Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45
Dari contoh artikel dibawah ada disebutkan contoh penyediaan obat untuk penyakit negara maju dibandingkan penyakit negara miskin. Penyakit negara maju lebih mudah dicari obatnya karena anggaran risetnya ada, yakni jika ada hasil maka warga sakit negara maju akan sanggup membayar untuk menutup ongkos yang dikeluarkan dalam riset mencari obat ini. Sebaliknya, penyakit negara miskin lama menemukan obatnya karena seringkali biaya menemukan obat ini begitu besarnya sehingga warga negara miskin ini tidak sanggup membayar untuk menutupi ongkos riset untuk menemukan obat ini. Sekarang insentif apa yang bisa membuat perusahaan farmasi untuk membuang uang untuk melakukan riset dan memproduksi obat bagi warga negara miskin ini tanpa harus menjadi bangkrut dan memecat seluruh karyawan mereka yang jenius ini? Tentu saja insentif ini sebaiknya terus memacu orang untuk bekerja keras, kreatif dan efektif dalam memecahkan masalah? Ekonomi pasar bebas memacu orang untuk menjadi kreatif dan efektif dalam memecahkan masalah. Namun kelemahannya adalah, sampai saat ini tidak ada insentif untuk berusaha memecahkan masalah penyakit negara-negara miskin karena insentif return/balik modal nya sangat kurang memadai. Hanya karena banyak manusia masih memiliki hati emas sajalah maka bantuan ini dan itu kadang-kadang mengalir untuk meringankan beban penyakit negara-negara miskin ini. Saya pernah baca, seseorang tidak bisa menjadi baik bila ia tidak memiliki harta pribadinya (senyum, keramahan, dll termasuk juga harta pribadi, bukan cuma masalah uang). Sedikit banyak ini sama dengan argumentasi bahwa Tuhan memberikan kita kebebasan untuk berbuat dosa atau tidak. Tanpa kebebasan ini, kita tidak bisa memberikan kepada Tuhan hadiah dari kita, yakni hati yang menurut dan taat pada Tuhan. --- On Wed, 25/11/09, dyahanggitasari wrote: Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke "rentenir" dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga "menarik". Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat tersebut. Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis- liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. __ Win 1 of 4 Sony home entertainment packs thanks to Yahoo!7. Enter now: http://au.docs.yahoo.com/homepageset/ [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45
Karakter ekonomi pasar liberal justru terbalik tuh Finance 101 tentang alokasi reources: Capital/resource akan mengalir ke project/asset yg memberikan expected return/risk tertinggi. Itu yg di sebut ekonomi yg effisien. Yg menyebabkan ineffisien alokasi kapital bisanya masalah HUKUM: PROPERTY RIGHT protection dan contract enforceability. Mungkin yg punya duit takut duitnya di kemplang wong contract susah di enforce. Just My 2 cents, Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone -Original Message- From: "dyahanggitasari" Date: Wed, 25 Nov 2009 06:40:57 To: Subject: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45 Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke "rentenir" dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga "menarik". Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat tersebut. Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Ironi Penanganan Bank Century Batam Pos. Selasa, 01 September 2009 Augustinus Simanjuntak Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya. DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan Bank Century. Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) "terpaksa" menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa "baiknya" sikap pemerintah terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu usaha kecil/menengah. Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke "rentenir" dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga "menarik". Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat tersebut. Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Dugaan Penyimpangan Suntikan dana ke Bank Century seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai tindakan yang berindikasi korupsi. Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang membutuhkan dana talangan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity (kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan. Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat Bank Century di Surabaya telah ditetapkan sebagai terdakwa atas tuduhan penggelapan dana nasabah. Bahkan, manajemen Bank Century telah terlibat dalam memasarkan produk reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas (ADS), yang jelas-jelas dilarang dalam pasal 10 UU Perbankan tentang batasan jenis-jenis usaha yang boleh dilakukan oleh bank. Artinya, dari segi the five C's of credit analysis, Bank Century sebenarnya tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Tetapi, LPS justru mengucurkan dana sampai Rp 6,77 triliun ke bank itu. Ironis, bukan? Akibatnya, menurut anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo, penyelamatan Bank Century malah berpotensi merugikan negara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun pada 2011, saat LPS melepas kepemilikannya (Jawa Pos, 30/8). Belajar dari kasus BLBI 1998, LPS seharusnya justru lebih hati-hati dalam memberikan bantuan ke bank bermasalah saat krisis. Alasan pemerintah memberikan bailout agar penyakit Bank Century bisa berdampak sistemis terhadap perbankan nasional sebenarnya tidak cukup kuat. Publik hanya menuntut kejujuran pemer
Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45
At 01:40 PM 11/25/2009, you wrote: Deposito bunganya menarik? Yang bener ajaSedang bercanda ya? Dan jangan lupa, bahwa setiap deposito dipungut pajak bunga 20%. Ke mana pajak itu mengalir? Untuk pembiayaan pembangunan. Masalah dengan usaha kecil di Indonesia adalah banyak dari mereka yang tidak bankable. Tidak tercatat dan tidak terdaftar, tidak punya surat izin, tidak bisa bikin business plan, tidak ngerti manajemen keuangan, dll. Masak iya bank menyalurkan uang masyarakat ke bisnis yang demikian? Kalau usaha kecil bisa tercatat dan terdaftar, punya surat izin, bisa bikin business plan, dan tahu prinsip-prinsip manajemen keuangan --- bank-bank itu akan REBUTAN untuk memberi kredit. BTW, anda sendiri sudah pernah terpikir untuk mendidik para UKM...? Apa yang sudah anda kerjakan untuk mereka? > > >Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di >satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke "rentenir" dengan membayar >bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi >kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan >harapan menerima bunga "menarik". Para pelepas uang dan deposan >menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil >dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi >kuat tersebut. >Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi >individualis-liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. > >Ironi Penanganan Bank Century >Batam Pos. Selasa, 01 September 2009 >Augustinus Simanjuntak >Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya. > >DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi >pemberdayaan ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku >bunga rendah), pemerintah justru selalu bersikap protektif terhadap >bank-bank yang pengelolaannya bermasalah. Kali ini, pola kesalahan >dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke bank-bank bermasalah pada >1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan Bank Century. > >Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan >(LPS) "terpaksa" menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank >Century dengan dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis >penyakit akut bank itu terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, >betapa "baiknya" sikap pemerintah terhadap pemilik bank bermasalah >yang selama ini hanya mementingkan untung sebesar-besarnya ketimbang >ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu usaha kecil/menengah.