[ppiindia] Roy Suryo: Supersemar yang Beredar Palsu

2008-01-16 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana

Roy Suryo: Supersemar yang Beredar Palsu

http://www.gatra.com/artikel.php?id=111334

Jakarta, 17 Januari 2008 11:20
Pengamat multimedia dan pakar telematika, Roy Suryo berkeyakinan bahwa 
naskah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang beredar selama ini 
adalah palsu.

Saya mengatakan, naskah yang beredar itu palsu, kata Roy, Jakarta, 
Rabu malam (16/1).

Dalam kesempatan itu, Roy bahkan membagikan selebaran yang berisi empat 
buah versi Supersemar yang diberi tanda huruf A,B,C,dan D. Roy kemudian 
menunjuk perbedaan Supersemar yang menurut dia palsu dan asli.

Dari selebaran tersebut, memang ada perbedaan terutama pada bentuk tanda 
tangan Presiden Soekarno, tata cara atau justifikasi penulisan spasi, 
rata kanan-kiri, jarak penulisan antar-huruf pada kata Jakarta di akhir 
surat, serta adanya logo pada kepala surat. Naskah supersemar A,B,dan C 
sumbernya tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan 
naskah yang D, ada dalam film selluloid asli yang dimiliki oleh Arsip 
Nasional Republik Indonesia (ANRI), papar Roy.

Film selluoid asli milik ANRI juga merekam kejadian bersejarah saat 
ketiga pejabat militer pembawa Supersemar yaitu Brigjen Amir Machmud, 
Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen M Yusuf, pulang dari Istana Bogor 
dengan membawa sebuah naskah kepada Presiden Soekarno.

Awalnya dari sini, entah bagaimana kemudian bisa beredar beberapa 
naskah, katanya.

Oleh karena itu, Roy menegaskan, tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa 
yang asli surat yang ada filmnya yang ada pada ketiga jenderal dan itu 
ada adalah naskah yang D.

Saat pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada tanggal 17 
Agustus 1966, tambah Roy, juga jelas disebutkan bahwa supersemar 
sebenarnya bukan pengalihan kekuasaan, melainkan pengalihan pengamanan.

Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, dan perintah pengamanan 
keselamatan Presiden Soekarno. Saya berani menyimpulkan, karena yang 
lain-lain tidak pernah jelas sumbernya. Tapi, kalau yang D jelas saat 
surat itu terbit, katanya.

Roy menambahkan, dirinya bukan orang yang pertama meragukan kebenaran 
supersemar yang beredar. Karena itu, menurutnya, perlu dimulai dari 
sekarang untuk meneliti dan melakukan verifikasi lebih lanjut oleh 
sejarawan dan para pakar lainnya. [EL, Ant]
-- 
Kind regards,
Sulistiono Kertawacana


[ppiindia] Artikel: Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas

2007-05-08 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana

Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/08/opi01.html



Oleh
Sulistiono Kertawacana 

Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus Pertamina bersalah 
dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha 
Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 
Karaha. Maka sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, 
Swiss, 18 Desember 2000, Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC. 
Abitrase menyatakan Pertamina dan PLN melanggar Energy Sales Contract (ESC) dan 
JOC. Keduanya secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC 
sejumlah US$ 261,100,000 (US$ 111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan 
US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per 
tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001. 
Pada 28 November 1994 telah disepakati dua kontrak untuk proyek PLTP Karaha, 
yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung 
jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai kontraktor. 
KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan 
mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, 
dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok 
dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC memilih hukum 
Indonesia.
Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan 
PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa events 
of Force Majeure shall include, but not limited to:.(e) with respect Contractor 
only, any Government Related event (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh 
Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: .(e) hanya berlaku bagi 
Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah). 
Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan 
KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia, termasuk 
tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat 
semua pihak. Di KUHPerdata kita terdapat pasal yang mengatur syarat sahnya 
perjanjian, sebab yang halal dan yang terlarang. Menurut hukum Indonesia, Pasal 
15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah.

Tiga Hikmah
Setidaknya, ada tiga hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu 
dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan atau 
membatalkan proyek-proyek BUMN. Berbagai putusan arbitrase telah merugikan 
Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng.
Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan 
sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah 
diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Ini sekaligus 
menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia.. 
Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya 
kontrak, diperkarakan investor asing. Dari kaca mata hukum, pembatalan kontrak 
melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres. 
Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan 
hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure 
dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam 
bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di 
kemudian hari. 
Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN 
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tapi sebaiknya, didahului dengan pengusutan 
perbuatan korupsinya. Proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani 
keuangan negara. Jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi 
positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan 
korupsi.
Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan 
Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, 
Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan 
Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim diberi tugas meninjau berbagai kontrak listrik 
swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia.

Di Bawah Tekanan
Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina 
dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta 
melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan 
pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN. 
Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan, kasus KKN dan permainan 
kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M 
Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini. 
Banyak kontrak listrik swasta dibuat di bawah tekanan. Sesuai hukum Indonesia, 
pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan 
contoh awal untuk ini. 
Gugatan diajukan

[ppiindia] Artikel: Perlu Dekriminalisasi di Perbankan

2007-03-21 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana




Ada sedikit revisi (warna biru) karena pengeditan Sinar Harapan ada yang kurang 
tepat dan dapat salah tafsir.



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/21/opi01.html

Perlu Dekriminalisasi di Perbankan   



Oleh
Sulistiono Kertawacana *



Imbas pemberantasan korupsi di sektor perbankan bak buah simalakama. Tidak 
diberantas akan menyebabkan perbankan kotor yang dapat mengganggu ekonomi 
nasional. Namun, dengan model pemberantasan yang diskriminatif menyebabkan bank 
BUMN/BUMD ketakutan dalam menyalurkan kredit karena ancaman dijadikan tersangka 
jika kreditnya kelak macet. 
Kita bergembira jika akibat perang melawan korupsi membuat ciut nyali para 
direksi perbankan yang punya niatan jahat. Namun, jika yang timbul ketakutan 
direksi bank BUMN/BUMD yang berniat menyalurkan kredit, tentu tidak 
dikehendaki. Jika tugas perbankan sebagai mediasi antara dana nasabah yang 
disimpan dan debitor yang berniat menjalankan usaha/membiayai proyek 
tersendat-sendat, perkembangan sektor riil juga akan terganggu. 
Kekhawatiran yang dialami direksi BUMN/BUMD dalam menyalurkan kedit, tampaknya 
tidak dialami direksi bank swasta. Sebabnya, hanya kredit macet di bank 
BUMN/BUMD yang dapat menyeret direksi/komisarisnya menjadi tersangka korupsi, 
tidak demikian untuk direksi/komisaris bank swasta. Bisa jadi kesulitan 
pembayaran kredit bank BUMN/BUMD terjadi karena risiko bisnis yang ditanggung 
debitornya. Untuk ini, bisanya ada jaminan yang bisa disita oleh bank.
Diksriminasi ini bersumber dari penjelasan umum paragraf ke-4 huruf b UU 
No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang mendefinsikan keuangan negara adalah 
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak 
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak 
dan kewajiban yang timbul karena (di antaranya-pen) berada dalam penguasaan, 
pengurusan, dan pertanggung-jawaban BUMN/BUMD. 

Dulu Ditindak karena BLBI
UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara mengategorikan (Pasal 2 huruf g) keuangan 
negara termasuk juga (di antaranya-pen) kekayaan negara/kekayaan daerah yang 
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, 
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan 
yang dipisahkan pada perusahan negara/perusahaan daerah.
Berdasarkan data laporan keuangan publikasi Bank Indonesia, komposisi non 
performing loan (NPL, kredit bermasalah) per September 2005, persentase 
terbesar di bank BUMN yakni senilai Rp 39,1 triliun. Bank non-BUMN sebesar 26,9 
persen atau senilai Rp 15,2 triliun. 
Dari 73,1 persen NPL yang terjadi di bank BUMN, tercatat Bank Mandiri memberi 
kontribusi 64,2 persen, Bank Negara Indonesia sebesar 23,67 persen, Bank Rakyat 
Indonesia 9,7 persen dan Bank Tabungan Negara 2,03 persen.
Bisa jadi ada kalangan yang berpendapat, dengan ancaman pidana yang berat saja, 
pengelola bank BUMN masih buruk, apalagi jika dihilangkan. Namun hakikatnya 
tidak sepenuhnya tepat. Pemerintah menghendaki semua bank (swasta dan 
BUMN/BUMD) sehat. Pengalaman 1997 membuktikan, krisis yang dialami bank swasta 
getahnya toh kena ke pemerintah juga. Pertimbangannya adalah menjaga 
kepercayaan terhadap lembaga perbankan umumnya. 
Jika tidak cepat tanggap pemerintah menalanginya, sangat mungkin keresahan 
nasabah bank akan menimbulkan kerusuhan massal. Dengan pertimbangan demikian, 
sesungguhnya tidak relevan jika perumusan deliknya diskriminatif. 
Terseretnya direksi/komisaris/pemegang saham bank swasta dalam tindak pidana 
korupsi dalam krisis perbankan 1997 bukan merupakan bukti tidak 
diskriminatifnya ancaman pidana. Mereka dijadikan tersangka korupsi karena 
dugaan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan/atau obligasi 
negara sebagai talangan pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan. Pemerintah 
dan masyarakat sangat berkepentingan menjaga agar sektor perbankan (BUMN/BUMD 
dan swasta) dapat tumbuh sehat. Oleh karenanya, ganjaran terhadap siapa pun 
yang merusak sektor perbankan harus sama beratnya.
Sebaiknya dihapuskannya ancaman terhadap perbuatan korupsi bagi bank BUMN/BUMD 
disertai pula revisi UU Perbankan. Sanksi bagi pelanggarnya harus lebih berat 
dan kriterianya tindak pidana perbankan lebih detail dan jelas. 
Jangan lagi ada diskriminasi bank BUMN/BUMD dan swasta dalam hal sanksi atas 
pelanggaran hukumnya. Demi menghilangkan ketakutan yang tidak pada tempatnya 
para direksi bank BUMN/BUMD, perlu dilakukan dekriminalisasi (penghapusan 
tindak pidana) di bank BUMN/BUMD. Logikanya ketika institusi negara menjalankan 
usaha yang masuk dalam wilayah korporasi, maka hukum yang berlaku pun sama. 

Dekriminalisasi 
Bagaimana pun kita tidak menghendaki penyalahgunaan dana perbankan BUMN/BUMD. 
Karenanya, untuk melindungi dana masyarakat dan kepercayaan publik, diperlukan 
perubahan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang 
Perbankan (UU Perbankan

[ppiindia] Artikel: Logika Tukang Ojek Gelora Bung Karno

2005-12-09 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana


Best regards,
Sulistiono Kertawacana

   
 
  
 

--
 
  Rabu, 07 Desember 2005
 O P I N I No.  5169
 
  
   
   Halaman Utama 
   Tajuk Rencana 
   Nasional 
   Ekonomi 
   Uang  Efek 
   Jabotabek 
   Nusantara 
   Luar Negeri 
   Olah Raga 
   Iptek 
   Hiburan 
   Feature 
   Mandiri 
   Ritel 
   Hobi 
   Wisata 
   Eureka 
   Kesehatan 
   Cafe  Resto 
   Hotel  Resor 
   Asuransi 
   Otomotif 
   Properti 
   Promarketing 
   Budaya 
   CEO 
   Opini 
   Foto 
   Karikatur 
   Komentar Anda 
   Tentang SH 
  

   Logika Tukang Ojek Gelora Bung Karno 



Oleh
Sulistiono Kertawacana

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit aset Gelora Bung 
Karno (GBK). Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun sedang menyelidiki 
dugaan korupsi terhadap pengalihan fungsi aset GBK kepada swasta. Perang urat 
saraf pun terjadi antara Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dengan Ketua BPK Anwar 
Nasution. Yusril mencela sinyalemen Anwar tentang salah urus aset GBK yang 
berada di bawah Sekretariat Negara (Setneg), memakai logika tukang ojek.
GBK memang aset menggiurkan. Kompleks itu pernah jadi rebutan 
Gubernur Jakarta Sutiyoso dan Mendagri Hari Sabarno saat era baru otonomi 
daerah. Jakarta sebagai ibu kota negara berniat mengambilalih kepemilikan GBK 
dari pemerintah pusat. Aset yang terdiri dari tanah dan bangunan, baik yang 
berada di dalam maupun di luar komplek, dapat menghasilkan uang yang tidak 
sedikit. Jika ditilik dari sejarahnya, GBK diperuntukkan bagi penyelenggaraan 
Asian Games IV tahun 1962. 

Aset GBK 
Dasar pengelolaan GBK adalah Keppres No 4/1984 yang diubah terakhir 
dengan Keppres No 72/1999 tentang Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan. 
Melalui Keppres No 7/2001 Gelanggang Olah Raga Senayan diubah menjadi Gelora 
Bung Karno (GBK). GBK milik Negara Republik Indonesia. Penguasaan, pengelolaan, 
dan administrasi GBK dilakukan pemerintah (Setneg). Segala biaya yang 
dikeluarkan oleh Badan Pengelola ditanggung Sekretariat Negara.
Badan Pengelola dibentuk untuk mengelola dan mengusahakan GBK. 
Badan ini terdiri dari unsur pemerintah dan Pemda (Gubernur DKI Jakarta). Dan 
bertanggung jawab serta berkewajiban melaporkannya secara berkala atau 
sewaktu-waktu sesuai kebutuhannya kepada presiden.
Badan pengelola bertugas mengurus GBK dengan sebaik-baiknya 
sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan selama-lamanya bagi 
kepentingan negara dan masyarakat atas kemampuannya sendiri. Mengelola dan 
mengusahakan pemanfaatan semua tanah dan bangunan untuk menunjang kegiatan olah 
raga nasional dan mendukung upaya untuk memajukannya.
GBK dikelola oleh Direksi Pelaksana Pengelolaan, terdiri dari 
seorang Ketua Direksi dan beberapa anggota Direksi. Mereka diangkat dan 
diberhentikan oleh Mensesneg selaku ketua Badan Pengelola. Mereka bertanggung 
jawab dan berkewajiban melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berkala atau 
sewaktu-waktu sesuai kebutuhan kepada Badan Pengelola GBK. 
Direksi Pelaksana — dengan persetujuan Badan Pengelola GBK — dapat 
mengadakan kerja sama dan/atau perikatan dengan pihak lain sesuai ketentuan. 
Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas Badan Pengelola GBK 
ditanggung Setneg.
Terkait status kelembagaan, Presiden menerbitkan Keppres No 23/2001 
tanggal 19 Februari 2001 tentang Tim Pengkajian Kelembagaan Pengelolaan GBK 
yang bertugas mengkaji status dan bentuk kelembagaan pengelolaan GBK.
Tim tersebut diberi waktu paling lama 6 bulan sejak Keppres 
ditetapkan. Namun, hingga jangka waktunya terlewati, ketika itu belum ada 
keputusan untuk menentukan status kelembagaan hukum GBK. Baru kemudian pada 18 
Oktober 2004 melalui Keppres No 94/2004 tentang Pengelolaan Komplek GBK 
menetapkan GBK sebagai Peninggalan Nasional. Keppres No 94/2004 juga mencabut 
Keppres No 4/1984 yang terakhir diubah dengan Keppres No 72/1999 yang mengatur 
pengelolaan GBK.

Jadikan Badan Usaha
Dengan status sebagai peninggalan nasional, maka segala biaya 
pengelolaannya menjadi otonom, yang berasal dari pengelolaan komplek GBK. 
Sedangkan struktur organisasi tidak mengalami perubahan signifikan, dikelola 
Badan Pengelola yang menetapkan kebijakan umum. Ketua Badan Pengelola tetap 
Mensesneg dengan anggota Menkeu, Mendiknas, Menkimpraswil, Gubernur Jakarta, 
dan Ketua KONI pusat.
Dengan anatomi GBK tersebut, apakah masih pantas ia dikelola dengan 
melibatkan para menteri (birokrat)? Rasanya kurang tepat lagi GBK

[ppiindia] Artikel: Bila Pemkab Berbisnis Minyak

2005-09-12 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
Bila Pemkab Berbisnis Minyak
   
 
  
 

--
 
  Senin, 12 September 2005
 O P I N I No.  5098
 
  
   
   Halaman Utama 
   Tajuk Rencana 
   Nasional 
   Ekonomi 
   Uang  Efek 
   Jabotabek 
   Nusantara 
   Luar Negeri 
   Olah Raga 
   Iptek 
   Hiburan 
   Feature 
   Mandiri 
   Ritel 
   Hobi 
   Wisata 
   Eureka 
   Kesehatan 
   Cafe  Resto 
   Hotel  Resor 
   Asuransi 
   Otomotif 
   Properti 
   Promarketing 
   Budaya 
   CEO 
   Opini 
   Foto 
   Karikatur 
   Komentar Anda 
   Tentang SH 
  

   Bila Pemkab Berbisnis Minyak   



Oleh
Sulistiono Kertawacana

Setelah berlarut-larut, nota kesepahaman (MoU) perpanjangan kontrak 
pengelolaan Migas di Blok Cepu akhirnya 25 Juni 2005 ditandatangani Exxon Mobil 
dan tim negosisasi bentukan pemerintah. Kesepakatan ini akan mengakhiri kontrak 
bantuan teknis (Technical Assistance Contract –TAC) antara Exxon dan Pertamina, 
berubah menjadi Kontrak Bagi Hasil (KBH). Untuk 30 tahun ke depan, Blok Cepu 
akan dikelola perusahaan patu-ngan yang akan bertindak sebagai kontraktor bagi 
hasil. Perusahaan patungan ini sahamnya akan dimiliki Pertamina 45%, Exxon 45%, 
dan pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro 10%. 
Total investasi untuk mendulang minyak di daerah Cepu yang telah 
mulai dieksplorasi 1901 diperlukan kurang lebih US$ 2,6 miliar. Pemkab 
Bojonegoro harus menyediakan dana sekitar US$ 260 juta. Padahal, Bojonegoro 
cuma memiliki Pendapatan Asli Daerah sekitar Rp 34 miliar dan APBD sekitar Rp 
400 miliar. Bupati Bojonegoro M Santoso sangat optimistis akan mendapatkan uang 
penyertaan modal tersebut. “Sumbernya dari BUMD, masyarakat, dan investor 
lokal,” tegasnya.
Ternyata memang mudah mencari investor lokal untuk berkongsi di 
Blok Cepu. Negosiasi dengan berbagai perusahaan sebagai mitra (pemegang sa-ham) 
PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) telah dilakukan. ADS adalah BUMD yang sengaja 
dibentuk Pemkab Bojonegoro mengelola Blok Cepu. Didukung kemitraan dengan PT 
Surya Energi Raya (SER) milik boss Media Group, Surya Paloh, DPRD (dalam pleno 
5 Juli lalu) menyetujui penyertaan mereka..

Saham Bodong 
Sayangnya, skema kerja sama antara SER dalam ADS tak lazim, bahkan 
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengakuan Sugeng 
Suparwoto - Humas SER - seluruh kewajiban penyetoran modal Pemkab Bojonegoro 
(melalui ADS –pen) dalam mengeksploitasi Blok Cepu sejumlah sekitar US$ 260 
juta semuanya ditanggung SER. 
Imbalannya, SER akan menjadi pemegang saham 75% perusahaan patungan 
ADS antara SER dan Pemkab Bojonegoro. Otomatis, SER akan memperoleh interest 
75% dari total 10% interest Pemkab dalam di Blok Cepu itu. 
Sayangnya pula, Pemkab selaku pemegang saham ADS adalah pemegang 
“saham bodongî (saham yang dimiliki tanpa menyetor modal). Otomatis, 
participating interest Pemkab Bojonegoro dalam pengelolaan Blok Cepu juga 
“participating interest bodong” (tanpa menyetor dana). Praktik “saham bodongî 
memang sesuatu yang ‘lazim’ di masa lalu. Hasilnya, proyek-proyek bisnis 
tersebut banyak merugikan kepentingan masyarakat. 
Karenanya, skema “saham bodongî harus batal demi hukum, sebab 
bertentangan dengan PP No 35/2004. Kecuali kita bermaksud melestarikan 
kebiasaan “tak senonoh”. Pasal 34 juncto Pasal 35 PP No 35/2004 tentang 
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menetapkan “sejak disetujuinya rencana 
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari satu wilayah 
kerja, kontraktor wajib menawarkan (selama 60 hari) participating interest 10% 
kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)”. Syaratnya, BUMD harus memiliki 
kemampuan finansial yang cukup untuk berpartisipasi. 
Ketentuan ini jelas tidak memperkenankan participating interest 
daerah “dibeli” oleh swasta dengan kompensasi tertentu. “Participating ineterst 
bodong” juga terlarang, dan dengan demikian batal demi hukum. 
Hampir dipastikan, banyak kreditor yang berminat. Sebab, Blok Cepu 
sangat menggiurkan yang diperkirakan dapat menghasilkan 600 juta barel. Setiap 
harinya diperkirakan menghasilkan minimal 180.000 barel/hari atau sekitar Rp 
16,2 triliun/tahun. Bahkan bisa jadi hasilnya lebih besar dari hitungan kasar 
tersebut. Jadi risiko gagalnya sangat kecil. Apalagi harga minyak yang 
cenderung meninggi.

Menambah PAD 
Keikutsertaan BUMD untuk mengambil participating interest dalam 
Blok Cepu bukanlah prasyarat mutlak agar Blok Cepu dapat digarap. Jika secara 
finansial BUMD tidak memenuhi syarat sebagaimana

[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia

2005-07-25 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
Ada bagian yg diedit oleh redaktur suara karya (mungkin karena persoalan 
teknis)..berikut ini saya sertakan informasi tambahan  
Menurut catatan Komisi Hukum Internasional (1977), doktrin utang 
najis pertama dikenal ketika tahun 1898 AS menolak membayar utang-utang Cuba 
dalam perundingan Perang Amerika-Spanyol. AS mengklaim baik AS maupun Cuba 
tidak bertanggung jawab atas utang Cuba dengan alasan -diantaranya- utang 
dihimpun semasa Cuba dalam kolonial dan tidak memberi benefit bagi orang Cuba. 
Soviet juga tidak mengakui utang yang telah dihimpun Tsar pada tahun 1921 
dengan alasan yang serupa. 

Tahun 1923 Costa Rica menganggap utang yang dihimpun rezim 
Frederico Tinoco kepada the Royal Bank of Canada adalah  utang najis. Kasus ini 
akhirnya masuk dalam arbitrase Inggris Raya vs Costa Rica. 

Hakim ketua dari AS, Taft menetapkannya sebagai utang yang tidak 
sah (memenangkan Costa Rica). Alasannya, Bank telah mengetahui utang digunakan 
mantan presiden F. Tinoco untuk kepentingan pribadi ketika berada dalam 
pengasingan di luar negeri (Annual Digest of Public International Law Cases, 
1923). 

Alasan penghapusan utang dengan alasan ekonomi pertama dilakukan 
Jerman setelah Perang Dunia II. Kewajiban Jerman terhadap kreditor ketika itu 
DM 1,5 milyar per tahun. Jumlah ini memberatkan. Dikhawatirkan ekonominya akan 
kacau (jika tetap dibayar) yang berakibat chaos yang memicu munculnya pemimpin 
model Hitler dengan Nazi-nya.

Juru runding Jerman -Josef Abs- berhasil meyakinkan para kreditor 
sehingga Jerman membayar utangnya dalam rasio yang sehat terhadap neraca 
perdagangan luar negerinya. Perundingan yang diselenggarakan di London pada 27 
Februari 1952 tersebut sepakat menghapus utang luar negeri nomial Jerman 
sebanyak 51,5% (Ivan A Hadar, 2004).

Kedua, saat global debt problem, tahun 1982 Mexico menyatakan diri 
pailit dan tidak mampu melunasi kewajiban membayar utang pokok dan bunga 
utang swasta yang diterimanya. Langkah ini kemudian banyak ditiru negara 
Amerika Latin lainnya. Kalangan internasional pun urun rembug membantunya.
Best regards,
Sulistiono Kertawacana

  Terimakasih pak Sulistio untuk artikelnya.
  Seharusnya memang elite yang melakukan pinjaman serta
  yang menikmati bagian terbesar dari hutang tersebutlah
  yang seharusnya membayar hutang tersebut (termasuk
  oknum Bank Dunia yang bekerjasama).

  Insya Allah artikel ini dapat memberikan pencerahan
  serta bermanfaat bagi rakyat banyak.

  --- Sulistiono Kertawacana [EMAIL PROTECTED]
  wrote:

   Suara Karya Online
   
   
  Senin, 25 Juli 2005 
 Penghapusan Utang Indonesia
   Oleh Sulistiono Kertawacana 
   
   
   Senin, 25 Juli 2005
   Menjelang pertengahan Juni
   lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan
   Presiden AS George W Bush menyepakati untuk
   menghapus 100 persen utang negara-negara miskin di
   Benua Afrika. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah
   Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang
   atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan
   penghapusan utang? 
   
   Dalam sejarah utang luar
   negeri, penghapusan utang (sebagaian atau
   seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau
   ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan
   ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan hukum
   terkait dengan legitimasi suatu rezim atau
   penyalahgunaan dana pinjaman 
   
   Alasan hukum memandang utang
   sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt
   (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce
   (1998) membedakan definisi keduanya. 
   
   Utang najis adalah pinjaman
   yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam
   perspektif demokrasi, yakni tidak representatif,
   otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan untuk
   menindas rakyatnya. Sedangkan utang kriminal adalah
   bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah
   dikorup oleh pejabat pemerintah dan/atau kroninya.
   Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang tersebut
   harus dibayar oleh rakyat negara debitor. 
   
   Tujuannya, kreditor tidak
   mengucurkan pinjaman sekadar memandang risiko
   ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika
   utang terkategori utang najis atau utang kriminal,
   maka ada risiko tidak dibayar (seluruhnya). 
   
   Dalam sejarahnya, Bank Dunia
   memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang
   negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term,
   Naples Term, dan High Indebted Poor Countries
   Initiatives. (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan
   negara debitor menjalankan Structural Adjustment
   Program oleh IMF. 
   
   Brady Plan digagas Menkeu AS
   Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut
   utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat

[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia

2005-07-24 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
Suara Karya Online


   Senin, 25 Juli 2005 
 
 
   
   
 
  Opini   
 












   
  
   Paradoks Utang Luar Negeri
Oleh Gunoto Saparie 
   Penghapusan Utang Indonesia
Oleh Sulistiono Kertawacana 
   Ruhut P Sitompul:
Jangan Sakiti Hati Rakyat! 
   Menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini
Oleh Sukirno 
   Memahami Mekanisme Kerja DPR
Oleh H Rustam E Tamburaka 
   Strategi Cina terhadap Taiwan
Oleh A Kardiyat Wiharyanto 
   Ahmadi-Nezhad Vs George W Bush
Oleh Riza Sihbudi 
   Asingisasi Perbankan Nasional
Oleh Susidarto 
   Mencermati Kriteria Bank Jangkar
Oleh Sabaruddin Siagian 
   Kontroversi Partai Lokal di Aceh
Oleh Faruuq Tri Fauzi 
   Surat kepada Para Hakim Indonesia (2)
Oleh H. Benyamin Mangkoedilaga 
   Menyoal Ulang Kasus Pelanggaran HAM
Oleh Abdul Latifi 
arsip   
   
   Pemberian Akses Bagi
Pembaca Meter Air 
   Hati-hati Berada
Di Pusat Keramaian 
   Memerlukan Buku
Pengajaran Bahasa
Inggris untuk SD 
   Jalur Hukum Redam
Kontroversi Perpres 36/2005 
   Mulailah Gerakan
Penghematan dari DPR 
   Klarifikasi Nama
Penulis Artikel Opini
Di HU Suara Karya 
arsip   
   
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
arsip   
   
   Memancing di Air Keruh 
   Menyikapi Bencana Nasional
Flu Burung 
   Membersihkan Sapu Kotor 
   Flu Burung Sudah Menjadi Teror 
   Demi Rakyat, Tidak Perlu Bersitegang 
   Perang Terhadap Mafia Peradilan 
arsip   

  Penghapusan Utang Indonesia
Oleh Sulistiono Kertawacana 


Senin, 25 Juli 2005
Menjelang pertengahan Juni lalu, Perdana Menteri 
Inggris Tony Blair dan Presiden AS George W Bush menyepakati untuk menghapus 
100 persen utang negara-negara miskin di Benua Afrika. Bagaimana dengan 
Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang atau 
perlukah Indonesia mengajukan permohonan penghapusan utang? 

Dalam sejarah utang luar negeri, penghapusan utang 
(sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau ekonomi. Alasan 
ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan 
hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim atau penyalahgunaan dana pinjaman 

Alasan hukum memandang utang sebagai odious debt (utang 
najis) atau criminal debt (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce 
(1998) membedakan definisi keduanya. 

Utang najis adalah pinjaman yang dilakukan oleh rezim 
yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni tidak representatif, otoriter, 
diktator, dan opresif yang digunakan untuk menindas rakyatnya. Sedangkan utang 
kriminal adalah bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh 
pejabat pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh 
utang tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor. 

Tujuannya, kreditor tidak mengucurkan pinjaman sekadar 
memandang risiko ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika utang 
terkategori utang najis atau utang kriminal, maka ada risiko tidak dibayar 
(seluruhnya). 

Dalam sejarahnya, Bank Dunia memiliki beberapa model 
untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term, 
Naples Term, dan High Indebted Poor Countries Initiatives. (Pakarsa HIPC). 
Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan Structural Adjustment Program 
oleh IMF. 

Brady Plan digagas Menkeu AS Nicholas Brady ketika 
berusaha menanggulangi kemelut utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat negara 
memperoleh penghapusan utang, jika 3 dari 4 kondisi dipenuhi. Yakni, (i) rasio 
ULN terhadap Gross National Product (GNP) lebih dari 50%, (ii) rasio ULN 
terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio peningkatan utang terhadap ekspor 
lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio peningkatan suku bunga terhadap ekspor 
lebih dari 25%. 

Toronto terms diberikan kepada negara debitor dengan 
kriteria GNP per kapita kurang dari 610 dolar AS (pada tahun 1990) atau yang 
mengalami problem

[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia

2005-07-24 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
Suara Karya Online




   Senin, 25 Juli 2005 
 
 
   
   
 
  Opini   
 












   
  
   Paradoks Utang Luar Negeri
Oleh Gunoto Saparie 
   Penghapusan Utang Indonesia
Oleh Sulistiono Kertawacana 
   Ruhut P Sitompul:
Jangan Sakiti Hati Rakyat! 
   Menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini
Oleh Sukirno 
   Memahami Mekanisme Kerja DPR
Oleh H Rustam E Tamburaka 
   Strategi Cina terhadap Taiwan
Oleh A Kardiyat Wiharyanto 
   Ahmadi-Nezhad Vs George W Bush
Oleh Riza Sihbudi 
   Asingisasi Perbankan Nasional
Oleh Susidarto 
   Mencermati Kriteria Bank Jangkar
Oleh Sabaruddin Siagian 
   Kontroversi Partai Lokal di Aceh
Oleh Faruuq Tri Fauzi 
   Surat kepada Para Hakim Indonesia (2)
Oleh H. Benyamin Mangkoedilaga 
   Menyoal Ulang Kasus Pelanggaran HAM
Oleh Abdul Latifi 
arsip   
   
   Pemberian Akses Bagi
Pembaca Meter Air 
   Hati-hati Berada
Di Pusat Keramaian 
   Memerlukan Buku
Pengajaran Bahasa
Inggris untuk SD 
   Jalur Hukum Redam
Kontroversi Perpres 36/2005 
   Mulailah Gerakan
Penghematan dari DPR 
   Klarifikasi Nama
Penulis Artikel Opini
Di HU Suara Karya 
arsip   
   
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
   Rumors 
arsip   
   
   Memancing di Air Keruh 
   Menyikapi Bencana Nasional
Flu Burung 
   Membersihkan Sapu Kotor 
   Flu Burung Sudah Menjadi Teror 
   Demi Rakyat, Tidak Perlu Bersitegang 
   Perang Terhadap Mafia Peradilan 
arsip   

  Penghapusan Utang Indonesia
Oleh Sulistiono Kertawacana 


Senin, 25 Juli 2005
Menjelang pertengahan Juni lalu, Perdana Menteri 
Inggris Tony Blair dan Presiden AS George W Bush menyepakati untuk menghapus 
100 persen utang negara-negara miskin di Benua Afrika. Bagaimana dengan 
Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang atau 
perlukah Indonesia mengajukan permohonan penghapusan utang? 

Dalam sejarah utang luar negeri, penghapusan utang 
(sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau ekonomi. Alasan 
ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan 
hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim atau penyalahgunaan dana pinjaman 

Alasan hukum memandang utang sebagai odious debt (utang 
najis) atau criminal debt (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce 
(1998) membedakan definisi keduanya. 

Utang najis adalah pinjaman yang dilakukan oleh rezim 
yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni tidak representatif, otoriter, 
diktator, dan opresif yang digunakan untuk menindas rakyatnya. Sedangkan utang 
kriminal adalah bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh 
pejabat pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh 
utang tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor. 

Tujuannya, kreditor tidak mengucurkan pinjaman sekadar 
memandang risiko ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika utang 
terkategori utang najis atau utang kriminal, maka ada risiko tidak dibayar 
(seluruhnya). 

Dalam sejarahnya, Bank Dunia memiliki beberapa model 
untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term, 
Naples Term, dan High Indebted Poor Countries Initiatives. (Pakarsa HIPC). 
Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan Structural Adjustment Program 
oleh IMF. 

Brady Plan digagas Menkeu AS Nicholas Brady ketika 
berusaha menanggulangi kemelut utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat negara 
memperoleh penghapusan utang, jika 3 dari 4 kondisi dipenuhi. Yakni, (i) rasio 
ULN terhadap Gross National Product (GNP) lebih dari 50%, (ii) rasio ULN 
terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio peningkatan utang terhadap ekspor 
lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio peningkatan suku bunga terhadap ekspor 
lebih dari 25%. 

Toronto terms diberikan kepada negara debitor dengan 
kriteria GNP per kapita kurang dari 610 dolar AS (pada tahun 1990) atau yang 
mengalami

[ppiindia] UU APBN di Judicial Review

2005-05-04 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
FYI Alhamdulilah, akhirnya pada 20 April 2005 , UU APBN 2005 di-judicial 
review karena tidak mengalokasikan 20% dari APBN 2005 dialokasikan untuk sektor 
pendidikan sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 beitanya ada di 
majalah Trust Edisi 30 Tahun III 25 April - 1 Mei 2005 halaman 84-85 kolom 
hukum.

Best regards,
Sulistiono Kertawacana

Law Offices of WIRIADINATA  WIDYAWAN
Graha Niaga 25-26th Floors,
Jl. Jendral Sudirman Kav. 58, Jakarta 12190, INDONESIA
Phone:+62-21-250 5175 (hunting)
Facsimile: +62-21-250 5185
 Email: [EMAIL PROTECTED] or [EMAIL PROTECTED]
THE CONTENT OF THIS EMAIL IS CONFIDENTIAL===
If you are not the intended recipient(s), you must not disclose or use the 
information contained in it (including any attachments hereto). If you received 
this email in error, please contact us immediately by return email and delete 
it  and all attachments immediately from your system. Please do not copy it or 
use it for any purposes, or disclose its contents to any other person. Please 
be cautioned that we cannot be responsible for any viruses or other interfering 
or damaging elements which may be contained in this e-mail (including any 
attachments hereto).


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/OCfFmA/UOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] artikel: Menanti Judicial Review APBN

2005-04-05 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana


Menanti ”Judicial Review” APBN


   
 
  
 

--
 
  Senin, 04 April  2005
 O P I N I No.  4965
 
  
   
   Halaman Utama 
   Tajuk Rencana 
   Nasional 
   Ekonomi 
   Uang  Efek 
   Jabotabek 
   Nusantara 
   Luar Negeri 
   Olah Raga 
   Iptek 
   Hiburan 
   Feature 
   Mandiri 
   Ritel 
   Hobi 
   Wisata 
   Eureka 
   Kesehatan 
   Cafe  Resto 
   Hotel  Resor 
   Asuransi 
   Otomotif 
   Properti 
   Promarketing 
   Budaya 
   CEO 
   Opini 
   Foto 
   Karikatur 
   Komentar Anda 
   Tentang SH 
  

   Menanti ”Judicial Review” APBN



Oleh
Sulistiono Kertawacana

Banyak kalangan kecewa atas sikap pemerintah yang tidak menyambut 
baik tawaran debt moratorium (penundaan pembayaran utang) pascabencana tsunami 
di Aceh. Padahal gagasan itu diluncurkan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder 
selaku salah satu negara kreditor dan didukung Inggris, Italia, Jepang, Kanada, 
dan Prancis. Kita mungkin gusar atas sikap pemerintah RI yang tak melakukan 
upaya sama sekali terhadap peluang emas senilai minimal Rp 20 triliun sampai Rp 
25 triliun pada tahun 2005 itu. 
Awalnya pemerintah ragu meminta debt moratorium pada negara 
kreditor dengan alasan khawatir akan menurunkan peringkat utang Indonesia 
sebagaimana dinyatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala 
Bappenas Sri Mulyani. Pendapat ini disangkal lembaga pemeringkat utang 
internasional yang menyatakan permohonan debt moratorium RI tidak akan 
menurunkan peringkat utangnya.
Komentar yang semakin mengukuhkan Indonesia tidak memerlukan 
moratorium lebih tegas dikemukakan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. 
Menurutnya, Indonesia tidak butuh moratorium utang karena kondisi anggaran 
cukup aman dengan adanya komitmen pinjaman dan hibah dari CGI senilai US$ 5,1 
miliar. Dan ternyata dampak ekonomi dari tsunami bisa diantisipasi (Bisnis 
Indonesia 7/2/05). Benarkah demikian? Mari kita teliti alokasi APBN 2005.
Dalam APBN tahun 2005 dialokasikan untuk pembayaran utang berjumlah 
Rp 110,8 triliun (25,% dari belanja negara yang jumlahnya Rp 441,61 triliun) 
atau 29,33% dari pendapatan negara. 

Pendidikan dan Kesehatan 
Pembayaran utang terdiri dari (i) bunga utang dalam negeri Rp 38,84 
triliun, (ii) bunga utang luar negeri Rp 25,14 triliun, dan (iii) cicilan pokok 
utang luar negeri Rp 46,84 triliun. Pembayaran utang merupakan komponen 
terbesar dari defisit anggaran 2005 yang berjumlah Rp 63,73 triliun. 
Utang luar negeri (ULN) baru yang akan diterima pemerintah Rp 26,64 
triliun, sedangkan pembayaran ULN Rp 71,98 triliun. 
Untuk itu, selama ini pemerintah terus mengurangi alokasi pos 
belanja negara untuk berbagai sektor penting seperti pendidikan, kesehatan dan 
pelayanan umum. 
Artinya, APBN lebih mengutamakan pembayaran utang dengan 
mengabaikan peme-nuhan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi.
Lantas apa yang bisa dilakukan masyarakat jika tekanan politik 
tidak bisa mengubah kebijakan pemerintah yang tak kuasa menolak tekanan 
internasional? Dengan melihat produk hukum APBN dalam bentuk UU, maka upaya 
hukum yang tepat adalah mengajukan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi 
(MK) terhadap APBN yang dinilai tidak berpihak pada hak-hak konstitusi rakyat.
Berdasarkan Pasal 24C (amendemen) UUD 1945 diatur bahwa MK 
berwenang, di antaranya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang 
putusannya bersifat final untuk menguji UU (termasuk APBN) terhadap UUD. MK 
sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) akan menilai apakah 
APBN dengan potret sebagaimana di atas mencerminkan keberpihakan pemerintah 
terhadap hak-hak konstitusi rakyat Indonesia. 
Apakah alokasi APBN yang jauh lebih besar untuk pembayaran utang 
ketimbang untuk alokasi pendidikan dan kesehatan tidak bertentangan dengan UUD 
1945? Apalagi upaya pemerintah meminta debt moratorium kepada kreditor sangat 
tak memadai.

Tidak Didikte 
Setidaknya ada beberapa hak konstitusi rakyat yang dijadikan dasar 
untuk me-review APBN. Satu, berkaitan dengan anggaran di sektor pendidikan. 
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menetapkan negara memprioritaskan anggaran 
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi 
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dua, berkaitan dengan anggaran sektor kesehatan dan pelayanan umum. 
Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menetapkan negara 
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas