[ac-i] Wayang Kancil Ki Ledjar roadshow ke Belanda

2008-02-19 Terurut Topik abdul malik
  WAYANG KANCIL “ROADSHOW” KE BELANDA
  Si Kancil anak nakal, suka mencuri ketimun, ayo lekas dikejar, jangan diberi 
ampun… 
  Barangkali penilaian dalam lagu itu yang melekat saat mendengar kata kancil. 
Cerdik, lincah dan nakal. Namun demikian banyak nilai-nilai positif yang 
sebenarnya bisa didapat dari tingkah laku Si Kancil. Inilah yang disayangkan 
oleh Ledjar Subroto, seorang dalang sekaligus pencipta wayang kancil di 
Yogyakarta sejak tahun 1980. 
  “Banyak orang tahunya kancil itu suka mencuri, tanpa mengerti mengapa Si 
Kancil sampai mencuri. Hutan sebagai habitatnya waktu itu dirusak oleh manusia, 
sehingga ia dan teman-temannya kesulitan mendapat makanan,” ujar Ledjar ketika 
ditemui di kediamannya, Rabu (6/2).
  Dalang berusia 70 tahun itu bercerita, pemikiran akan kerusakan alam sudah 
ada sejak dahulu, sebelum gembar-gembor mengenai pemanasan global merebak. 
Kisah itu sudah tertulis dalam Serat Kantjil karya sastrawan Yogyakarta bernama 
RP Sasrawijaya tahun 1804. 
  Ledjar pernah mendengar, wayang kancil berawal dari masa Sunan Giri yang 
memanfaatkan media itu untuk penyebaran agama Islam. Tetapi saat itu ia belum 
mengetahui seperti apa wujud wayang kancil itu. Maka, berangkat dari pemikiran 
tersebut, ia pun melahirkan wayang kancil dengan imajinasinya.
  Kini wayang kancil bahkan dapat disaksikan dalam tayangan animasi, tidak 
hanya dengan penampilan konvensional layaknya pertunjukkan wayang. Cucu Ledjar, 
Ananta Wicaksana (23)-lah yang berinisiatif menganimasikan wayang kancil selain 
kisah wayang purwo.
  “Dengan animasi, pertunjukkan praktis lebih mudah. Apalagi sekarang zamannya 
memang sudah berubah. Dari segi bahasa pun begitu. Kalau saya masih pakai 
bahasa Jawa saat ndalang, anak-anak tidak akan mengerti,” tutur pria kelahiran 
1938 ini seraya merapikan wayang kancilnya.
  Ironisnya, hampir 28 tahun Ledjar bergelut dalam menggali dan mempertahankan 
wayang kancil, apresiasi justru datang dari negara lain. Wayang kancilnya 
menjadi daya tarik tersendiri bagi warga asing. Bahkan, seorang peneliti dari 
Amerika Serikat, Greg Harris, pernah menggunakan wayang kancil untuk 
menyosialisasikan hasil penelitiannya mengenai lingkungan.
  Kini, Universitas Leiden Belanda mengundang Ledjar dan wayang kancilnya untuk 
mengadakan pameran, workshop, dan roadshow di berbagai kota di Belanda selama 
tiga bulan. Menurut rencana, Ledjar bersama cucunya yang akrab dipanggil Nanang 
akan berangkat ke Belanda bulan Maret tahun ini.
  Lima puluh wayang kancil akan diboyong ke negara kincir angin itu untuk 
dikenalkan secara lebih mendalam. Mulai dari proses pembuatannya, cara 
memainkan, hingga membuat cerita. Selain di Universitas Leiden, wayang kancil 
juga akan tampil di Pasar Malam Besar Tong-tong.
  Selain wayang kancil, Ledjar juga menyertakan 50 wayang perjuangan. Dari 
pahlawan Indonesia seperti Sultan Agung hingga tokoh Belanda Jan Pieterzoon 
Coen akan dipamerkan dan menjadi koleksi Museum Broonbek.
  Wajar jika Ledjar tidak habis pikir bagaimana negara lain begitu menghargai 
budaya bangsa Indonesia. Di negeri sendiri, wayang kancil justru terabaikan. 
“Selama ini pemerintah hanya sekedar tahu, tetapi ya hanya sampai di situ 
saja,” kata Ledjar bernada gelisah.
  Ia memberi contoh kasus, bagaimana wayang ciptaannya pernah diklaim sebagai 
wayang buatan Bo Liem dari China tahun 1925. Padahal, jelas-jelas ia 
mencantumkan nama di setiap wayang buatan tangannya.
  Kegundahan itu membuatnya semakin ketat menjaga tiap produksi wayangnya. 
Sebisa mungkin Ledjar tidak menyediakan stok, hanya pemesan yang dilayani. Itu 
pun proses pembuatannya hanya dilakukan di studionya, bukan di tempat lain.
  Sambil mengurus hak paten, Ledjar sementara hanya bisa berharap kebudayaan 
milik Indonesia ini tidak diakui oleh negara lain. “Jangan sampai sadarnya 
kalau sudah kejadian,” tukas Ledjar. (A02)
  ( Amanda Putri, Harian Kompas Yogyakarta, Selasa, 12 Februari 2008)
   
  
   
-
Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo! Search.

[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [1]

2008-02-19 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  MENUJU SARAWAK [1]
   
   
  Tahun 1999, aku berkeliling ke berbagai tempat, hingga jauh ke pedalaman, 
Propinsi  Kalimantan Tengah [Kalteng]. Perjalanan sederhana. Jalan darat yang 
dilalui, selain banyak lobang-lobang besar, juga berlumpur hingga lutut. Mobil 
kijang baru yang kutumpangi oleh keganasan jalan darat begini, jadi remuk dan 
tak berdaya.  Oleh keadaan ini, sering perjalanan dilanjutkan dengan speed 
boat. Jalan darat dan speed boat merupakan hal baru di Kalteng.  Aku menghibur 
diri seperti orang  Jawa dengan mengatakan masih untung. Hahaha.  Kuharap 
Jawa-Jawa tak akan marah dengan meminjam filsafat untung mereka.
   
   
  Pada masa kecilku di Katingan dahoeloe, penduduk bepergian dari satu tempat 
ke tempat lain dengan menggunakan perahu kecil bikinan sendiri yang disebut 
oleh orang Dayak Katingan disebut jukung . Atau jalan kaki. 
   
   
  Penduduk sungai yang tergantung pada sungai, mempunyai ketrampilan membuat 
jukung dari batang-batang pohon besar. Bukan hanya itu, mereka pun mampu 
membuat kapal ukuran sampai 100 ton. Untuk menggerakkan kapal bikinan sendiri 
ini mereka hanya perlu membeli mesin. Bertolak dari keadaan ini maka Tjilik 
Riwut, ketika menjadi Gubernur Kalteng pertama, mempunyai ide untuk mendirikan 
sekolah perkapalan di Sampit. Mimpi yang tak kesampaian sampai sekarang. 
Bersama makin melenyapnya burung enggang dari hutan-hutan Kalteng, ketrampilan 
membuat perahu dan kapal ini makin melenyap juga. Dalam legenda, memang manusia 
Dayak datang ke pulau raya Kalimantan ini dengan menggunakan perahu yang 
disebut Banama Tingang [Perahu Enggang]. Miniaturnya sampai sekarang  banyak 
dijual di toko-toko kerajinan tangan  di kota dan bandara. Hanya pemilik 
tokonya bukanlah orang Dayak tapi Banjar. Pedagang-pedagang Banjar ini membeli 
barang-barang kerajinan tangan Dayak dengan harga murah dari para
 pengrajin, umumnya perempuan, yang terdapat di kampung-kampung.  Orang 
Dayak,yang biasa dimanjakan alam, sementara alam mereka sekarang sudah rusak 
tak kepalang,  agaknya masih  tertinggal dalam menghargai kemampuan mereka 
sendiri. Bisanya hanya mengeluh. 
   
   
  Usai memasuki beberapa hulu sungai,  aku memutuskan untuk kemudian pergi ke 
Pontianak, Kalimantan Barat [Kalbar] untuk selanjutnya ke Kuching ,  Sarawak. 
Sarawak juga Sabah menarik perhatianku sejak lama. Bahkan sejak bocah, ketika 
aku dengan telanjang badan menerjuni ombak sungai Katingan saat berkabut atau 
pun terang sambil mengacungkan kepala kecilku ke langit mengatakan bahwa aku 
anak sungai, aku anak alam diasuh ombak dan langit segala warna. Aku adalah 
anak enggang dan putera naga -- penguasa dunia atas dan dunia bawah.
   
   
  Pada masa bocah ini seperti anak-anak Dayak lainnya, aku belajar dan hapal 
benar lagu Bonero Tanahairku, Tanah Nusa Pusakaku. Di lagu ini tanpa kecuali, 
kota -kota besar dan kecil hingga kampung-kampung bersejarah disebutkan dengan 
teliti. Melalui lagu inilah aku mengenal nama kota Kuching, Sandakan dan Kota 
Kinabalu, yang mengembangkan mimpi kanakku bahwa suatu hari aku harus melihat 
dengan mata kepala sendiri tempat-tempat tersebut. Sampai sekarang aku tidak 
tahu siapa pencipta lagu yang amat populer  di masa bocahku itu. Sama 
populernya dengan lagu Kalimantan Tanahairku, lagu-lagu yang kemudian 
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin 
yang menciptakan lagu-lagu itu adalah salah seorang dari organisasi perjuangan 
masyarakat Dayak bernama Pakat Dayak [Kesepakatan Dayak], organisasi yang 
kemudian ditindas oleh Belanda, tapi kemudian bangun kembali. Ditumapas, bangun 
kembali.  Dilarang dibangun kembali dan sekarang mengambil
 bentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah 
[LMMD-DKT]. Pakat Dayak sejak lama, sejak zaman kolonial Belanda, Pakat Dayak 
atas nama  masyarakat Dayak menuntut adanya propinsi sendiri, dan Belanda 
terpaksa mengakui tuntutan ini, dan memberikan wilayah tersebut sebagai Dayak 
Besar, termasuk Kalimantan Selatan. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan 
propinsi Kalteng pada 1956 di bawah Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, kukira 
merupakan kelanjutan saja dari ide Pakat Dayak.  Dengan berkata begini sebagai 
ilustrasi, barangkali di sini bisa dilihat arti pentingnya penulisan sejarah 
lokal dan sejarah etnik-etnik untuk menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia 
yang lebih representatif, tidak hanya terpusat pada sejarah raja-raja feodal 
Jawa . Jawa yang hanya merupakan salah satu bagian saja dari Indonesia. Kalau 
berbicara tentang Republik Indonesia, kiranya, niscaya penulisan sejarah 
mempertimbangkan jasa-jasa dan sumbangan berbalut darah semua etnik
 dalam menegakkan dan membela Republik Indonesia.
   
   
  Apakah arti pemberontakan bersenjata masyarakat Dayak terhadap Republik 
Indonesia Soekarno pada 1956 ini? Jika kucamkan ulang, aku sampai pada hipotesa 
bahwa masyarakat Dayak menolak penindasan NKRI sentralistik. Intinya:mereka 
ingin 

[ac-i] Pertunjukan di TUK: Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru)

2008-02-19 Terurut Topik MGR
http://www.utankayu.org/in/index.cfm?action=detailcat=eventid=129
Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru)
Rabu, 20 Februari 2008, 20:00 WIB
   Resital Piano Ross Carey (Selandia Baru)
   THE NEW MINIMALISM (karya Slamet Abdul Sjukur, Michael Asmara, Sinta 
Wullur, Luca Vanneschi, Alfredo Votta Jr, Garreth Farr, dll).
 
Dalam resitalnya kali ini, pianis Ross Carey akan membawakan sebelas nomor 
untuk piano tunggal bercorak minimalis karya sepuluh komponis dari sejumlah 
penjuru dunia. Karya-karya itu antara lain: Zomer (Kate Moore, Australia, 
2006); Love Songs (Garreth Farr, Selandia Baru, 2001); Meditations (Alfredo 
Votta Jr, Brazil, 1999); Per Piano Forte (Luca Vanneschi, Italia, 1996); Idiot 
Sorrow (James Rolfe, Kanada, 1990). Karya dua komponis Indonesia kontemporer, 
Slamet Abdul Sjukur (Svara, 1979) dan Michael Asmara (The River, 1986) juga 
akan mengisi program, bersama karya mutakhir komponis asal Indonesia yang kini 
bermukim di Belanda, Sinta Wullur (Aqua Piano, 2007). Ross Carey melakukan 
studi piano dan komposisi di Victoria University, Wellington, dan Elisabeth 
University of Music, Hiroshima. Sejak 1994 ia berkarir sebagai pianis dan 
komponis di Selandia Baru, Australia, dan Kanada. Pada tahun 2000 ia menjadi 
Mozart Fellow di Otago University, Dunedin, Selandia Baru; dan di tahun
 2005 ia menjadi komponis tamu bagi International Society for Contemporary 
Music (ISCM) di Visby International Centre for Composer, Swedia. Ia pernah juga 
mempelajari seni musik tradisional Jawa di Yogyakarta. Saat ini ia tengah 
mendalami musik klasik Hindustani, dengan perhatian utama pada instrumen 
harmonium.
Pertunjukan ini digelar di Teater Utan Kayu (TUK) Jl Utan Kayu No 68H Jakarta, 
dan tidak dipungut biaya sedikit pun. 


 

   
-
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.