Assalamualaikum wr wb

Angku, mamak, bundo, sarato dunsanak sapalanta RN nan ambo hormati, berikut 
saya 
sertakan tulisan pak Fachrul Rasyid mengenai tradisi tulisan mitigasi 
kebencanaan di ranah minang, semoga bermanfaat, amin ya Rabbal alamin.  

wasalam

AZ - 32 th
Padang


http://fachrulrasyid.wordpress.com/2010/10/23/menangkap-makna-tugu-gempa/

Menangkap Makna Tugu Gempa
Refleksi Haluan 5 Oktober 2010
Oleh H.. Fachrul Rasyid HF

Mohammad Abduh, ulama dan pemikir Islam terkemuka, pernah berkata. Setiap 
kebenaran didahului keragu-raguan. Tapi bagi sebagian masyarakat Minang, 
kebenaran kadang didului dengan kecurigaan dan bahkan ejekan. Begitulah ketika 
Fauzi Bahar membangun dan meresmikan tugu alias monumen gempa di Taman Melati, 
Padang, 30 September 2010 persis setahun peristiwa gempa bumi dahsyat 30 
September 2009.
Kendati demikian, sikap itu tak perlu disesali karena memang melawan tradisi 
lisan yang mengakar dalam masyarakat selama ini. Pada tradisi lisan setiap 
sesuatu lebih banyak dibicarakan ketimbang dituliskan. Apapun persoalan dan 
peristiwa penting dalam hidup masyarakat diabadikan secara lisan sehinga segala 
sesuatu berakhir sampai di mulut.

Tak aneh bila peristiwa dalam sejarah perjalanan Minangkabau/Sumatera Barat tak 
banyak ditemukan tulisan, catatan, benda-benda, yang bisa berbicara fakta.  
Yang 
banyak justru dalam bentuk cerita atau kisah-kisah bahkan dongeng dan legenda. 
Ketika kemudian ingin mempelajarinya kembali, masyarakat tak punya bukti untuk 
mengungkap apa yang pernah terjadi.

Yang banyak meninggalkan bukti sejarah itu, benar atau tidak, justru penjajah 
Belanda. Sehingga, para ahli yang ingin merujuknya harus ke Negeri Belanda. 
Padahal dari catatan peninggalan Belanda itu sulit dipilah mana nilai kultur 
dan 
motivasi kepahlwan bangsa Belanda sebagai penjajah dan mana nilai kultur dan 
motivasi kepahlawanan bangsa sendiri. Gempa Padangpanjang tahun 1926 salah satu 
contoh. Gempa dahsyat saat itu kemudian bisa dikatakan semua orang tapi nyaris 
tak ada fakta atau sesuatu yang bisa berbicara menggambarkan bagaimana persis 
dahsyatnya gempa itu.

Peristiwa galodo di Sumatera Barat selama 30 tahun terakhir juga nyaris tak 
tercatat secara akurat. Sebut misalnya, galodo Pasir Laweh, di kaki  timur laut 
Gunung Merapi, Kabupaten Tanah Datar, tahun 1977 silam yang menghancurkan 
puluhan rumah dan belasan nyawa melayang. Begitu juga galodo Bukit Tui, 
Kelurahan Tanah Hitam, Padangpanjang, tahun 1985 yang menelan 145 jiwa.

Galodo Lubuk Basung yang meluluhlantakan belasan rumah dan ratusan hektar sawah 
sekitar tahun 1990, galodo hulu Batang Lolo yang memparakporanda Muara Labuh 
tahun 1995. Galodo Pasir Ampek Angkek tahun 1997. Terakhir galodo yang terjadi 
di Bukit Manguih, Malalak, 7 November 2008,  menewaskan enam warga, 
menghancurkan lima rumah dan 200 hektar sawah. Yang terakhir ini mestinya dapat 
diantisipasi, kalau memang jadi catatan dan dipelajari mengingat di tempat yang 
sama pernah terjadi peristiwa serupa tahun 1930 dan tahun 1979.

Pertistiwa gempa yang menguncang Sumatera Barat selama 12 tahun terakhir juga 
nyaris tak tercatat secara akurat. Mulai dari gempa Kerinci Mei 1996, gempa 
Bengkulu Februari 2000, gempa Mentawai 10 April 2005, gempa Tanah datar/ 
Padangpanjang dan Solok Maret 2007, kemudian gempa Mentawai 12 dan 13 September 
2007 yang mengguncang Padang dan Pariaman. Padahal khusus gempa 10 April 2005, 
gempa 13 September 2007 termasuk 30 September 2009 terjadi dengan keuatan dan 
waktu bersamaan, sekitar 7 dan 7,9 pada Sekala Rechter, terjadi sekitar pukul 
17.00 dan 17.30 sebuah indikator yang patut dicurigai untuk dipelajari.

Gempa pukul 17:16:10 Rabu 30 September 2009, tentu tak cukup diwariskan dengan 
tradisi lisan. Sebab, selain dahsyat manitudenya cukup luas. Gempa berkekuatan 
7,9 Skala Rechter itu meluluhlantakan Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, 
Kota Padang, sebagian Kabupaten Agam, Bukittingi, Pasaman Barat dan sebagian 
Pesisir Selatan. Sebanyak 1.117 nyawa melayang, 1.214 jiwa luka berat, 1..688 
luka ringan . Sebanyak 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang, 
78.604 rumah rusak ringan.

Maka, tugu/ monumen gempa 30 September 2009 yang dibangun Walikota Padang di 
Taman Melati itu tentu bukan untuk populartitas mengingat gempa itu sendiri 
sudah amat populer di dunia. Monumen itu selain untuk membangun tardisi tulisan 
juga meninggalkan catatan fakta sejarah. Kala semua bangunan sudah direhab atau 
diganti, ketika musim berubah dan jalan pikiran beralih dari monumen itu tentu 
bisa dibaca hikmah tentang banyak hal. Mungkin akan menggugah kearifan tentang 
ilmu teknologi, sosial budaya, keimanan dan ketaqwaan sehingga bermakna bagi 
kehidupan generasi mendatang. (*)

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke