika melihat mesjid Batang Laweh 
lama, aku sedih. Di mesjid itulah aku belajar mengaji dan sempat menjadi khatib 
hari raya Idul Fitri setelah sekolah di PGAN Padang.   
 
Di suatu kamar di samping mesjid bermalam dengan almarhum Faisal Thaher (Kabag 
Keuangan Dephub RI) dan Isap. Kalau bercerita hal itu Amak tertawa nyegir. 
Makan Gadang hampir tiap hari. Piring tidak dibawa pulang. Hidup paling 
menggairahkan ketika SD. Melakukan apa saja yang disenangi. Dari belajar 
mengaji sampai ‘mencuri’ ikan. Komplit.
 
NASIB PERANTAU
 
Jujur aku tidak hapal wilayah Muaralabuh apalagi kabupaten Solok Selatan. 
Ketika kecil sering ke Pekonina, daerah perkebunan, atau ke Padang Aro. Yang 
lengket di memori, bentangan perkebunan dengan hutan perawan. Udara bagus 
bersih masuk paru-paru dengan aman. Nikmat nian.   
 
Aku sering ke bagian hulu sungai Suliki menebang pohon pisang lalu ‘berperahu’ 
mengaliri sungai. Bersepeda ke Sungai Kalu atau yang paling berkesan dibawa 
Bapak ke daerah menjelang Pekonina mengambil (menebang) kayu bakar. Kalau hari 
libur ke ladang atau tempat-tempat yang menyenangkan.   
 
Begitulah, melewati Pekan Selasa dan daerah Pekonina kami sampai ke Padang Aro. 
Berhenti di rumah makan. Kami memilih bangku yang belakangnya ada sungainya. 
Erwin mengambil foto-foto. Di depan hamparan perkebunan teh, Erwin ingin 
menikmati teh langsung dari kebun. Eh … justru disajikan teh celup buatan Jawa. 
Kami terbahak-bahak.   
 
Selepas makan terus ke Lubuak Gadang. Tujuan pertama melihat pusat perkantoran 
kabupaten yang sedang dibangun. Setelah memutar ‘kota’ bertanya ke seseorang 
yang memakai seragam Pemkab, e … jawabannya tidak jelas.    
 
Lagi pula kalau bertamu ke kantor Bupati, apa mereka kenal? Aku pernah mengirim 
buku ke Bupati. Entah sampai atau tidak, tidak ada kabarnya. Bupati mungkin 
terlalu sibuk untuk sekedar menerima kirman orang semacamku he he. Di 
Minangkabau Airport saja terasa asing. Kalau di bandara Syamsudin Noor atau di 
Soekarno Hatta ada lah yang kenal. Aku betul-betul orang rantau. Di pesawat 
bertemu dengan teman kuliah di IKIP Padang. Misal Indra Sakti Nauli, kepala 
Dinas Pendidikan Pariaman. Duh … anak rantau.
 
AIR TERJUN
 
Bayangkan, pesona begitu indah tidak terlalu diperdulikan penduduk. Dapat 
dimaklumi karena itu bagian ke seharian kehidupan mereka, hal biasa-biasa saja. 
Padahal, dibanding dengan Lembah Anai air terjun ini lebih khas. Kita sejajar 
dengan permukaan air yang terjun mencurah ke lembah belasan meter di bawah yang 
melingkung memanjang bersua sungai yang menampung airnya. Asyiknya, jembatan di 
buat di atas lembah tersebut dan … kita bisa menikmati dari terjunnya air 
menyentuh dasar lembah terus mengalir bergabung ke sungai beberapa puluh 
meter.   
 
Mana pohon-pohon dan tumbuhan hadir sebagaimana aslinya. Belum ada sentuhan 
tangan manusia. Sungguh eksotik. Di atas jembatan kami menikmati hamparan air 
terjun dengan hutannya yang masih bagus, monyet kejar-kejaran melompat dari 
pohon ke pohon seolah memperagakan kemahirannya. Burung-burung terbang 
menyenandungkan irama yang, gimana gitu, berselang derau air terjun.     
Udaranya sejuk. Kami melepas dahaga haus mata memandang yang eksotik sementara 
pori-pori menikmat semilir udara, awan menyelimuti sehingga sinar matahari 
seadanya. Sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Afdolnya Sampeyan datangi 
dan rasakan sendiri.   
 
Pulang kampung paling menyenangkan, menyentuh, mengharubiru bagi perantau, 
menapaktilas kehidupan. Sebagai anak kampung, Muaralabuhku adalah identitas itu 
sendiri. Dari situlah semuanya bermula sebelum mengharungi perantauan. Jakarta, 
Jogja, Bandung, dan menetap di Banjarbaru. Muralabuhkan adalah aku. Ahm, 
menulis catatan ini aku ingin secepatkan ke Muaralabuh.
 
DINDING KAMAR
 
Aku ingat kebiasaan Bapak mencatat hal-hal penting. Di rumah gadang tempat aku 
lahir, seingatku ada tulisan Bapak. Aku mengitari rumah gadang, berhenti ketika 
di balik dinding kamar tengah tertulis Ersis Warmansyahril lahir Chamis 15 
November 1956. Aku tertawa-ketawa saja. Aku pernah memakai nama, Ersis 
Warmansyah, nenekmu memanggil Ersis Warmantil atau Ikit, panggilan kecilku 
Isis. Tulisan kapur Bapak tidak terhapus 50 tahun. Erwin mengambil fotonya.   
 
Memoriku diisi aneka cerita semasa kecil. Misalnya, ketika Uni Er sakit keras, 
di Batang Laweh beberapa bulan, aku masih SR, keluarga datang ke ladang di 
Bancah. Untuk apa? Melihat airnya. Kalau airnya keruh pertanda tidak selamat, 
saat itu airnya bersih, kakakku sembuh.    
 
Di rumah gadang, kalau ada hal-hal besar ada yang menjaga, kalau yang di dunia 
halus tidak berkenan, menanak nasi tetap jadi beras. Kakekku terkenal sebagai 
orang alim. Aku tidak pernah bertemu, Beliau meninggal sebelum aku lahir. 
Bertemu dalam cerita. Kalau banjir melanda sedahsyat apa pun bukan persoalan, 
Beliau sampai ke rumah. Kira-kira seperti filem kungfu kali ya, berjalan di 
atas air.   
 
Yang menanamkan keberanian, kakak nenekku adalah pendekar, benar atau tidak, 
ada sangkutpautnya dengan nama Rimbo Bujang di Jambi aku tidak tahu pasti. 
Beliau merantau ke Jambi. Soal kejagoan tidak usah diragukan. Itulah manusia 
paling berani dan ‘berilmu’ tinggi yang pertama masuk memoriku. Aku punya 
ikatan batin dengan beliau. Menjadikan sebagai tokoh ‘idaman’, beliau idola 
seperti kakek. Makanya, sekalipun dalam tata kekerabatan Minang, anak-anak 
Beliau bukan keluarga dekat, anak pisang, bagiku tidak.
 
TELINGA LEBAR
 
Seorang anak Beliau, Ciak Pani yang menjadi pejabat di Depdagri, sejak pertama 
di Jakarta adalah labuhan singgahku. Aku menganggap dia Ibuku. Ada tiga wanita 
Ibuku, Ibuku (Amak), Iciak Biah di Padang —yang sangat menyayangiku— dan Iciak 
Pani. Kalau bercerita tentang Angku Bujang, aku menyimak sangat detail. Membaca 
Kho Ping Ho, Bu Kek Siansu kubayangkan sebagai Angku Bujang. Angku Bujang 
‘temanku’ dalam pikiran.    
 
Bila ke Sigintir, aku selalu memandangi pohon rambutan, kelapa, sumur, dan apa 
saja yang menjadi kehidupanku ketika kecil. Berkelana ke masa lalu seindah 
berkelana ke masa depan sekalipun kita hidup di saat ini.    Aku teringat 
masa-masa kecil sampai sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 Tahun 
Muaralabuh. Sebenarnya aku ingin masuk SMP, hampir seluruh teman-teman SR ke 
sana. Tapi, keluarga bersikeras ke PGA. Kata mereka biar dasar agama kuat, dan 
aku nakal, kali he he.    
 
Ketika berkumpul dengan ponakan, Bapak menikmati tawa bercerita: Mak (mamak, 
paman) Sis pernah Datuk (kakek) masukan ke karung goni, keras kepala tu orang. 
Yang kusenangi, tapinya. Tapi, Mak Sis itu pintar, rajin, suka membaca, 
mandiri, telinganya lebar, seperti telinga Datuk, katanya terkekeh-kekeh. Ih 
bangganya dipuji Bapak. Dan, benarkan.     Mungkin dari situlah ‘sikap 
memberontak’ muncul. Berontak tapi tetap patuh. Sesuatu yang menjadi ‘gaya’ 
hidupku kelak. Protes kepada siapa dan tentang apa saja kalau tidak sependapat, 
tetapi kalau tidak diacuhkan, ya sudah. Bukan revolusioner sejati.
 
MENIRU BAPAK
 
Aku masih ingat, tugas utamaku ‘memelihara’ air sawah. Dari Tayeh, Sigintir, 
sampai Lolo. Sepulang sekolah tugas kulakukan. Kalau senja menghidupkan lampu 
strongkeng lalu ke mesjid. Yang paling menyenangkan, sekitar jam 9-10 mencari 
belut di sawah. Aku suka belut, kata Bapak bergizi.   
 
Aku bangga punya Bapak (Apak) yang berselera makan bagus, makanan kami pada 
dasarnya bergizi. Kami memelihara kolam. Kalau sudah panen, sawah dijadikan 
kolam ikan dan bila musim menanam tiba, dipindahkan ke kolam rumah. Kami juga 
memelihara ayam, kebun sayur, dan sebagainya. Kata Apak, sumber makanan bergizi 
tidak perlu dibeli, bisa diusahakan sendiri. Lagi pula, Ibuku dan Uni Er adalah 
tukang masak paling enak di dunia. Aku belum pernah menemukan wanita sehebat 
beliau memasak.   
 
Kebiasaan itulah yang menjadikan aku petambak ikan dan peternak ayam. Aku 
menanami singkong, lengkuas, janar, dan lombok di tanah kami di Martapura 
Tetapi, yang paling menyenangkan, Apak banyak punya buku. Inilah yang paling 
kusenangi. Pustaka pribadiku sekalipun baru mengoleksi beberapa buku, kujadikan 
penghormatan buak Apak. Manaka membeli buku terbayang wajah Apak.   
 
Bapak, kalau membaca sembari tidur-tiduran. Filsafat beliau, membaca di mana 
saja dan kapan saja. Hal itu yang aku salin sepenuhnya. Kini, anak-anakku, mau 
membaca sambil makan, tidur-tiduran, atau apa, silahkan saja. Mau buka internet 
subuh, tengah malam, OK-OK saja. Mau baca Harry Potter atau pelajaran sekolah, 
atau nonton bola, tidak kuatur. Terserah saja. Yang penting membaca, membaca, 
dan membaca. Kini mereka mulai belajar mengelola web.
 
MEMULAI MENULIS
 
Semasa kelas dua PGA aku jatuh cinta untuk pertama kali. Waduh … gimana ya 
menulisnya. Aku punya perhatian, tepatnya jatuh cinta ala anak ingusan. Kami 
mengaji di rumah Angku Parit dan satu sekolah di PGA. Adik kelasku. Saking 
ingin ‘bergaya’ aku minta Bapak menukar sepeda relight-nya dengan sepedaku. 
Kukira bapak paham aku mau melagak. Beliau pernah muda juga kan. Sejak itu, 
Beliau rajin memberiku duit. Aku membeli minyak rambut, lavender, dan he he ... 
aku betul-betul geli saat menulis ini.   
 
Suatu malam, di bawah pohon kelapa ditanya Si Ceweq Paling Cantik di Dunia: Apo 
nan ka uda katokan? Nah, lho … Yang kusesali, kami tidak bisa jalan-jalan di 
alam terbuka, begandeng tangan, apalagi … cipika-cipiki (syukuuuur).    
 
Begitulah model cinta masa itu. Pernah dengan ceweq lain, belajar bersama, 
bepergian saat libur sekolah, dan … jatuh cinta selayang pandang. Ceweq Paling 
Cantik di Dunia itulah cinta pertamaku.   
 
Sejak aku sekolah ke Padang, kemudian ke Jogya, ke Bandung, hanya pernah sekali 
bertemu di rumahnya di Jakarta, dia sudah punya anak waktu itu. Tapi aku yakin, 
ada sesuatu di hatinya, seperti di hatiku. He … he …    Muaralabuh bukan 
sekadar tempat lahir, bukan sekadar tempat dimana kureguk indahnya keluarga dan 
pendidik keluarga, tetapi secara keseluruhan adalah ‘pembentuk’ diri. 
Muaralabuh adalah landasan pacu cintaku sejak awal.   
 
Mualabuh yang sejuk landasan belajar menulis. Aku menulis surat cinta. Membeli 
buku tebal dan teman-teman diminta menulis diritu; puisi, lagu kesukaan, dan 
arena cruhat. Sungguh mengasyikkan. Memulai menulis.Memamerkan Muaralalabuh    
Aku membawa Erwin D. Nugroho karena dia sahabatku. Kami menghabiskan hari-hari 
bersama. Dia ‘orang besar’, punya ‘kekuasaan’, dan aku penulis. Di korannya aku 
menulis ratusan artikel. Kami berdiskusi tentang banyak hal. Kini dia menjadi 
bos Jawa Pos National Network yang ‘membawahi/ sekitar 160 media jaringan Jawa 
Pos.    
 
Kalau dia mendapat buku baru, aku diberi tahu, begitu sebaliknya. Terkadang 
saling membelikan. Erwin membawaku ke kenangan masa lalu. Dulu, ketika PGA aku 
sering bertukar buku dengan teman-teman. Buku itu digilir untuk diisi 
teman-teman; puisi, pantun, komen, atau apa saja.    
 
Sesampai di Kalimantan Erwin menulis di www.windede.com. perjalanan ke 
Muaralabuh.  Aku selalu bersemangat memotivasi anak-anak muda menulis. Erwin 
telah melaunching buku Email dari Tanah Suci menyusul Dari Sabang Sampai 
Dalian. Kisah perjalanan ke Muaralabuh ada di dalamnya.    
 
Tiga hari tentu bukan waktu yang cukup. Tetapi, Muaralabuh kusimak detail, 
“kubaca” dengan pikiran dan perasaan. Dari utara mengalir batang Suliki, di 
Kotabaru bersatu dengan sungai Kotabaru yang disuport anak-anak sungai menjadi 
bagian untuk bergabung dengan sungai Batanghari. Alam indah itu diolah menjadi 
sawah berpetak-petak, yang tidak kalah dengan sawah-sawah di Bali, atau 
kebun-kebun yang mendatangkan kesejukan di hati.   
 
Benar pepatah Minang: Jika cinta kampung, tinggalkan.Setelah jarak terbentang 
maka segala keindahan, kenyamanan, dan hal-hal membuai lainnya akan bergabung 
dalam memori.
 
MENULIS KENANGAN
 
Aku ingat, menyinggahi Bengkulu membawa dua adik, kakakku, dan belasan 
keponakan pulang bersama di hari Idul Fitri. Kukuatkan memori mereka tentang 
tanah asal. Kami datangi irigasi Balun, di depan Istano Rajo Sungai Pagu 
sembari mandi berkecipak-kecipak. Aku ingin mereka tidak melupakan Muaralabuh, 
sekalipun lahir di rantau.    
 
Kini rumah-rumah sudah dibuat gaya modern dan jalan-jalan mulus. Aku juga 
mendengar hal kehidupan modern remaja Muaralabuh. Mohon kepada para petinggi, 
agar menjaga generasi muda dari hal-hal kurang baik.   
 
Di internet, misalnya SMA I Muaralabuh berprestasi bagus untuk ukuran Sumatera 
Barat. Yang mengherankan, kenapa namanya ditukar menjadi SMAN I Solok Selatan. 
Aku punya garapan sepetak kecil sawah sebelum sekolah itu berdiri. Sawah nenek 
yang kugarap untuk biaya sekolah.   
 
Pernah, beberapa anggota DPRD Solok Selatan ke Banjarbaru. Aku katakan, kalau 
mau maju, majukan pendidikan. Kalau rumah pejabat, lebih baik dari sekolah, 
pertanda tidak baik bagi pendidikan. Kalau rumah penduduk bagus-bagus, sekolah 
bobrok, di lingkungan itu berdiam orang-orang munafik pendidikan.    
 
Ah, sudahlah. Itulah secuil kisah perjalanan ketika sedih, ke Muaralabuh, 
ketika kakak memanggil. Aku tak sanggup bercerita tentang kakakku, tetapi hanya 
menulis oleh-oleh perjalanan bermuatan hikmah. Sekadar contoh bahwa ketika 
sedih kita mampu menulis.   
 
Bagaimana menurut Sampeyan?
http://www.facebook.com/notes/ersis-warmansyah-abbas/ragam-situasi-menulis-12-ketika-kakak-memanggil/439534447932


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.



      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke