Melestarikan Suasana Lebaran

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Sudah merupakan tradisi, setiap lebaran, orang-orang –terutama kaum
muslimin—berusaha untuk saling mengunjungi, melakukan silaturahmi (atau
silaturrahim). Saling meminta maaf dan saling halal-menghalalkan. Bahkan
dari tempat-tempat jauh orang datang untuk keperluan ini. Tradisi mudik yang
begitu luar biasa itu, tak pelak juga didorong oleh keperluan ini.



Bayangkan, berapa juta kira-kira jumlah mereka yang mudik itu? 15-20 juta?
Berarti kira-kira setara dengan penduduk Saudi Arabia, Malaysia , atau
Autralia. Betapa kuatnya motivasi yang mampu menggerakkan 'perpindahan
penduduk' besar-besaran untuk itu dengan segala pengorbanan berupa materiel
maupun morel. Wahai, bisakah kita menciptakan motivasi yang begitu ampuh
untuk hal-hal besar yang kita perlukan dan cita-citakan?!


Secara pribadi, sudah seperti tradisi juga, setiap lebaran, banyak orang
datang ke rumah. Tidak seperti hari-hari biasa dimana lazimnya orang datang
ke rumah dengan tujuan tidak hanya bersilaturahmi, di hari-hari lebaran ini,
mereka yang datang umumnya mligi, semata-mata bersilaturrahim.
Alhamdulillah.


Sebagaimana lebaran pada tahun-tahun sebelumnya, mereka yang datang
memberkahi rumah saya terdiri dari berbagai lapisan, golongan, etnis, ras,
dan agama. Kawan-kawan dari berbagai organisasi, politisi dari berbagai
partai dan kubu, hingga saudara-saudara saya kaum awam, baik yang Ied-nya
Senin atau Selasa; bergiliran datang dengan keakraban yang wajib saya
syukuri. 'Suasana Indonesia' benar-benar terasa sekali.


Mereka yang berbeda agama, berbeda organisasi, berbeda partai, berbeda kubu,
berbeda, sampai yang berbeda hari raya, bertemu dalam majlis lebaran yang
penuh rahmat-persaudaraan. Luar biasa. Kadang-kadang sama-sama Islam atau
sama-sama NU, berbeda hari-raya-nya; tapi tampak sekali bahwa Tuhan mereka
hanya satu: Allah.


"Sampeyan lebaran Senin atau Selasa?"


"Saya ikut pemerintah. Selasa."


"Saya juga Selasa, ikut pengurus besar saya."


"Saya ikut pimpinan saya, Senin."


"Saya juga Senin ikut pengurus wilayah saya."


"Saya hari raya Senin, tapi ikut salat 'Ied Selasa."


"Di tempat saya malah aneh. Ada yang hari raya Selasa tapi mengimami salat
'Ied Senin."


Kemudian terjadi dialog dan diskusi tentang topik lebaran itu dengan santai
penuh keakraban. Tak satu pun di antara mereka yang berbicara dengan nada
menyalahkan yang lain. Sesuatu yang jarang terjadi pada forum lain, dengan
topik lain, di waktu lain, dan situasi lain. Alangkah asyiknya bila berbagai
masalah dan perbedaan di negeri kita ini disikapi demikian.


Kalau dipikir-pikir, masalah Ied atau hari raya ini, lebih kental kaitannya
dengan ubudiyah, dengan akherat. Bagi sebagian atau kebanyakan orang, yang
seperti ini justru dianggap lebih prinsip. Tetapi mengapa mereka bisa
sedemikian toleran terhadap perbedaan? Apa rahasianya?


Boleh jadi suasana lebaran dimana kaum muslimin baru saja digembleng,
terutama dalam pelatihan menahan diri sebulan penuh, masih disarati oleh
kuatnya pengaruh gemblengan Ramadan itu. Apalagi sesuai husnuzhzhan kita,
kaum muslimin yang dengan tekun melaksanakan ibadah puasa dan qiyaamullail
–lillahi ta'alaa-- di bulan suci tempo hari, telah diampuni dosa-dosanya
oleh Allah. Dengan tiadanya dosa, otomatis dada menjadi lebih lapang.
Orang-orang lebih mudah meminta maaf atau pun memberi maaf. Lebih toleran.


Ada satu hal lain yang penting dicermati; yaitu: keakraban dan toleransi
tersebut justru menampakkan diri dalam suasana yang mendukung. Suasana
silaturrahmi.


Apabila pengamatan ini benar, barangkali kita bisa menular-ratakan kondisi
dan suasana keakraban dan toleransi itu ke wilayah yang lebih luas; dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan cara mengawetkan apa-apa yang kita
yakini dapat mewujudkan kondisi dan suasana tersebut.


Hal-hal penting yang perlu kita awet-lestarikan, sesuai pengamatan kita di
atas, antara lain: 1. Meneruskan latihan menahan diri. 2. Meneruskan ibadah
lillahi ta'alaa. 3. Meneruskan kebiasaan silaturrahim di antara kita.
Apabila minimal tiga hal ini bisa kita lestarikan pada bulan-bulan Syawal
dan seterusnya, insya Allah suasana kondusif seperti disinggung di atas yang
selama ini memang kita harapkan, mudah terwujud.


Ini *ngoyoworo* apa tidak ya?



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

-----------------------------------------------***
Donasi Dana untuk Sarikata.com :

No Rek : 145-118-2990
Atas Nama : Yudhi Aprianto
BCA KCP : Gatot Subroto Jkt

Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas donasi yang telah Anda 
berikan demi kelangsungan Sarikata.com di dunia maya ini.

-----------------------------------------------***
cara keluar dari milis ini :
kirim email kosong ke sarikata-unsubscr...@yahoogroups.com 
dan REPLY email konfirmasi dari yahoogroups.

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sarikata/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sarikata/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:sarikata-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:sarikata-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    sarikata-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke