Bab IV : Jamaah dan Essensi Persatuan Umat (3) l. Ta'aruf (Saling Mengenal) Bagaimana mungkin terjadi wujud persaudaraan apabila hati penuh dendam amarah. Apakah kita telah berubah haluan sehingga menjadikan hawa nafsu menjadi Tuhan, dan tidak ada lagi pintu hati yang terbuka untuk mengulurkan tangan? Bagaimana mungkin kita membangun tali persatuan apabila tali silaturrahmi telah putus atau bahkan menumpuk di "gudang" karena tidak pernah direntangkan sama sekali? Padahal, kita mengenal peribahasa: "tak kenal maka tak sayang". Begitu juga dalam hal berjamaah, ta'aruf ini merupakan tiang pertama yang harus ditegakkan dalam menjalin tali persaudaraan. Dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, setiap anggota jamaah wajib ber-ta'aruf sehingga dengan cara seperti ini, akan timbullah tiga rasa yang merasuk setiap relung dada anggota jamaah yaitu sebagai berikut: Timbulnya rasa persaudaraan yang kokoh.
Berseminya rasa kasih sayang yang mendalam. Berbuahnya rasa tanggung jawab yang besar. Untuk membuahkan rasa persaudaraan tersebut, setiap anggota hendaknya memiliki jiwa besar untuk siap menerima dan memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama saudaranya. Menerima kritikan dan memberi teguran dengan kata-kata yang penuh kebijakan adalah warna anggota jamaah yang rindu persaudaraan muslim tersebut. Hendaknya, jiwa besar ini mampu mendorong setiap anggota untuk berpikir positif (khusnudzan), dengan cara sesama saudaranya saling menasihati. Kalau perlu memberikan kritikan kepada sesama saudaranya dengan landasan semangat seorang mutawadhi (rendah hati). Kritikan yang diarahkan kepada dirinya, akan dia terima atau dianggap sebagai "pantulan cinta" dari sesama saudaranya yang merasa takut apabila dirinya terjerumus dalam kezaliman. Bagi sesama anggota jamaah, kritikan dianggapnya sebagai cermin sikap diri, yang sekaligus merupakan dampak yang memberikan informasi atas segala bentuk tingkah pola dan wajah diri di hadapan orang lain. Bagaikan orang yang bersolek di depan cermin, maka demikianlah pantulan cermin itu sebagai kritik diri. Seandainya, ada kotoran pada wajah, tentu kita berterima-kasih kepada cermin, karena dengan informasi yang dipantulkannya kita menjadi tahu di mana letak kotoran tersebut menempel. Alangkah lucunya, apabila kita marah dan memecahkannya, hanya karena wajah kita tampak kotor di depan cermin tersebut Walau begitu hendaknya kita waspada terhadap kritikan, sebab bisa jadi memang cermin yang kita hadapi itu, adalah cermin yang kurang memiliki pantulan yang baik. Cermin yang tidak objektif, yang tidak memantulkan wajah kita yang sebenarnya. Orang dengan niat dan itikad tertentu mungkin saja memberikan informasi yang baik, padahal ada udang di balik batu. Maka dengan sikap yang positif, kita harus tetap waspada, dengan cara melakukan pemeriksaan ulang (rechecking) terhadap informasi yang diterima. Hal itu sebagaimana firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (al-Hujurat: 6). Dengan ayat ini dimaksudkan agar setiap pribadi muslim tidak cepat menjatuhkan vonis, berprasangkaa buruk apabila menerima sesuatu berita yang menyangkut sesama saudaranya anggota jamaah. Dengan mengenal saudaranya secara mendalam, baik cara berpikirnya, kesulitannya, kelemahan, dan kelebihannya maka kita tidak akan tergesa- gesa bersikap reaktif terhadap sesuatu berita yang dapat merugikan sahabat dan saudara kita. Sesungguhnya, yang menghancurkan umat itu adalah wabah buruk sangka. Kurang ta'aruf dan silaturrahmi diantara kaum muslimin, sehingga menyebabkan setiap pribadi mengambil keputusan atau membuat asumsi menurut prasangkanya sendiri. Jika ada seorang teman yang menonjol, biasanya berseliweran tanggapan terhadapnya. Seorang muslim yang lemah, dengan mudah menerima informasi dari pihak lain yang tidak jelas kebenarannya, kemudian dengan sangat berapi-api membuat analisis subjektif dan terus menjatuhkan vonis melampui batas hukum. Padahal, seharusnya ia tidak langsung menjatuhkan vonis bersalah, sebelum mengetahui kebenaran fakta kesalahannya. Al-Qur'an pun mengajarkan sikap kritis dan melarang hanya memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti sesuatu tanpa ilmu atau data terlebih dahulu --sebagaimana termaktub pada surat al-Isra':36. Vonis terhadap suatu berita yang belum diperiksa kebenaran faktanya, adalah suatu fitnah. Dengan fitnah, seseorang dihadapkan pada musuh yang tidak berwujud. Dengan fitnah itu pula, seseorang akan tersingkir dari dunianya, dia akan sangat menderita lahir dan batin. Oleh karena itu, kita menyadari betapa besarnya dampak dari suatu fitnah, maka janganlah terlalu cepat mencap negatif terhadap sesama saudara kita, sebelum berjumpa atau mengetahui duduk perkaranya. Sesungguhnya, dalam hal inilah, kebanyakan manusia mendapatkan dirinya sangat lemah, karena memang setan sangat berkepentingan untuk menumbuhkan perpecahan di kalangan saudara sesama muslim tersebut. Kendati sudah dilakukan pemeriksaan terhadap kebenaran berita yang ada, dan ternyata saudara kita memang bersalah, maka untuk menyelamatkan saudaranya dari jurang kehancuran, di dalam dadanya terkandung rasa cinta yang menutupi jelaga kebencian yang membara dalam nafsu dirinya. Tundukkan kepala, ketika menerima berita buruk yang menimpa saudara kita. Kemudian berangkatlah menemuinya untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan jika ada sesuatu keburukan maka cegahlah dengan perasaan penuh kasih sayang. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Orang muslim dengan muslim lainnya itu bersaudara. Ia tidak menzaliminya dan tidak saling membiarkan." (al-Hadits). Inilah ikatan yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim sejati meyakini bahwa dirinya belum pantas tergolong orang mukmin apabila dia tidak mencintai sesama saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Seorang muslim tidak akan melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena dia sendiri tidak mau diperlakukan dengan perbuatan seperti itu. Agama Islam bukanlah "agama museum" yang hanya sedap dalam pandangan, hanya digemari oleh para kolektor barang antik yang termenung dalam kenangan penuh nostalgia. Islam adalah agama amaliah yang mengalir hidup untuk menghidupkan. Tanamkanlah pada diri kita bahwa Islam ini akan jaya, bila setiap muslim sudah mempunyai niat, tindakan, dan wawasan bahwa jamaah itu adalah penting sebagai tali pengikat untuk berdirinya daulat Islamiyah. Dengan menanamkan pentingnya jamaah maka setiap muslim akan mampu mencurahkan kasih bagi alam semesta, sesuai dengan karakter setiap muslim yang harus tampil membawakan panji rahmatan lilalamin. Sebenarnya, eksistensi manusia itu hanya berharga ketika dia beda dalam kebersamaan. Sebab itu, tidak mungkin seorang muslim menutup sebelah mata terhadap orang lain (nonmuslim), sebab bagaimanapun juga orang lain tersebut telah membawa arti bagi eksistensi dirinya tersebut. Cobalah renungkanlah, mungkinkah kita bisa menikmati sepiring nasi, apabila tidak ada seorang petani pun yang menanam padi? Mungkinkah seorang pemimpin menepuk dada, apabila tidak ada pengikut yang mendukungnya? Pantaskah seorang bangga dengan menyandang atributnya sebagai hartawan, apabila tidak ada orang miskin? Itulah tiang ta'aruf dalam membina persaudaraan Islam. Mereka sangat mendalam perhatiannya pada sesama saudaranya, sebagaimana kepada dirinya sendiri. 2. Tafahum (Saling Memahami) Tiang persaudaraan yang kedua adalah tafahum yang artinya saling memahami atau ingin mengerti lebih mendalam. Tafahum berarti pula usaha setiap muslim untuk dapat menggali informasi sebanyak mungkin. Yaitu, menggali segala hal yang berkaitan dengan "cara berpikir" dan "lingkup pengalamannya" dari sesama saudara sejamaah. Masing-masing anggota akan saling menyesuaikan dirinya dengan kedua faktor tersebut, sehingga timbulah apa yang disebut dengan kerja sama yang harmonis: kesamaan wawasan, tujuan, dan tindakan. Harus dipahami bahwa keutuhan mereka itu sudah merupakan satu semen perekat yang membaur dan sulit untuk dipisahkan, karena terjadi suatu simbiosis-mutualis (kerja sama yang harmonis) yang sangat masif (utuh). Komunikasi yang harmonis, silaturahmi yang ikhlas dalam frekuensi yang intens, merupakan cara kita menjalin hubungan persaudaraan. Dalam hal ini, perlu disimak ucapan dari Ali bin Abi Thalib r a., "Setiap manusia memandang manusia yang lainnya berdasarkan tabiatnya." Juga sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Kami diperintahkan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing." (al-Hadits). Hadits tersebut memberikan keyakinan kepada diri kita bahwa setiap muslim harus dapat menyampaikan idenya sesuai dengan kadar akalnya, tabiat, serta pengalaman sesama saudaranya. Dengan pendekatan ini, diharapkan setiap ucapan tidak akan menimbulkan kesalah-pahaman diantara sesama saudara sejamaah. Untuk belajar memahami orang lain, hendaknya kita mampu mengidentifikasikan diri kita, sebagaimana karakter orang lain. Kita harus memiliki gambar khayalan tentang saudara kita yang kita sebut empati (memahami seseorang, ed.). Tafahum dalam persaudaraan merupakan tiang yang sangat penting agar dapat menyelami hakikat persaudaraan dengan cinta dan hikmah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...." (an-Nahl: 125). Sesama muslim juga saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling bertukar pikiran (mudzakarah) diantara sesama muslim. Hal itu merupakan dasar pokok terwujudnya persaudaraan Islamiyah. Dengan bertambah intensifnya komunikasi, bertambah seringnya bersilaturrahmi, dan bertambah luasnya saling tukar pikiran diantara sesama muslim, maka niscaya akan datang suatu saat di mana kasih sayang itu akan tumbuh dengan semarak dalam jamaah muslimin. Juga kita tidak perlu harus tergesa- gesa untuk segera menerima paham orang lain. Hendaknya disadari bahwa di dunia ini tidak mungkin mengharapkan semuanya serba seragam dan serba memuaskan. Sebab, itu adalah salah satu sikap kita untuk mencapai tafahum dan mencari titik persamaan. Dari titik inilah, kita mulai berbicara dan mengembangkannya. Kemudian titik persamaan itu bertambah melebar, sehingga perbedaan yang secara kualitatif tidak bersifat hakiki, dapat kita abaikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, kita akan banyak berkomunikasi berdasarkan sifat-sifatnya yang sama sebagai nilai pertama dari awal jalinan silaturahmi. Kita hendaknya bersabar dan konsisten untuk menjadikan perbedaan itu tergeser oleh berbagai persamaan dalam segala hal, baik itu wawasan, sikap, dan tindakan. Dengan bertambah melebarnya persamaan dan menyempitnya perbedaan, maka jadilah kita kelak bagaikan satu mata uang yang berhimpit, serta sempurna bagaikan satu tubuh yang menyatu. Selanjutnya, hendaklah kita dapat berpikir realistis dan terbuka, serta tidak cepat menyerah apabila berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat. Karena dengan kesabaran dan sikap yang istiqamah, tidaklah ada sesuatu yang tidak mungkin untuk ditundukkan. Bagaikan air yang menetes secara perlahan dan kontinu, ternyata mampu memberikan bekas mendalam, yaitu sebuah lubang pada batu cadas. Memahami seseorang, berarti kita masuk ke dalam diri orang tersebut. Kita tidak dapat dengan cepat mengambil kesimpulan tentang baik dan buruk seseorang. Kita harus mengenal dengan sangat kental dan terjun ke dalam hati sanubarinya. Memang inilah beratnya. Kadang- kadang asumsi-asumsi subjektif sering menyelusup ke dalam hati kita, serta nilai ukur yang membuka diri, sehingga tidak ada dialog yang merupakan cara untuk melakukan pengambilan kesimpulan dari dua arah. Kita sangat akrab dengan istilah ukhuwah, yang artinya persamaan, keselarasan, dan keserasian. Apabila kata ukhuwah ini kita tambah dengan Islamiyah, berarti mempunyai makna, sebagai berikut: a. Persamaan antara sesama muslim. b. Persaudaraan yang bersifat Islami. c. Persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai Islam dan sebagainya. Apa pun juga, apabila kita hayati makna ukhuwah maka harus ada semacam getaran awal pada diri kita akan makna persamaan, keakraban, persaudaraan, sebagaimana dalam kamus bahasa Arab kata al-akh dapat berarti bersahabat, intim, atau akrab. Bahkan, kata al-akh dalam Al-Qur'an dalam bentuk jamak disebut sebanyak 52 kali dalam konteks pengertian yang merujuk pada arti saudara kandung. Dengan demikian, ketika berbicara, mengulas, bahkan mempraktekkan ukhuwah Islamiyah, yang terkandung di dalamnya suatu upaya diri untuk mencari titik persamaan diantara sesama muslim yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Banyak orang melupakan makna persamaan ini, sehingga mereka selalu terperangkap pada kehendak untuk melakukan suatu percakapan, bahkan perdebatan yang mubazir di daerah perbedaan. Mereka lupa bahwa berbantahan itu hanya akan melemahkan kekuatan diantara sesama harakah pendakwah. 3. Ta'awun (Saling Menolong) Apabila cinta kepada Allah telah menghujam di segenap relung dada seorang muslim, maka sifat ta'awun (saling menolong) merupakan salah satu karakter yang melekat seutuhnya pada dirinya. Menolong memiliki makna mengangkat atau meringankan beban orang lain, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Mengangkat seseorang dari penderitaan atau minimal meringankannya, baik dengan harta, jiwa, doa, dan nasihat. Hal itu tidak ada kerugiannya barang sedikit pun, kecuali hanyalah kebaikan belaka. Itulah sebabnya, ta'awun sebagai dasar falsafah agama begitu mementingkan kekuatan yang merupakan tonggak utama bagi kejayaan akhlak setiap pribadi muslim. Cobalah tengok sejenak, mungkinkah kita mampu menolong orang lain, apabila di dalam dada dan sanubari kita tidak tertanam kekuatan akhlak: Jadi titik sentral Islam ini adalah kekuatan, karena hanya dengan menjadi kuatlah maka segala sesuatunya dapat terwujud. Compang-campingnya umat Islam sekarang ini karena tidak memiliki kekuatan, tercabut kebanggaan diri sebagai khairulummah (yang terbaik), dan hilangnya mahkota jiwa, yaitu semangat jihad. Ta'awun atau saling menolong tidak murigkin bisa menjadi kenyataan, apabila setiap individu dilanda oleh penyakit wahan, yang pengecut dan lemah. Padahal, tidak ada kamusnya bahwa setiap muslim itu harus hidup secara anani, terisolasi, dan tercabut dari kebersamaan dengan saudara semuslim. Tidak pantas seorang muslim perutnya kekenyangan, sedangkan saudaranya atau tetangganya gemetar menahan diri dari kelaparan. Sangat tidak etis seorang muslim yang hidup berkemewahan: rumah dengan gaya kastil, berbagai mobil mewah dan mutakhir dipajang di garasi rumah, sedangkan di lain pihak tepat beberapa meter dari rumah mewahnya itu bergumul para kaum lemah dan tidak berdaya (mustad'afin), yang terpuruk di gubuk-gubuk kumuh sambil menjalin mimpi. Lantas bagaimana jika para hartawan itu tidak mempunyai kekuatan moral untuk menolong sesama, saudaranya, lalu apalah arti kemewahan yang Allah karuniakan kepadanya? Tolong-menolong itu sudah dijadikan satu aksioma dalam agama kita, khususnya tolong- menolong dalam kebaikan (al-birri) dan dalam kecintaan kepada Allah (at-taqwa). Hal ini sebagaimana firman Allah: "...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. " (al-Maa'idah: 2). Sikap saling menolong tersebut memberikan empat konsepsi bagi setiap anggota jamaah, yaitu sebagai berikut: a. Dia tidak akan membiarkan saudaranya berbuat zalim maupun menzalimi dirinya. b. Dia tidak akan makan kenyang apabila di lain pihak saudaranya masih kelaparan. Dia tidaklah pula akan mampu tertawa, sementara masih banyak saudaranya yang rnenangis. c. Dia akan selalu menjadi seorang pionir untuk mengambil inisiatif menolong dan mengangkat sesama saudaranya dari derita dan duka mereka. Meringankannya dari segala beban, mencegahnya dari yang mungkar, walaupun tidak dimintakan pertolongan sekalipun. Karena baginya hidup yang indah adalah kehidupan yang mempunyai makna dan arti bagi lingkungannya. Dialah manusia yang pertama hadir, ketika ada orang yang tertimpa musibah. Dengan harta, tenaga, lidah, bahkan jiwa raganya, dia pertaruhkan dirinya untuk membela dan menolong sesama saudaranya, dalam arti yang sebenar- benarnya, tanpa mengharap pujian, apalagi tepukan. d. Jiwanya cepat tergetar setiap melihat penderitaan manusia, karena dia sadar bahwa pada dirinya ada energi batin yang tidak bisa dibiarkan secara mubazir, sehingga selalu mendorong dirinya untuk menyingsingkan lengan baju, dan siap memberikan pertolongan. Sungguh dia ingin menjadi sirajam munira (orang menyentuh mata hati dan menyinari sesamanya). Menjadi lampu yang mempunyai cahaya benderang dan menerangi setiap relung kehidupan dengan syiar Islam melalui sikap dan tindakannya yang nyata. Sungguh, apabila sikap ta'awun ini sudah menjadi "kegemaran" bagi setiap pribadi muslim, khususnya anggota jamiatul mukmin, maka akan lahirlah harmoni, keseimbangan, dimana yang kuat menjadi pelindung yang lemah, yang kaya menjadi penggembira orang yang miskin, yang berilmu menjadi pelita bagi yang awam. Besar tidak melanda, kecil tidak patut terhina. Inilah sikap ta'awun tersebut. Cobalah bayangkan makna dari doa dalam bersin. Bukankah apabila ada orang yang bersin, kemudian dia berkata, "Alhamdulillah." Maka harus kita jawab dengan ucapan atau doa, "Yarhamukullah." Ini juga punya makna global bahwa apabila ada saudaranya yang bersin di Sabang, maka akan segeralah terdengar balasan ucapan yarhamukullah, dari seluruh saudaranya sampai ke Merauke. 4. Takaful (Saling Bertanggung Jawab) Hasrat ingin ber-ta'aruf, rindu bersilaturahmi, gandrung ber-ta'awun, sebenarnya dikarenakan kita semua merasakan adanya rasa tanggung jawab terhadap agama, terhadap amanat, dan rasa cinta yang besar terhadap sesama saudara seiman. Perasaan tanggung jawab ini, menyebabkan dirinya sangat waspada, dan mempunyai kendali diri yang tinggi untuk menjaga sesama saudaranya dari kehancuran, fitnah, dan celaan. Dia merasakan bahwa dirinya adalah juga bagian dari saudaranya yang lain. Juga merupakan satu tubuh, yang apabila kakinya terinjak duri maka berdenyutlah rasa sakit itu sekujur tubuhnya. Inilah dasar tanggung-jawab setiap muslim untuk menghindari dan sekaligus membentengi saudaranya dari segala cela dan fitnah. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta'ala akan menutupi celanya di dunia dan akhirat." (HR Ibnu Majah). Seorang muslim harus pandai sekali menjaga rahasia temannya, penuh amanat apabila diberi titipan, dan penuh tanggung jawab terhadap keselamatan sesama saudara seiman. Bahkan, dalam memegang rahasia, setiap pribadi muslim benar-benar menjaga amanat tersebut. Karena teguhnya memegang suatu rahasia maka ia langsung "mengubur" amanat tersebut dan tidak pernah sedikit pun terbongkar. Karena rasa tanggung jawab yang diselimuti dengan rasa cinta sesama anggota jamaah, maka ia tidak pernah sedikit pun ingin mengungkit sejarah buruk saudaranya dan membongkar cacat saudaranya sendiri. Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kamu semua meneliti (mencari-cari) kejelekan orang lain, jangan pula mengamat-amatinya, juga janganlah saling memutuskan ikatan, saling menyeteru, dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim). Jika seorang muslim mendengar berita dari seseorang tentang perbuatan tercela saudaranya, hendaknya ia berdiam diri. Tidak perlu menambah dengan komentar dan tidak pula ikut larut menganalisis dengan penuh buruk sangka (su'uzhan). Sesungguhnya, yang menyebabkan renggangnya tali persaudaraan dan rapuhnya tali cinta adalah perasaan buruk sangka. Setiap umat Rasul selalu mawas diri, menjaga lidahnya, dan terus-menerus merakit tali persaudaraan diantara sesama muslim. Hal ini tampak dari tekadnya untuk selalu menjadikan dirinya sebagai pembela dan pelindung dari harkat dan derajat sesama muslim. Apabila diberi amanat Allah berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu pengetahuan, dia tidak akan melupakan sesama saudaranya untuk memberikan bantuan dan pertolongan agar dapat dicarikan jalan keluar bagi saudaranya tersebut. Kekuasaan, jabatan, dan harta adalah amanat. Dia sadar bahwa semuanya harus mempunyai nilai bagi saudaranya yang seiman. Sebab itu, seorang muslim tidak perhah egois. Dia selalu merindukan saudaranya agar dekat dan akrab dengan dirinya dalam suka dan duka. Apabila dia berkuasa maka sesama saudaranyalah yang dijadikan prioritas untuk dibantunya. Apabila dia punya kelebihan harta maka infak yang dia berikan ditujukan untuk para kerabat saudaranya seiman terlebih dahulu, ini semua menunjukkan rasa takaful dari seorang anggota jamiatul muslimin. Bersambung ke bab(4.3.2) Wassalam St. Sinaro -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/