[ac-i] Wayang Kancil Ki Ledjar roadshow ke Belanda
WAYANG KANCIL ROADSHOW KE BELANDA Si Kancil anak nakal, suka mencuri ketimun, ayo lekas dikejar, jangan diberi ampun Barangkali penilaian dalam lagu itu yang melekat saat mendengar kata kancil. Cerdik, lincah dan nakal. Namun demikian banyak nilai-nilai positif yang sebenarnya bisa didapat dari tingkah laku Si Kancil. Inilah yang disayangkan oleh Ledjar Subroto, seorang dalang sekaligus pencipta wayang kancil di Yogyakarta sejak tahun 1980. Banyak orang tahunya kancil itu suka mencuri, tanpa mengerti mengapa Si Kancil sampai mencuri. Hutan sebagai habitatnya waktu itu dirusak oleh manusia, sehingga ia dan teman-temannya kesulitan mendapat makanan, ujar Ledjar ketika ditemui di kediamannya, Rabu (6/2). Dalang berusia 70 tahun itu bercerita, pemikiran akan kerusakan alam sudah ada sejak dahulu, sebelum gembar-gembor mengenai pemanasan global merebak. Kisah itu sudah tertulis dalam Serat Kantjil karya sastrawan Yogyakarta bernama RP Sasrawijaya tahun 1804. Ledjar pernah mendengar, wayang kancil berawal dari masa Sunan Giri yang memanfaatkan media itu untuk penyebaran agama Islam. Tetapi saat itu ia belum mengetahui seperti apa wujud wayang kancil itu. Maka, berangkat dari pemikiran tersebut, ia pun melahirkan wayang kancil dengan imajinasinya. Kini wayang kancil bahkan dapat disaksikan dalam tayangan animasi, tidak hanya dengan penampilan konvensional layaknya pertunjukkan wayang. Cucu Ledjar, Ananta Wicaksana (23)-lah yang berinisiatif menganimasikan wayang kancil selain kisah wayang purwo. Dengan animasi, pertunjukkan praktis lebih mudah. Apalagi sekarang zamannya memang sudah berubah. Dari segi bahasa pun begitu. Kalau saya masih pakai bahasa Jawa saat ndalang, anak-anak tidak akan mengerti, tutur pria kelahiran 1938 ini seraya merapikan wayang kancilnya. Ironisnya, hampir 28 tahun Ledjar bergelut dalam menggali dan mempertahankan wayang kancil, apresiasi justru datang dari negara lain. Wayang kancilnya menjadi daya tarik tersendiri bagi warga asing. Bahkan, seorang peneliti dari Amerika Serikat, Greg Harris, pernah menggunakan wayang kancil untuk menyosialisasikan hasil penelitiannya mengenai lingkungan. Kini, Universitas Leiden Belanda mengundang Ledjar dan wayang kancilnya untuk mengadakan pameran, workshop, dan roadshow di berbagai kota di Belanda selama tiga bulan. Menurut rencana, Ledjar bersama cucunya yang akrab dipanggil Nanang akan berangkat ke Belanda bulan Maret tahun ini. Lima puluh wayang kancil akan diboyong ke negara kincir angin itu untuk dikenalkan secara lebih mendalam. Mulai dari proses pembuatannya, cara memainkan, hingga membuat cerita. Selain di Universitas Leiden, wayang kancil juga akan tampil di Pasar Malam Besar Tong-tong. Selain wayang kancil, Ledjar juga menyertakan 50 wayang perjuangan. Dari pahlawan Indonesia seperti Sultan Agung hingga tokoh Belanda Jan Pieterzoon Coen akan dipamerkan dan menjadi koleksi Museum Broonbek. Wajar jika Ledjar tidak habis pikir bagaimana negara lain begitu menghargai budaya bangsa Indonesia. Di negeri sendiri, wayang kancil justru terabaikan. Selama ini pemerintah hanya sekedar tahu, tetapi ya hanya sampai di situ saja, kata Ledjar bernada gelisah. Ia memberi contoh kasus, bagaimana wayang ciptaannya pernah diklaim sebagai wayang buatan Bo Liem dari China tahun 1925. Padahal, jelas-jelas ia mencantumkan nama di setiap wayang buatan tangannya. Kegundahan itu membuatnya semakin ketat menjaga tiap produksi wayangnya. Sebisa mungkin Ledjar tidak menyediakan stok, hanya pemesan yang dilayani. Itu pun proses pembuatannya hanya dilakukan di studionya, bukan di tempat lain. Sambil mengurus hak paten, Ledjar sementara hanya bisa berharap kebudayaan milik Indonesia ini tidak diakui oleh negara lain. Jangan sampai sadarnya kalau sudah kejadian, tukas Ledjar. (A02) ( Amanda Putri, Harian Kompas Yogyakarta, Selasa, 12 Februari 2008) - Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [1]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [1] Tahun 1999, aku berkeliling ke berbagai tempat, hingga jauh ke pedalaman, Propinsi Kalimantan Tengah [Kalteng]. Perjalanan sederhana. Jalan darat yang dilalui, selain banyak lobang-lobang besar, juga berlumpur hingga lutut. Mobil kijang baru yang kutumpangi oleh keganasan jalan darat begini, jadi remuk dan tak berdaya. Oleh keadaan ini, sering perjalanan dilanjutkan dengan speed boat. Jalan darat dan speed boat merupakan hal baru di Kalteng. Aku menghibur diri seperti orang Jawa dengan mengatakan masih untung. Hahaha. Kuharap Jawa-Jawa tak akan marah dengan meminjam filsafat untung mereka. Pada masa kecilku di Katingan dahoeloe, penduduk bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan perahu kecil bikinan sendiri yang disebut oleh orang Dayak Katingan disebut jukung . Atau jalan kaki. Penduduk sungai yang tergantung pada sungai, mempunyai ketrampilan membuat jukung dari batang-batang pohon besar. Bukan hanya itu, mereka pun mampu membuat kapal ukuran sampai 100 ton. Untuk menggerakkan kapal bikinan sendiri ini mereka hanya perlu membeli mesin. Bertolak dari keadaan ini maka Tjilik Riwut, ketika menjadi Gubernur Kalteng pertama, mempunyai ide untuk mendirikan sekolah perkapalan di Sampit. Mimpi yang tak kesampaian sampai sekarang. Bersama makin melenyapnya burung enggang dari hutan-hutan Kalteng, ketrampilan membuat perahu dan kapal ini makin melenyap juga. Dalam legenda, memang manusia Dayak datang ke pulau raya Kalimantan ini dengan menggunakan perahu yang disebut Banama Tingang [Perahu Enggang]. Miniaturnya sampai sekarang banyak dijual di toko-toko kerajinan tangan di kota dan bandara. Hanya pemilik tokonya bukanlah orang Dayak tapi Banjar. Pedagang-pedagang Banjar ini membeli barang-barang kerajinan tangan Dayak dengan harga murah dari para pengrajin, umumnya perempuan, yang terdapat di kampung-kampung. Orang Dayak,yang biasa dimanjakan alam, sementara alam mereka sekarang sudah rusak tak kepalang, agaknya masih tertinggal dalam menghargai kemampuan mereka sendiri. Bisanya hanya mengeluh. Usai memasuki beberapa hulu sungai, aku memutuskan untuk kemudian pergi ke Pontianak, Kalimantan Barat [Kalbar] untuk selanjutnya ke Kuching , Sarawak. Sarawak juga Sabah menarik perhatianku sejak lama. Bahkan sejak bocah, ketika aku dengan telanjang badan menerjuni ombak sungai Katingan saat berkabut atau pun terang sambil mengacungkan kepala kecilku ke langit mengatakan bahwa aku anak sungai, aku anak alam diasuh ombak dan langit segala warna. Aku adalah anak enggang dan putera naga -- penguasa dunia atas dan dunia bawah. Pada masa bocah ini seperti anak-anak Dayak lainnya, aku belajar dan hapal benar lagu Bonero Tanahairku, Tanah Nusa Pusakaku. Di lagu ini tanpa kecuali, kota -kota besar dan kecil hingga kampung-kampung bersejarah disebutkan dengan teliti. Melalui lagu inilah aku mengenal nama kota Kuching, Sandakan dan Kota Kinabalu, yang mengembangkan mimpi kanakku bahwa suatu hari aku harus melihat dengan mata kepala sendiri tempat-tempat tersebut. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa pencipta lagu yang amat populer di masa bocahku itu. Sama populernya dengan lagu Kalimantan Tanahairku, lagu-lagu yang kemudian dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin yang menciptakan lagu-lagu itu adalah salah seorang dari organisasi perjuangan masyarakat Dayak bernama Pakat Dayak [Kesepakatan Dayak], organisasi yang kemudian ditindas oleh Belanda, tapi kemudian bangun kembali. Ditumapas, bangun kembali. Dilarang dibangun kembali dan sekarang mengambil bentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah [LMMD-DKT]. Pakat Dayak sejak lama, sejak zaman kolonial Belanda, Pakat Dayak atas nama masyarakat Dayak menuntut adanya propinsi sendiri, dan Belanda terpaksa mengakui tuntutan ini, dan memberikan wilayah tersebut sebagai Dayak Besar, termasuk Kalimantan Selatan. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan propinsi Kalteng pada 1956 di bawah Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, kukira merupakan kelanjutan saja dari ide Pakat Dayak. Dengan berkata begini sebagai ilustrasi, barangkali di sini bisa dilihat arti pentingnya penulisan sejarah lokal dan sejarah etnik-etnik untuk menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia yang lebih representatif, tidak hanya terpusat pada sejarah raja-raja feodal Jawa . Jawa yang hanya merupakan salah satu bagian saja dari Indonesia. Kalau berbicara tentang Republik Indonesia, kiranya, niscaya penulisan sejarah mempertimbangkan jasa-jasa dan sumbangan berbalut darah semua etnik dalam menegakkan dan membela Republik Indonesia. Apakah arti pemberontakan bersenjata masyarakat Dayak terhadap Republik Indonesia Soekarno pada 1956 ini? Jika kucamkan ulang, aku sampai pada hipotesa bahwa masyarakat Dayak menolak penindasan NKRI sentralistik. Intinya:mereka ingin
[ac-i] Pertunjukan di TUK: Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru)
http://www.utankayu.org/in/index.cfm?action=detailcat=eventid=129 Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru) Rabu, 20 Februari 2008, 20:00 WIB Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru) THE NEW MINIMALISM (karya Slamet Abdul Sjukur, Michael Asmara, Sinta Wullur, Luca Vanneschi, Alfredo Votta Jr, Garreth Farr, dll). Dalam resitalnya kali ini, pianis Ross Carey akan membawakan sebelas nomor untuk piano tunggal bercorak minimalis karya sepuluh komponis dari sejumlah penjuru dunia. Karya-karya itu antara lain: Zomer (Kate Moore, Australia, 2006); Love Songs (Garreth Farr, Selandia Baru, 2001); Meditations (Alfredo Votta Jr, Brazil, 1999); Per Piano Forte (Luca Vanneschi, Italia, 1996); Idiot Sorrow (James Rolfe, Kanada, 1990). Karya dua komponis Indonesia kontemporer, Slamet Abdul Sjukur (Svara, 1979) dan Michael Asmara (The River, 1986) juga akan mengisi program, bersama karya mutakhir komponis asal Indonesia yang kini bermukim di Belanda, Sinta Wullur (Aqua Piano, 2007). Ross Carey melakukan studi piano dan komposisi di Victoria University, Wellington, dan Elisabeth University of Music, Hiroshima. Sejak 1994 ia berkarir sebagai pianis dan komponis di Selandia Baru, Australia, dan Kanada. Pada tahun 2000 ia menjadi Mozart Fellow di Otago University, Dunedin, Selandia Baru; dan di tahun 2005 ia menjadi komponis tamu bagi International Society for Contemporary Music (ISCM) di Visby International Centre for Composer, Swedia. Ia pernah juga mempelajari seni musik tradisional Jawa di Yogyakarta. Saat ini ia tengah mendalami musik klasik Hindustani, dengan perhatian utama pada instrumen harmonium. Pertunjukan ini digelar di Teater Utan Kayu (TUK) Jl Utan Kayu No 68H Jakarta, dan tidak dipungut biaya sedikit pun. - Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.