Negara Centeng

Tamrin Amal Tomagola

Mendadak senyap mencengkeram dan mata menatap tak percaya ketika di
layar kaca muncul tayangan mengerikan, awal minggu lalu. Inikah
Indonesia?

Lidah kelu dan banjir air mata ini akhirnya menjadi kemarahan luar
biasa melihat bentrokan vertikal yang sungguh tidak pantas: kelompok
bersenjata membantai rakyat di Mesuji, Lampung.

Di manakah empat pilar negara yang dibangga-banggakan itu? Ke mana
Pancasila dicampakkan? Masih ingatkah prajurit TNI/Polri akan Sapta
Marga, Sumpah Prajurit, dan Tri-Brata Polri?

Di manakah Anda, Panglima Tertinggi TNI, Kapolri, dan jajarannya, yang
sudah mendapat perintah dari Mukadimah UUD 1945 untuk melindungi
seluruh Tanah Air dan segenap rakyat Indonesia? Apakah Anda semua
tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memilih tidak mengintervensi
proses hukum walau ketidakberadaban berlangsung sistematis dan
sistemis?

Tampak jelas bahwa konstitusi sudah diabaikan, bahkan dilanggar
(constitutional violation by omission) oleh penyelenggara pemerintahan
itu sendiri. Negara, khususnya aparat bersenjata, justru berperan
sebagai centeng modal (Wibowo, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di
Era Globalisasi, 2010:106). Mereka sudah kehilangan rasa malu dan
martabat sebagai pelindung negeri dan rakyat.

Menjual Indonesia?

Sejak wilayah Nusantara dibagi-bagi pada awal Orde Baru kepada para
kapitalis dunia, tiada hari tanpa konflik horizontal dan vertikal.
Perebutan areal pertanahan, baik di kota maupun di pedesaan, menjamur
di mana-mana. Di perkotaan, suatu persekongkolan sistemis antara
otoritas perkotaan dan para pengusaha pusat-pusat perbelanjaan modern
(mal) menggusur kelompok miskin-kota dari lahan yang telah ditempati
puluhan tahun. Prosesnya bisa dengan halus ataupun dengan kekerasan
menggunakan satuan polisi pamong praja.

Pembuatan jaringan jalan tol antarkota pusat perdagangan pun banyak
memakan korban rakyat kecil. Hampir dalam semua kasus kekerasan
pertanahan di perkotaan, pemerintah kota selalu berpihak kepada
pemilik modal, sampai rumah ibadah dan sekolah pun dialihfungsikan.

Di wilayah pedesaan setali tiga uang. Pemerintah Indonesia di berbagai
jenjang, dengan segenap aparat negara bersenjata, memihak kepada
kepentingan modal. Konflik penuh kekerasan berkecamuk di antara
segitiga kelompok kepentingan: pengusaha perkebunan yang berselingkuh
dengan perangkat pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—
melawan rakyat komunitas adat yang mempertahankan hidup-mati hak
ulayat atas tanah leluhur mereka.

Kawasan konflik

Andiko (dalam Myrna A Safitri, Untuk Apa Pluralisme Hukum, 2011:57)
menyajikan peta persebaran konflik antara perkebunan kelapa sawit dan
komunitas adat lokal. Jelas terlihat bahwa wilayah bagian selatan
Sumatera yang meliputi Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan adalah
wilayah yang paling pekat ditaburi titik-titik hitam konflik
pertanahan dengan kekerasan sejak Orde Baru. Elizabeth Fuller Collins
(Indonesia Betrayed, 2007) menguraikan lebih rinci komposisi anatomi
konflik-konflik di wilayah ini, terkait sebab-musabab makro-
struktural, meso-institusional, dan mikro-interaktif.

Inti pokok persoalan adalah pengkhianatan negara terhadap Indonesia,
baik sebagai Tanah dan Air maupun sebagai rakyat. Pengkhianatan
berlangsung bertahap dan berjenjang. Pertama, amandemen UUD 1945 yang
jika ditilik secara cermat adalah upaya memfasilitasi keleluasaan
gerak investasi dan operasional modal. Hasil empat kali amandemen UUD
1945 sangat telak bersikap pro-modal.

Kedua, DPR merancang ulang seperangkat perundang-undangan yang
berhubungan dengan penguasaan hutan, tanah, serta usaha perkebunan dan
pertambangan. Negara mendaku bahwa ia adalah pemilik sah satu-satunya
semua hutan, tanah, air, dan lautan Nusantara.

Hak ulayat tanah, kegiatan pertanian, dan penangkapan ikan di seluruh
wilayah Indonesia harus mendapat izin dari otoritas yang mendapat
mandat undang-undang. Hukum adat dengan segala perangkat dan kekayaan
komunitas adat dirampas atas nama hukum. Terjadi penyeragaman hukum
secara nasional, bahkan mahkamah adat di Mahkamah Agung pun dihapus.

Para pembuat undang-undang tidak mau menyadari bahwa sebelum negara
ini lahir, telah bersemayam dengan damai komunitas-komunitas adat
dengan semua perangkat kelembagaan mereka. Adalah tidak pantas, yang
datang belakangan melenyapkan yang sudah ada berabad-abad.

Ketiga, aparat negara bersenjata kemudian dikerahkan atau dalam
beberapa kasus di Sulawesi Tengah dan Tenggara serta di Pulau Seram
mengerahkan diri untuk ”mengemban tugas nasional mengamankan instalasi
strategis negara”. Maka aparat pun menjadi centeng-centeng tebal muka
yang menghamba kepada pemilik modal. Inilah inti akar permasalahan
kekerasan di Mesuji, Lampung.

Solusi

Rakyat yang putus asa karena terus dikerasi tanpa hati—khususnya
generasi muda seperti almarhum Sondang Hutagalung—terpuruk dalam
kekecewaan terhadap pengkhianatan negara dengan seluruh perangkatnya.
Maka bakar diri adalah solusi untuk membangunkan elite pengkhianat
ini. Bagi rakyat Mesuji dan rakyat Kulawi di Sulteng, lawan adalah
mantra sakti yang mereka tekadkan.

Jelas, jalan kekerasan tidak ditoleransi dalam masyarakat beradab
hukum ataupun beradat Nusantara. Solusi ke akar masalah harus segera
diupayakan.

Pertama, bentuk Tim Independen Pencari Fakta dengan tidak mengikutkan
pihak Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kehutanan, ataupun TNI
dan Polri. Semua instansi ini adalah bagian dari masalah, bukan
solusi.

Kedua, mengakui komunitas adat dan mengakomodasi ketentuan hukum adat
dalam sistem hukum nasional. Ketiga, memberlakukan moratorium
pembukaan perkebunan kelapa sawit baru dan pertambangan.

Hal serupa juga diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu
mengkritik bahasan dan usulan Lemhannas. Semoga menciptakan damai di
Bumi Pertiwi.

Tamrin Amal Tomagola Sosiolog

Jumat,
23 Desember 2011

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke