Sketsa uda Iwan Piliang beberapa hari lalu di kompasianan tentang Almarhum.
Uda iwan juga salah satu member RN yang tidak begitu aktif duduk di palanta.

Oleh: Iwanpiliang | 11 April 2011 | 12:49 WIB 

Wartawan senior Rosihan Anwar kini dirawat di rumah sakit. Usia telah membuat 
fsisiknya kini renta. Namun integritas dan kepribadian serta kegigihannya 
membaca, tauladan bagi  semua wartawan, juga bagi masyarakat luas.

Di menjelang pukul 06 pagi  pada 11 April 2011. Bubu, cocker spaniel berbulu 
coklat, anjing peliharaan kami seakan paham bahwa tuannya ingin mampir di rumah 
nomor 13, Jl Surabaya, Jakarta Pusat. Dia menuntun saya menghampiri rumah 
kediaman Rosihan Anwar, wartawan senior, kini sedang terbaring sakit di RS 
Harapan Kita. Tak terasa, sudah lima hari ini kami tinggal bertetangga berjarak 
tiga rumah saja.

Sebuah palem botol  dua kali tinggi orang dewasa, batangnya tak lagi gemuk  ke 
tengah. Tujuh daun di bagian atas mengkerut ciut. Di bawah pelepah kecil, 
butiran buah, bakal palem baru, bermunculan. Seakan  mewartakan  bahwa generasi 
baru harus mengambil peran melanjutkan hidup dan kehidupan.

Saya bertanya kepada seorang pemuda berpakaian batik printing merah putih 
tampak merawat taman kediaman Rosihan.  Apakah Pak Rosihan masih sakit?

“Masih Mas. Ia masih  dirawat di rumah sakit Harapan Kita.”

“Sudah berangsur membaik.”

Majalah TEMPO 14-20 Maret menulis Memoar tentang Rosihan.  Di wawancara itu 
terlihat sekali bagaimana Rosihan kini sudah sulit berbicara panjang. Beberapa 
kali wawancara TEMPO, harus terhenti, karena Rosihan harus menghirup oksigen 
selalu tersedia di kediamannya.

Di saat membaca TEMPO,  ingatan saya melayang kepada  wartawan senior TEMPO, 
almarhum Budiman S. Hartoyo.  Sosok Budiman berbadan kecil,  seukuran badan 
Rosihan, lebih muda, sudah duluan berpulang pada 11 Maret 2010 lalu. Rosihan 
yang acap menulis obituari tidak sempat menuliskan sosok Budiman. Saya menulis 
Sketsanya.

Saya masih ingat ketika enam tahun lalu berdua Budiman sowan ke Rosihan.  
Sebagai pendiri Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), 
Budiman, mengenalkan saya  yang menjabat Ketua Umum kala itu.

Kami berbincang tentang penyakit wartawan di era reformasi kini.

Kepada dua orang sosok senior itu, saya menghinakan diri saya  suka salah 
menulis ejaan. Terkadang di menyatakan tempat masih saya tulis  dimuka, 
seharusnya di muka.

Lebih parah lagi,  kerendahan hati membaca, sebelum menulis juga kurang. 
Akibatnya, menulis menjadi datar, pengetahuan menjadi mediocare. Di era digital 
pula,  berita instan menggila. Akibatnya kemampuan reportase, khususnya dalam 
mendeskripsi,  vital mengantarkan seseorang menjadi penulis feature bahkan 
literair handal,  bukan lagi syarat mutlak.

Kenyataan ini menjadi suatu pengingkaran; mengingat medium online mampu 
menampung beribu kata dalam satu naskah; dapat sebagai ujian menulis  penulis, 
agar pembaca berminat  terus mengikuti tulisan hingga habis.

Belum lagi kemampuan berbahasa asing. Sosok seperti Rosihan menguasai lebih 
dari tiga bahasa asing. Ini terjadi akibat  sistem pendidikan di jaman Belanda, 
mengharuskan siswa menguasai lebih dari satu bahasa asing. Selain Belanda, 
Inggris, Jerman, bahkan latin.

Kini bahasa Inggris saja saya pah-poh. Apatah pula berbahasa Belanda, Jerman, 
Perancis. Sehingga berdiri di depan rumah Rosihan pagi ini: saya seakan 
dicibirkan oleh palem botol yang daunnya dikibas angin.

Wartawan juga sosok gaul.  Dengan pergaulan, mengantarkannya memiliki wisdom 
tentang kehidupan; karena ia berada di masyarakat dari berbagai lapisan. 
Wartawan harus mencium anyir got butek di Jl. Surabaya, menuliskannya, bertanya 
ke Pemda DKI, mengapa hingga kini got-got di Jakarta mampet? Bukankah surga di 
mana air mengalir?

Bertanya adalah satu tugas wartawan.

Kerendahan hati bertanya, mengantarkan kepada pengumpulan fakta, data, cerita 
apa adanya.

Masih ingat obrolan kami bertiga  bagaimana wartawan harus tetap menjaga 
integritasnya, tidak menerima uang dari sumber berita.  Baik amplop apalagi 
transfer ke rekening.

“Yang lebih memprihatinkan saya, wartawan kini menganut jurnalisme ludah,” ujar 
Budiman kala itu

“Artinya tidak melakukan verifikasi, verifikasi dan verifikasi, asal kutip.”

Di ranah wawasan bermasalah.  Kerja instan. Menerima angpao menjadi target: 
itulah setidaknya kongklusi  penyakit wartawan yang sempat kami bahas.

Hari ini, penyakit itu  tidak kian berkurang.

Di banyak daerah wartawan sudah menjadi bagian kekuasaan. Sebaliknya  jika 
mereka  berbuat dengan idealisme pers, fisik wartawan,  berhadapan  dengan 
ancaman kematian. Tuntutan hidup; keadaan lapangan; membuat  wartawan sejati 
seperti sosok Rosihan, bagaikan barang langka.

Entah karena kelangkaan itulah, agaknya, Rosihan bersikukuh membela para 
pedagang barang antik di sepanjang ruas Jl Surabaya agar tidak diugusur Pemda. 
Walaupun kekerapatan warga, umumnya pendatang baru, pernah berencana 
mengusulkan menggusur pedagang barang antik  kawasan itu, agar property  
mereka  bernilai lebih tinggi harganya.

Saya pernah menulis Sketsa mendukung sikap Rosihan  terhadap pedagang barang 
antik itu. Di ranah kehidupan kini  segalanya ditakar  dengan materi, kemuliaan 
hidup, kabajikan, wisdom seakan tak bernilai.

Hingga pada kata wisdom itulah  jika kawan-kawan bertanya soal mengapa kalimat 
pejabat publik termulia di negara, seperti kalimat Ketua DPR Marzukie Ali, acap 
melukai hati warga yang mendengar?

Saya dengan sederhana menjawab: Bapak ketua DPR itu sosok yang pintar 
bersekolah, hingga master bahkan kini  doktor (atau paling tidak mempersiapkan 
gelar doktor). Ia anak orang berada. Bisnis  pribadinya pun sempat maju. Lalu 
ia masuk partai politik. Tiada yang kurang.

Lantas di mana minornya? Di bahasa saya, Ketua DPR itu kurang gaul. Ia tidak 
acap berdiskusi dan merasakan variasi dan manca-ragam ranah kehidupan. Ia belum 
pernah merasakan bagaimana sulitnya mencari seliter beras untuk dimakan hari 
ini.

Jika ranah kehidupannya, cuma kampus, rumah, lalu mutar begitu rutin, akibatnya 
hidup  kurang berwarna. Sehingga giliran beropini, kehilangan rasa, apakah kata 
dan kalimat yang diucapkan pantas dan patut. Di sinilah inti persolan.

Sehingga bagi Rosihan, sosok wartawan adalah makhluk yang hidup dan 
berkehidupan  sangat berwarna.  “Bila tidak bagaimana pula dia mewarnai 
kehidupan publik menuju meningkatnya mutu peradaban?” tegas Rosihan.

Maka ketika membaca TEMPO yang memuat memoarnya, saya menyimak penuturannya 
ketika  7 Juli 1949 menjemput Panglima Besar Soedirman bersama Letkol Soeharto. 
Ia deskripsikan bagaimana perjalanan bersama Land Rover yang disetir Soeharto 
yang diam sepanjang perjalanan.  Seingat Rosihan, Soeharto hanya mengucapkan 
kata, “Ayuk minum degan.” Soeharto menawarkannya minum kelapa muda.

Yang tidak dituliskan TEMPO ihwal itu adalah, bagaimana penuturan Rosihan di 
bukunya, bahwa, sesampai di Jogja, ia melihat sosok pejabat seperti Soeharto 
sudah berbaju putih baru, sementara  Soedirman turun dari gerilya dengan baju 
yang sama. Sama degan ketika dia berangkat bergerilya.

Maka sesuai dengan penuturan cucu pertama Soedirman, Ganang Soedirman kepada 
saya, Rosihan pernah menulis bahwa, “Panglima Soedirman sosok yang jujur pada 
sejarah. Ia pulang dan pergi dengan baju yang sama.”

Maksud  kalimat Rosihan itu adalah, Panglima Besar itu tetap sosok manusia 
biasa, Jenderal rakyat yang merakyat.

Hingga kalimat inilah saya menilai, sikap kerakyatan itu yang kini seakan 
hilang di lintas ranah birokrasi dan trias politika kita. Sampai pada kongklusi 
ini, Bubu anjing tua kami, barulah  beranjak dari pagar besi abu-abu kediaman 
Rosihan, sosok langka sosialis, peduli pada human dignity.  Dalam skala 
kepedulian sosial itu, secara fisik  kini rasanya saya kian dekat saja dengan 
Rosihan.***

Narliswandi (Iwan) Piliang, blogger literair, maju untuk  Pilgub DKI 2012, di 
jalur independen

http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2011/04/11/sketsa-rosihan-sakit-dan-penyakit-wartawan/

Wassalam
Nofend/34+ CKRS

Sent from Bus AKAP®

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Reply via email to