Re: 08 - Re: [ac-i] Re: Malaysia Lifestyle??? : tetap Trully Indonesia

2010-06-12 Terurut Topik bambang purwanto
Tampaknya semakin kacau perbincangan ini.  Masalah utama yang diperbincangkan 
menjadi tidak jelas,Tindakan Mengaku-aku atau Merampas Hak Budaya orang lain 
sepertinya diarahkan menjadi sesuatu yang boleh dilakukan atau halal.
Tampaknya ini merupakan sikap perilaku manusia jaman sekarang, yang sudah tidak 
mempunyai urat malu.
Maaf kalau saya terlalu langsung.





From: francis yaman frach...@yahoo.com
To: artculture-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Friday, June 11, 2010 12:32:45
Subject: 08 - Re: [ac-i] Re: Malaysia Lifestyle??? : tetap Trully Indonesia

Note: Forwarded message is attached.

 
Block reason:  This message is above your Auto Block threshold | Approve sender 
| Approve domain | Approve artculture-indonesia@yahoogroups.com | 




[ac-i] Juri Ananda Sukarlan Award dan berita2 lainnya

2010-06-12 Terurut Topik chendra panatan

Nama dewan juri dan updates lainnya dari Ananda Sukarlan Award 2010 dapat 
dibaca di  http://asaward.blogspot.com/
SalamPanitya Ananda Sukarlan Award
 2010http://www.musik-sastra.com 


  


  

[ac-i] Makalah Fahrudin Nasrulloh untuk Halte Sastra, 12 Juni 2010

2010-06-12 Terurut Topik abdul malik










Tentang
Penyair dan Penyakit Puisi



Fahrudin Nasrulloh*



Apa hebatnya puisi
sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus
bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang
yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena
tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi.
Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara
pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan
kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write
must prove to me that it desires me. This proof exists: it is
writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text.
Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi
sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan
segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak
mungkin direngkuh kembali. 

Dua
Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok,
2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di
mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”.
Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga
sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus
menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan
bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,”
katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair
berantakan seperti Afrizal. 

Daya
hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku
penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut
sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar
“puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat,
kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan
“tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun
“jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno
Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi
mreka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama
cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati
misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang
diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/
kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/
di Seluruh jarak dengan mati/ ……  

Tampak
pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang
tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap
dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi
Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik
serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah
Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/
tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu…
.
Menggobang dalam
tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau
sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi
bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik
kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang
telah dituliskannya, “little by little words will finish
me”. 

Dua
penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis.
Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan
kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti
nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan
ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan
kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair
memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam
memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang
dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti
asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian.
Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia
hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam
situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan. 

Jika
dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang
disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan
estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya?
Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku?
Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya
kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno?
Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena
proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi
Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita
berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan
penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian
gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin
puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian
penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman
dan perubahan. Dunia maya bak