Bab III Menghadapi Perang Global (1) 

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka 
berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu 
beruntung." (al-Anfal:45). 
 
A. Persatuan Umat (Ittihadul-Ummah) 
 
Entah, bahasa apa yang dapat membekas di hati 
kita agar memahami makna dan pentingya persatuan umat (ittihadul-ummah). 
Kepedihan 
sejarah yang mendera umat Islam selama ini dikarenakan hilangnya harga diri 
(muru'ah) 
terhadap persatuan. Dan kalau ada, keinginan tersebut seringkali hanyalah 
sekedar 
pemanis pidato dan retorika. Nurani terasa bergetar setiap mendengarkan gelora 
para 
mubaligh cerdik yang "menggelitik" agar kita mau melepaskan segala kebanggaan 
terhadap suatu golongan ('ashabiyah) dan menggantinya dengan "jubah" jamaah: 
satu 
komando (imamah), satu jamaah, satu harakah. Sesekali iman terasa segar karena 
mendengarkan firman Allah:
 
 "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka 
itulah 
orang-orang yang akan mendapat siksa yang berat." (Ali Imran: 105) 
 
Akan tetapi, 
alangkah sedihnya nasib persatuan umat. Alangkah berdukanya pelita 
persaudaraan. 
Seruan dan untaian ayat tersebut bagaikan angin lalu. Sesaat angin berhembus 
penuh 
harapan, lalu diam. Mereka pun kembali asyik dengan dirinya sendiri, golongan, 
dan 
mazhabnya masing-masing. Seakan-akan, mata hati dan pendengarannya telah buta 
dan 
tuli untuk melihat dan mendengarkan jeritan umat yang tercabik oleh angkara 
zionis 
Yahudi dan kaum kafir yang "melahap" hampir seluruh pori-pori tubuh umat yang 
mengaku 
beragama Islam. Lantas, bahasa seperti apakah yang paling memukau dan 
menggerakkan jiwa untuk membuat kita mengerti. Padahal, betapa di luar tempat 
ibadah 
masih terlalu banyak persoalan umat. Betapa di lapangan kehidupan nyata, jiwa 
umat 
tercabik dan terkoyak serta kehilangan arah dan panduan. Bagaikan tidak 
mengenal kata 
"kapok", para pemimpin umat tidak pernah ingin "meleburkan" dirinya dalam satu 
barisan 
dan bangunan yang kokoh, yaitu jamaah. Kalau saja kita mau merenung dengan hati 
seorang yang tulus dan ikhlas secara mendalam. Apalah artinya partai, golongan, 
dan 
organisasi, kalau semua itu hanya dijadikan sekadar alat dan bukanlah tujuan. 
Kalau saja 
kita memang bergemuruh ingin menjayakan Islam dan umatnya, lantas beban apakah 
yang paling berat untuk melepaskan atribut, ketua, pemimpin, atau apa pun 
jabatan 
organisasi demi persatuan umat. 
   Kiranya, kita masih membutuhkan lebih banyak 
negarawan yang berpihak kepada umat keseluruhan dan tidak cukup sekadar 
menapakkan wajah politisi yang hanya mempunyai ambisi memenangkan partai atau 
golongannya. Sindiran Rasulullah SAW yang mengatakan umat Islam yang banyak 
tetapi 
bagaikan buih yang tidak lagi menggugah jiwa. Kebanggaan kelompok dan sikap 
egois 
telah membuat kita terpecah bagaikan makanan yang terhidang nikmat untuk 
diperebutkan orang-orang lapar. Memang kelihatannya kita sama-sama bekerja, 
padahal 
tidak pernah mau bekerja sama. Kalau ada, itu pun hanya sekadar simbol. Tidak 
pernah 
sampai pada tujuannya yang paling substansial. Umat merintih pedih karena kita 
tidak lagi 
mempunyai khilafah. Wajah umat mengharu-biru karena tidak ada lagi arah dan 
tempat 
mengadu. Ketika sepatu laars tentara zionis menapakkan kakinya di hamparan 
kehidupan, mengepulkan asap, dan debu-debu kemenangan, juga merampas dan 
memburu diri kita yang terpenjara dalam "strategi 9F": 1. Finance/fund 
(keuangan), 2. 
Food (makanan), 3. Film (film), 4. Fashion (busana), 5. Fun (kesenangan), 6. 
Fiction 
(khayalan), 7. Faith (kepercayaan), 8. Friction (perpecahan), dan 9. Fitnah.
  Kita semua 
bagaikan terkena hipnotis, tidak berdaya, bahkan tanpa perasaan berdosa sedikit 
pun, 
berpura pura menyambutnya dengan penuh antusias. Dari hari ke hari, perangkap 
itu 
semakin mengikat, membelenggu cara berpikir, bahkan cara berbudaya yang 
menyebabkan kita lupa dengan firman Nya:
 
 "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu 
mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan 
mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (Ali Imran: 100)
 
Peringatan Allah tidak lagi menggetarkan nurani kita, tidak juga jiwa para 
pemimpin umat 
yang seharusnya dengan gigih tidak mengenal lelah memperjuangkan cita-cita 
luhur 
memenuhi seruan Ilahi yang dengan sangat jelas menyerukan kepada terwujudnya 
persatuan umat (ittihadul ummah). Rasulullah SAW bersabda, "Aku wasiatkan 
kepada 
kalian (agar mengikuti) para sahabat kepada generasi berikutnya, kemudian 
kepada 
generasi berikutnya. Kalian harus berjamaah. Waspadalah terhadap perpecahan, 
karena 
sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian. Dia akan lebih jauh dari dua 
orang. 
 
Barangsiapa menginginkan bau wangi surga maka hendaklah tetap teguh dengan 
jamaah." (HR at-Tirmidzi). 
 
Dalam hal ini, jelaslah bahwa wasiat Rasulullah saw telah 
diabaikan dan diganti oleh sebagian umat dengan mengangkat benderanya masing 
masing dengan penuh kebanggaan. Sungguh mustahil apabila ada anggota partai 
atau 
golongan yang tidak mempunyai kebanggaan terhadap partai atau golongannya. 
Sebab 
apabila tidak, berarti mereka termasuk seorang anggota yang tidak memiliki 
loyalitas, 
menurut rekan-rekan separtai atau segolongannya walaupun sering kita mendengar 
berbagai alasan rasional dari para anggotanya, bahwa partai dan golongan 
hanyalah 
sekadar alat dan siasat. Untuk itu, ada baiknya sesekali kita merenungkan ayat 
dan 
hadits tentang jamaah dan persatuan umat Setelah melakukan perenungan tersebut, 
kini 
saatnya untuk melihat dengan mata hati kita yang paling tajam. 
 Tangkaplah deru 
perjuangan dengan akal kita yang paling cemerlang; tidakkah pada hakikatnya 
kita telah 
terperangkap dalam jebakan zionis Yahudi yang berseru lantang: 
 
"Lumpuhkan umat Islam, 
penjarakan mereka dengan kebanggaan partai dan kelompoknya masing masing, 
karena 
hanya dengan cara itu kita (para pengikut kaum zionis) mampu menguasai mereka." 
 
Padahal, kalau saja bisikan nurani didengar dengan jujur, pahamlah kita bahwa 
salah satu 
yang termasuk golongan musyrik itu, antara lain adalah mereka yang bangga dan 
fanatik 
dengan partai atau golongannya. Hal itu sebagaimana firman-Nya:
 ".. janganlah kamu 
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan 
merasa 
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (ar-Rum: 31-32).
 "Kemudian 
mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah 
menjadi 
beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada 
sisi 
mereka (masing-masing).'' (al-Mu'minun: 53). 
 
Ayat tersebut seakan-akan mempertegas 
dan sekaligus menjadi garis pemisah (furqan) antara masyarakat muslim dan 
musyrikin. 
Sebuah batas kesadaran yang hanya dapat dipahami melalui perenungan serta 
kerendahan hati yang penuh rasa takut. Tentu saja, segudang argumentasi dapat 
disusun 
dengan rapi dan jenius untuk menyatakan bahwa perbedaan tersebut tidaklah 
menunjukkan perpecahan. Jelaslah bahwa dalih tersebut benar-benar hanya siasat 
dan 
bukan tujuan, melainkan alat. Untuk kesekian kalinya kita harus pahami bahwa 
apa pun 
bentuk siasat, takkik, metode, atau wasilah akhirnya berpulang kepada hati 
nurani kita 
masing-masing. Benarkah demikian? 
   Benarkah ketika kita berargumentasi bahwa partai 
dan golongan itu hanya sekadar siasat dan tidak dipengaruhi unsur hawa nafsu 
fanatisme 
golongan atau 'ashabiyah? Bagaimana mungkin kekuatan yang besar itu tidak 
berdaya 
berhadapan dengan musuh-musuh yang dengan sangat jelas ingin menghancurkan 
eksistensi sistem Islam. Bukankah Umar bin Khaththab r.a. telah mengatakan 
kalimat 
"bersayap" tentang persyaratan tegaknya Islam melalui:
 imamah, jama'ah, tha'ah, bai'at, 
sudah sangat jelas diuraikan. 
 
Setiap gerakan kehidupan tidak dapat terlepas dari sistem 
jamaah. Hidup dan berpartai sekalipun seharusnya bertumpu pada sistem jamaah 
(al 
hayatu wal-hizb huwal jama'ah). Tanpa berjamaah niscaya kita akan teperosok 
dalam 
sikap egois, individualistis, dan mengulangi pahitnya sejarah kekalahan Islam 
yang terusir 
dari Andalusia. Tragedi sejarah tanah Karbala yang memilukan, kecemerlangan 
Cordova 
dan Universitas Castilia di Andalusia telah sirna. Nurani yang tercabik hanya 
bisa 
bermadah sembilu, seperti bait berikut: 

Karbala oh Karbala 
Jantung nubuwah memerah darah 
Hawa amarah mencabik ukhuwah 
Jeritan pewaris cinta Mengiringi umat semakin resah 
Cordova oh Cordova Sepenggal 
cahaya telah sirna Mutiara berbinar dari Andalusia 
Bangkit sejenak kemudian diam 
Cordova- al-Hambra Castilia dan Granada 
Hanya tinggal nama 
Tahukah Tuan, mengapa demikian? 
Karena umat berkelompok-kelompok 
Lupa hikmah dan petuah
Tiada tegak Islam kecuali berjamaah 
Tiada jamaah kecuali imamah 
Tiada imamah kecuali tha'ah 
Jangan lukai jiwa bagaikan tragedi Karbala 
Atau kekalahan Cordova hanya ada satu kata, 
jamaah! Hanya satu jiwa la ilaha illallah 
 
Bersambung ke Bab (3.1.2)
 
Wassalam
 
St. Sinaro

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke