[ac-i] humor tuhan dua

2008-10-14 Terurut Topik Hudan Hidayat

humor tuhan bukanlah humor yang hitam. tapi humor lembut dengan kias berbagi 
kasih sayang. 

saya membaca humor tuhan ini melalui banyak kisah yang disampaikannya dalam 
kitabnya. 

bagi orang lain kitab ini adalah sebuah kitab suci. bagi saya juga. tapi 
terlepas dari statusnya sebagai kitab suci, sebuah petunjuk agung untuk manusia 
ke mana hendak melangkah dan mengapa harus menuju, maka kitab itu adalah kisah 
budaya, dari manusia yang berdiam dalam ruang dan waktu tertentu. manusia 
sejarah dengan budayanya yang kini pun telah menjadi sejarah.

ambillah contoh musa. kita tahu musa ini adalah lelaki pemarah dan agak tinggi 
hati. kurang begitu sabar sebagai nabi. tapi toh tetap nabi. tuhan memang 
bermain misteri dengan dirinya sendiri. meretakkan dirinya sendiri ke dalam 
teka teki bagi manusia. 

seumpama teka teki penciptaan itu. 

bagi saya, penciptaan dengan usia 15 milyar tahun, bukan saja mengabarkan sisi 
"absurd" dunia, tapi kehendak untuk berkejar kejaran pada makna. seolah tuhan 
berkata: ini aku. kuberi sedikit padamu. datang dan singkapkanlah. 

seolah dua orang kekasih. sang kekasih menyingkapkan roknya. tapi pacarnya 
ingin ingin rok tersingkap naik lagi. tapi dia berlari. kejarlah daku kau 
kutangkap. 

maka tertangkap proses kejadian alam melalui ledakan big bang. tapi segera 
muncul "belahan rok" yang lain: apa yang menjadi latar bagi ledakan big bang 
itu? ruang dan waktu apakah? darimana asalnya dan bagaimana strukturnya? 

dia sendiri mengatakan: tidakkah kau pernah mendengar, ada sebuah masa yang 
tidak ada penyebutannya. masa yang tidak ada penyebutannya, itulah ruang dan 
waktu di mana big bang meledak itu.

begitulah tuhan memainkan humornya. pada manusia dan pada dirinya sendiri. 

dalam menangkap humor tuhan ini, kita sangat beruntung memiliki hb jassin, yang 
menerjemahkan kitab itu dengan sangat indah. di tangan hb jassin, kata kata 
dalam kitab itu menjadi bahasa yang bercahaya karena keindahannya dan karena 
kadar kebenarannya. 

kebenaran yang tentu saja membutuhkan tafsir, bukan kebenaran yang harafiah 
tersebut dalam kata katanya.

salah satu humor tuhan yang indah adalah saat ia bertanya pada musa,

"apakah itu yang di tangan kananmu,
 hai musa?"

berhadapan dengan larik yang menjadi "budaya" ini, tidakkah kita akan mendapat 
sentuhan humor saat kita kontraskan dengan sifat tuhan yang maha tahu? dia maha 
tahu, tapi dia "pura pura" bertanya kepada musa, lelaki yang hendak dipilihnya 
menjadi nabi. 

maka kita akan tersenyum membacanya: apakah itu yang di tangan kananmu, hai 
musa?" tersenyum karena tahu bahwa tuhan tahu, bahwa di tangan kanan musa itu 
adalah sebatang kayu yang menjadi tongkat baginya.

bagaimana tuhan ini: bukankah dia sudah pasti tahu bahwa di tangan musa itu 
adalah tongkat, tapi kenapa bertanya pula. ah kamu tuhan: sudah gaharu cendana 
pula.

tapi kita pun mengerti, pertanyaan tuhan itu adalah kias, adalah sebuah 
pelajaran yang akan dipetik oleh manusia lain dari dialog tuhan dan musa. 
seolah tuhan hendak menekankan, wahai, perhatikan simbolisasi tongkat itu, 
batang kayu itulah kelak yang akan menjadi senjata bagi musa untuk berhadapan 
dengan mahlukku yang lain, mahlukku yang nakal bernama firaun. 

(saya mengerti tuhan: tongkat adalah senjata musa. maka izinkanlah saya 
membelokkan makna tongkat itu sedikit menjadi pena. pena bagi sang pencerita 
untuk ikut pula menegakkan syiar sebagai musa telah melakukannya)

terbaca juga: 

makna itu hendaklah jangan disampaikan dengan suara berteriak kencang, tapi 
cukup dengan bermain kata kata dalam bahasa, dan dengan nada humor.

humor tuhan yang lain adalah saat tuhan menggeser gaya penceritaan, dengan 
memindahkan dirinya ke dalam peran sang "narator" yang juga adalah dirinya 
sendiri. 

"dan mereka menanyakan kepadamu
tentang gunung gunung.
   Jawablah. Tuhanku akan 
 menghancurkannya menjadi debu."

"akan dibiarkan-nya sebagai 
padang yang rata.

"tiada kau lihat di atasnya
   lekak lekuk ataupun jendal jendul."

(q.20 a.105, 106, 107)

lihatlah tuhan menurunkan dirinya dari tempat yang tinggi itu, ke dalam 
ungkapan yang dikenal oleh indera manusia (lekak lekuk dan jendal jendul). 
ungkapan yang bernada humor saat ditarik ke bahasa lokal manusia (jendal 
jendul). tapi humor ini menghilang saat diolah ke dalam bahasa resmi 
(departemen agama), yang meletakkan humor lokal itu ke dalam bahasa netral 
(tendah dan tinggi). 

luar biasa ya, tuhan itu. begitu mempesona dan begitu menakjubkan.

hudan


  
___
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/


[ac-i] Satu Horor Berakhir, Namun Perjuangan Belum Berakhir

2008-10-14 Terurut Topik luc_leroy07
Rekan-rekan mungkin masih ingat kisah sedih yang dialami Desak Suarti.
Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar
negeri. Orang ini kemudian mendaftarkan hak cipta atas desain
tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali
karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.

Kisah sedih ini ternyata tidak berhenti sampai di sana. Kasus yang
kurang lebih identik juga terjadi pada pengrajin perak Ketut Deni
Aryasa. Namun bedanya jika Desak digugat di pengadilan AS oleh Lois
Hill, seorang desainer perhiasan raksasa dari New York, Deni Aryasa
digugat di Negara sendiri. Ia dituduh melanggar hak cipta milik sebuah
perusahaan raksasa asing. Kasus sangat memperihatinkan. Bali Times
bahkan melaporkan adanya intimidasi dan teror yang dialami istri Deni
Aryasa yang saat itu tengah hamil 9 bulan. Bahkan di duga, intimidasi
tersebut melibatkan unsur birokrasi. Horor ini membuat ratusan pekerja
seni di Bali kini resah menyusul diklaimnya beberapa motif desain asli
Bali oleh warga negara asing. Para pekerja seni menjadi takut untuk
berkarya. Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya
desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya
tidak bisa menghasilkan satu desain pun," ungkap Anak Agung Anom
Pujastawa. Mereka kemudia berjuang dengan berdemonstrasi turun ke jalan.

Beberapa hari yang lalu, muncul sebuah berita gembira. Pengadilan
Negeri Denpasar, Bali, membebaskan Ketut Deni Aryasa dari segala
dakwaan. Ia tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran atas hak cipta. 

Namun tentu saja, perjuangan belum berakhir. Saat ini diduga, ada
ribuan artefak budaya Nusantara yang masih dalam persengketaan,
seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran
Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang
Sayange, dan lain sebagainya. Sejauh ini, solusi yang ditawarkan
adalah dengan mendaftarkan artefak budaya tradisional ke lembaga HAKI
(hak kekayaan intelektual). 

Solusi ini tentu saja tidak realistis. Pendaftaran HAKI memerlukan
biaya yang cukup mahal. Apakah para pengrajin miskin memiliki
kemampuan untuk itu? Terlebih lagi, Indonesia memiliki ragam budaya
yang sangat tinggi. Ada jutaan artefak budaya? Dapat kita bayangkan
berapa miliar dolar devisa negara yang harus terbuang percuma hanya
untuk mendapatkan HAKI. Bukankah anggaran tersebut lebih baik kita
gunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, seperti pendidikan
gratis, pemberantasan kemiskinan, gizi balita dan lain sebagainya.

Warisan budaya Indonesia adalah peninggalan leluhur kita yang harus
kita jaga. Sepertinya, solusi yang paling sesuai adalah dengan
melakukan inovasi hukum. Perjuangan ini coba dirintis oleh rekan-rekan
di IACI (http://budaya-indonesia.org/) dengan mengusulkan konsep 
perlindungan hukum Nusantara Cultural Heritage State License dan
Perpustakaan Digital budaya Indonesia. Kepada rekan-rekan sebangsa dan
setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuian ide, tenaga maupun
donasi) tentang perlindungan hukum budaya, harap menggubungi IACI di
email: [EMAIL PROTECTED] Namun tentu saja, perlindungan
hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi,
jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang
budaya Indonesia, mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA
INDONESIA, dengan alamat http://budaya-indonesia.org/  Jika Anda
memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di
email: [EMAIL PROTECTED]

Mari kita jadikan momen kemenangan Deni Aryasa sebagai tonggak
kedaulatan budaya Indonesia.

- Lucky Setiawan

nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman,
mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung
upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.




Re: [ac-i] MARILAH BERSINERGI

2008-10-14 Terurut Topik henri nurcahyo
Supaya diskusi tidak melebar, saya kutipkan lagi posting di bawah ini: 



Dari: 

"mangoenpoerojo roch basoeki" <[EMAIL PROTECTED]>

Tambahkan Pengirim ke Kontak
 





Kepada: 

artculture-indonesia@yahoogroups.com











Saya sepakat total mas nurcahyo
salam, robama.

- Original Message 
From: henri nurcahyo 
To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com
Sent: Monday, October 6, 2008 7:44:40 AM
Subject: Re: [ac-i] DIPERLUKAN LSM KEBUDAYAAN TINGKAT NASIONAL










Lembaga
Kebudayaan itu SARANA atau TUJUAN??? Saya sepakat dengan mailist Halim
HD di dikbud, bahwa lembaga tidak menjamin aktivitas kesenian menjadi
lebih baik. Bandung adalah salah satu contoh yang dikemukakan Halim,
tanpa Dewan Kesenian tapi keseniannya maju pesat. Sementara di beberapa
daerah, lembaga kesenian malah menjadi jaringan birokrasi baru. semacam
menumbuhsuburkan feodalisme kesenian (ini istilah saya). Jadi, apa sih
yang mau dikerjakan dengan (rencana adanya) lembaga kebudayaan nasional
itu? Ya mending dikerjakan aja sekarang dan melibatkan lembaga yang
sudah ada. jadi, menurut saya pribadi, lembaga kebudayaan itu sebaiknya
berdasarkan kinerja saja, bukan membangun lembaga mapan tempat
bercokolnya birokrat kesenian. Begitu. 

salam
henri nurcahyo

Jadi, sebetulnya saya TIDAK MENOLAK gagasan Pak Luluk soal Forum itu, tetapi 
menurut saya sebaiknya dibuat berdasarkan Kinerja, bukan menjadikan lembaga 
sebagai tujuan. Kongkritnya, ayo segera kita buat agenda, kita kerjakan 
bersama-sama, maka Forum itu akan terbentuk DENGAN SENDIRINYA. Kalau misalnya 
gak ada kegiatan lagi, ya apa boleh buat maka forum itu juga akan mati dengan 
sendirinya. Karena itu kegiatan harus terus menerus ada ibarat denyut jantung 
sebagai indikasi adanya kehidupan. Hal ini jauh lebih baik ketimbang bertujuan 
mendirikan lembaga namun setelah itu mati tak ada kabar beritanya (jare arek 
ludrukan "manuk glatik cucuke biru, mari dilantik langsung turu"). Nah, itulah 
yang membuat sumpeg. Jadi, yang membuat Pak Basuki "sepakat total" itu yang 
mana? 
Trims juga Pak Luluk, kiriman draftnya belum saya baca, baru dari luar kota. 
Nanti segera saya kabari tanggapan saya via japri, sesuai permintaan bapak. 

--- Pada Ming, 12/10/08, mangoenpoerojo roch basoeki <[EMAIL PROTECTED]> 
menulis:
Dari: mangoenpoerojo roch basoeki <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: Re: [ac-i] MARILAH BERSINERGI
Kepada: artculture-indonesia@yahoogroups.com
Tanggal: Minggu, 12 Oktober, 2008, 8:54 PM











Mas Nurcahyo yang kesumpegan, 

Kali ini saya kok kurang sependapat dengan kesumpegan anda. Masalahnya, 
masyarakat kita sebagai satu bangsa belum berorganisasi sebagai bagian dari 
budaya untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Sebagian besar dari kita baru 
membuat/masuk organisasi untuk suatu kepentingan yang sempit atau kekuasaan. 
Ini yang membuat dunia menjadi sempit dan sumpeg. Lihat saja, gak ada 
organisasi di indonesia yang tidak pecah. 

Pengalaman saya di TNI saja, di organisasi yang begitu besar dan solid, bagi 
saya sangat sempit dan sumpeg sehingga saya sadar lebih baik keluar dari 
kesumpegan itu. Namun saya  kok merasa lapang dan tidak sumpeg ketika berada 
pada organisasi yang bernama "bangsa indonesia", apalagi di jaman reformasi 
yang kebablasan bebasnya,. Tetapi menjadi
 sumpeg lagi ketika berpikir "kok semrawut amat" sih. Oooo ternyata negeri ini 
hidup tanpa tujuan. 

Coba lihat "apa tujuan negara ini", kalau anda tanyakan kepada enam menteri 
pasti ada tujuh atau lebih jawaban yang berbeda-beda (ini pernah saya sampaikan 
kepada Men-ESDM, dia cuma tersenyum ; mungkin menganggap saya orang yang 
frustasi sementara dia menikmati "negeri yang tanpa tujuan ini"). Satu 
organisasi harus dimulai dengan adanya kesatuan tujuan, tanpa itu mustahil 
organisasi itu akan berjalan tanpa kesumpegan.

Saya buat komentar untuk mas Nur ini untuk mengajak "jangan kesumpegan"- lah, 
bukan dong lho...
salam, robama. 
salam, robama. 


- Original Message
 
From: henri nurcahyo 
To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com
Sent: Monday, October 13, 2008 12:17:58 AM
Subject: Re: [ac-i] MARILAH BERSINERGI













Begini
Pak Luluk



Pada dasarnya saya tetap berpendirian, bahwa merancang program kerja bersama
jauh lebih penting ketimbang membentuk lembaga baru. Sepanjang program itu
dapat dilaksanakan oleh lembaga yang sudah ada, maka kita tinggal
memaksimalkannya. Karena itu, maaf beribu maaf, saya tidak berminat untuk
membentuk forum budaya Surabaya atau jatim, karena hanya akan menambah
sumpegnya lembaga kesenian. Lha wong Dewan Kesenian yang sudah ada saja belum
maksimal fungsinya kok sudah menambah lembaga baru. Ke

Re: [ac-i] Fwd: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU

2008-10-14 Terurut Topik arief rahman arief rahman
ada sesi bagi buku gratis?

--- On Tue, 10/14/08, gita pratama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: gita pratama <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [ac-i] Fwd: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU
To: "Kemudianers Surabaya" <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], "apresisi 
sastra" <[EMAIL PROTECTED]>, "ArtCulture Indonesia" 

Date: Tuesday, October 14, 2008, 7:56 AM












--- On Tue, 14/10/08, Gita Pratama  wrote:
From: Gita Pratama 
Subject: Fwd: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU
To: [EMAIL PROTECTED] com
Date: Tuesday, 14 October, 2008, 9:48 PM



-- Forwarded message --
From: fajar timur <[EMAIL PROTECTED] com>

Date: Tue, Oct 14, 2008 at 9:18 PM
Subject: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU
To: [EMAIL PROTECTED] com, nico_jurnalist@ yahoo.com, [EMAIL PROTECTED] com, A 
Yantonius <[EMAIL PROTECTED] com>, Insan Baca <[EMAIL PROTECTED] com>, 
Muhhiddin Dahlan <[EMAIL PROTECTED] com>









Dengan ini, kami mengundang kawan-kawan untuk hadir dalam bedah buku sekaligus 
launching buku baru karya 

Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri , 
LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU : Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 
1950-1965 

Sabtu, 18 oktober 2008, pukul 09.00 WIB

di Museum NU Jalan Gayungsari (Depan Astranawa)
Pembedah : Drs. eddy Hery,M.Si (Sosiolog UNAIR) dan Halim HD (Budayawan)

Tersedia juga bursa buku, jadi siapkan tabungan untuk memborong buku-buku 
eksklusif dengan diskon yang hanya ada di acara ini. 


SEDIKIT PENGANTAR

"Sejarah senyap adalah sebuah
metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang
dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan
mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang
sesungguhnya terjadi"

Mereka adalah dua orang muda yang getih menyisakan sebagian besar waktunya 
untuk menyusuri 15000 artikel yang tersebar di Harian Rakjat selama masa waktu 
1950-1965, bertahan dengan debu dan rayap yang mulai menghabisi koran-koran tua 
itu, membaca tulisan kecil-kecil dalam ejaan lawas, mencatatnya, dan 
menuliskannya kembali hingga menjadi sebuah ringkasan sejarah kebudayaan versi 
'kiri". Mereka yang muda-muda ini peduli dan ingin menyumbangkan catatan 
sejarah berdasar fakta yang mereka temui. Tema yang menjadi
fokus bukan hanya sastra, tapi juga film, musik, seni
pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), seni tari, buku, dan pers.

Penulisan buku esei panjang
berjudul Lekra tak Membakar Buku ini sebetulnya berlangsung selama 1.5
tahun dan intensif penulisannya sejak April sampai pertengahan Agustus 2008,
termasuk dua buku lainnya yang segandengan: Gugur Merah: Sehimpunan Puisi
Harian Rakjat-Lekra dan Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek
Harian Rakjat-Lekra. Dalam periode 1.5 tahun itu mereka mesti menyelinginya
dengan mengerjakan riset berkelompok yang lain, yakni riset intensif Seabad
Pers Kebangsaan (1907-2007), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers
Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008), Seabad
Pers Perempuan (1908-2008), dan Almanak Partai Politik. Dan buku-buku
riset itu rata-rata di atas 500 halaman. Bahkan buku kronik tebalnya mencapai
1.7 meter.

Buku-buku yang menjurubicarai Lekra sudah banyak
ditulis oleh pakar dan penulis-penulis yang berminat pada kebudayaan. Beberapa
dari penulis-penulis itu sudah melakukan wawancara mendalam dari tokoh-tokoh
Lekra yang masih hidup yang boleh jadi ingatan mereka sudah tak terlalu
bersih-jernih dan bahkan posisi mereka sudah dibaik-baikkan lantaran sudah
dicuci puluhan tahun dalam upacara penyiksaan yang rapi dan sistemik.

Peran buku ini adalah membangunkan kembali
panggung buat Lekra "sepersis" mungkin pada periode-periode yang bergemuruh
itu. Terutama setelah Kongres Nasional I Lekra berlangsung di
Solo pada 1959. Tentu saja ini bukan pembelaan yang buta terhadap Lekra, tapi
memberi bagi si bisu ini kesempatan untuk berbicara apa sesungguhnya yang
mereka lakukan selama 15 tahun itu.  

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra adalah nisan
kebudayaan yang disenyapkan eksistensinya selama puluhan tahun lamanya.
Aktivitas mereka yang bergemuruh dalam periode 1950-1965 seakan hilang tanpa
jejak. Yang ada adalah deret ukur dosa politik kebudayaan mereka dalam
menegakkan prinsip-prinsip yang mereka yakini sebagai kebenaran. Yang ada
adalah jejak hitam dengan noda yang bopeng-bopeng. Mereka tak lagi punya mulut
untuk menuturkan sendiri apa yang mereka lakukan selama 15 tahun yang
bergemuruh itu. Mulut mereka dilakban. Mereka dijurubicarai oleh orang lain
yang sialnya adalah musuh-musuh politik kebudayaan mereka dalam kurun semasa.

Katakanlah
semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu).
Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah
penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar
buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat
warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di
lapangan kebudayaan Indonesia?

Di b

Re: [ac-i] Mohon info alamat kontak mas Radityo (Tentang buku Kuliner)

2008-10-14 Terurut Topik mediacare
Oke akan saya kirim bukunya besok ke Jogja.


Suwun


radityo


  - Original Message - 
  From: Majalah Gong 
  To: artculture-indonesia@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, October 14, 2008 11:20 AM
  Subject: [ac-i] Mohon info alamat kontak mas Radityo (Tentang buku Kuliner)




  Saat ini kami Majalah Gong di Yogyakarta sedang membahas tentang Kuliner. 
Bisakah kami mendapatkan buku yang mas Radityo bilang (80 warisan 
kuliner)???.Makasih

  Majalah Gong
  Jl. Nitikan Baru, Gang Aries No.46 Kelurahan Sorosutan, Kecamatan umbulharjo
  Yogyakarta 55161
  Telp/Fax : 0274- 370 830
  HP : 081568445708
  E-mail : [EMAIL PROTECTED]
  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]



   

[ac-i] Spiritualitas Post Modern dan Tantangannya

2008-10-14 Terurut Topik leonardo rimba



Friends, 

Saya diminta untuk menjadi seorang pembicara dalam Seminar "Spiritualitas 
Manusia Modern" yg akan diadakan di Hotel Sahid, Surabaya, pada tanggal 15 
November 2008. Topik yg dipilihkan untuk saya adalah "Spiritualitas Modern dan 
Tantangan2nya". Saya meng-iyakan saja, walaupun menurut saya saat ini adalah 
masa POST MODERN. Bukan modern lagi, melainkan PASKA modern. Masa modern 
berakhir kira2 awal tahun 1970-an ketika wanita2 mulai berontak dan bilang 
bahwa emangnya dunia milik pria saja. Dan, WOMEN'S LIBERATION ternyata 
berhasil. Tanpa mengucapkan bismillah ternyata wanita2 di negara2 Barat 
berhasil menggaet tempat yg sederajat dengan pria di segala bidang. Dan itu 
pertanda bahwa era POST modern telah mulai.

Post Modernisme memang cuma istilah saja, karena yg menentukan adalah PARADIGMA 
yg dipakai. Kalau paradigma yg dipakai adalah KESETARAAN GENDER, maka era-nya 
adalah Post Modern. Kalau paradigma yg dipakai adalah pria sebagai "kepala 
rumah tangga", maka itu baru era modern. Di era Post Modern, kepala rumah 
tangga BUKAN pria, melainkan siapa saja yg mau dan bisa. Banyak rumah tangga di 
Era Post Modern memiliki dua kepala. Manusianya ada dua, maka kepalanya ada 
dua. Manusia dua orang yg mengepalai rumah tangga itu BISA berjenis kelamin 
pria dan wanita, bisa juga pria dan pria, dan bisa juga wanita dan wanita. 
Segalanya bisa saja, dan EKSPLORASI hal2 seperti itu merupakan tantangan yg 
dihadapi oleh mereka yg telah hidup di era post modern.

Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia ini post modern atau modern ? ... The 
question could be asked in general, but the answer has got to be specific, 
karena kita akan menjawab TERGANTUNG. Tergantung manusia2nya sendiri. Kalau 
masih mau mengharapkan segalanya itu ditentukan oleh ROLE PLAYING dengan 
mengikuti paradigma modern, maka artinya kita MASIH hidup di era modern. Kalau 
mau mengikuti role playing dengan paradigma post modern, maka jadilah post 
modern. Post Modernitas ditentukan oleh kemauan. Kalau manusianya mau, maka 
jadilah itu. Kalau mau menikah, ya menikahlah. Kalau tidak mau, ya tidak 
usahlah. Dan itu berlaku bagi SEMUA, baik pria maupun wanita.

Di era modern, yg namanya PILIHAN merupakan sesuatu yg merupakan "kemewahan" 
karena semua orang akan bilang bahwa kita DITENTUKAN. Segala pilihan2 di era 
modern itu ditentukan. Cara berpakaian ditentukan, cara berbicara ditentukan, 
bahkan cara berpikir itu ditentukan. Tetapi POST MODERN membalikkan paradigma 
itu dengan mengatakan bahwa segalanya itu adalah pilihan. Kalau seorang wanita 
merasa HARUS menikah, dan ternyata setelah menikah merasa bahwa pilihannya itu 
"salah", akhirnya si wanita akan BISA berbalik peran dan menjadi "pria". Secara 
SIMBOLIK menjalani peran sebagai seorang "pria", atau menjadi "maskulin". 
Menjadi seorang single parent adalah perbuatan yg sangat MASKULIN, contohnya... 
-- Banyak wanita yg single parent, sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak2nya. 
Feminin sekaligus maskulin walaupun, menurut saya sendiri, single parenthood 
itu lebih banyak maskulinitasnya. 

Pada pihak lain, banyak pula pria yg ternyata MANJA, mencari kasih sayang 
kemana-mana, dari satu wanita ke wanita lainnya TANPA memperdulikan 
tanggung-jawab. Nah, kelakuan seperti itu lebih banyak sifat FEMININ-nya 
walaupun manusianya itu sendiri straight dalam orientasi seksualnya. Walaupun 
100% straight, kelakuan yg mencari tempat curahan hati dari satu wanita ke 
wanita lainnya merupakan sifat yg feminin. 

Maskulinitas dan Femininitas disini BUKAN merupakan sesuatu yg positif maupun 
negatif, segalanya itu NETRAL dan cuma merupakan kecenderungan2 saja. Kalau 
cenderung untuk mandiri dan assertive, maka artinya lebih banyak maskulinnya. 
Kalau cenderung cengeng dan mencari perhatian, maka cenderung feminin. Nah,... 
kalau pengertian JUJUR seperti itu yg kita pakai, maka akan tampaklah bahwa 
banyak wanita yg lebih maskulin daripada para pria. Dan banyak pula pria yg 
lebih feminin daripada para wanita. 

Lalu akhirnya bagaimana ? ... Ya, tidak bagaimana2. Ya dijalani saja. Kalau 
seorang wanita ENJOY untuk bersifat maskulin, ya jalani sajalah. There is 
nothing wrong about that. Bahkan, sebenarnya hal seperti itu sudah ada sejak 
jaman dahulu kala. Dari dahulu banyak wanita yg lebih mandiri daripada pria, 
tetapi TIDAK diakui atau bahkan ditekan oleh lingkungannya. Sekarang juga 
MASIH. Banyak wanita2 mandiri akan ditekan dengan segala macam cara oleh 
lingkungannya. Dan itu normal saja. Lingkungan sekitar selalu akan merasa 
TERANCAM oleh kemandirian seorang wanita. Dan lingkungan yg terancam seperti 
itu menandakan bahwa itu adalah lingkungan "modern". Kalau wanitanya itu mau 
TUNDUK terhadap desakan lingkungan yg berargumen segala macam, yg intinya bahwa 
wanita harus NRIMO "kodrat" blah blah blah... artinya wanita itu MASIH hidup 
dalam lingkungan modern pula.

Kalau si wanita tidak mau menerima segala macam argumen berdasarkan "kodrat" yg 
notebene merupakan IDEOLOGI bagi pria d

[ac-i] JEMEK SUPARDI : DPR, Belajarlah Dari Tukang Cukur

2008-10-14 Terurut Topik jemekmime
Jemek Supardi, kini tengah mempersiapkan sebuah karya pantomim
tunggal. Karya yang bertajuk 'Buku Harian Si Tukang Cukur' merupakan
ide dari Jemek Supardi, kemudian dalam pengolahannya dibantu oleh Eko
Nuryono, selaku penulis naskah sekaligus merangkap sebagi penata
artistik pentas.

"Gagasan ini muncul dari pengamatan saya sehari-hari. Melihat
bagaimana nasibnya tukang cukup tradisonal, yang sekarng berjuang
menghadapi salon-salon yang ada dimana-mana. Kecintaannya pada pilihan
menjadi tukang cukur tradisional itulah yang ingin saya garap dalam
karya saya ini nanti, " ungkap Jemek.

Selain kesetiaan itu, Jemek juga mengkap ada filosofi hidup yang
luar-biasa dalam. Tukang cukur itu, dalam bekerja akan selalu menuruti
kemauan yang di potong, selera potongannya juga menurut kepuasan yang
dipotong. "Tukang cukur sebagai pelayan, bener-bener melayani sebaik
mungkin pada yang dilayani. Harusnya pemimpin negara kan seperti itu,
bener-bener bisa melayani untuk membahagiakan rakyat yang diabdi.
Harusnya para pejabat, politkus, orang DPR itu bisa berguru dengan
tukang cukur dalam melayani rakyat," imbuh Jemek dengan nada berseloroh.

Keunikkan lain, menurut Jemek Supardi, tukang cukur itu mengajarkan
bagaimana setiap orang itu mau menuaikan kewajibannya dulu baru
menuntut haknya. "Tukang cukur itu, baru minta ongkos kalau sudah
selesai memotong rambut orang. Hasilnya ada dulu, baru minta imbalan.
Sekarang saya lihat DPR, kerjanya belum jelas, sudah nuntut gaji yang
banyak. DPR bergurulah pada tukang cukur harusnya," ungkap Jemek
sembari tertawa sinis.

"Karya saya ini murni, saya hanya memotret kehidupan nyata. kalau
dianggap ini kritik sosial yang monggo. Sebagai seniman yang tugas
saya berkarya saja," imbuh Jemek Supardi.

Menurut Eko Nuryono, yang juga selaku pimpro pementasa jemek kali ini,
mengungkapkan bahwa pementasa ini nantiknya akan berlangsung di Gedung
Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, 30
Oktober 2008.

__
Sinopsi karya
Buku Harian Si Tukang Cukur

INILAH kisah tentang seorang tukang cukur. Dia bukan pemotong rambut
modern. Dia hanyalah tukang cukur tradisional. Maka tempat kerjanya
bukan di salon, melainkan di bawah pohon. Selain gunting, di mejanya
ada tondhes serta semprotan untuk memiting dan membasahi rambut.
SUDAH lama tukang cukur itu duduk termangu, tak juga datang pelanggan
yang ditunggu. Sesekali datang jugalah orang padanya. Dia sudah siap
mencukurnya. Ternyata orang itu hanya mau pinjam sisirnya saja.
Kemudian datang orang lain. Kali ini ia hanya numpang meminjam gunting
untuk merapikan kumisnya. Tak lama kemudian datang lagi seorang lain.
Ia pun hanya berhenti sejenak, mematut-matut diri di depan kaca.Tukang
cukur itu melongo. Ia benar-benar ingin mencukur, tapi tak ada orang
yang mau dicukur. Syukur ada seorang anak kecil. Sebenarnya anak ini
sama sekali tak berniat mencukurkan rambutnya. Tapi karena diiming-
imingi permen oleh si tukang cukur, akhirnya ia mau dicukur. Ternyata
rambut anak itu sulit dicukur. Maklum, rambutnya gimbal berikal-ikal.
Digunting tidak mempan, di-tondhes mental, sampai si tukang cukur
kehabisan akal. Tiba-tiba anak itu terkaget, ternyata kepalanya
kejatuhan tahi burung.
SEJAK itu, si anak tak bisa tenang lagi. Sebentar-sebentar kepalanya
menggeleng ke sana ke mari. Tukang cukur meluruskan kepalanya
berkali-kali, toh kepala anak itu terus miring ke kanan miring ke
kiri. Habis sudah kesabaran si tukang cukur. Kepala anak itu pun
dijitaknya.Tentu anak kecil itu lalu menangis. Ia lari, lalu kembali
lagi bersama ayahnya. Si ayah marah-marah, sambil menunjukkan rambut
anaknya yang petal-petal. Dengan geram ia menyuruh tukang cukur
merampungkannya. Belum selesai dicukur, hujan mendadak turun. Anak itu
lari, sementara selubung kain putih yang melekat di badannya ikut
terbawa pergi. Si tukang cukur melongo lagi. Ia menoleh ke teman di
sebelahnya yang juga tukang cukur.Teman ini juga sedang sepi dari
pelanggan. Maka si tukang cukur minta agar temannya ini bersedia untuk
dicukur. Setelah itu ia sendiri ganti meminta agar temannya
mencukurnya. Kedua tukang cukur yang sama-sama sepi pelanggan itu
akhirnya saling cukur-cukuran. Seperti nasib si tukang cukur, ditengah
masyarakat yang kian modernini kemudian? Bagaimana si tukang cukur,
akan bertahan atau tergusur nasibnya? Semuanya akan terurai dalam
repertoar ini.


Data Para Pendukung
Ide Cerita Jemek Supardi
Pengolah Pemanggungan Eko Nuryono
Penata Iringan Ragil Hanyani
Pemain Jemek Supardi

Konfirmasi
Tim Manajemek
081904138595
www.jemeksupardi.multiply.com
 



Re: [ac-i] Debat Publik RUU Pornografi, Mari Berdemokrasi....

2008-10-14 Terurut Topik Putu Wijaya
Putu Wijaya

   MENGUJI UJI COBA RUU P

Yang semula bernama RUU APP (Rencana Undang-Undang Anti Pornografi
Pornoaksi) dan kini bernama RUU P (Rencana Undang-Undang Pornogragi)
telah menjadi bahan pertengkaran. Di tengah berbagai kesulitan hidup
yang menerpa tak putus-putusnya, RUU tersebut sudah ikut membelah
masyarakat dan bangsa Indonesia. Demo dari yang pro dan yang kontra
terjadi di seluruh kawasan Nusantara. Tetapi seperti seperti pelari
marathon yang tangguh,  RUU itu terus meluncur hendak menyarangkan
dirinya di gawang pengesahan dari orang nomor satu Indonesia.

Mengambil tempat di Ruang Kartini, Kemeneg Pemberdayaan Perempuan,
Rebo 17 September, diadakaj Uji Publik yang dibanjiri oleh para
peminat yang tak semua diprkenankan masuk. Dimulai dengan penjelasan
bagaimana perjalanan panjang RUU itu sampai ke draft ketiga, kini
ditanggung tidak lagi akan menjegal kebebasan seniman, tidak akan
menodai kebhinekaan adat dan tradisi, berpihak pada perempuan dan
membela anak-anak. Saran-saran dan kritik sudah diserap dengan
mengubah redaksi dan memperbaiki pasal-pasal yang kini dapat dianggap
sebagai sudah menampung baik suara yang pro maupun yang kontra.

Penyair dan budayawan Taufiq Ismail kemudian membuka acara tanya jawab
dengan dua lembar pendapatnya yang menjelaskan bagaiman bahayanya
pornografi dan betapa  rawannya sudah masyarakat Indonesia
diobrak-abrik oleh jaringan yang memakai lokomotof neo-liberalisme
itu. Aliran SMS (Sastra Mashab Selangkang), angkatan FAK (Fiksi Alat
Kelamin) dalam Gerakan Syahwat Merdeka telah  membuat "anak-anak kita
jadi sasaran dan korban dalam skala sangat besar". Empat koma dua juta
situs porno dunia dan seratus ribu situs porno Indonesia di internet
adalah bagian air bah pornografi yang merajalela karena adanya
dukungan dari kelompok permisif dan adiktif.

"Seniman tidak perlu mengeluh bila merasa terkekang karenanya,"tulis
penyair penulis lirik lagu Panggung Sandiwara itu, "Tuangkan
kreativitas menggarap tema kemiskinan, kebodohan dan ketdiak-adilan di
negeri kita. Ketiga tema besar ini jauh lebih urgen digarap bersama
dan bermanfaat bagi bangsa, ketimbang tema syahwar yang destruksinya
(bersama komponen-komponen lain) ternyata luar biasa.

Pembicara berikutnya mengeritik cara-cara melakukan uji coba yang
dianggapnya tidak layak itu. Materi RUU yang hendak dibicarakan tidak
digelar secukupnya sehingga mayorits yang hadir tak memiliki apa yang
mau dibicarakan. Definisi pornografi yang sejak awal sudah dianggap
cacad dan biang pertikaian masih belum sempurna.  Pasal-pasal yang
kabur dan mengandung kemungkinan banyak interpretasi seharusnya
dikupas satu per satu. Perempuan yang konon hendak dilindungi justru
diancam dengan berbagai hukuman. Kemungkinan masyarakat berperan-serta
di dalam pencegahan pornografi akan membuat pembenaran beberapa
kalangan melakukan tindakan main hakim sendiri sebagai selama ini
sudah kerap terjadi.  "RUU yang belum naik kelas ini mestinya
dibicarakan secara terbuka bukannya buru-buru diresmikan," ujarnya.

Kesan yang muncul dari pertemuan Uji Coba itu adalah bahwa pornografi
memang harus dilawan,.dibendung dan dihabisi karena sangat berbahaya.
Tapi satu pihak menganggap bahwa jalan yang terbaik ke arah itu adalah
dengan cepat-cepat mengesahkan RUU Pornografi yang sudah panjang
perjalanannya itu. Pihak lain menyambut bahwa tidak seorang pun yang
membela pornografi. Tetapi tanpa adanya RUU Pornografi pun, tindakan
tegas pemberantasan pornografi sudah memiliki landasan hukuman,
tinggal eksekusi yang belum sungguh-sungguh secara jelas dan
berkesinambungan dilakukan. Bagi mereka masalahnya bukan RUU-nya,
tetapi rumusasn RUU itu menjebak dan menggiring kea rah mono kultur
yang bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika.

Persoalan pro dan kontra pornografi tidak sama dengan persoalan pto
dan kontra RUU Pornografi. Yang pertama adalah masalah moral. Ini
menyangkut ruang privat. Bila negara sudah ikut mengurusi ruang
privat, sementara begitu banyak persoalan ruang publik yang
terbengkalai, itu hanya akan berarti mengelakkan diri dari
tanggungjawab yang sebenarnya. Ruang privat sudah ada pengaturnya
sendiri yakni agama dan pendidikan. Mari kita percayakan kepada para
pemukanya untuk membereskan iman dari para warganya. Kalau memang
sudah terjadi kebejatan, baru kalau ulah pribadi itu sampai mengganggu
ruang publik, negara bertindak. Dan sudah ada beberapa undang-undang
yang dapat dijadikan landasan hukum untuk tindakan mengayomi rakyat
itu. Kalau toh mau menambah dengan yang baru (RUU P) penambahan itu
tidak boleh melempas isinya.

Sementara RUU Pornografi adalah taktik dan strategi negara dalam
mengeksekusi tindakan pengamanan. Bila dalam hajat itu terjadi
perbedaan pendapat, harus dibicarakan secara proposional dan kepala
dingin di mana letak perbedaannya. Tak ada kaitannya lagi dengan pro
dan kontra pornografi, sebab  pornografi memang sepakat mau dilawan.
Jangan sampai kita salah pukul atau sengaja salah memukul. Apa

[ac-i] Fwd: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU

2008-10-14 Terurut Topik gita pratama

--- On Tue, 14/10/08, Gita Pratama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Gita Pratama <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Fwd: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Tuesday, 14 October, 2008, 9:48 PM



-- Forwarded message --
From: fajar timur <[EMAIL PROTECTED]>

Date: Tue, Oct 14, 2008 at 9:18 PM
Subject: UNDANGAN LAUNCHING BUKU BARU
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], A Yantonius 
<[EMAIL PROTECTED]>, Insan Baca <[EMAIL PROTECTED]>, Muhhiddin Dahlan <[EMAIL 
PROTECTED]>









Dengan ini, kami mengundang kawan-kawan untuk hadir dalam bedah buku sekaligus 
launching buku baru karya 

Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri , 
LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU : Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 
1950-1965 

Sabtu, 18 oktober 2008, pukul 09.00 WIB

di Museum NU Jalan Gayungsari (Depan Astranawa)
Pembedah : Drs. eddy Hery,M.Si (Sosiolog UNAIR) dan Halim HD (Budayawan)

Tersedia juga bursa buku, jadi siapkan tabungan untuk memborong buku-buku 
eksklusif dengan diskon yang hanya ada di acara ini. 


SEDIKIT PENGANTAR

"Sejarah senyap adalah sebuah
metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang
dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan
mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang
sesungguhnya terjadi"

Mereka adalah dua orang muda yang getih menyisakan sebagian besar waktunya 
untuk menyusuri 15000 artikel yang tersebar di Harian Rakjat selama masa waktu 
1950-1965, bertahan dengan debu dan rayap yang mulai menghabisi koran-koran tua 
itu, membaca tulisan kecil-kecil dalam ejaan lawas, mencatatnya, dan 
menuliskannya kembali hingga menjadi sebuah ringkasan sejarah kebudayaan versi 
'kiri". Mereka yang muda-muda ini peduli dan ingin menyumbangkan catatan 
sejarah berdasar fakta yang mereka temui. Tema yang menjadi
fokus bukan hanya sastra, tapi juga film, musik, seni
pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), seni tari, buku, dan pers.

Penulisan buku esei panjang
berjudul Lekra tak Membakar Buku ini sebetulnya berlangsung selama 1.5
tahun dan intensif penulisannya sejak April sampai pertengahan Agustus 2008,
termasuk dua buku lainnya yang segandengan: Gugur Merah: Sehimpunan Puisi
Harian Rakjat-Lekra dan Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek
Harian Rakjat-Lekra. Dalam periode 1.5 tahun itu mereka mesti menyelinginya
dengan mengerjakan riset berkelompok yang lain, yakni riset intensif Seabad
Pers Kebangsaan (1907-2007), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers
Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008), Seabad
Pers Perempuan (1908-2008), dan Almanak Partai Politik. Dan buku-buku
riset itu rata-rata di atas 500 halaman. Bahkan buku kronik tebalnya mencapai
1.7 meter.

Buku-buku yang menjurubicarai Lekra sudah banyak
ditulis oleh pakar dan penulis-penulis yang berminat pada kebudayaan. Beberapa
dari penulis-penulis itu sudah melakukan wawancara mendalam dari tokoh-tokoh
Lekra yang masih hidup yang boleh jadi ingatan mereka sudah tak terlalu
bersih-jernih dan bahkan posisi mereka sudah dibaik-baikkan lantaran sudah
dicuci puluhan tahun dalam upacara penyiksaan yang rapi dan sistemik.

Peran buku ini adalah membangunkan kembali
panggung buat Lekra "sepersis" mungkin pada periode-periode yang bergemuruh
itu. Terutama setelah Kongres Nasional I Lekra berlangsung di
Solo pada 1959. Tentu saja ini bukan pembelaan yang buta terhadap Lekra, tapi
memberi bagi si bisu ini kesempatan untuk berbicara apa sesungguhnya yang
mereka lakukan selama 15 tahun itu.  

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra adalah nisan
kebudayaan yang disenyapkan eksistensinya selama puluhan tahun lamanya.
Aktivitas mereka yang bergemuruh dalam periode 1950-1965 seakan hilang tanpa
jejak. Yang ada adalah deret ukur dosa politik kebudayaan mereka dalam
menegakkan prinsip-prinsip yang mereka yakini sebagai kebenaran. Yang ada
adalah jejak hitam dengan noda yang bopeng-bopeng. Mereka tak lagi punya mulut
untuk menuturkan sendiri apa yang mereka lakukan selama 15 tahun yang
bergemuruh itu. Mulut mereka dilakban. Mereka dijurubicarai oleh orang lain
yang sialnya adalah musuh-musuh politik kebudayaan mereka dalam kurun semasa.

Katakanlah
semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu).
Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah
penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar
buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat
warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di
lapangan kebudayaan Indonesia?

Di bidang penegakkan moralitas,
Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan
anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul,
komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan
kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta
ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam
yang memamerkan

[ac-i] The 1st Korea-Indonesia Exchange-Senayan City, Jakrta

2008-10-14 Terurut Topik Kurniawaty Gautama


Dear art lovers and friends, 
 
We proudly present The First Korea-Indonesia Cultural Exchange, and we are very 
welcome  you to come to this great event.
 
Date: 24 Oct-02 Nov 2008
Location : Atrium Senayan City Jakarta
Program : traditional dance, ceramic fair, ceramic workshop, Korean traditional 
food, meeting Korean Stars
 
Participating artist: 
>From Indonesia: Lidya Poetrie (IKJ lecturer), Trie Wahyuni(IKJ 
>lecturer),Bambang Prasetyo (IKJ lecturer), Nia Gautama (independent artist), 
>Antin Sambodo (independent artist). 
>From Korea : KIM Bok Han, YUN Tae Beom, YEO Kyeong Ran, LEE Byeong Gil, YUN 
>Seok Sin, SHIM Ji Su,  HAN Ki Man, KIM Jong Seop.
 
Ceramic workshop will be held in three days from 24-26 October 2008 (wheel 
throwing sculpting, handbuilding, decorating, coloring). The workshop will be 
assist by both Indonesian and Korean artists. 
 
Exhibition Chairman : Mr Yoon (chairman of Icheon Korea Ceramic)
Exhibition Organizer : Mr. Kim
 
For more information, please feel free to contact Ms. Lidya Poetrie ([EMAIL 
PROTECTED])
 
Thank you very much for your attention, and it would be an honor for us if you 
spend your time to visit This Cultural Exchange Event
 
Best Regards,
Commitee


  

[ac-i] Fw: Artist, educators nervous about porn bill

2008-10-14 Terurut Topik Kurniawaty Gautama


--- On Tue, 10/14/08, Kurniawaty Gautama <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Kurniawaty Gautama <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Artist, educators nervous about porn bill
To: "publikseni" <[EMAIL PROTECTED]>, "eksotika karmawibangha" <[EMAIL 
PROTECTED]>
Date: Tuesday, October 14, 2008, 10:19 PM







Artists, educators nervous about porn bill
Dorian Merina ,  The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Mon, 10/06/2008 9:58 AM  |  
Potpourri 
  
Due to increasing pressure, legislators have agreed to revise the controversial 
anti-pornography bill, scheduled to be introduced to the House of 
Representatives later this year. 
But after a series of public hearings -- held in Jakarta, Ambon, Makassar and 
Banjarmasin -- and a volley of criticism in which groups pointed to an 
expansive definition of pornography and vague wording in a draft of the 
legislation, it's not yet clear if that will be enough to pass the bill. 
"We understand that this is a delicate issue," said Bahrul Hayat, 
secretary-general of the Religious Affairs Ministry. "It is not a one-day 
process." 
Originally, supporters had pledged to pass the bill before the end of Ramadan, 
but critics pushed for more discussion. 
The Ministry welcomes public input into the process, said Bahrul, but he 
emphasized that the bill still must move forward. 
"As a law it is a common agreement. It cannot please everybody," he said. And, 
although the law would seek to protect cultural diversity in Indonesia, he 
added, questions of appropriate art would be settled in the courts. 
Some artists and educators, however, remain anxious about the bill's potential 
effects on artistic expression and education. 
While many agree with the need to curtail pornographic material -- especially 
for youth -- they cite the potential for abuse or misunderstanding and a 
general lack of clarity in exactly how the law would be enforced. 
"This is very problematic," said curator Rifky Effendy, after reading a draft 
of the bill. "We have to define what is public space, because public space has 
many contexts." 
As an art curator, Rifky said he was especially concerned about the regulation 
of art within galleries. In 2005, Rifky was at the center of controversy when 
the Islam Defender's Front, a fundamentalist Muslim group, protested an 
installation by artist Agus Suwage that Rifky helped organize. 
The artwork, called Pinkswing Park, explored the story of Adam and Eve through 
contemporary photographs, some of which included nudity. 
Although many in the art community defended Suwage, Rifky said the controversy 
took its toll on some of the artists involved in the show. The protest 
stretched for months and was followed by a lawsuit, which created a chilling 
effect on other artists. 
The current porn bill could have a similar result, said Rifky. 
"If the government doesn't have the tools to implement this kind of bill, it 
could be dangerous," he said. And in order to achieve political ends, he added, 
"there is a chance for militant groups to use this law." 
Last month, Mahfudz Siddiq, chairman of the Prosperous Justice Party said the 
pornography law was needed in Indonesia because of the rising threat of moral 
decadence. 
Nia Gautama, an independent artist based in Jakarta, said artists do need to be 
responsible about their work. 
"I totally agree with some limitations," she said. But, she added, the current 
bill goes too far in controlling art. 
Nia's ceramic art draws on nature, which sometimes includes the human body. She 
noted that traditional Indonesian art regularly depicted human bodies, either 
to illustrate legends or to celebrate the human form. 
"For myself, I am proud to be born as a woman," she said. The physical form is 
one she emulates in her work. "It is very beautiful and it is beautiful for an 
art object." 
Some women's rights groups, including the Women's Legal Aid Foundation and 
Kalyanamitra, have criticized the pornography law as unfairly targeting women. 
In a press conference last month in Jakarta, both groups said they feared the 
bill's overly-broad definition of pornography as "bodily movements or other 
forms of communication" that "can arouse sexual desire and/or violate moral 
values in society", could be used to regulate women's dress and behavior in 
public. 
"They want to limit our expression as women, our destiny as women," said Baby 
Jim Aditya, founder of Partisipasi Kemanusiaan, an organization that provides 
education for Indonesia's prison population. 
Baby said she was also concerned that the porn bill could affect her work in 
sex education when speaking at schools and prisons about urgent health issues, 
such as HIV/AIDs and other sexually transmitted diseases. 
"And the big question now is: who is going to be the moral police? Who gives 
you the right to be the policeman for other people's morality?" said Baby. 
Other educators agreed with a stricter control over some media content. 
Television, especially, should be more closely monit

[ac-i] Berita Budaya Terkini di www.forumbudaya.org

2008-10-14 Terurut Topik luluk sumiarso
Teman-teman Budayawan/Penggiat Budaya

Untuk memudahkan teman-teman mengikuti perkembangan kebudayaan di tanah air,
kami memuat berita-berita budaya yang dimuat di berbagai media massa (*dengan
menyebut sumbernya/nama medianya*) pada Situs Budaya yang dikelola oleh
Forum Kebudayaan Indonesia www.forumbudaya.org. Situs tersebut dapat juga
dapat diakses melalui *The Indonesian Cultural Forum* (
www.indonesianculturalforum.org dan
www.i*ndonesianculturalforum.net*).
Insya Allah berita tersebut akan kami *up-date* setiap hari, sehingga
teman-teman bisa mendapatkan berita budaya terkini.

Teman-teman juga dapat mengirim berita kegiatan budaya kepada kami untuk
berbagi dengan teman-teman pemangku kepentingan budaya yang lain di tanah
air, dan bahkan di luar negeri.

Kami akan menjadikan situs ini sebagai *Directory *dari berbagai
Situs/blogs/facebooks budaya yang ada di tanah air (sehingga kami ntidak
perlu mengulang apa-apa yang telah dikerjakan oleh teman-teman) sehingga
tercipta sinergi di antara kita. Kami juga akan  mengupayakan agar *Situs
Budaya* ini dapat sekaligus digunakan sebagai *Sarana Edukasi Budaya* bagi
kita semua, dmelalui diskusi tentang ilmu pengetahuan budaya dan
permasalahan budaya yang aktual pada situs tersebut.

Terima kasih atas perhatian dan dukungan teman-teman. Mudah-mudahan situs
ini ini lebih memperkaya sarana komunikasi budaya.

Salam,
Luluk Sumiarso
Forum Kebudayaan Inonesia


[ac-i] Mohon info alamat kontak mas Radityo (Tentang buku Kuliner)

2008-10-14 Terurut Topik Majalah Gong


Saat ini kami Majalah Gong di Yogyakarta sedang membahas tentang Kuliner. 
Bisakah kami mendapatkan buku yang mas Radityo bilang (80 warisan 
kuliner)???.Makasih

Majalah Gong
Jl. Nitikan Baru, Gang Aries No.46 Kelurahan Sorosutan, Kecamatan umbulharjo
Yogyakarta 55161
Telp/Fax   : 0274- 370 830
HP   : 081568445708
E-mail  : [EMAIL PROTECTED]
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]



  


Re: [ac-i] Gallery Khusus Cat Air

2008-10-14 Terurut Topik yusuf hartono
SELAMAT ATAS BERDIRINYA PHTHALO GALERY DI TENGAH MEDAN SENI RUPA INDONESIA. KAMI NANTIKAN GEMURUH KIPRAHNYA.teriring salam,yusuf susilo hartonovisual artsjl.raya perjuangankomplek graha mas a-9kebon jeruk, jakarta barattelp : 021.53674333*) sudah baca VA edisi terbaru (okt-nop) "menguak dunia peneliti(an) seni rupa?" --- On Wed, 10/8/08, Phthalo Gallery <[EMAIL PROTECTED]> wrote:From: Phthalo Gallery <[EMAIL PROTECTED]>Subject: [ac-i] Gallery Khusus Cat AirTo: artculture-indonesia@yahoogroups.comDate: Wednesday, October 8, 2008, 7:09 PM Now
 Open!!!
 
The First Specialist Watercolor Gallery In Jakarta
 
"PHTHALO GALLERY"
(Aquarelle Gallery By Agus Budiyanto & Friends)
 
Jl. Kemang Selatan VIII No. C/4
Jak-sel 12730
Phn. 021-7182587
 
 
 
Visit Us
 
 
Thx

- Original Message From: mediacare <[EMAIL PROTECTED]>To: media jogja <[EMAIL PROTECTED]>; aci Sent: Tuesday, October 7, 2008 8:47:21 PMSubject: [ac-i] Fw: "Okol" dan sketsa Afandi tahun 1945 - Original Message - From: hoesein To: abdul irsan ; aisah basri ; [EMAIL PROTECTED] ; anto gesek ; Asep Kambali ; Asvi Warman Adam ; bambang hidayat ; Bambang L Gambiro ; [EMAIL PROTECTED] ; baskoro ; [EMAIL PROTECTED] ; Butet Kartaredjasa ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; Dharmawan Ronodipuro ; DIAN ANGGRAINI ; didik n towok ; dokar ; Dorodjatun K-Jakti ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; falatas46 ; Fediya Andina ; [EMAIL PROTECTED] ; FX Widiarso ; [EMAIL PROTECTED] ; hamid ali ; Hans Pols ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; indonesiaberdaya moderator ; ips ; Ir
 Yuke ; Isa Multazam ; Ismail Alatas ; Jj Rizal ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; Louk Aznam ; lubis nina ; marissa haque ; mediacare ; Mestika Zed ; mohammad hadi winarto ; [EMAIL PROTECTED] ; mulyawan ; [EMAIL PROTECTED] ; Prayitno Ramelan ; radityo djadjoeri ; ratna sarumpaet ; restu gunawan ; retno marsudi ; Ridho Ardhi Syaiful ; Rini Oetoro ; rositanoer.com ; [EMAIL PROTECTED] ; Siswanto ; Sorimuda Pohan Hakim ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; Toeti Kakiailatu ; tossi20 ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; aci Sent: Tuesday, October 07, 2008 8:12 PMSubject: "Okol" dan sketsa Afandi tahun 1945Ada yang tahu permainan "Okol" ?.. Apakah ini seni budaya yang sudah hilang ?Tolong kalau ada yang bisa menambahkan. Diambil dari majalah "IndonesiaMerdeka" bulan Juli 1945. Sketsa diatas dibuat oleh Afandi. Saat itu adalah redaktur
 pelukis majalah tersebut.Semoga ada gunanya. Nama baru untuk Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. Cepat sebelum diambil orang lain!  

  

  

Re: [ac-i] GRK Hemas dan RUU APP

2008-10-14 Terurut Topik imam
Betul boss, maaf salah tulis. Dan beliau permaisuri HB X, bukan HB IX. Maaf
beribu maaf.

2008/10/13 david arya <[EMAIL PROTECTED]>

>   aloo,kalo tak salah ingat nama beliau GKR.HEMAS dech:-)
>
> --- On *Sat, 10/11/08, imam <[EMAIL PROTECTED]>* wrote:
>
> From: imam <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [ac-i] GRK Hemas dan RUU APP
> To: artculture-indonesia@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED],
> [EMAIL PROTECTED]
> Date: Saturday, October 11, 2008, 11:58 PM
>
>
>   Melihat GRK Hemas, permaisuri Sultan HB IX, mau susah payah ikut
> arak-arakan HAMPIR 9 KM menentang RUU 'porno', TERHARU rasanya.
> Alhamdulillah, masih ada petinggi yang mau all-out dengan aksi nyata menolak
> RUU ini. Sebagai istri Sultan HB IX, Gubernur DIY dan capres SOKSI, tentunya
> pengaruh keikutsertaan GRK Hemas yang juga anggota DPD tidak bisa diremehkan
> dan akan membuka mata sekelompok orang pro yang selama ini gencar memblow-up
> pentingnya RUU porno.
>
>
>
> Sebagai penggiat sektor riil, saya hanya bisa bertanya; kita sekarang lagi
> diancam rembetan krisis keuangan global, bursa saham suspended, dolar tembus
> 10 ribu, kok tega-teganya kelompok pro itu terus menggerecoki rakyat dengan
> RUU porno? Apa urgensinya RUU porno bagi rakyat? Apa rakyat bisa sejahtera
> karena pakaiannya, tontonannya, majalahnya diatur-atur? Kenapa di belahan
> bumi tertentu banyak TKI yang menjadi korban pemerkosaan padahal pornografi
> nyaris tidak ada di sana? Apa sektor keuangan bisa pulih karena RUU ini?
> SELURUH DUNIA, TERMASUK INDONESIA, INI TENGAH DIANCAM KRISIS KEUANGAN, BUKAN
> KRISIS PORNOGRAFI. Kok yang dijunjung tinggi RUU porno melulu? Kita saja
> yang kritis pada RUU porno ini sampai bosan. *Ada hidden agenda apa
> dibalik kengototan menggolkan RUU porno ini?*
>
>
>
> Oh ya, sikap GRK Hemas ini membuat saya insya Allah BULAT TEKAD UNTUK
> MEMILIH SULTAN HB IX, seandainya beliau maju di pilpres.
>
>
>
> Wassalam,
>
> Imam
>
>
>
> PS. Tertarik membaca komentar aktivis kelompok pro yang mengajak untuk
> menyalurkan pendapat ke DPR. Kenapa, gamang ya karena tokoh sekaliber GRK
> Hemas terbuka menolak RUU ini? Dulu mereka mencibirkan suara penolakan,
> mencap penolak sebagai kelompok amoral, sok main paksa akan mengesahkan,
> mengklaim 99% setuju. Sekarang istri Gubernur DIY yang juga anggota DPD itu
> terang-terangan menolak kayaknya mereka keder akan efek dominonya ke rakyat
>
>
>  
>


[ac-i] tubuhku, tuhanku : konstruksi pascanovel (gus muh - pengembara sunyi)

2008-10-14 Terurut Topik Hudan Hidayat

 REVIEW: Tubuhku, Tuhanku: Konstruksi Pascanovel


Judul: Tuan dan Nona Kosong
Penulis: Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin
Penerbit: Melibas, Jakarta, 2005
Tebal: 340 halaman

“Dan kami ingin seperti tuhan, sendirian dan meniadakan peran yang dilekatkan 
padanya, dengan sifat mahanya.”

PLATO bilang, tubuh adalah penjara atau makam jiwa. Kata Descartes, tubuh tak 
ubahnya mesin yang bekerja mekanik. Kata Jean Sartre, tubuh adalah saya… saya 
adalah tubuh (eksistensi).

Dan inilah kata Tuan dan Nona Kosong yang kemudian dikukuhkannya sebagai 
“manifesto cerita” dan sekaligus menjadi ruh utama novel ini: “Tubuhku adalah 
tuhanku.” (241-242)

Hampir semua aparatus agama--baik teks maupun peneguhnya--menghinakan 
sedemikian rupa tubuh dengan serangkaian sumpah dan ancaman. Lalu keluar 
sederetan bentuk penghukuman: bui, cambuk, potong tangan, rajam, salib. Juga 
penggarukan oleh kamtibmas (negara) yang disokong para Penegak Kebenaran 
bersurban dan menenteng pedang (masyarakat dan agama) kepada para pelacur yang 
mangkal di trotoar. Padahal usaha para pelacur itu hanya secauk bentuk 
keinginan memiliki (kembali), membagi, dan mendonasi tubuhnya sendiri.

Dalam strata religius, tubuh berada di posisi terendah dan bahkan wilayah najis 
yang wajib diwudui setiap saat. Ia terlarang dan/lalu menjadi subversi. 
Dianggap merongrong jiwa. Lalu kita lihat kemudian praktik-praktik perusakan 
tubuh dan pembinasaan raga agar jiwa terangkat suci, bersih, dan putih.

Novel ini, tak hanya memberontak atas nisbah dan kutukan atas tubuh, tapi juga 
mengembalikan tubuh sebagai kodrat yang bersih, khalifah Tuhan, serta 
menggariskan kembali bahwa tubuh tak lebih suci dengan jiwa. Novel ini 
mengembalikan kodrat tubuh sebagai kalam yang dengan sadar dititipkan Tuhan 
untuk menghidupi semesta (cerita).

Betapa berartinya tubuh itu bagi Tuhan. Saking berartinya, maka Tuhan lebih 
percaya pada bahasa tubuh ketimbang narasi, komunikasi bahasa verbal, bahasa 
penyair, dan bahasa kebohongan berbusa dari kaum sastrawan. Bukankah dalam 
sebuah rangkaian melodrama dalam kubur, Tuhan bertanya dan (hanya) tubuh yang 
diperkenankan menjawab. “Manrabbuka…. Lalu tangan, kaki, dan seluruh organ 
tubuh memberi kesaksian.” (hlm. 271)

Tapi novel ini tak mau menerima begitu saja kesucian dan makna absolut yang 
kadung dilekatkan pada sepotong frase “Tuhan”. Menurut Hudan dan Mariana, kata 
Tuhan hanyalah ciptaan dan persekutuan kosatanda dan kata yang direka manusia. 
Sebab Tuhan bisa di tulis “Tu Han”, “TuhaN”, atau “tUhan”. Jika kata itu 
dipelintir seperti itu, apalah artinya kecuali sekadar fantasi metafisik. 
Apalagi huruf “h” dihilangkan, jadilah Tu dan an yang berarti Tuan atau diri 
kita sendiri. Dengan kocokan seperti itu, Tuan pun (ingin) menjadi Tuhan.

Tapi Tuhan yang dimaksudkan Hudan dan Mariana adalah Tu(h)an Kosong. Kosong 
bukan berarti tidak ada apa-apa. Kekosongan adalah ikhtiar menolak citraan 
(manusia dan Tuhan). Dan Tu(h)an Kosong itu adalah Tu(h)an yang tak pinggirkan 
perempuan, Tu(h)an kaum pendosa sekaligus objek sesembah orang suci, juga 
Tu(h)an orang lesbi dan homo. “Dalam citraanku, Tu(h)an adalah sumber 
kebahagiaan bagi semua. Tak kuterima Tu(h)an selain itu; yang kejam dan banyak 
aturan.” (hlm. 68)

Novel ini memang menolak konstruksi dan merayakan keserbamungkinan yang masih 
tersembunyi dalam misteri bahasa. Lalu dengan semangat itu berusaha 
mengembalikan cerita ke lisan dengan pertama-tama menghancurkan tanda baca dan 
struktur bahasa-tulis yang diba(e)kukan para penjaga otoritas.

Apalagi dengan hadirnya tokoh “ayah” yang tak pernah selesai menulis novel, 
menggenapkan Tuan dan Nona Kosong sebagai pintu masuk penghancuran konsepsi 
novel yang dibayangkan akademisi sastra; menjadi pascanovel (novel di luar 
novel konvensional). Sebentuk novel yang menihilkan plot hingga ke titik nadir.

Bahkan masih dilindapi semangat bermain yang tinggi, keduanya mengolok 
sedemikian rupa pandangan para filsuf pascamodern yang di antara para budayawan 
dan sastrawan kita nyaris dianggap sebagai dogma baru, bahwa: “pengarang telah 
mati” (Roland Barthes).

Tak hanya pengarang tak pernah mati dalam Tuan dan Nona Kosong, tapi justru 
pengarang sendiri menjadi tokoh sentral yang bertutur tentang pikiran tubuh 
mereka (Tuan [Hudan] dan Nona [Mariana]) yang ingin menjadi Tuhan.

Selain itu, ini adalah buku sastra kedua setelah kumpulan puisi Airmata 
Kata-Kata (Sindhunata) yang sekujur halamannya memainkan tipografis yang unik, 
terpatah, terbalik-balik yang memaksa pembaca membacanya dengan bantuan cermin, 
hingga tipografi yang dibuat berantakan dengan beberapa lembar kertas berwarna 
di halaman tengah dan selembar lagi berlubang di halaman akhir.

Semua itu seperti dibuat secara sadar dalam satu pesta perayaan menolak segala 
kode dan konvensi (cerita) yang ba(e)ku. Termasuk konstruksi (citraan atas) 
Tuhan.

Tapi buru-buru Hudan dan Mariana mengelak: “Biarlah kita jadi anak nakal di 
mata Tuhan (otoritas pencipta semesta cer

[ac-i] Permohonan Buku untuk Rubrik " Info Buku" Majalah GONG

2008-10-14 Terurut Topik Majalah Gong


Kepada Yth
Penerbit Buku

Salam budaya,
Kami, Majalah GONG adalah majalah yang mengupas seputar seni dan budaya
tradisi, khususnya seni pertunjukan. Sebagai majalah, kami terbit setiap
bulannya dengan sajian utama permasalahan seni tradisi maupun kontemporer
yang aktual.
 
Setiap edisinya, kami membuka rubrik Info Buku yang memberi kesempatan para
penerbit mengiklankan bukunya secara gratis. Selain itu, buku-buku dari
penerbit tersebut akan disusun untuk membangun sebuah perpustakaan kesenian
di Yogyakarta.

 
Standar buku yang dapat dimuat, yaitu buku seni, baik seni rupa, seni musik,
seni tari, dsb,  sastra, dan kumpulan essai budaya. Tahun terbitnya tidak
lebih dari 3 tahun. Silakan kirim minimal 1 eksemplar buku ke alamat redaksi
Majalah GONG, atau mengontak nomer telepon GONG di (0274) 370 830.
 
Alamat Majalah Gong
Jl.Nitikan Baru Gang Aries No.46  Yogyakarta 55161
Telp: 0274-370 830, 081568445708
 
Sekian surat kami. Atas kesediaan dan kerja sama, kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 14 Oktober 2008
Salam,

 
Yuli Indriyani
Sekretaris