Rabu, 25 Agustus 2010 | 03:08 WIB

M Jusuf Kalla

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/25/03084877/jakarta.mestinya.tidak.sema
cet.ini

Sebagai Wakil Presiden selama lima tahun (2004-2009), saya sungguh menikmati
kenyamanan menyusuri jalan-jalan padat di DKI Jakarta dan sekitarnya. Semua
jalan yang akan saya lalui sudah dibersihkan sehingga mobil yang saya
tumpangi melaju tanpa macet sama sekali.

Tentu saja saya melihat macet yang pekat di kiri dan kanan jalan. Saya ikut
memberi solusi, tetapi sejauh ini belum memberi hasil optimal. Ketika
menyelesaikan tugas sebagai Wapres, sejumlah teman langsung bergurau,
"Selamat menikmati indahnya kemacetan Jakarta."

Saya terbahak dan segera membuktikan ucapan itu. Saya keluar rumah dan
langsung berenang di lautan macet Jakarta yang mustajab. Walau macet di
jalan, perjalanan saya sedikit lancar karena masih ada mobil polisi yang
mengawal. Pemandangan yang tersaji di depan mata memang sangat hebat. Terasa
benar bahwa Jakarta jauh lebih macet dibandingkan dengan sebelum era 2004.

Dua cobaan

Tahun 2010 saya merasakan kemacetan Jakarta dan sekitarnya. Keadaan jadi
absurd. Seorang teman bertutur. Berdomisili di Bekasi, ia berangkat menuju
kantornya di kawasan Senayan rata-rata pukul 04.45. Ketika meninggalkan
rumah dengan mobil, istrinya masih belum mandi sebab sibuk memandikan
anaknya dan menyiapkan sarapan. Ketika semua tugas itu tuntas dan anaknya
sudah berangkat ke sekolah, istrinya mandi dan bergegas menyusulnya dengan
ojek. Ternyata istrinya masih bisa menyusul teman ini tak jauh dari pintu
tol.

Ia baru tiba di kantornya pukul 07.45. Praktis ia menghabiskan waktu tiga
jam di mobil, lebih kurang sama dengan perjalanan pesawat terbang
Jakarta-Manado. Tiba di kantor, ia kehilangan sebagian energi. Banyak yang
terkuras. Lalu dengan kondisi ini, bagaimana ia bekerja optimal? Pulang
kantor ia juga butuh lebih kurang tiga jam di jalan. Di rumah, waktu dia
untuk bercanda dengan anak istri sudah sangat sempit. Yang tinggal lelah
saja.

Berpuasa di Jakarta punya dua cobaan. Yang pertama, puasa itu sendiri, yang
kedua upaya pulang ke rumah untuk berbuka. Di bulan Ramadhan ini sebagian
warga Jakarta membawa air minum dan kurma di mobil. Bila tiba waktu berbuka
puasa, dan masih berada di laut macet Ibu Kota, ia bisa berbuka dengan
minuman itu sambil makan kurma. Sebagian rekan berusia lanjut, yang
kadang-kadang tak dapat mena- han kencing ketika berhadapan dengan macet
yang parah, membawa botol kosong. Siap kencing di mobil kalau sudah kebelet.
Terasa benar, lama-lama kota ini tak manusiawi. Warganya dipaksa menghadapi
kenyataan tak mengenakkan.

Tak kurang dari enam triliun rupiah terbuang percuma per tahun di Jakarta
karena warga terhadang macet. Angka sebesar itu berasal dari hitungan
sederhana atas pembuangan bahan bakar secara sia-sia saban hari dan waktu
yang hilang, belum lagi produktivitas yang menurun tersebab lelah di jalan.
Bikin janji bertemu di Jakarta sudah mulai sulit tepat waktu.

Kemacetan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya memang dilema. Kemacetan ini
patut diakui sebagai salah satu dampak kemajuan. Warga punya daya beli mobil
dan sepeda motor. Pembangunan gedung pencakar langit, pusat belanja, dan
sentra hunian baru tampak di mana- mana. Masalahnya, pemerintah tak bisa
mengimbangi kecepatan pertumbuhan mobil dan sepeda motor itu dengan
membangun infrastruktur memadai, khususnya jalan dan pengangkut umum.

Dalam pengalaman, kemacetan akan mempercepat kemacetan baru. Dulu satu
keluarga mampu masih bisa dengan satu mobil untuk dipakai ayah, ibu, dan
antar anak-anak ke sekolah. Namun, karena kemacetan, keluarga mampu harus
punya tiga mobil untuk masing-masing. Kalau semua mobil itu berada serempak
di jalan, maka kemacetan akan cepat sekali bertambah. Karena itu, kebijakan
3 in 1 tetap penting. Begitu pula pajak progresif untuk mobil kedua dan
seterusnya perlu diterapkan lagi, tetapi dengan syarat transportasi umum
terus ditingkatkan.

Sejauh saya amati, setiap gubernur DKI Jakarta berupaya bangun
infrastruktur. Almarhum Ali Sadikin sangat sibuk melebarkan jalan dengan
memotong pagar rumah dan bangunan, yang kemudian diikuti banyak kota di
Indonesia pada waktu itu: membuka akses baru, membangun jalan layang, dan
mendirikan infrastruktur di kawasan permukiman padat. Ali Sadikin bahkan
sudah mencita-citakan pembangunan mass rapid transport, tetapi terbatasnya
anggaran membuat ia tak memiliki energi cukup untuk merealisasikannya.

Pada era Sutiyoso, ada upaya keras mengatasi kemacetan lalu lintas. Ia
membangun jalur khusus bus yang fenomenal hingga kini. Ia pun nyaris membuat
sejarah dengan membangun monorel. Sayang, upaya ini kandas di tengah jalan.

Menunggu Fauzi Bowo

Kini kita menunggu gebrakan Fauzi Bowo. Gubernur pengganti Sutiyoso ini
sibuk dengan upaya penertiban di DKI. Ia pun berupaya merealisasikan MRT.
Dengan MRT, penduduk yang berada di jalan berkurang karena berada di kawasan
kereta cepat dan massal itu. Kita juga menunggu Fauzi Bowo dapat
merealisasikan proyek monorel yang bertahun-tahun tertunda.

Sebetulnya proyek monorel ini jauh lebih mudah. Kalau masalahnya pada
anggaran, mestinya itu bisa segera diatasi. Semasa saya Wapres, pembiayaan
sebenarnya sudah teratasi dengan kesediaan bank dari Dubai mendanai investor
dengan syarat ada jaminan pemerintah. Pemerintah pusat setuju menjamin
setelah biaya proyek diturunkan dari 800 juta dollar AS menjadi 500 juta
dollar AS dengan lebih banyak pakai produksi dalam negeri, setelah diskusi
lama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Presiden Susilo Bambang Yu-
dhoyono juga menyatakan persetujuannya.

Karena itu proyek DKI, maka harus ada jaminan balik dari pemprov dan
persetujuan DPRD DKI. Namun, agaknya antara pemerintah provinsi dan DPRD
belum tercapai kesesuaian pandangan ihwal ini sehingga proyek berhenti di
jalan. Tinggallah pilar-pilar monorel jadi monumen baru kota, jadi proyek
terkendala justru karena masalah teknis di DKI sendiri. Sekiranya pemda dan
DPRD setuju waktu itu (2008), monorel sudah beroperasi sekarang dan pasti
dapat mengurangi kemacetan.

Monorel adalah pilihan yang tepat dan cepat dewasa ini karena tak perlu
pembebasan lahan ser- ta tetap mengikuti jalur jalan yang ada dan tak
mengurangi luas jalan seperti busway. Saat banjir pun tak masalah sebab
justru akan jadi pilihan karena tinggi. Monorel ini andalan banyak kota di
ASEAN: Kuala Lumpur dan Bangkok.

Sambil menunggu proyek besar itu terlaksana, saya menggugah Pemprov DKI
segera membangun beberapa proyek dengan cepat. Katakanlah membangun beberapa
jalan layang di beberapa pusat macet. Lalu lebih mengoptimalkan busway.
Tambah bus dalam jumlah banyak! Satu jalur busway mengambil lebih kurang 25
persen lebar jalan. Mestinya, dengan pengambilan areal itu, bus di jalur
khusus ini mampu mengangkut banyak penumpang. Kalau jalan tersebut biasanya
mengangkut satu juta penumpang per hari, maka bus ini mestinya mampu
mengambil lebih dari tiga kali lipat dari jumlah itu. Kalau ini belum
tercapai, berarti jumlah bus harus ditambah dan kapasitasnya sendiri mesti
lebih besar. Jalur busway harus steril dari kendaraan lain.

Semua pengangkut umum harus dibiayai oleh pemerintah dan masyarakat sendiri.
Kalau subsidi pemerintah tak cukup, maka tarif harus disesuaikan sehingga
bus jalur khusus ini dapat lancar dan terjaga kelangsungannya serta
pengembangannya. Karena sudah mengambil jalan umum, maka kalau tidak
maksimal, bus ini justru mengurangi kepentingan umum.

Tentang tarif, saya setuju dengan pendapat bahwa tarif bus jalur khusus ini
harus dinaikkan. Tarif sekarang yang Rp 3.500 mestinya dinaikkan ke angka
yang bisa diterima secara ekonomi: sebutlah Rp 5.000, sama dengan tarif ojek
jarak dekat. Para pengguna bus ini, saya yakin, bisa mengerti sebab
penambahan tarif ini pada ujungnya akan membuat pemprov dan investor berdaya
menambah jumlah bus dan menjaga layanan.

Produk dalam negeri

Mempercepat pembangunan MRT sangat penting walau tak mudah karena kita harus
mengatasi sistem drainase Jakarta yang tak baik, yang selalu banjir. Begitu
pula pembebasan lahan yang sulit serta mahal dan baru efektif kalau jaringan
MRT meliputi sebagian besar kota. Selama pembangunan pasti kemacetan
bertambah, tetapi itu jangan jadi halangan. Yang harus diperhatikan:
pembangunan harus melibatkan kontraktor dan produk dalam negeri dengan biaya
yang lebih efisien.

Mengenai wacana memindahkan ibu kota ke kota lain agar kemacetan Jakarta
berkurang, saya kurang sependapat. Bagi saya, sungguh tak mudah memindahkan
ibu kota. Jangan bandingkan dengan Malaysia dan Australia yang penduduknya
cuma 20 juta jiwa dan areal terbukanya sangat luas.

Tak layak pula membuat perbandingan dengan negara yang ibu kotanya bukan di
pusat bisnis, seperti AS (Washington DC), India (New Delhi), Australia
(Canberra), Malaysia (Putra Jaya Kuala Lumpur), Brasil, dan Pakistan.
Semuanya negara federal, sedangkan negara kesatuan seperti Indonesia,
Jepang, Perancis, dan Thailand pada umumnya beribu kota di kota besar.
Negara federal umumnya mendirikan ibu kota sendiri yang tak terletak di
salah satu negara bagian sehingga lebih netral. Di samping itu, pada negara
federal urusan bisnis dan birokrasi lainnya memang wewenang negara bagian.

Hal sangat penting yang perlu segera dipercepat ialah pembangunan rusunami
agar rakyat kebanyakan hidup lebih nyaman di rumah susun yang lebih sehat
dan hidup dekat tempat pekerjaan sehingga tak perlu banyak kendaraan di
jalan yang menambah macet. Sangat disayangkan, Pemda DKI justru kurang
tanggap, justru menyegel pembangunan rusunami yang telah berjalan sehingga
semangat pengembang menyusut.

Janganlah membiarkan kehidupan di DKI ini terlalu timpang. Izin apartemen
mewah kelihatan lebih mudah dibandingkan dengan rusunami. Iklan perumahan
mewah yang terus-menerus akan menciptakan dampak sosial yang berbahaya
apabila kampung-kampung atau sepanjang Ciliwung tak diperbaiki.

Pemerintah pusat dengan keputusan presiden telah memberi izin dan setuju
semua tanah pemerintah dan BUMN di DKI bisa dibangun rusunawa dengan harga
Rp 1 juta per meter persegi dan dengan bunga yang disubsidi. Sangat
disayangkan juga bahwa pengembang boleh membangun terus rumah mewah tanpa
wajib bangun rumah sederhana. Pemda DKI harus lebih kritis dan melihat ke
depan, bukan justru menyegel dan tidak peduli. Kalau dibangun banyak rumah
susun, berarti dapat ditambah akses jalan dan juga taman yang hijau untuk
rakyat kurang mampu.

Tak harus macet

Ibu kota sekaligus kota besar tidak selalu macet selama diatur dengan baik.
Lihatlah Tokyo dan London. Bangkok pernah macet hebat, tetapi setelah
dibangun jalan layang dan monorel ia menjadi lebih baik. Begitu pula kota
besar yang bukan ibu kota juga tidak dijamin tanpa macet. Surabaya, Bandung,
Makassar dan Medan, juga Mumbai di India sudah macet karena pertumbuhan yang
cepat. Jadi, kemacetan bukan karena ibu kota, tetapi kecepatan mobilitas tak
sebanding jalan.

Hal lain: memindahkan ibu kota hanya mengurangi sedikit penduduk. Pegawai
pemerintah pusat yang pindah mungkin sekitar 200.000 orang lebih, 5 persen
dari jumlah pegawai negeri sipil. Masalahnya, kita mesti membangun
infrastruktur baru, kantor baru, perumahan, dan sebagainya. Anggarannya bisa
mencapai ratusan triliun rupiah.

Yang pindah tentu bukan hanya kantor kementerian, tetapi juga semua aparat
yang terkait, seperti markas TNI, Kepolisian, Kejaksaan, DPR, MA,
komisi-komisi, dan sebagainya. Membangun kantor tambahan DPR di Senayan saja
butuh Rp 1,8 triliun. Bayangkan kalau membangun kompleks Senayan baru di
tempat lain. Belum lagi istana.

Walaupun sebagian biaya bisa diperoleh kalau semua kantor pemerintah itu
dijual ke swasta, itu berarti pada kemacetan tak ada perubahan karena kantor
itu tetap sibuk. Lebih baik dana yang besar itu dipakai untuk membangun
infrastruktur di Jakarta dan di daerah serta pusat bisnis baru, pendidikan,
hiburan yang tersebar di kota-kota lain sehingga kegiatan yang tersebar ke
daerah-daerah menimbulkan daya tarik baru, keadilan, efisiensi, serta
lapangan kerja yang lebih merata dan kemakmuran yang lebih baik untuk
seluruh bangsa tanpa harus bertumpuk dan macet di Jakarta

M JUSUF KALLA Wakil Presiden (2004-2009)

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Reply via email to