Sabtu pagi tiga belas Oktober dua ribu tujuh.. 

Karena hampir semalaman menerima, membalas dan mengirim SMS Lebaran, saya
terbangun setelah waktu subuh lewat. Di luar terdengar suara gemericik hujan
yang cukup deras, membawa kecemasan kalau saya tidak dapat melaksanakan
shalat Ied pagi ini di lapangan Masjid Istiqamah. 

Shalat Idul Adha sangat mungkin saya lakukan nanti di Banda Aceh. Masih akan
ada umurkah saya untuk shalat Ied di lapangan Masjid Istiqamah Idul Fitri
Tahun depan?

Sehabis mandi dan shalat subuh saya ke ruang tamu. Di layar TV saya
menyaksikan musik dawai dengan irama Timur Tengah tayangan Indosiar yang
dengan apik dan piawai dimainkan oleh Grup Debu, yang benar-benar mengajak
kaki untuk menghentak-hentak dan tangan untuk bertepuk-tepuk seperti yang
disampaikan oleh vokalis grup tersebut melalui narasi yang sangat sederhana.
Tetapi tidak lama, Kur sudah menyiapkan ketupat dengan buncis bumbu tauco
dan kalio ayam kampung di ruang makan.

Sementara itu hujan di luar mulai reda. Saya segera menggunakan baju koko,
sarung samarinda dan peci haji yang baru dibelikan si bungsu Ira. Lalu kami
sekeluarga  bergegas menuju Masjid Istiqamah. Alhamdulillah saya dan anak
saya nomer dua Anton masih dapat tempat di dalam Masjid yang disediakan
untuk Jemaah pria, sehingga tidak perlu shalat di lapangan yang becek.

Saya segera melakukan dosa pertama pagi itu, ketika merasa mangkel terhadap
imam yang membaca surah di rakaat pertama terlalu panjang, karena ini tidak
sesuai dengan sunah Rasul yang biasanya memendekkan bacaan surah dalam
shalat jika ada jemaah perempuan yang sangat mungkin meninggalkan bayi yang
sedang menyusu di rumah.  

Khutbah Ied yang agak bertele-tele, nyaris masuk kuping kiri keluar kuping
kanan, karena shalat Ied sebenarnya sangat sarat dimensi sosial ketimbang
dimensi ritual. Selesai shalat saya bersalam-salaman dengan jemaah terdekat,
yang dikenal maupun yang bukan.

Begitu sampai di rumah dan anak cucu sudah berkumpul semua, Kur menyuruh
menutup pintu. Saya langsung mendekat, memeluk dan mencium pipi perempuan
yang sudah mendampingi saya dalam senang dan susah, suka dan duka selama 41
tahun lebih yang membuat saya menjadi suami yang selalu bersyukur. Dia
menangis ketika saya berterima kasih dan minta maaf kepadanya.

Kami kemudian duduk di ruang tamu. Anak kami yang tertua Iben mulai sungkem,
dan kemudian menangis terisak-isak dipelukan mamanya, demikian pula
adik-adiknya Anton dan Sony. Sementara kedua anak gadis kami memeluk papa
mereka dengan manja. 

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, dan sebuah keluarga datang untuk
bersilaturakhmi. Karena kami termasuk yang "dituakan", untuk memudahkan
tetangga-tetangga untuk bersilturakhmi, seperti tahun-tahun sebelumnya,
saya, Kur dan anak-anak segera keluar menuju gang di depan rumah kami dan
tetangga kami keluarga Wahyudi. Di sana sudah ada keluarga Rosyid yang
mendiami rumah di sebelahnya--yang bersama keluarga Wahyudi dan keluarga
Asril yang sekarang berada di Surabaya mendampingi putri mereka yang baru
menikah dan sedang hamil muda, keluarga Alm Efendi Rasyad dan keluarga
saya--merupakan keluarga-keluarga yang pertama yang menempati kompleks
tersebut dalam Tahun 1979. Hampir 90 persen keluarga generasi kedua di
kompleks tersebut sudah tidak saya kenali lagi satu persatu, dan tidak
sedikit di antara mereka yang terakhir bertemu dengan saya Lebaran tahun
lalu.

Tidak berapa lama gang tersebut sudah penuh dengan keluarga-keluarga yang
saling berjabatan tangan dan berpeluk-pelukan. Senyum, tawa lega dan tangis
haru. Di sana hati yang retak dipertautkan, silang sengketa diakhiri, dan
siap untuk dimulai kembali begitu Lebaran usai, sesuatu yang sangat jamak
dan manusiawi. Meila sudah siap dengan lembaran lima ribuan di tangan untuk
memberi "angpau" Lebaran buat anak-anak kecil, yang menerimanya dengan
sukacita.

(lalu saya teringat kepada kaum muslimin korban gempa yang merayakan hari
kemenangan ini di tenda-tenda pengungsian di Bengkulu, Pesisir Selatan,
Aceh, serta korban Lumpur Lapindo yang sudah memasuki tahun ketiga)

Setelah mulai sepi kami turun tangga untuk masuk ke rumah keluarga Wahyudi.
Pak Wahyudi seusia saya, yang karena komplikasi penyakit darah tinggi sudah
tidak dapat berdiri. Ketika saya menyalaminya, tiba-tiba saya melihat wajah
saya di wajahnya. Dan bendungan  air mata saya pun runtuh.

Kami kembali ke rumah, dan masih menerima tetangga dan kenalan yang
bersilaturkhmi. Ponsel saya sesekali masih bergetar menerima kiriman atau
balasan SMS Lebaran yang saya kirim. Ada perasaan bahagia ketika menerima
kiriman atau balasan dari sahabat dan kenalan yang sudah lama tidak
berjumpa.

Kemudian saya masuk kamar saya untuk beristirahat. Jam dinding terdengar
berdetak lambat tetapi pasti seperti membawa saya dengan bahtera waktu yang
bergerak dengan kecepatan konstan di samudra semesta raya yang sepi, sunyi
dan luas tiada bertepi. 

Tetapi bahtera waktu tidak pernah mau diajak surut atau mundur ke belakang.

Semoga kita memperoleh kemenangan atas diri, 
di hari yang fitri ini

Maaf lahir dan batin

Wassalam, Darwin Bahar 

[*] disiapkan untuk Superkoran Apakabar, pernah dilewakan di RN dan Surau)

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke