Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
Nilai seorang wanita is identic with beauty..either is outer beauty or inner beauty..hal2 tsbt merupakan pemikiran yang berkembang selama ini didalam masyarakat...tapi klo nilai seorang pria mungkin identic dng kesuksesan..karena pemikiran masyarakat dari dulu sampe sekarang memang nilai seorang pria dilihat dari kesuksesan and it means two words..Capital and Power.., semua pria punya ambisi n visi utk mencapai hal tsbt..., the nature of men is competition, expand of power and territorial domination.., sehingga dari pemikiran ini maka berkembang bhw wanita melihat nilai seorang laki2 dari segi Capital n Power.., bnyk pria lbh choose to pursue these two kinda things but forget to improve their mental and emotional awareness or perhaps most men re emotionally retarded..., anyway...bnyk pria yang maybe belom merasa achieve the capital and power..jadi feeling unworthy, frustrated, rejected by women...worse if they love a women that seems earn more capital n power than him..., to men to compete with their fellow men is already hard enough..but it's gets worst when they have to compete with women.. actually...men should develop their inner strength...to gains more wisdom than profit...to improve their emotional awareness.. perhaps kalo dalam hubungan social-comunal, masyarakat saat ini set up the price or standard too high for men to achieve..ukuran kesuksesan bagi seorang pria dinilai or dijudge oleh masyarakat too harsh..sehingga banyak pria yang frustrated or loose his balance or even dont have a guts to enter the competition.. anyway,dalam hubungan pria dan wanita, sering dasar pemikiran ini tetap dijadikan dasar bagi pria dalam hal penilaian wanita terhadap pria.., so many times men re failed to look beyond this, actually dalam relationship between men and women..pemikiran tersebut bukanlah basic needs bagi women..utk menilai seorang pria.. banyak wanita tidak mengukur nilai seorang pria dari kesuksesan capital n power..i think it's a false beliefs that had been long rooted in men's species..so implikasinya pria jadi parno or offensive klo disinggung ttg hal itu.. the reason is simple '' gak pede aja" or minder..:)).. "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]To: >cc: Sent by: Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga [EMAIL PROTECTED] ups.com 04/21/2005 08:26 AM Please respond to ppiindia Kenapa hanya dan harus wanita, bukannya yang lelaki juga ? salam, Ari Condro - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> > > > yah ini mungkin menanggapinya dari sisi orang yang berpikiran > negatif terhadap bapak tersebut, tapi ungkapan bapak itu > menunjukkan bahwa dengan kelembutan hati wanita yang mulia > dalam bidang kedokteran tidak akan terjadi bawah pisau bedah > itu digunakan hanyauntuk merobek kantong rakyat yang sudah tidak > berduit ... seharusnya pisau bedah kedokteran di gunakan > oleh orang-orang yang berhati mulia lemah lembut seperti > caon dokter tersebut ... agar tujuan ilmu kedokteran memang > benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan .. > > jadi harga wanita tidak separuh, tapi harganya tidak ternilai.. > harganya bagaikan batu permata yang sangat indah ...yakni > ketulusan ... dan keikhlasan ...dalam berkarya > > salam > > > > > > "Ambon" > <[EMAIL PROTECTED] To: > e>
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
Dari ngomongin dokter, jebule presiden. Eniwei, di Amrik yg ada isu kemampuan dan kapabilitas, kalo di Indon isunya Perempuan haram jadi presiden. Bukannya yg haram itu kalo jadi khalifah hue he he :)) Lagian juga diantara 20 negara paling demokratis, Amerika itu cuma nomer underdog, nomer 30. Paling demokratis itu Finlandia. Dominasi sepuluh besar emang ama negara-negara Skandinavia. salam, Ari Condro - Original Message - From: "Samsul Bachri" <[EMAIL PROTECTED]> > > Pesan yang cukup menarik, yang mungkin akan sulit direalisasikan. Di negara > Paman Sam saja, yang "Mbahnya" persamaan gender (katanya) belum bisa tuh > wanita menyamai pria. Mo bukti? Mana pernah wanita jadi presiden di sana. > Atau wapres deh...! Kasihan deh yang berkiblat ke > Amrikhehehalih-alih bisa melakukan pembuktian, malah menuduh orang > lain sebagai 'fundamentalis agama'.. > > salam > > - Original Message - > From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> > To: <[EMAIL PROTECTED]> > Sent: Wednesday, April 20, 2005 3:13 PM > Subject: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > > > > > > > > - Original Message - > > From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> > > > > Wanita itu Separuh Harga > > > > Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang > > Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan > > mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai > > seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat > > halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah > > thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah > > ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu > > petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: > > > > "Mbak kuliah di mana?" > > "Di Fakultas Kedokteran, Pak" > > "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini > > sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". > > "Oh ya ... Kenapa, Pak?" > > "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, > > jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. > > Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " > > "Oh begitu Pak, ya ...?" > > > > Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab > > mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar > > percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat > > prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di > > lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh > > harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan > > melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. > > Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin > > tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" > > agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat > > religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula > > mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap > > wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di > > depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi > > saya. > > > > Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya > > seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun > > kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah > > menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. > > Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita > > seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena > > "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam > > bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari > > nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya > > diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi > > profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang > > demikian, seharusnya gaji pegawai dan upah minimum > > harus didiskriminasi berdasarkan gender pula. Wanita > > yang pegawai negeri, dosen, buruh pabrik, karyawati, > > dan sebagainya, semestinya mendapatkan gaji lebih > > rendah dari sejawatnya yang pria hanya karena mereka > > adalah wanita, dan wanita adalah "bukan pencari > > nafkah". > > > > Hal ini, sekali lagi, terlontar dari mulut sosok yang > > saya ketahui cukup alim dan bersikap "religius". > > Apakah menjadi religius itu lantas juga harus punya > > cara pandang seperti itu? Apakah semua religius itu > > begitu? Semoga saja tidak. Namun tak urung, pengalaman > > tersebut makin mengurangi "simpati" saya pada sosok > > "alim dan religius", yang secara fisik biasanya > > direpresentasikan oleh adanya jenggot, dahi &quo
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
Kenapa hanya dan harus wanita, bukannya yang lelaki juga ? salam, Ari Condro - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> > > > yah ini mungkin menanggapinya dari sisi orang yang berpikiran > negatif terhadap bapak tersebut, tapi ungkapan bapak itu > menunjukkan bahwa dengan kelembutan hati wanita yang mulia > dalam bidang kedokteran tidak akan terjadi bawah pisau bedah > itu digunakan hanyauntuk merobek kantong rakyat yang sudah tidak > berduit ... seharusnya pisau bedah kedokteran di gunakan > oleh orang-orang yang berhati mulia lemah lembut seperti > caon dokter tersebut ... agar tujuan ilmu kedokteran memang > benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan .. > > jadi harga wanita tidak separuh, tapi harganya tidak ternilai.. > harganya bagaikan batu permata yang sangat indah ...yakni > ketulusan ... dan keikhlasan ...dalam berkarya > > salam > > > > > > "Ambon" > <[EMAIL PROTECTED]To: > e> cc: > Sent by: Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > [EMAIL PROTECTED] > groups.com > > > 20/04/2005 > 15:35 > Please respond > to ppiindia > > > > > > > > Lalu Pak Harto sebagai pangilma tertinggi gimana? > > ----- Original Message - > From: "si kucing demensenyum" <[EMAIL PROTECTED]> > To: > Sent: Wednesday, April 20, 2005 10:19 AM > Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > > > > > > mas Ari memang bisa verifikasi apakah cerita ini cuma karangan saja? > > banyak orang busuk lho mas walaupun di mulutnya berkata dharma dan > > mengucap shalom atau bernama ke- agamaan seperti Leonardus Benny Murdani > > misalnya. > > > > Ari Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > - Original Message - > > From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> > > > > Wanita itu Separuh Harga > > > > Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang > > Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan > > mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai > > seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat > > halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah > > thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah > > ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu > > petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: > > > > "Mbak kuliah di mana?" > > "Di Fakultas Kedokteran, Pak" > > "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini > > sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". > > "Oh ya ... Kenapa, Pak?" > > "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, > > jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. > > Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " > > "Oh begitu Pak, ya ...?" > > > > Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab > > mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar > > percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat > > prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di > > lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh > > harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan > > melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. > > Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin > > tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" > > agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat > > religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula > > mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap > > wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di > > depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi > > saya. > > > > Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya > > seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun > > kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah > > menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. > > Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita > > seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena > > "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam > > bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari > > nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya > > diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi > > profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang > > demikian,
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
At 04:06 PM 4/20/05 +0700, you wrote: >yah ini mungkin menanggapinya dari sisi orang yang berpikiran >negatif terhadap bapak tersebut, tapi ungkapan bapak itu >menunjukkan bahwa dengan kelembutan hati wanita yang mulia >dalam bidang kedokteran tidak akan terjadi bawah pisau bedah >itu digunakan hanyauntuk merobek kantong rakyat yang sudah tidak >berduit ... seharusnya pisau bedah kedokteran di gunakan >oleh orang-orang yang berhati mulia lemah lembut seperti >caon dokter tersebut ... agar tujuan ilmu kedokteran memang >benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan .. > >jadi harga wanita tidak separuh, tapi harganya tidak ternilai.. >harganya bagaikan batu permata yang sangat indah ...yakni >ketulusan ... dan keikhlasan ...dalam berkarya > >salam pak, memangnya bisa kasih makan dan nyekolahin anak pakai ketulusan dan keikhlasan? terus si dokter sendiri bagaimana beli buku-buku dan ikut berbagai pelatihan supaya bisa terus mengikuti perkembangan ilmu kedokteran...? kalau anda pernah ikut kuliah ekonomi satu semester saja pasti tahu hubungan antara permintaan-penawaran-harga... sesuatu yang bermutu biasanya mahal karena permintaan terhadapnya begitu tinggi... sebaliknya dengan sesuatu yang berharga murah... hanya kadang-kadang saja barang bermutu dijual murah yaitu di musim obral... demikian pula si dokter saya percaya kadang- kadang malah menggratiskan jasanya pada acara bakti sosial... Yahoo! Groups Sponsor ~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
yah ini mungkin menanggapinya dari sisi orang yang berpikiran negatif terhadap bapak tersebut, tapi ungkapan bapak itu menunjukkan bahwa dengan kelembutan hati wanita yang mulia dalam bidang kedokteran tidak akan terjadi bawah pisau bedah itu digunakan hanyauntuk merobek kantong rakyat yang sudah tidak berduit ... seharusnya pisau bedah kedokteran di gunakan oleh orang-orang yang berhati mulia lemah lembut seperti caon dokter tersebut ... agar tujuan ilmu kedokteran memang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan .. jadi harga wanita tidak separuh, tapi harganya tidak ternilai.. harganya bagaikan batu permata yang sangat indah ...yakni ketulusan ... dan keikhlasan ...dalam berkarya salam "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]To: e>cc: Sent by: Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga [EMAIL PROTECTED] groups.com 20/04/2005 15:35 Please respond to ppiindia Lalu Pak Harto sebagai pangilma tertinggi gimana? - Original Message - From: "si kucing demensenyum" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Wednesday, April 20, 2005 10:19 AM Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > > mas Ari memang bisa verifikasi apakah cerita ini cuma karangan saja? > banyak orang busuk lho mas walaupun di mulutnya berkata dharma dan > mengucap shalom atau bernama ke- agamaan seperti Leonardus Benny Murdani > misalnya. > > Ari Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > - Original Message - > From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> > > Wanita itu Separuh Harga > > Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang > Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan > mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai > seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat > halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah > thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah > ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu > petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: > > "Mbak kuliah di mana?" > "Di Fakultas Kedokteran, Pak" > "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini > sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". > "Oh ya ... Kenapa, Pak?" > "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, > jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. > Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " > "Oh begitu Pak, ya ...?" > > Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab > mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar > percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat > prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di > lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh > harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan > melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. > Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin > tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" > agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat > religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula > mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap > wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di > depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi > saya. > > Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya >
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
Pesan yang cukup menarik, yang mungkin akan sulit direalisasikan. Di negara Paman Sam saja, yang "Mbahnya" persamaan gender (katanya) belum bisa tuh wanita menyamai pria. Mo bukti? Mana pernah wanita jadi presiden di sana. Atau wapres deh...! Kasihan deh yang berkiblat ke Amrikhehehalih-alih bisa melakukan pembuktian, malah menuduh orang lain sebagai 'fundamentalis agama'.. salam - Original Message - From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Wednesday, April 20, 2005 3:13 PM Subject: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > > > - Original Message - > From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> > > Wanita itu Separuh Harga > > Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang > Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan > mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai > seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat > halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah > thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah > ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu > petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: > > "Mbak kuliah di mana?" > "Di Fakultas Kedokteran, Pak" > "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini > sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". > "Oh ya ... Kenapa, Pak?" > "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, > jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. > Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " > "Oh begitu Pak, ya ...?" > > Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab > mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar > percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat > prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di > lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh > harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan > melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. > Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin > tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" > agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat > religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula > mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap > wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di > depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi > saya. > > Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya > seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun > kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah > menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. > Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita > seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena > "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam > bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari > nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya > diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi > profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang > demikian, seharusnya gaji pegawai dan upah minimum > harus didiskriminasi berdasarkan gender pula. Wanita > yang pegawai negeri, dosen, buruh pabrik, karyawati, > dan sebagainya, semestinya mendapatkan gaji lebih > rendah dari sejawatnya yang pria hanya karena mereka > adalah wanita, dan wanita adalah "bukan pencari > nafkah". > > Hal ini, sekali lagi, terlontar dari mulut sosok yang > saya ketahui cukup alim dan bersikap "religius". > Apakah menjadi religius itu lantas juga harus punya > cara pandang seperti itu? Apakah semua religius itu > begitu? Semoga saja tidak. Namun tak urung, pengalaman > tersebut makin mengurangi "simpati" saya pada sosok > "alim dan religius", yang secara fisik biasanya > direpresentasikan oleh adanya jenggot, dahi "gosong", > dan sering-sering mengucap "Subhanallah...", > "Barakallah ...". > > Betapa panjang perjuangan wanita muslimah untuk bebas > dari ketidakadilan gender yang dibungkus dogma-dogma agama. > > > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [E
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
Lalu Pak Harto sebagai pangilma tertinggi gimana? - Original Message - From: "si kucing demensenyum" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Wednesday, April 20, 2005 10:19 AM Subject: Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga > > mas Ari memang bisa verifikasi apakah cerita ini cuma karangan saja? > banyak orang busuk lho mas walaupun di mulutnya berkata dharma dan > mengucap shalom atau bernama ke- agamaan seperti Leonardus Benny Murdani > misalnya. > > Ari Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > - Original Message - > From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> > > Wanita itu Separuh Harga > > Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang > Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan > mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai > seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat > halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah > thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah > ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu > petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: > > "Mbak kuliah di mana?" > "Di Fakultas Kedokteran, Pak" > "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini > sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". > "Oh ya ... Kenapa, Pak?" > "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, > jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. > Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " > "Oh begitu Pak, ya ...?" > > Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab > mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar > percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat > prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di > lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh > harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan > melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. > Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin > tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" > agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat > religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula > mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap > wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di > depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi > saya. > > Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya > seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun > kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah > menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. > Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita > seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena > "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam > bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari > nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya > diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi > profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang > demikian, seharusnya gaji pegawai dan upah minimum > harus didiskriminasi berdasarkan gender pula. Wanita > yang pegawai negeri, dosen, buruh pabrik, karyawati, > dan sebagainya, semestinya mendapatkan gaji lebih > rendah dari sejawatnya yang pria hanya karena mereka > adalah wanita, dan wanita adalah "bukan pencari > nafkah". > > Hal ini, sekali lagi, terlontar dari mulut sosok yang > saya ketahui cukup alim dan bersikap "religius". > Apakah menjadi religius itu lantas juga harus punya > cara pandang seperti itu? Apakah semua religius itu > begitu? Semoga saja tidak. Namun tak urung, pengalaman > tersebut makin mengurangi "simpati" saya pada sosok > "alim dan religius", yang secara fisik biasanya > direpresentasikan oleh adanya jenggot, dahi "gosong", > dan sering-sering mengucap "Subhanallah...", > "Barakallah ...". > > Betapa panjang perjuangan wanita muslimah untuk bebas > dari ketidakadilan gender yang dibungkus dogma-dogma agama. > > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia > yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email
Re: [ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
mas Ari memang bisa verifikasi apakah cerita ini cuma karangan saja? banyak orang busuk lho mas walaupun di mulutnya berkata dharma dan mengucap shalom atau bernama ke- agamaan seperti Leonardus Benny Murdani misalnya. Ari Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: - Original Message - From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> Wanita itu Separuh Harga Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: "Mbak kuliah di mana?" "Di Fakultas Kedokteran, Pak" "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". "Oh ya ... Kenapa, Pak?" "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " "Oh begitu Pak, ya ...?" Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi saya. Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang demikian, seharusnya gaji pegawai dan upah minimum harus didiskriminasi berdasarkan gender pula. Wanita yang pegawai negeri, dosen, buruh pabrik, karyawati, dan sebagainya, semestinya mendapatkan gaji lebih rendah dari sejawatnya yang pria hanya karena mereka adalah wanita, dan wanita adalah "bukan pencari nafkah". Hal ini, sekali lagi, terlontar dari mulut sosok yang saya ketahui cukup alim dan bersikap "religius". Apakah menjadi religius itu lantas juga harus punya cara pandang seperti itu? Apakah semua religius itu begitu? Semoga saja tidak. Namun tak urung, pengalaman tersebut makin mengurangi "simpati" saya pada sosok "alim dan religius", yang secara fisik biasanya direpresentasikan oleh adanya jenggot, dahi "gosong", dan sering-sering mengucap "Subhanallah...", "Barakallah ...". Betapa panjang perjuangan wanita muslimah untuk bebas dari ketidakadilan gender yang dibungkus dogma-dogma agama. *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] - Yahoo! Groups Links To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM -
[ppiindia] Wanita itu Separuh Harga
- Original Message - From: "Miftah al-Zaman" <[EMAIL PROTECTED]> Wanita itu Separuh Harga Suatu saat saya mendengar percakapan antara seorang Bapak dan seorang mahasiswi kedokteran. Saya kebetulan mengetahui bahwa Bapak tersebut dikenal sebagai seorang yang religius sekali. Tutur katanya sangat halus dan selalu saja terucap dari mulutnya "kalimah thayyibah" seperti "Barakallah ...", "Subhanallah ...", "Alhamdulillah ..." dan sebagainya. Salah satu petikan percakapan mereka adalah sebagai berikut: "Mbak kuliah di mana?" "Di Fakultas Kedokteran, Pak" "Oh ya? Subhanallah ... Yah, syukurlah Mbak. Kita ini sebenarnya banyak memerlukan dokter wanita". "Oh ya ... Kenapa, Pak?" "Begini, Mbak. Wanita itu kan bukan pencari nafkah, jadi karena itu tarifnya tidak perlu mahal-mahal. Apalagi kebanyakan rakyat kita masih miskin ... " "Oh begitu Pak, ya ...?" Sayang percakapan berhenti sampai di situ sebab mahasiswi tadi kemudian harus pergi. Mendengar percakapan itu saya terkejut dan sekaligus sangat prihatin. Beginikah fakta yang benar-benar nyata di lapangan, bagaimana wanita masih dipandang "separuh harga" dibandingkan pria? Apalagi yang memiliki dan melontarkan pandangan itu seorang pria yang religius. Bagi saya ini benar-benar "shocking", meskipun mungkin tidak terlalu mengherankan. Seorang "fundamentalis" agama biasanya berpenampilan dan berperilaku sangat religius (dalam artian simbolik), dan biasanya pula mereka memiliki cara pandang diskriminatif terhadap wanita. Namun ketika hal itu terpapar langsung di depan mata, tak urung cukup mengguncangkan juga bagi saya. Kesehatan adalah hajat publik yang aksesibilitasnya seharusnya menjadi urusan publik (negara). Kalaupun kemudian biaya kesehatan menjadi tinggi, adalah menjadi tanggung jawab negara untuk mengaturnya. Mengapa kemudian solusinya adalah "tarif dokter wanita seharusnya lebih murah dari dokter pria" hanya karena "wanita bukan pencari nafkah?". Hanya karena dalam bangunan sosial tertentu dipersepsi bahwa pencari nafkah adalah pria, maka apakah wanita seharusnya diberi "separuh harga" saja, terlepas dari kualifikasi profesionalitas yang dimilikinya? Kalau memang demikian, seharusnya gaji pegawai dan upah minimum harus didiskriminasi berdasarkan gender pula. Wanita yang pegawai negeri, dosen, buruh pabrik, karyawati, dan sebagainya, semestinya mendapatkan gaji lebih rendah dari sejawatnya yang pria hanya karena mereka adalah wanita, dan wanita adalah "bukan pencari nafkah". Hal ini, sekali lagi, terlontar dari mulut sosok yang saya ketahui cukup alim dan bersikap "religius". Apakah menjadi religius itu lantas juga harus punya cara pandang seperti itu? Apakah semua religius itu begitu? Semoga saja tidak. Namun tak urung, pengalaman tersebut makin mengurangi "simpati" saya pada sosok "alim dan religius", yang secara fisik biasanya direpresentasikan oleh adanya jenggot, dahi "gosong", dan sering-sering mengucap "Subhanallah...", "Barakallah ...". Betapa panjang perjuangan wanita muslimah untuk bebas dari ketidakadilan gender yang dibungkus dogma-dogma agama. Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/