Bab IV : Jamaah dan Essensi Persatuan Umat (3) 
 
l. Ta'aruf (Saling Mengenal) 
 
Bagaimana mungkin terjadi wujud persaudaraan apabila hati penuh dendam amarah. 
Apakah kita telah berubah haluan sehingga menjadikan hawa nafsu menjadi Tuhan, 
dan 
tidak ada lagi pintu hati yang terbuka untuk mengulurkan tangan? Bagaimana 
mungkin 
kita membangun tali persatuan apabila tali silaturrahmi telah putus atau bahkan 
menumpuk di "gudang" karena tidak pernah direntangkan sama sekali?
 
Padahal, kita mengenal peribahasa: "tak kenal maka tak sayang". Begitu juga 
dalam hal 
berjamaah, ta'aruf ini merupakan tiang pertama yang harus ditegakkan dalam 
menjalin tali 
persaudaraan. Dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, setiap anggota 
jamaah wajib 
ber-ta'aruf sehingga dengan cara seperti ini, akan timbullah tiga rasa yang 
merasuk setiap 
relung dada anggota jamaah yaitu sebagai berikut:
 
Timbulnya rasa persaudaraan yang kokoh. 

Berseminya rasa kasih sayang yang mendalam. 

Berbuahnya rasa tanggung jawab yang besar.
 
Untuk membuahkan rasa persaudaraan tersebut, setiap anggota hendaknya memiliki 
jiwa 
besar untuk siap menerima dan memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama 
saudaranya. Menerima kritikan dan memberi teguran dengan kata-kata yang penuh 
kebijakan adalah warna anggota jamaah yang rindu persaudaraan muslim tersebut. 
Hendaknya, jiwa besar ini mampu mendorong setiap anggota untuk berpikir positif 
(khusnudzan), dengan cara sesama saudaranya saling menasihati. Kalau perlu 
memberikan kritikan kepada sesama saudaranya dengan landasan semangat seorang 
mutawadhi (rendah hati). Kritikan yang diarahkan kepada dirinya, akan dia 
terima atau 
dianggap sebagai "pantulan cinta" dari sesama saudaranya yang merasa takut 
apabila 
dirinya terjerumus dalam kezaliman.
 
Bagi sesama anggota jamaah, kritikan dianggapnya sebagai cermin sikap diri, 
yang 
sekaligus merupakan dampak yang memberikan informasi atas segala bentuk tingkah 
pola dan wajah diri di hadapan orang lain. Bagaikan orang yang bersolek di 
depan cermin, 
maka demikianlah pantulan cermin itu sebagai kritik diri. Seandainya, ada 
kotoran pada 
wajah, tentu kita berterima-kasih kepada cermin, karena dengan informasi yang 
dipantulkannya kita menjadi tahu di mana letak kotoran tersebut menempel. 
Alangkah 
lucunya, apabila kita marah dan memecahkannya, hanya karena wajah kita tampak 
kotor 
di depan cermin tersebut
 
Walau begitu hendaknya kita waspada terhadap kritikan, sebab bisa jadi memang 
cermin 
yang kita hadapi itu, adalah cermin yang kurang memiliki pantulan yang baik. 
Cermin 
yang tidak objektif, yang tidak memantulkan wajah kita yang sebenarnya. Orang 
dengan 
niat dan itikad tertentu mungkin saja memberikan informasi yang baik, padahal 
ada udang 
di balik batu. Maka dengan sikap yang positif, kita harus tetap waspada, dengan 
cara 
melakukan pemeriksaan ulang (rechecking) terhadap informasi yang diterima. Hal 
itu 
sebagaimana firman Allah:
 
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu 
berita, 
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada 
suatu 
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas 
perbuatanmu itu." (al-Hujurat: 6).
 
Dengan ayat ini dimaksudkan agar setiap pribadi muslim tidak cepat menjatuhkan 
vonis, 
berprasangkaa buruk apabila menerima sesuatu berita yang menyangkut sesama 
saudaranya anggota jamaah. Dengan mengenal saudaranya secara mendalam, baik 
cara 
berpikirnya, kesulitannya, kelemahan, dan kelebihannya maka kita tidak akan 
tergesa-
gesa bersikap reaktif terhadap sesuatu berita yang dapat merugikan sahabat dan 
saudara 
kita.
 
Sesungguhnya, yang menghancurkan umat itu adalah wabah buruk sangka. Kurang 
ta'aruf 
dan silaturrahmi diantara kaum muslimin, sehingga menyebabkan setiap pribadi 
mengambil keputusan atau membuat asumsi menurut prasangkanya sendiri. Jika ada 
seorang teman yang menonjol, biasanya berseliweran tanggapan terhadapnya. 
Seorang 
muslim yang lemah, dengan mudah menerima informasi dari pihak lain yang tidak 
jelas 
kebenarannya, kemudian dengan sangat berapi-api membuat analisis subjektif dan 
terus 
menjatuhkan vonis melampui batas hukum. Padahal, seharusnya ia tidak langsung 
menjatuhkan vonis bersalah, sebelum mengetahui kebenaran fakta kesalahannya.
 
Al-Qur'an pun mengajarkan sikap kritis dan melarang hanya memperturutkan hawa 
nafsu 
untuk mengikuti sesuatu tanpa ilmu atau data terlebih dahulu --sebagaimana 
termaktub 
pada surat al-Isra':36. Vonis terhadap suatu berita yang belum diperiksa 
kebenaran 
faktanya, adalah suatu fitnah. Dengan fitnah, seseorang dihadapkan pada musuh 
yang 
tidak berwujud. Dengan fitnah itu pula, seseorang akan tersingkir dari 
dunianya, dia akan 
sangat menderita lahir dan batin. Oleh karena itu, kita menyadari betapa 
besarnya 
dampak dari suatu fitnah, maka janganlah terlalu cepat mencap negatif terhadap 
sesama 
saudara kita, sebelum berjumpa atau mengetahui duduk perkaranya.
 
Sesungguhnya, dalam hal inilah, kebanyakan manusia mendapatkan dirinya sangat 
lemah, karena memang setan sangat berkepentingan untuk menumbuhkan perpecahan 
di 
kalangan saudara sesama muslim tersebut. Kendati sudah dilakukan pemeriksaan 
terhadap kebenaran berita yang ada, dan ternyata saudara kita memang bersalah, 
maka 
untuk menyelamatkan saudaranya dari jurang kehancuran, di dalam dadanya 
terkandung 
rasa cinta yang menutupi jelaga kebencian yang membara dalam nafsu dirinya. 
Tundukkan kepala, ketika menerima berita buruk yang menimpa saudara kita. 
Kemudian 
berangkatlah menemuinya untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan jika 
ada 
sesuatu keburukan maka cegahlah dengan perasaan penuh kasih sayang.
 
Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Orang muslim dengan muslim lainnya 
itu 
bersaudara. Ia tidak menzaliminya dan tidak saling membiarkan." (al-Hadits).
 
Inilah ikatan yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim sejati meyakini 
bahwa 
dirinya belum pantas tergolong orang mukmin apabila dia tidak mencintai sesama 
saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Seorang muslim tidak 
akan 
melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena dia sendiri tidak mau 
diperlakukan 
dengan perbuatan seperti itu. Agama Islam bukanlah "agama museum" yang hanya 
sedap 
dalam pandangan, hanya digemari oleh para kolektor barang antik yang termenung 
dalam 
kenangan penuh nostalgia. Islam adalah agama amaliah yang mengalir hidup untuk 
menghidupkan.
 
Tanamkanlah pada diri kita bahwa Islam ini akan jaya, bila setiap muslim sudah 
mempunyai niat, tindakan, dan wawasan bahwa jamaah itu adalah penting sebagai 
tali 
pengikat untuk berdirinya daulat Islamiyah. Dengan menanamkan pentingnya jamaah 
maka setiap muslim akan mampu mencurahkan kasih bagi alam semesta, sesuai 
dengan 
karakter setiap muslim yang harus tampil membawakan panji rahmatan lilalamin. 
Sebenarnya, eksistensi manusia itu hanya berharga ketika dia beda dalam 
kebersamaan. 
Sebab itu, tidak mungkin seorang muslim menutup sebelah mata terhadap orang 
lain 
(nonmuslim), sebab bagaimanapun juga orang lain tersebut telah membawa arti 
bagi 
eksistensi dirinya tersebut.
 
Cobalah renungkanlah, mungkinkah kita bisa menikmati sepiring nasi, apabila 
tidak ada 
seorang petani pun yang menanam padi? Mungkinkah seorang pemimpin menepuk dada, 
apabila tidak ada pengikut yang mendukungnya? Pantaskah seorang bangga dengan 
menyandang atributnya sebagai hartawan, apabila tidak ada orang miskin? Itulah 
tiang 
ta'aruf dalam membina persaudaraan Islam. Mereka sangat mendalam perhatiannya 
pada 
sesama saudaranya, sebagaimana kepada dirinya sendiri.
 
2. Tafahum (Saling Memahami) 

Tiang persaudaraan yang kedua adalah tafahum yang artinya saling memahami atau 
ingin 
mengerti lebih mendalam. Tafahum berarti pula usaha setiap muslim untuk dapat 
menggali 
informasi sebanyak mungkin. Yaitu, menggali segala hal yang berkaitan dengan 
"cara 
berpikir" dan "lingkup pengalamannya" dari sesama saudara sejamaah.
 
Masing-masing anggota akan saling menyesuaikan dirinya dengan kedua faktor 
tersebut, 
sehingga timbulah apa yang disebut dengan kerja sama yang harmonis: kesamaan 
wawasan, tujuan, dan tindakan. Harus dipahami bahwa keutuhan mereka itu sudah 
merupakan satu semen perekat yang membaur dan sulit untuk dipisahkan, karena 
terjadi 
suatu simbiosis-mutualis (kerja sama yang harmonis) yang sangat masif (utuh). 
Komunikasi yang harmonis, silaturahmi yang ikhlas dalam frekuensi yang intens, 
merupakan cara kita menjalin hubungan persaudaraan. Dalam hal ini, perlu 
disimak 
ucapan dari Ali bin Abi Thalib r a., "Setiap manusia memandang manusia yang 
lainnya 
berdasarkan tabiatnya."
 
Juga sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Kami diperintahkan supaya berbicara 
kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing." (al-Hadits).
 
Hadits tersebut memberikan keyakinan kepada diri kita bahwa setiap muslim harus 
dapat 
menyampaikan idenya sesuai dengan kadar akalnya, tabiat, serta pengalaman 
sesama 
saudaranya. Dengan pendekatan ini, diharapkan setiap ucapan tidak akan 
menimbulkan 
kesalah-pahaman diantara sesama saudara sejamaah. Untuk belajar memahami orang 
lain, hendaknya kita mampu mengidentifikasikan diri kita, sebagaimana karakter 
orang 
lain. Kita harus memiliki gambar khayalan tentang saudara kita yang kita sebut 
empati 
(memahami seseorang, ed.). Tafahum dalam persaudaraan merupakan tiang yang 
sangat 
penting agar dapat menyelami hakikat persaudaraan dengan cinta dan hikmah. Hal 
ini 
sebagaimana firman Allah SWT:
 
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik 
dan 
bantahlah mereka dengan cara yang baik...." (an-Nahl: 125).
 
Sesama muslim juga saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta 
saling 
bertukar pikiran (mudzakarah) diantara sesama muslim. Hal itu merupakan dasar 
pokok 
terwujudnya persaudaraan Islamiyah. Dengan bertambah intensifnya komunikasi, 
bertambah seringnya bersilaturrahmi, dan bertambah luasnya saling tukar pikiran 
diantara 
sesama muslim, maka niscaya akan datang suatu saat di mana kasih sayang itu 
akan 
tumbuh dengan semarak dalam jamaah muslimin. Juga kita tidak perlu harus 
tergesa-
gesa untuk segera menerima paham orang lain.
 
Hendaknya disadari bahwa di dunia ini tidak mungkin mengharapkan semuanya serba 
seragam dan serba memuaskan. Sebab, itu adalah salah satu sikap kita untuk 
mencapai 
tafahum dan mencari titik persamaan. Dari titik inilah, kita mulai berbicara 
dan 
mengembangkannya. Kemudian titik persamaan itu bertambah melebar, sehingga 
perbedaan yang secara kualitatif tidak bersifat hakiki, dapat kita abaikan 
untuk sementara 
waktu. Akan tetapi, kita akan banyak berkomunikasi berdasarkan sifat-sifatnya 
yang 
sama sebagai nilai pertama dari awal jalinan silaturahmi. Kita hendaknya 
bersabar dan 
konsisten untuk menjadikan perbedaan itu tergeser oleh berbagai persamaan dalam 
segala hal, baik itu wawasan, sikap, dan tindakan. Dengan bertambah melebarnya 
persamaan dan menyempitnya perbedaan, maka jadilah kita kelak bagaikan satu 
mata 
uang yang berhimpit, serta sempurna bagaikan satu tubuh yang menyatu.
 
Selanjutnya, hendaklah kita dapat berpikir realistis dan terbuka, serta tidak 
cepat 
menyerah apabila berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat. Karena dengan 
kesabaran dan sikap yang istiqamah, tidaklah ada sesuatu yang tidak mungkin 
untuk 
ditundukkan. Bagaikan air yang menetes secara perlahan dan kontinu, ternyata 
mampu 
memberikan bekas mendalam, yaitu sebuah lubang pada batu cadas. Memahami 
seseorang, berarti kita masuk ke dalam diri orang tersebut. Kita tidak dapat 
dengan cepat 
mengambil kesimpulan tentang baik dan buruk seseorang. Kita harus mengenal 
dengan 
sangat kental dan terjun ke dalam hati sanubarinya. Memang inilah beratnya. 
Kadang-
kadang asumsi-asumsi subjektif sering menyelusup ke dalam hati kita, serta 
nilai ukur 
yang membuka diri, sehingga tidak ada dialog yang merupakan cara untuk 
melakukan 
pengambilan kesimpulan dari dua arah.
 
Kita sangat akrab dengan istilah ukhuwah, yang artinya persamaan, keselarasan, 
dan 
keserasian. Apabila kata ukhuwah ini kita tambah dengan Islamiyah, berarti 
mempunyai 
makna, sebagai berikut:

a. Persamaan antara sesama muslim. 

b. Persaudaraan yang bersifat Islami.

c. Persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai Islam dan sebagainya.
 
Apa pun juga, apabila kita hayati makna ukhuwah maka harus ada semacam getaran 
awal 
pada diri kita akan makna persamaan, keakraban, persaudaraan, sebagaimana dalam 
kamus bahasa Arab kata al-akh dapat berarti bersahabat, intim, atau akrab. 
Bahkan, kata 
al-akh dalam Al-Qur'an dalam bentuk jamak disebut sebanyak 52 kali dalam 
konteks 
pengertian yang merujuk pada arti saudara kandung.
 
Dengan demikian, ketika berbicara, mengulas, bahkan mempraktekkan ukhuwah 
Islamiyah, yang terkandung di dalamnya suatu upaya diri untuk mencari titik 
persamaan 
diantara sesama muslim yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Banyak orang 
melupakan makna persamaan ini, sehingga mereka selalu terperangkap pada 
kehendak 
untuk melakukan suatu percakapan, bahkan perdebatan yang mubazir di daerah 
perbedaan. Mereka lupa bahwa berbantahan itu hanya akan melemahkan kekuatan 
diantara sesama harakah pendakwah.
 
3. Ta'awun (Saling Menolong) 

Apabila cinta kepada Allah telah menghujam di segenap relung dada seorang 
muslim, 
maka sifat ta'awun (saling menolong) merupakan salah satu karakter yang melekat 
seutuhnya pada dirinya. Menolong memiliki makna mengangkat atau meringankan 
beban 
orang lain, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Mengangkat seseorang 
dari 
penderitaan atau minimal meringankannya, baik dengan harta, jiwa, doa, dan 
nasihat. Hal 
itu tidak ada kerugiannya barang sedikit pun, kecuali hanyalah kebaikan belaka.
 
Itulah sebabnya, ta'awun sebagai dasar falsafah agama begitu mementingkan 
kekuatan 
yang merupakan tonggak utama bagi kejayaan akhlak setiap pribadi muslim. 
Cobalah 
tengok sejenak, mungkinkah kita mampu menolong orang lain, apabila di dalam 
dada dan 
sanubari kita tidak tertanam kekuatan akhlak: Jadi titik sentral Islam ini 
adalah kekuatan, 
karena hanya dengan menjadi kuatlah maka segala sesuatunya dapat terwujud. 
Compang-campingnya umat Islam sekarang ini karena tidak memiliki kekuatan, 
tercabut 
kebanggaan diri sebagai khairulummah (yang terbaik), dan hilangnya mahkota 
jiwa, yaitu 
semangat jihad.
 
Ta'awun atau saling menolong tidak murigkin bisa menjadi kenyataan, apabila 
setiap 
individu dilanda oleh penyakit wahan, yang pengecut dan lemah. Padahal, tidak 
ada 
kamusnya bahwa setiap muslim itu harus hidup secara anani, terisolasi, dan 
tercabut dari 
kebersamaan dengan saudara semuslim. Tidak pantas seorang muslim perutnya 
kekenyangan, sedangkan saudaranya atau tetangganya gemetar menahan diri dari 
kelaparan. Sangat tidak etis seorang muslim yang hidup berkemewahan: rumah 
dengan 
gaya kastil, berbagai mobil mewah dan mutakhir dipajang di garasi rumah, 
sedangkan di 
lain pihak tepat beberapa meter dari rumah mewahnya itu bergumul para kaum 
lemah dan 
tidak berdaya (mustad'afin), yang terpuruk di gubuk-gubuk kumuh sambil menjalin 
mimpi. 
Lantas bagaimana jika para hartawan itu tidak mempunyai kekuatan moral untuk 
menolong sesama, saudaranya, lalu apalah arti kemewahan yang Allah karuniakan 
kepadanya?
 
Tolong-menolong itu sudah dijadikan satu aksioma dalam agama kita, khususnya 
tolong-
menolong dalam kebaikan (al-birri) dan dalam kecintaan kepada Allah (at-taqwa). 
Hal ini 
sebagaimana firman Allah:
 
"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan 
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah 
kamu 
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. " (al-Maa'idah: 2).
 
Sikap saling menolong tersebut memberikan empat konsepsi bagi setiap anggota 
jamaah, 
yaitu sebagai berikut:
 
a. Dia tidak akan membiarkan saudaranya berbuat zalim maupun menzalimi dirinya.
 
b. Dia tidak akan makan kenyang apabila di lain pihak saudaranya masih 
kelaparan. Dia 
tidaklah pula akan mampu tertawa, sementara masih banyak saudaranya yang 
rnenangis.
 
c. Dia akan selalu menjadi seorang pionir untuk mengambil inisiatif menolong 
dan 
mengangkat sesama saudaranya dari derita dan duka mereka. Meringankannya dari 
segala beban, mencegahnya dari yang mungkar, walaupun tidak dimintakan 
pertolongan 
sekalipun. Karena baginya hidup yang indah adalah kehidupan yang mempunyai 
makna 
dan arti bagi lingkungannya. Dialah manusia yang pertama hadir, ketika ada 
orang yang 
tertimpa musibah. Dengan harta, tenaga, lidah, bahkan jiwa raganya, dia 
pertaruhkan 
dirinya untuk membela dan menolong sesama saudaranya, dalam arti yang sebenar-
benarnya, tanpa mengharap pujian, apalagi tepukan. 
 
d. Jiwanya cepat tergetar setiap melihat penderitaan manusia, karena dia sadar 
bahwa 
pada dirinya ada energi batin yang tidak bisa dibiarkan secara mubazir, 
sehingga selalu 
mendorong dirinya untuk menyingsingkan lengan baju, dan siap memberikan 
pertolongan. 
Sungguh dia ingin menjadi sirajam munira (orang menyentuh mata hati dan 
menyinari 
sesamanya). Menjadi lampu yang mempunyai cahaya benderang dan menerangi setiap 
relung kehidupan dengan syiar Islam melalui sikap dan tindakannya yang nyata.
 
Sungguh, apabila sikap ta'awun ini sudah menjadi "kegemaran" bagi setiap 
pribadi 
muslim, khususnya anggota jamiatul mukmin, maka akan lahirlah harmoni, 
keseimbangan, dimana yang kuat menjadi pelindung yang lemah, yang kaya menjadi 
penggembira orang yang miskin, yang berilmu menjadi pelita bagi yang awam. 
Besar tidak 
melanda, kecil tidak patut terhina. Inilah sikap ta'awun tersebut. Cobalah 
bayangkan 
makna dari doa dalam bersin. Bukankah apabila ada orang yang bersin, kemudian 
dia 
berkata, "Alhamdulillah." Maka harus kita jawab dengan ucapan atau doa, 
"Yarhamukullah." Ini juga punya makna global bahwa apabila ada saudaranya yang 
bersin 
di Sabang, maka akan segeralah terdengar balasan ucapan yarhamukullah, dari 
seluruh 
saudaranya sampai ke Merauke.
 
4. Takaful (Saling Bertanggung Jawab) 

Hasrat ingin ber-ta'aruf, rindu bersilaturahmi, gandrung ber-ta'awun, 
sebenarnya 
dikarenakan kita semua merasakan adanya rasa tanggung jawab terhadap agama, 
terhadap amanat, dan rasa cinta yang besar terhadap sesama saudara seiman. 
Perasaan 
tanggung jawab ini, menyebabkan dirinya sangat waspada, dan mempunyai kendali 
diri 
yang tinggi untuk menjaga sesama saudaranya dari kehancuran, fitnah, dan 
celaan. Dia 
merasakan bahwa dirinya adalah juga bagian dari saudaranya yang lain. Juga 
merupakan 
satu tubuh, yang apabila kakinya terinjak duri maka berdenyutlah rasa sakit itu 
sekujur 
tubuhnya. Inilah dasar tanggung-jawab setiap muslim untuk menghindari dan 
sekaligus 
membentengi saudaranya dari segala cela dan fitnah. Rasulullah saw bersabda:
 
"Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta'ala akan menutupi celanya 
di 
dunia dan akhirat." (HR Ibnu Majah).
 
Seorang muslim harus pandai sekali menjaga rahasia temannya, penuh amanat 
apabila 
diberi titipan, dan penuh tanggung jawab terhadap keselamatan sesama saudara 
seiman. 
Bahkan, dalam memegang rahasia, setiap pribadi muslim benar-benar menjaga 
amanat 
tersebut. Karena teguhnya memegang suatu rahasia maka ia langsung "mengubur" 
amanat tersebut dan tidak pernah sedikit pun terbongkar.
 
Karena rasa tanggung jawab yang diselimuti dengan rasa cinta sesama anggota 
jamaah, 
maka ia tidak pernah sedikit pun ingin mengungkit sejarah buruk saudaranya dan 
membongkar cacat saudaranya sendiri. Rasulullah saw bersabda:
 
"Janganlah kamu semua meneliti (mencari-cari) kejelekan orang lain, jangan pula 
mengamat-amatinya, juga janganlah saling memutuskan ikatan, saling menyeteru, 
dan 
jadilah hamba Allah yang saling bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim).
 
Jika seorang muslim mendengar berita dari seseorang tentang perbuatan tercela 
saudaranya, hendaknya ia berdiam diri. Tidak perlu menambah dengan komentar dan 
tidak pula ikut larut menganalisis dengan penuh buruk sangka (su'uzhan). 
Sesungguhnya, 
yang menyebabkan renggangnya tali persaudaraan dan rapuhnya tali cinta adalah 
perasaan buruk sangka.
 
Setiap umat Rasul selalu mawas diri, menjaga lidahnya, dan terus-menerus 
merakit tali 
persaudaraan diantara sesama muslim. Hal ini tampak dari tekadnya untuk selalu 
menjadikan dirinya sebagai pembela dan pelindung dari harkat dan derajat sesama 
muslim. Apabila diberi amanat Allah berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu 
pengetahuan, dia tidak akan melupakan sesama saudaranya untuk memberikan 
bantuan 
dan pertolongan agar dapat dicarikan jalan keluar bagi saudaranya tersebut.
 
Kekuasaan, jabatan, dan harta adalah amanat. Dia sadar bahwa semuanya harus 
mempunyai nilai bagi saudaranya yang seiman. Sebab itu, seorang muslim tidak 
perhah 
egois. Dia selalu merindukan saudaranya agar dekat dan akrab dengan dirinya 
dalam 
suka dan duka. Apabila dia berkuasa maka sesama saudaranyalah yang dijadikan 
prioritas untuk dibantunya. Apabila dia punya kelebihan harta maka infak yang 
dia berikan 
ditujukan untuk para kerabat saudaranya seiman terlebih dahulu, ini semua 
menunjukkan 
rasa takaful dari seorang anggota jamiatul muslimin.
 
Bersambung ke bab(4.3.2)
 
Wassalam
 
St. Sinaro
 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke