Dunsanak palanta RantauNet,Iko ado tulisan Emeraldy Chatra yang mungkin menarik 
didiskusikan tentang penanganan prostitusi. Tulisan ko ambo kopikan dari FB 
beliau.

Wassalam,
Syofiardi (40/Padang)



Soal Protitusi, Belajarlah dari Iran
Oleh Emeraldy Chatra
 
BBC  6 Juli 2000 mengutip laporan mencengangkan dari Mohammad Ali Zam,  Kepala 
Bagian Budaya dan Artistik Tehran, Iran. Menurut Ali Zam angka  prostitusi di 
Iran meningkat secara dramatis antara tahun 1998-1999  yaitu 635% dan angka 
bunuh diri melebihi 109% ! Dilaporkan juga usia  rata-rata pelacur turun dari 
27 
ke 20 tahun dalam lima tahun. Sedangkan  pencandu obat terlarang lebih dua juta 
orang.
 
Laporan Iran  Press Service 29 Juli 2005 tidak menggambarkan kondisi moral yang 
lebih  baik, bahkan sebaliknya. Dilaporkan, menurut pengamatan para Mullah  
usia 
rata-rata pelacur sudah jauh lebih muda. Mayoritas berusia antara  12 dan 25 
tahun. Dari 100 orang pelacur 60% adalah ibu rumah tangga.
 
Kini Iran tidak hanya repot karena pelacuran, tapi juga wabah HIV/AIDS. Ribuan 
penduduknya telah terinveksi dan sekarat.
 
Kalau  yang dibicarakan bukan sebuah negara berlandaskan agama (Islam)  
data-data diatas tidak cukup membuat risau. Sejak revolusi 1979 Iran  berubah 
status jadi negara Islam dan menerapkan hukum Islam secara  ketat. 
Perempuan-perempuan diwajibkan memakai jilbab, pezina dihukum  cambuk dan 
rajaman batu. Tidak sedikit pula yang masuk penjara lantaran  melanggar hukum 
(agama). Akibatnya, ramai-ramai aktivis HAM dan  perempuan Barat mengecam 
pemerintah Iran dengan kata-kata pedas.
 
Ternyata  keketatan hukum tidak menjamin tercapainya tertib sosial yang  
diimpikan. Apa yang terjadi di Iran sungguh sebuah ironi, sekaligus  cermin 
bagi 
pemerintah negara atau daerah lain dalam upayanya mengatur  prilaku masyarakat. 
Jangan sekali-kali menyangka sikap terlalu keras  terhadap masyarakat akan 
membuat situasi moral jadi lebih baik.
 
Ada  contoh lain tentang reaksi negatif terhadap ‘sikap keras’. Tahun 90-an  
Amerika Serikat dibuat ciut oleh berbagai kasus HIV/AIDS. Secara reaktif  
kampanye anti HIV/AIDS digelar di seluruh penjuru negara. Anak-anak  muda 
dijadikan sasaran kampanye karena mereka paling bebas melakukan  aktivitas 
seksual dan beresiko tertular virus HIV. Tapi, seperti  dikatakan James Lull 
(Media, Communication, Culture: A Global Approach, 2000),  alih-alih mengurangi 
kebebasan seksual, tahun 1996 jumlah remaja putri  Amerika Serikat yang 
melakukan seks bebas  malah meningkat tajam.
 
Sikap, aturan terlalu keras dan kampanye berlebihan rupanya menimbulkan efek 
balik (boomerang effect).  Ketakutan berlebihan berujung pada keberanian. 
Perempuan-perempuan Iran  yang kini berkeliaran menjajakan tubuhnya disepanjang 
jalan tidak lagi  takut pada hukuman cambuk atau rajam. Remaja putri AS tidak 
lagi takut  mati terinveksi HIV dan mempertinggi intensitas kebebasan mereka.
 
Respon  terhadap tekanan berlebihan dapat melahirkan ideologi yang melekat pada 
 
golongan tertentu dalam masyarakat. Perlawanan tidak lagi semata  tindakan 
sporadis, tapi dianggap sebagai identitas. Anak-anak muda dapat  saja 
menjadikan 
seks bebas sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan  atau ideologi penguasa 
yang mereka nila sok puritan. Jadi seks bebas  bukan lagi sekedar untuk 
bersenang-senang.
 
Kalau sampai ke titik ini, tentu sangat berbahaya. Prilaku ideologis jauh lebih 
susah merubahnya daripada prilaku instinktif.
 
Di  Iran sekarang diperdebatkan sebuah konsep baru – sekaligus sangat  
kontroversial -- untuk mengatasi prostitusi. Ada gagasan membuat chastity 
house,  
rumah bordil Islami. Inilah uniknya Iran. Mullah di negara itu terbuka  
terhadap 
gagasan baru yang fungsional, meskipun sikap mereka juga sangat  kritis.
 
Sebelumnya kawin kontrak atau mut’ah (sighe dalam bahasa Iran) dipromosikan 
pemerintah untuk mengurangi kebebasan  seksual. Mantan Presiden Iran 
Hojatolislam Ali Akbar Hashemi Rafsanjani  menjadikan sighe sebagai poin 
penting 
dalam kampanyenya ketika pemilihan  presiden. Kata Rafsanjani, “Kawin sighe 
adalah jawaban yang efisien  terhadap masalah hubungan seksual pra-nikah”.
 
Namun  ternyata sighe belum menjadi jawaban akhir, karena sighe sebenarnya  
hanya untuk orang-orang yang takut kepada Allah. Mereka yang tidak takut  tetap 
memilih jalan zina. Lagipula faktor kemiskinan dan peredaran  narkotik yang 
meluas membuat upaya pemerintah melawan pelacuran nyaris  tidak berarti.
 
Tulisan ini pernah dimuat di harian Padang Ekspres

http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=443333284245&id=100000492940615

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke