Gempa yang Mengintai Jakarta 
By Wenseslaus Manggut, Zaky Al-Yamani, Agus Dwi Darmawan - Senin, 22 November
        * Kirim
        * Kirim via YM
        * Cetak
 Gempa di Selat Sunda 16 Oktober 2009 
VIVAnews - Masih lekat dalam ingatan Safarudin, saat Jakarta  diguncang gempa 
tahun lalu. Rabu, 2 September 2009, pukul  14.55 wib,  tukang ojek 27 tahun 
yang 
biasa mangkal di dekat Wisma Nusantara itu  terhenyak, ketika bumi yang 
dipijaknya bergoyang keras.
“Kreeek…kreeek,” bunyi itu terdengar dari atas, begitu keras di  tengah deru 
kendaraan yang lalu-lalang di sekitar Bundaran Hotel  Indonesia, yang mulai 
memadat. Safar menengadah ke langit, gedung-gedung  jangkung di sekelilingnya 
terlihat berayun-ayun seolah-olah hendak  rubuh menimpanya.
Belum selesai ia mencerna apa yang tengah terjadi, sekonyong-konyong  
orang-orang dari dalam gedung Wisma Nusantara terbirit-birit  berhamburan 
keluar 
gedung. “Gempa… gempa..” Tanpa pikir panjang lagi,  Safar melompat ke motornya. 
Ia pacu gas sekencang-kencangnya menyusuri  Jl Sutan Syahrir, menjauh dari 
rimba 
pencakar langit di pusat kota itu.
Tak jauh dari situ, Sianto Wongjoyo, salah seorang Manajer di Dell  Indonesia 
masih ‘terperangkap’ di kantornya yang berada lantai atas  Menara BCA Grand 
Indonesia Jakarta. Kantor Dell yang baru setahun pindah  ke gedung itu, memang 
terletak lumayan tinggi, yakni di Lantai 48 dari  57 lantai yang ada.
Saat kantornya mulai bergoyang, Sianto tengah rapat. Biasanya ia tak  terlalu 
sensitif terhadap gempa. Namun kali itu guncangan gempa cukup  besar untuk 
menyadarkannya. Lantai bergoyang, kaca-kaca kantor bergetar,  dinding-dinding 
berderak. “Kali ini harus saya akui, benar-benar hebat  guncangannya,” Sianto 
menggambarkan. 
Dengan sigap, petugas keamanan memandu para karyawan berkumpul di  lorong lift. 
Dalam hati, Sianto tak lepas berdoa. Menunggu cemas, hingga  akhirnya gempa 
berhenti. Sesaat kemudian, semua dievakuasi keluar  gedung, menyusuri anak 
tangga satu persatu. Jarak 48 lantai memang cukup  membuat lutut sedikit linu. 
“Lumayan capek sih.” Di bawah, ribuan  pengunjung dan karyawan yang berkantor 
di 
Grand Indonesia, Plaza  Indonesia, Wisma Nusantara, Hotel Nikko, sudah menyemut.
Jangan lupa, Jakarta juga masih punya sekitar 1400 gedung tinggi  lainnya. 
Praktis, aktivitas perkantoran di banyak tempat di Jakarta  lumpuh sesaat. 
Padahal, episentrum gempa saat itu berada di perairan  selatan Jawa antara 
Sukabumi dan Bandung, atau tepatnya di koordinat  7,809 derajat Lintang Selatan 
dan 107,259 derajat Bujur Timur.
Di Jawa Barat Gempa berkekuatan 7,3 SR itu merenggut setidaknya 79  nyawa, 21 
korban hilang, 63.717 rumah rusak berat, dengan perkiraan  kerugian lebih dari 
Rp 300 miliar. Sementara di Jakarta, tak ada korban  jiwa dan kerusakan yang 
berarti. Hanya saja, beberapa gedung mengalami  keretakan di sana sini. 
Setidaknya peristiwa itu mengingatkan semua  bahwa Jakarta bukan tempat aman 
dari ancaman gempa.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Profesor Riset Hery  Harjono, 
secara umum wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia  muda. Lapisan 
paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari  lempung dan lempung 
pasiran yang berasal dari endapan pantai dan endapan  akibat banjir yang 
berasal 
dari periode holosen akhir (berusia sekitar  12 ribu tahun).
Kemudian, di bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal  dari 
pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun).  Di bawahnya  terdapat 
endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar  2.588 juta 
tahun). Di bagian paling bawah terdapat batuan berumur  tersier (1,8 juta - 6,5 
juta tahun).
Ir Engkon K Kertapati, peneliti pada Pusat Survei Geologi – Badan  Geologi, 
mengatakan bahwa Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah  dan rentan 
terhadap guncangan gempa. Secara geologi, Jakarta terbagi  dua wilayah; Jakarta 
bagian utara di mana permukaan tanahnya merupakan  tanah lunak berusia holosen, 
dan Jakarta bagian selatan yang lapisan  tanahnya relatif lebih padat dan 
berusia lebih tua (pleistosen).
Bila gempa kuat terjadi, wilayah Jakarta utara paling rawan  mengalami proses 
likuifaksi alias amblasnya permukaan tanah karena  perubahan sifat tanah dari 
padat menjadi air karena gempa. Selain itu,  sifat tanah di wilayah utara itu 
juga akan merambatkan getaran gempa  sehingga mengalami amplifikasi atau 
perbesaran guncangan terhadap  gedung-gedung di atasnya.
Menurut Engkon, ini yang membuat Jakarta juga turut merasakan  guncangan gempa 
Tasikmalaya yang pusatnya berjarak hampir dua ratus km  dari Jakarta. Saat itu, 
wilayah Utara Jakarta mengalami amplifikasi  gempa hingga 2 kali, sementara 
wilayah selatan Jakarta mengalami  amplifikasi gempa sebesar 1,5 kali.
Oleh karenanya, ahli Gempa LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaya  mengatakan bila 
gempa Tasik bermagnitudo lebih besar, misalnya lebih  dari 8SR, maka gempa itu 
bisa memporakporandakan Jakarta. “Ini bisa  mematikan, seperti kejadian gempa 
di 
Meksiko tahun 1985,” kata Danny.  Saat itu, ia menjelaskan, sumber gempa 
berjarak lebih dari 300 km.  Namun, dengan kekuatan gempa sebesar 8,1 SR, gempa 
itu meratakan kota  Mexico City.
Badan survei geologi AS, USGS, menyebutkan, setidaknya 9.500 orang  tewas, 30 
ribu orang terluka, lebih dari 100 ribu orang menggelandang  karena rumah 
mereka 
hancur, 412 bangunan tumbang dan 3.124 bangunan  lainnya rusak di Mexico City, 
dengan jumlah kerugian mencapai US$ 3 – 4  miliar. 60 persen dari 
bangunan-bangunan di daerah lain seperti Ciudad  Guzman, Jalisco juga musnah.
Dari catatan Prof Masyhur Irsyam, pakar teknik sipil ITB yang juga  kepala tim 
revisi Peta Gempa Indonesia 2010, pusat gempa Meksiko terjadi  di bawah garis 
pantai Pasifik Meksiko. Episentrumnya berjarak 380 km  dari Mexico City.
Lalu kenapa jarak pusat gempa yang begitu jauh tetap bisa mengoyak  
bangunan-bangunan di Mexico City? Ternyata kota itu berdiri di atas  endapan 
lempung vulkanik yang berusia kurang dari 2.500 tahun. Ini  menyebabkan getaran 
gempa di permukaan tanah bisa mengalami amplifikasi  antara 4-5 kali, dan 
amplifikasi gempa pada bangunan bisa mencapai 21  kali lipat dari getaran di 
batuan dasar.
Di Jakarta sendiri, gedung-gedung yang dibangun, musti memenuhi  standar tahan 
gempa hingga 8 Skala Richter. Menurut Hermawan Sarwono,  Direktur Utama 
perusahaan kontraktor umum PT Insani Daya Kreasi,  gedung-gedung di Jakarta 
yang 
dibangun pasca 1989 sudah harus memenuhi  persyaratan struktur gedung dan 
kinerja struktur gedung sesuai dengan  Standar Nasional Indonesia 1989.
“Bahkan, standarisasi pembangunan gedung pada 2002, ditingkatkan  lagi melalui 
SNI 03-1726-2002 yang jauh lebih ketat dari standar SNI  1989,” kata Hermawan 
lagi. Namun, kata Masyhur, ada beberapa tahapan  yang perlu dilewati dalam 
sebuah perencanaan bangunan di Jakarta agar  tahan gempa.
Pertama, harus diketahui goyangan atau percepatan di batuan dasar.  Angka ini 
bisa diperoleh dari Peta Gempa Indonesia 2010, di mana  percepatan di batuan 
dasar (Peak Base Acceleration/ PBA) Jakarta adalah  0.19 g (g = gravitasi bumi 
= 
981 cm per detik kuadrat)  untuk 10 persen  kemungkinan terjadinya dalam 50 
tahun dan untuk perioda ulang gempabumi  475 tahunan.
Setelah itu, perlu diketahui pula percepatan di permukaan tanah  dengan 
menghitung efek kondisi tanah setempat, misalnya apakah tanah  lunak atau tanah 
keras. Untuk Jakarta, goyangan di batuan dasarnya bisa  saja sama, namun 
goyangan di permukaan tanah Jakarta Utara dan Jakarta  Selatan berbeda, karena 
perbedaan tanahnya.
Yang terakhir, perlu diperhitungkan goyangan di bangunannya sendiri,  yang 
didasarkan pada perilaku bangunan tersebut. "Dengan mengetahui  goyangan pada 
bangunan, maka dapat dihitung besarnya gaya gempa pada  bangunan,” kata Masyhur.
Padahal, hingga kini Jakarta masih belum memiliki peta mikrozonasi  gempa, yang 
bisa secara lengkap menyediakan informasi peta kelabilan  tanah, termasuk angka 
percepatan/ goyangan di permukaan tanah di  masing-masing wilayah Jakarta. 
“Sayangnya di Jakarta kita tidak punya,”  kata Masyhur.
Padahal, Jakarta diintai oleh beberapa sesar aktif yang siap  ‘menyuplai’ 
getaran gempa yang bisa sampai ke wilayah Jakarta. Di  antaranya adalah Sesar 
Cimandiri dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan  kecepatan pergerakan tanah 4 mm 
per 
tahun, sesar Lembang dengan  magnitudo gempa 6,5 SR dan kecepatan pergerakan 
tanah 1,5 mm per tahun,  dan Sesar Sunda dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan 
kecepatan pergerakan  tanah 5 mm per tahun.
Belum lagi rumor adanya sesar purba bernama Sesar Ciputat yang konon  terbujur 
dari Ciputat hingga ke daerah Kota. Danny Hilman mencurigai  keberadaan sesar 
ini dari keberadaan sumber mata air panas di sekitar  Gedung Arsip Nasional. 
Meski patahan aktif Jakarta belum terdeteksi,  kata Danny, sejarah mencatat 
gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta  yaitu gempa yang terjadi pada 1699 
dan 1852.
Namun, tak semua setuju dengan indikasi keberadaan sesar di Jakarta.  “Secara 
pribadi saya katakan  Sesar Ciputat tidak ada,” kata Engkon.  Sebab, Jakarta 
tak 
memiliki sumber gempa dangkal yang merupakan indikasi  dari kegiatan sesar. 
Namun, Engkon sepakat dengan Danny mengenai  kejadian gempa 1699 yang sempat 
mengguncang Jakarta.
Gempa tahun 1699, kata Engkon berpusat di selatan Gunung Gede, yang  
menyebabkan 
terjadinya kerusakan bangunan dan kerusakan parah di sekitar  Hanjawar, Puncak. 
Sir Thomas Stamford Raffles juga mencatat dalam  bukunya History of Java, 
"Gempa 
1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi.  Lumpur itu menutup aliran sungai, 
menyebabkan kondisi lingkungan tak  sehat, kian parah.”
Menurut buku Encyclopedy of World Geography, gempa ini juga  menyebabkan Sungai 
Ciliwung tertutup oleh longsor lumpur, dan  pohon-pohon yang bertumbangan, 
sehingga terjadi banjir di banyak tempat.  Tak sampai seabad kemudian, gempa 
kembali melanda Jakarta pada 1780.
Sebuah Buku berjudul Transits of Venus: New Views of the Solar  System and 
Galaxy mencatat bahwa Observatorium Mohr yang terletak di  Batavia, adalah 
observatorium yang sukses melaporkan beberapa kejadian  Transit of Venus 
(kondisi saat Matahari Venus dan bumi dalam satu  garis). Namun, observatorium 
tersebut  hancur akibat gempa tahun 1780.
Pada 27 Agustus 1883, Jakarta kembali diguncang gempa besar akibat  letusan 
Gunung Krakatau yang memicu tsunami 35 meter dan menewaskan 36  ribu jiwa di 
Jawa bagian barat, dan sebelah selatan Sumatera. Dari  catatan-catatan sejarah 
tadi, Jakarta memang pernah beberapa kali  mengalami gempa hebat.
Yang jelas, kata Engkon, ancaman bagi penduduk Jakarta adalah  gempa-gempa 
dangkal yang bersumber dari Jawa Selatan yakni dari arah  zona Subduksi 
(Megathrust) seperti gempa Tasik. Kerentanan Jakarta akan  semakin parah bila 
daerah-daerah tesebut padat penduduk dan  bangunan-bangunannya tidak atau 
kurang 
memperhatikan aspek bangunan  tahan gempa.
Oleh karenanya, Engkon menyarankan agar Jakarta bersiap sebelum  bencana tiba, 
khususnya Jakarta Utara. Pasalnya, di wilayah ini berbagai  infrastruktur 
penting berdiri, dari mulai pelabuhan, kegiatan ekspor  impor, transportasi, 
daerah wisata, sentra-sentra perdagangan juga   peninggalan sejarah. ”Sebab, 
bagaimanapun juga, gempa bumi tidak akan  membunuh manusia. Tapi, bangunan 
roboh 
lah yang bisa membunuh manusia,”  kata Engkon.
 
 



________________________________


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke