[Keuangan] [Fwd: Re: [cfbe] OOT Sehari Bersama Massa Demo Bayaran]

2009-12-10 Terurut Topik Nugroho Dewanto
 Original Message 
Subject: Re: [cfbe] OOT Sehari Bersama Massa Demo Bayaran
From:Nanang nanan...@yahoo.com
Date:Fri, December 11, 2009 8:59 am
To:  c...@yahoogroups.com
--

rejeki memang bisa darimana saja :), saya belum tahu apakah fikihnya
memperoleh duit dari kegiatan seperti ini, nampaknya NU dan Muhammadiyah
perlu memasukan dalam buku fikih mereka hehehe...

email: nanan...@yahoo.com
http://ahmadrizali.com

--- On Thu, 12/10/09, Eko Purwono purwono...@yahoo.com wrote:


From: Eko Purwono purwono...@yahoo.com
Subject: [cfbe] OOT Sehari Bersama Massa Demo Bayaran
To: c...@yahoogroups.com
Date: Thursday, December 10, 2009, 1:57 PM


 



Mohon maaf bagi Anda yang sudah membacanya. (EP)

Sehari Bersama Massa Demo Bayaran
http://id.news. yahoo.com/ viva/20091210/ tpl-sehari- bersama-massa-
demo-bayaran- fa55e98.html
By Elin Yunita Kristanti, Eko Huda S - Kamis,
10 Desember
Sehari
Bersama Massa Demo Bayaran
VIVAnews - Tak semua orang yang mengikuti aksi hari antikorupsi Rabu 9
Desember 2009 terpanggil untuk menyuarakan semangat antikorupsi.
Diantara ribuan peserta, ada juga massa demo bayaran. Orang-orang ini
'terorganisir' secara profesional.
Seperti halnya massa yang berasal dari Jalan Tendean, kawasan Mampang.
Umumnya mereka tidak tahu apa yang mereka perjuangkan kemarin. Namun mereka
bertindak layaknya 'aktivis' antikorupsi.
Pemantauan VIVAnews, massa yang terdiri dari beberapa remaja ini tiba-tiba
muncul dari sebuah gang di dekat stasiun pompa bensin milik perusahaan asing,
Shell pada pukul 9. 30 WIB.
Mereka berkumpul di pinggir jalan dengan membawa pengeras suara (megaphone),
seikat belahan bambu, satu bendel poster, dan spanduk sebagai perangkat aksi.
Tak berselang lama, sebuah metromini menghampiri mereka. Mereka pun naik dan
berhenti di sebuah warteg, di samping pompa bensin Shell. Ternyata di sana
sebagian massa sudah menunggu.
Sang koordinator, Surip segera mengecek kesiapan semua anggotanya.
Hitung dulu, sudah pas 35 atau belum, kata surip memerintah salah
satu anggotanya.
Ternyata, setelah dihitung, jumlah anggotanya hanya 27 orang, kurang 8 orang
dari jatah yang seharusnya, yakni 35 orang. Wartawan VIVAnews pun menawarkan
diri untuk ikut dalam rombongan untuk menambah jumlah kuota itu.
Namun, mereka tak begitu saja menerima. Nanti saja, kita cari orang di
sini dulu. Kalau tetap kurang nanti kamu boleh ikut, kata Surip.
Tetapi, setelah beberapa saat ditunggu, kuota itu tidak terpenuhi, sehingga
wartawan VIVAnews diperbolehkan ikut dalam rombongan.
Peserta masih saja kurang, Surip lalu mengambil beberapa orang pedagang
asongan dan pengamen di kawasan lampu merah Mampang Prapatan.
Dalam perjalanan, di dalam metro mini, sang koordinator, Surip memberikan
penjelasan pendek kepada anggotanya. Kita akan berdemo di (Istana)
Wapres. Memperingati hari korupsi dan soal Bank Century, jelasnya
singkat.
Namun penjelasan sang koordinator tidak begitu dihiraukan anggotanya. Mereka
malah asyik berbincang satu sama lain. Dalam salah satu pembicaraan,
terungkap
bahwa mereka mendapatkan bayaran. Namun, belum jelas berapa uang yang
dijanjikan.
Nanti saja setelah pulang minta kepada Surip, kata salah seorang
dari mereka, ketika ditanya berapa bayaran yang akan diterima.
Kelompok Surip ternyata tidak sendirian dalam aksinya. Di depan Istana
Wapres, mereka bergabung dengan massa dari kawasan Pasar Minggu dan elemen
mahasiswa. Ketiga kelompok ini melakukan koordinasi untuk mempersiapkan aksi.
Terlihat, Surip berkumpul dengan beberapa pimpinan dari elemen mahasiswa dan
pimpinan massa dari Pasar Minggu.
Disaat melakukan aksi di depan Istana Wapres, VIVAnews mencoba bertanya
kembali kepada beberapa anggota aksi mengenai besaran bayaran yang mereka
terima.
Salah satu peserta Dayat, dari Pasar Minggu mengaku mendapatkan bayaran Rp
20.000 dari sang koordinator.
Lumayan 20 ribu. Tapi nanti dibayarnya setelah demo, waktu
balik, kata Dayat yang sehari-hari menarik odong-odong.
Dayat dan beberapa temannya mengaku tidak tahu dan tidak mempedulikan isu
dalam demonstrasi itu. Yang dia tahu, hanya sebatas arahan singkat dari
koordinator.
Yang saya tahu tentang korupsi. Itu aja, kata dia.
Yang penting ikut aja, dapat duit. Dari pada di rumah nggak dapat
duit, tambah dia.
Dayat yang sempat diwawancarai wartawan sebuah stasiun TV 'gagal' unjuk diri
sebagai aktivis antikorupsi.
Dia bahkan tidak tahu tokoh-tokoh seperti Boediono dan Sri Mulyani yang
disebut-sebut dalam orasi, dua nama yang mereka demo.
Kalau Pak Boediono tahu, Wapres. Kalau yang Sri, nggak ngerti
saya, kata Dayat.
http://id.news. yahoo.com/ viva/20091210/ tpl-sehari- 

 _ _ _ _ _ _
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail. com.
http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/

[Non-text portions of this message have been 

[Keuangan] AIG and Systemic Risk: Memang Tak Mudah Melakukan Bail-Out

2009-11-23 Terurut Topik Nugroho Dewanto
Monday,November 23, 2009
THE WALL STREET JOURNAL |  Opinion Journal

AIG and Systemic Risk

Geithner says credit-default swaps weren't the problem, after all.
TARP Inspector General Neil Barofsky keeps committing flagrant acts of
political transparency, which if nothing else ought to inform the debate
going forward over financial reform. In his latest bombshell, the IG
discloses that the New York Federal Reserve did not believe that AIG's
credit-default swap (CDS) counterparties posed a systemic financial risk.

Hello?

For the last year, the entire Beltway theory of the financial panic has
been based on the claim that the opaque, unregulated CDS market had
forced the Fed to take over AIG and pay off its counterparties, lest the
system collapse. Yet we now learn from Mr. Barofsky that saving the
counterparties was not the reason for the bailout.

In the fall of 2008 the New York Fed drove a baby-soft bargain with AIG's
credit-default-swap counterparties. The Fed's taxpayer-funded vehicle,
Maiden Lane III, bought out the counterparties' mortgage-backed securities
at 100 cents on the dollar, effectively canceling out the CDS contracts.
This was miles above what those assets could have fetched in the market at
that time, if they could have been sold at all.

The New York Fed president at the time was none other than Timothy
Geithner, the current Treasury Secretary, and Mr. Geithner now tells Mr.
Barofsky that in deciding to make the counterparties whole, the financial
condition of the counterparties was not a relevant factor.

This is startling. In April we noted in these columns that Goldman Sachs,
a major AIG counterparty, would certainly have suffered from an AIG
failure. And in his latest report, Mr. Barofsky comes to the same
conclusion. But if Mr. Geithner now says the AIG bailout wasn't driven by
a need to rescue CDS counterparties, then what was the point? Why pay
Goldman and even foreign banks like Societe Generale billions of tax
dollars to make them whole?

Both Treasury and the Fed say they think it would have been inappropriate
for the government to muscle counterparties to accept haircuts, though the
New York Fed tried to persuade them to accept less than par. Regulators
say that having taxpayers buy out the counterparties improved AIG's
liquidity position, but why was it important to keep AIG liquid if not to
protect some class of creditors?

Yesterday, Mr. Geithner introduced a new explanation, which is that AIG
might not have been able to pay claims to its insurance policy holders:
AIG was providing a range of insurance products to households across the
country. And if AIG had defaulted, you would have seen a downgrade leading
to the liquidation and failure of a set of insurance contracts that
touched Americans across this country and, of course, savers around the
world.

Yet, if there is one thing that all observers seemed to agree on last
year, it was that AIG's money to pay policyholders was segregated and safe
inside the regulated insurance subsidiaries. If the real systemic danger
was the condition of these highly regulated subsidiaries—where there was
no CDS trading—then the Beltway narrative implodes.

Interestingly, in Treasury's official response to the Barofsky report,
Assistant Secretary Herbert Allison explains why the department acted to
prevent an AIG bankruptcy. He mentions the global scope of AIG, its
importance to the American retirement system, and its presence in the
commercial paper and other financial markets. He does not mention CDS.

All of this would seem to be relevant to the financial reform that
Treasury wants to plow through Congress. For example, if AIG's CDS
contracts were not the systemic risk, then what is the argument for
restructuring the derivatives market? After Lehman's failure, CDS
contracts were quickly settled according to the industry protocol. Despite
fears of systemic risk, none of the large banks, either acting as a
counterparty to Lehman or as a buyer of CDS on Lehman itself, turned out
to have major exposure.

More broadly, lawmakers now have an opportunity to dig deeper into the
nature of moral hazard and the restoration of a healthy financial system.
Barney Frank and Chris Dodd are pushing to give regulators resolution
authority for struggling firms. Under both of their bills, this would
mean unlimited ability to spend unlimited taxpayer sums to prevent an
unlimited universe of firms from failing.

Americans know that's not the answer, but what is the best solution to the
too-big-to-fail problem? And how exactly does one measure systemic risk?
To answer these questions, it's essential that we first learn the lessons
of 2008. This is where reports like Mr. Barofsky's are valuable, telling
us things that the government doesn't want us to know.

In remarks Tuesday that were interpreted as a veiled response to Mr.
Barofsky's report, Mr. Geithner said, It's a great strength of our
country, that you're going to have the chance for a range of people 

Re: [Keuangan] FW: Sri Mulyani Batal Menjadi Calon Gubernur BI

2009-07-23 Terurut Topik Nugroho Dewanto

pak darmin memang tegas terhadap pengusaha batubara dan
sawit yang menggelapkan pajak.

begitu pula anwar suprijadi yang tegas terhadap pengusaha
dan pejabat yang melakukan kegiatan ekspor-impor barang
secara ilegal.

juga kepala bapepam fuad rahmani tegas terhadap emiten
bandel yang dimiliki oleh seorang menteri.

ketiga pejabat itu dipilih oleh sri mulyani. si ibu pula
yang memperjuangkan perpanjangan masa dinas pak darmin dan
pak anwar ketika usia mereka sudah masuk masa pensiun.
perpanjangan masa dinas itu sempat tertahan di sekretariat
negara, entah apa sebabnya.

harus diakui, sri mulyani terbantu oleh sikap
presiden sby yang membebaskannya memilih dirjen-dirjennya
sendiri.

di masa lalu sering sekali dirjen pajak, dirjen bea dan
cukai serta kepala bapepam adalah orang yang punya kontak
langsung dengan istana. anda tahu sendiri apa sebabnya.
sehingga menteri keuangan tak berdaya mengatur mereka.

maka pertanyaan menarik untuk kabinet mendatang adalah
siapakah menteri keuangan yang akan ditunjuk presiden?
kemudian apakah sang menteri tetap diberi kebebasan
untuk memilih dirjen-dirjennya?

salam,




 Pendapat Newsweek saya rasa tidak tepat.
 Masalah perbankan, peredaran Rupiah, mahalnya SBI dan tingginya suku
 bunga di Indonesia, masih sulitnya mobilisasi modal nasional dan
 kebutuhan2 yang tinggi akan obligasi global yang begitu mahal memerlukan
 pembenahan, koordinasi dan sosialisasi kebijaksanaan baru yang
 dilaksanakan sinkron dengan kebijaksanaan2 kabinet, dunia usaha dan
 masyarakat.

 Nb. Yang galak terhadap perusahaan2 batubara besar yang menolak bayar
 pajak ´kan Darmin Nasution yang keliatannya akan menjadi gubernur BI.
 Yang penting gantinya Darmin harap dipilih orang yang keras kepala juga.

 Salam

 Hok An


 On 7/23/09, Tigor Siagian t.siag...@gmail.com
 mailto:t.siagian%40gmail.com wrote:
 
 
 
  Di Newsweek terbaru dibahas mengenai Indonesia dan kemenangan SBY,
 termasuk
  bahwa mencalonkan Sri Mulyani sebagai Gubernur BI bukan merupakan
 ide yang
  baik. Menurut Newsweek, lebih mudah mendapatkan ekonom yg mumpuni
 untuk
  menjadi gubernur BI dibandingkan mencari sosok yg berani dan cukup
 smart
  untuk menjadi menkeu.
 
  On 7/22/09, Nugroho Dewanto ndewa...@mail.tempo.co.id
 mailto:ndewanto%40mail.tempo.co.idndewanto%40mail.tempo.co.id
  wrote:
  
  
  
  
   yang saya dengar, banyak pengusaha -terutama bos lumpur panas- akan
  sangat
   senang bila sri mulyani tak lagi berada di kabinet.
  
   menempatkan sri mulyani di bank sentral adalah skenario menendang
 ke
   atas.
  
Mungkin masih lebih senang sebagai Menko?
   
   
   
_
   
From: B.DORPI P. [mailto:bdo...@indopetroleum.com
 mailto:bdorpi%40indopetroleum.combdorpi%40indopetroleum.com
  bdorpi%40indopetroleum.com
   ]
Sent: Wednesday, July 22, 2009 7:34 AM
To: !B. DORPI P.
Subject: Re.: Sri Mulyani Batal Menjadi Calon Gubernur BI
Importance: High
   
   
   
   
   

  
 
 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,2009072
 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,2009072
1-188309,id.html
   
  
 
 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,20090721
 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,20090721
-188309,id.html
   
   
Selasa, 21 Juli 2009 | 22:44 WIB
   
   








Re: [Keuangan] FW: Sri Mulyani Batal Menjadi Calon Gubernur BI

2009-07-21 Terurut Topik Nugroho Dewanto

yang saya dengar, banyak pengusaha -terutama bos lumpur panas- akan sangat
senang bila sri mulyani tak lagi berada di kabinet.

menempatkan sri mulyani di bank sentral adalah skenario menendang ke atas.



 Mungkin masih lebih senang sebagai Menko?



   _

 From: B.DORPI P. [mailto:bdo...@indopetroleum.com]
 Sent: Wednesday, July 22, 2009 7:34 AM
 To: !B. DORPI P.
 Subject: Re.: Sri Mulyani Batal Menjadi Calon Gubernur BI
 Importance: High





 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,2009072
 1-188309,id.html
 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/07/21/brk,20090721
 -188309,id.html


 Selasa, 21 Juli 2009 | 22:44 WIB

 Sri Mulyani Batal Menjadi Calon Gubernur BI

 TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
 dikabarkan batal menjadi calon Gubernur Bank Indonesia. Ketua Komisi
 Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat Achmad Hafiz Zawawi
 mengatakan nama Sri tidak lagi masuk bursa calon pengganti Boediono, yang
 mengundurkan diri karena menjadi calon wakil presiden.

 Tidak jadi lagi Sri Mulyani, tapi saya tidak mengetahui nama
 calon-calonnya, kata Hafiz di Museum Bank Indonesia yang diresmikan
 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (21/7). Hafiz mengharapkan
 Menteri
 Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengirimkan nama calon Gubernur Bank
 Indonesia paling lambat pertengahan Agustus 2009.

 Saat berkunjung ke redaksi majalah Tempo, 24 Juni lalu, Presiden Susilo
 Bambang Yudhoyono menyebutkan nama Sri Mulyani sebagai salah satu kandidat
 Gubernur Bank Indonesia.  Sudah ada calon. Mungkin dua calon. Salah satu
 calon, ya, Menteri Keuangan saya,  Sri Mulyani, tuturnya.

 Namun, belakangan, seusai pemilihan presiden, nama Sri Mulyani meredup.
 Bekas direktur eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) itu kemungkinan
 akan dipertahankan sebagai menteri keuangan.

 Dua nama yang saat ini banyak dijagokan menjadi gubernur bank sentral
 adalah
 Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Sarwono dan Direktur Jenderal Pajak
 Darmin Nasution. Darmin baru-baru ini terpilih sebagai Deputi Gubernur
 Senior menggantikan Miranda Swaray Goeltom.

 Sekretaris Negara Hatta Rajasa membenarkan Presiden Susilo Bambang
 Yudhoyono
 telah menandatangani surat keputusan soal Darmin sebagai Deputi Gubernur
 BI.
 Tapi saya lupa persis tanggalnya, kata Hatta melalui layanan pesan
 singkat.

 Dalam konferensi pers mengenai penerimaan pajak semester pertama siang
 tadi,
 Darmin mengaku belum tahu kapan akan diambil sumpah sebagai Deputi
 Gubernur
 Senior Bank Indonesia. Menurut jadwal, Miranda akan habis masa tugasnya
 pada
 Ahad ini.

 Saat ditanya perihal pengganti dirinya, Darmin tak mau berkomentar banyak.
 Kita tunggu saja, saya tidak berwenang, ucapnya. Dia juga menolak
 menyebut
 jumlah nama yang telah berada di meja menteri keuangan.

 EFRI RITONGA | EKO NOPIANSYAH | RIEKA RAHADIANA













 __ Information from ESET Smart Security, version of virus
 signature
 database 4265 (20090721) __

 The message was checked by ESET Smart Security.

 http://www.eset.com



 [Non-text portions of this message have been removed]






Re: [Keuangan] Pro rakyat ATAU pro pekerja?! (was: Outsourcing)

2008-05-14 Terurut Topik Nugroho Dewanto

tak perlu jauh-jauh di luar negeri, disinipun jumlah anggota
serikat buruh makin menyusut karena kena phk atau putus
kontrak. sila dicek ke organisasi serikat buruh. semoga
mereka mau jujur.

undang-undang perburuhan yang terlalu membela buruh
dalam kenyataannya merugikan buruh sendiri dan
pengusaha.

banyak pengusaha memilih mengakali undang-undang itu
dengan cara melakukan kontrak dan outsourcing ketimbang
mengangkat karyawan tetap karena berisiko diikat
undang-undang perburuhan.

akibatnya buruh frustasi karena tak kunjung diangkat
menjadi karyawan tetap dan merasa tak memiliki masa depan.
pengusaha juga rugi karena tiap kali harus melatih lagi
karyawan baru. karyawan lama yang sudah pandai terpaksa
diputus kontrak sesuai ketentuan undang-undang. padahal
pengusaha sudah menghabiskan waktu dan uang untuk
melatih mereka.

belakangan antar pengusaha dan buruh sudah sering melakukan
diskusi. hasilnya mereka menyepakati lebih mengedepankan
penyelesaian bipartit bila terjadi perselisihan. pemerintah
sebagai pihak ketiga mendukung kesepakatan itu.




At 02:15 PM 5/14/2008 +0700, you wrote:

Terimakasih atas masukan datanya, Bang.

Kalau begitu artinya tren serikat buruhnya di negara maju sudah mulai
menurun. Namun kalau dibandingkan dengan disini, masih jauh lebih kuat
disana. Begitu mungkin kesimpulannya.

Ngomong2, bisa dielaborasi lebih jauh Bang, maksudnya asumsi dasar labor
union yg sudah tidak relevan itu seperti apa? Pengen dapat pencerahan nih.

2008/5/14 Poltak Hotradero 
mailto:hotradero%40gmail.com[EMAIL PROTECTED]:

  At 05:20 PM 5/13/2008, you wrote:
 
  Semakin maju suatu negara rasanya justru makin solid serikat pekerjanya.
  Eropa daratan paling kuat, liat aja Perancis sama Jerman. Amerika yang
  lebih
  liberal juga ternyata serikat buruhnya kuat, walau mungkin ga sekuat yang
  di
  Eropa.
 
  Solid bagaimana? Makin kencang ngomongnya? Atau makin banyak anggotanya?
 
  Kalau memang definisi solid adalah keanggotaan yang meningkat -- maka
  faktanya tidak begitu.
 
  Keanggotaan serikat pekerja di berbagai negara selama 40 tahun
  terakhir ini turun terus.
  Perancis yang tahun 1968 pemogokan buruhnya berhasil menggulingkan
  Presiden De Gaulle - saat ini anggota Labor Union-nya cuma sekitar
  12% -- masih lebih rendah daripada Amerika yang sekitar 22%. Dan
  kita tahu bahwa puncaknya gerakan Labor Union di Amerika terjadi
  tahun 1960-an ketika keanggotaanya sekitar 40%.
 
  Padahal jelas antara tahun 1960 sampai sekarang jumlah angkatan kerja
  sudah meningkat sangat tajam. Ini berarti keanggotaan Labor Union
  amblas dari dua sisi - secara persentase terhadap pekerja dan angka
  nominalnya.
 
  Mengapa Labor Union menurun? Karena ekonomi bergerak dari sektor
  industri ke sektor jasa. Sektor jasa lebih terdiversifikasi dan
  fleksibel, sehingga asumsi dasar labor union banyak yang tidak lagi
  relevan.
 
 
 

[Non-text portions of this message have been removed]




[Non-text portions of this message have been removed]