[assunnah] Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram (bag.1)

2013-04-15 Terurut Topik Prada Aisyah
*Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram (bag.1) *

http://cintasunnah.com/menepis-syubhat-pembela-tawassul-yang-haram-bag-1/
Tawassul diambil dari wasilah yang artinya menjadikan sesuatu sebagai
perantara antara dia dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dan tawassul dibagi
oleh para ulama menjadi dua macam:

   1. Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at
   dan ia mempunyai beberapa macam:

Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat
Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Al A’raaf: 180).

Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.

Berdasarkan hadits yang mengkisahkan tiga orang yang masuk ke dalam goa,
lalu jatuh batu besar dari gunung dan menutup mulut goa tersebut, lalu
masing-masing mereka bertawassul dengan menyebutkan amalan shalih yang
mereka pernah lakukan.

Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.

Berdasarkan hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam minta dido’akan agar disembuhkan matanya.

Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar
menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika
kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya
dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu
Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar
hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka
penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).

   1. Tawassul yang diharamkan.

Tawassul yang diharamkan ada dua macam, yaitu tawassul yang syirik dan
tawassul yang bid’ah.

Tawassul yang syirik adalah menjadikan Nabi atau orang shalih yang telah
meninggal sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah, dengan mengatakan
misalnya: “Ya Allah, dengan melalui Syaikh fulan (yang telah meninggal),
kabulkanlah permintaanku”. Ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum
musyrikin arab di zaman di utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Az Zumar: 3).

Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir
quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu?
Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari
langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna
ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka
(patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu)
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan
syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]

Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan
patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa
tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka
meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa,
namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu
dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.

Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka
datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah
kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala
dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di
sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa
tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa
mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.

Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan
kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini
tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan
tabi’uttabi’in.



Menjawab syubhat.

Sebagian kaum muslimin ada yang membela tawassul yang syirik dan bid’ah
ini, bahkan mengatakan bahwa tawassul melalui orang shalih yang telah mati
bukan syirik, dan menuduh bahwa yang mengatakan syirik adalah wahabi yang
menyesatkan, dan mereka mengemukakan dalil yang banyak yang seakan-akan
membolehkan tawassul melalui mayat, dan kita akan menyebu

[assunnah] Himbauan dari Panitia Tabligh Akbar Istiqlal 21 April 2013

2013-04-15 Terurut Topik Reno Akbar
# Himbauan dari Panitia Tabligh Akbar Istiqlal 21 April 2013 #

Berdasarkan pengalaman, tabliq akbar syaikh Prof DR Abdurrozaq di Istiqlal 
dihadiri lebih dari 100.000 jamaah.  Untuk menjaga ketertiban dan kelancaran 
jalannya acara, panitia memberikan beberapa himbauan dan tata tertib.

Demi kenyamanan Anda saat mengikuti acara, pastikan Anda mengetahui dan 
mematuhi himbauan tersebut.  

Apa saja himbauan dan tata tertib itu ? klik 
http://salamdakwah.com/videos-detail/denah-dan-tartib-tabligh-akbar-syaikh-abdurrozaq-di-istiqlal.html

# Himbauan dari Panitia Tabligh Akbar Istiqlal 21 April 2013 # 
www.salamdakwah.com | @salamdakwah





Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
assunnah-dig...@yahoogroups.com 
assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



Re: [assunnah] >>Tanya : hukum adzan dan iqomah di telinga anak yg baru lahir?<

2013-04-15 Terurut Topik ibnudanuri
Alhamdulillah...cukup jelas jawabannya.
Jazzakalloh khoir atas penjelasannya.arfat...@gmail.com wrote:Hukum Adzan di 
Telinga Bayi

Sebelum kita mengambil keputusan hukumnya, kita bahas dahulu hadits yang 
dijadikan sandaran bagi orang-orang yang menganggapnya sunnah. Kita katakan: 
ada tiga hadits mengenai mengadzankan bayi, yaitu:

Pertama: hadits Abu Rofi’ Maula Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia 
berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adzan ditelinga 
Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah radliyallahu ‘anha 
melahirkannya”. Dikeluarkan oleh Abu daud (5105), At Tirmidzi (4/1514), Al 
Baihaqi dalam Al Kubro (9/300), Ahmad (6/391-392). Ath Thobroni dalam Al Kabiir 
(931, 2578), Abdurrozaq (7986), Ath Thoyalisi (970), Al Hakim (3/179) dan Al 
Baghowi dalam Syarah Sunnah (11/273). Semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri 
dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya. Dalam 
sanad ini terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah, ia lemah. Abu Hatim dan Abu Zur’ah 
berkata, “Munkar haditsnya.”. Ad Daroquthni berkata, “Yutrok (ditinggalkan 
haditsnya).”  Sementara itu Ath Thobroni meriwayatkan dalam Al Kabiir (926, 
2579) dari jalan Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al 
Husain dengan tambahan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan ditelinga 
Al Hasan dan Al Husain…di akhirnya dikatakan, “dan beliau memerintahkannya.”. 
Dan Hammad bin Syu’aib sangat lemah, selain itu ia diselisihi oleh Sufyan Ats 
Tsauri dalam riwayat lalu sehingga riwayatnya munkar secara sanad dan matan.
*
Kedua: hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi 
dalam Syu’abul iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al hasan bin Amru bin 
Saif As Sadusi mengabarkan kepada kami Al Qosim bin Muthoyyab dari Manshur bin 
Shofiyyah dari Abu ma’bad dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi 
wa sallam adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan 
iqomat di telinga kirinya. Kemudian setelahnya Al Baihaqi berkata, “Padanya 
terdapat kelemahan.”

Kita katakan, “Justru hadits ini palsu, illat-nya adalah Al Hasan bin Amru, Al 
Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib, “Matruk.” Adz Dzahabi berkata dalam 
Al Mizan, “Ia dianggap pendusta oleh Ibnul Madini, Al Bukhori berkata, 
“Kadzdzaab (tukang dusta).” Ar Rozi berkata, “Matruk.”

Ketiga: hadits Al Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam 
Syu’abul Iman  (6/390), dan Ibnu Sunni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah (ح – 623) 
dari Yahya bin Al ‘Ala dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubidillah dari Al 
husain bin Ali ia berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Barangsiapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqomat 
di telinga kirinya, tidak akan bermudlorot padanya ibunya bayi.” Sanad ini 
palsu, ada dua cacat: Yahya bin Al ‘Ala tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib) 
dan Marwan bin Salim matruk.
**

Kesimpulan : hadits mengadzankan bayi adalah dlo’if dan tidak boleh dijadikan 
hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits 
kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan 
palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam 
ilmu mushtolah hadits.

والله أعلم بالصواب 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Silakan baca juga penjelasan lainnya.
APAKAH DISYARIA'TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ?
http://almanhaj.or.id/content/1553/slash/0/apakah-disyariatkan-adzan-pada-telinga-bayi-yang-baru-lahir/

-Original Message-
From: ibnudanuri 
Date: Thu, 11 Apr 2013 23:24:25 
Subject: [assunnah] Tanya : hukum adzan dan iqomah di telinga anak yg baru 
lahir?

Afwan,
Ana mau tanya, apakah hukumnya adzan dan iqomah di telinga anak yg baru lahir? 
Apakah ada tuntunan dari Rosul atau sahabat? 
Mengingat sebentar lagi insyaAlloh anak ana akan lahir. 

Jazakallohu khair.



[assunnah] >>Menulusuri Hakikat Kufur<

2013-04-15 Terurut Topik Prada Aisyah
Menulusuri Hakikat Kufur

http://cintasunnah.com/menulusuri-hakikat-kufur/

Kufur menurut bahasa artinya menutupi, oleh karena itu Allah menamai
petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan
orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.

Adapun kufur secara istilah terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar
(besar) dan kufur ashgar (kecil). Kufur ashgar adalah kufur yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini
bahwa Allah menghalalkannya), seperti zina, minum arak dan semua
maksiat yang dinyatakan kufur oleh syari’at namun tidak mengeluarkan
pelakunya dari islam. diantara contohnya juga adalah sabda Nabi yang
artinya, “Mencaci muslim adalah kefasiqan dan memeranginya adalah
kufur.” (HR Bukhari dan Muslim). namun para shahabat tidak
mengkafirkan kaum khawarij, padahal mereka memerangi kaum muslimin.
Kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.

Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari
islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu
Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :

Pertama : Kufur takdzib yaitu orang yang kafir dengan lisan dan
hatinya, meyakini bahwa para Rosul adalah dusta sebagaimana yang
ditunjukkan oleh surat An Naml ayat 83-84.

Kedua : Kufur juchud yaitu orang yang meyakini kebenaran para Rosul
namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya
seperti kufurnya fir’aun kepada Nabi Musa dan kafirnya orang Yahudi
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kufur jenis ini
ada dua macam :

juchud mutlak yaitu mengingkari apa yang Allah turunkan secara umum.
juchud muqoyyad yaitu mengingkari salah satu kewajiban islam atau
keharaman-keharamannya atau salah satu sifat Allah atau kabar-Nya baik
secara sengaja maupun karena lebih mendahulukan orang yang
menyelisihinya karena tujuan tertentu. Namun bila ia juhud karena
bodoh atau adanya takwil yang diberikan udzur untuk pelakunya maka
tidak dikafirkan.
Ketiga : kufur sombong dan enggan seperti kufurnya iblis, karena ia
tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan,
artinya ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul,
akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan
enggan, juga seperti kufurnya Abu thalib, kufur ini disebut juga kufur
‘Inad.

Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang kufur
‘inad, beliau berkata,” Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan
dosa disertai keyakinan bahwa Allah telah mengharamkannya dan meyakini
bahwa ketundukan hanya kepada Allah dalam apa yang Dia haramkan dan
mewajibkan untuk tunduk kepadanya, maka orang seperti ini tidak
dihukumi kafir.

Adapun apabila ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau
mengharamkan akan tetapi ia tidak mau menerima pengharaman tersebut
dan ia enggan untuk tunduk dan patuh maka ia jachid (mengingkari) atau
mu’anid (menentang)

Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata,” Barang siapa yang
memaksiati Allah karena sombong seperti iblis maka ia kafir dengan
kesepakatan ulama, karena orang yang berbuat maksiat karena sombong
walaupun ia meyakini bahwa Allah adalah Rabbnya, namun penentangan
dana pengingkarannya meniadakan keyakinan tersebut. Dan barang siapa
yang berbuat maksiat karena mengikuti syahwatnya maka ia tidak kafir
menurut ahlussunnah, namun dikafirkan oleh firqah khawarij.

Penjelasannya adalah : Barang siapa yang melakukan keharaman karena
istihlal, ia kafir dengan kesepakatan ulama, karena tidak beriman
kepada Al Qur’an orang yang meyakini halal apa-apa yang diharamkan
oleh Al Qur’an, demikian pula jika ia istihlal dengan tanpa berbuat,
dan istihlal maknanya “adalah meyakini halal apa yang  Allah haramkan
atau meyakini haram apa yang Allah halalkan” hal itu terjadi karena
adanya cacat dalam keimanannya kepada rububiyah Allah, dan cacat dalam
keimanannya kepada risalah dan menjadi juchud yang murni tanpa
dibangun diatas pendahuluan.

Terkadang ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan ia mengetahui
bahwa Rosul hanyalah mengharamkan apa yang Allah haramkan, kemudian ia
tidak mau beriltizam[1] dengan pengharaman ini dan menentang yang
mengharamkannya, maka ini lebih kafir dari yang sebelumnya, terkadang
disertai keyakinan bahwa Allah akan mengadzab orang yang tidak iltizam
(mewajibkan diri untuk mengharamkan) pengharaman ini.

Kemudian keengganan ini terkadang karena adanya cacat dalam meyakini
hikmah Allah dan kekuasaannya, sehingga keengganan tersebut karena
tidak mempercayai salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Dan terkadang
disertai pengetahuan tentang seluruh apa-apa yang harus dipercayai
(namun ia enggan) karena durhaka dan mengikuti tujuan nafsunya dan
hakikatnya adalah kafir. Ini dikarenakan ia mengakui bahwa milik Allah
dan Rosul-Nya lah semua apa yang dikabarkan, dan mempercayai apa yang
dipercayai oleh kaum mukminin, akan tetapi ia tidak menyukainya, benci
dan marah karena tidak sesuai dengan keinginannya, ia berkata,”Sa

[assunnah] Praktek Cukur Rambut (Aqiqah)

2013-04-15 Terurut Topik kalepleye
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Yang terhormat ikhwan fillah, ana ada sedikit pertanyaan yang berkisar pada 
pelaksanaan aqiqah khususnya saat prosesi mencukur rambut sang bayi:
1. Apakah waktunya bersamaan dengan aqiqah (dalam satu hari)?
2. Siapakah yg harus mencukur (ayah sang bayi sendirian atau bisa bareng 
sekaligus dengan anggota keluarga lain, tamu undangan, atau bisa diserahkan ke 
orang yg ahli mengurus bayi/tenaga kesehatan lain)?
3. Bagaimana cara menghitung dan membayarkan zakat perak dari rambut bayi yg 
tergunting (seluruh rambut, sebagian/secukupnya saja)?

Afwan kalau pertanyaan ana cukup banyak dan mungkin pernah dibahas sebelumnya. 
Ana merasa awam dan butuh banyak petunjuk dan saran karena sedang menunggu 
momen terindah untuk anak pertama ana yg akan lahir bulan ini, إِنْ شَاءَ 
اللّهُ  

​جَزَاك اللهُ خَيْرًا 

و السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ   

-ibnu khamid-


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!



Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
assunnah-dig...@yahoogroups.com 
assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



RE: [assunnah]>>Tanya : Kemudahan dalam sholat-gendong bayi-<

2013-04-15 Terurut Topik Abu Harits
From: ronyju...@yahoo.co.uk
Date: Mon, 15 Apr 2013 07:08:28 +0100

Assalamualaikum waruhmatullohi wabarokatuh








ustadz ana numpang nanya, apakah ada kemudahan bagi istri ketika sholat.
misalnya sambil menggendong anak, soalnya anak ana sedang menyusui
dan terkadang rewel apa bila terlepas dari payudara istri dan susah ditidurkan.
jazakulloh khoir 
Best Regards,

 
SHALAT SAMBIL MENGGENDONG ANAK

Pertanyaan.
Ustadz, mohon dijelaskan tentang bagaimana tata cara shalat sambil menggendong 
anak sebagaimana riwayat yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa 
sallam ketika beliau shalat smbil menggendong cucu beliau Hasan dan Husain 
Radhiyallahu anhuma ? atas penjelasan ustadz, saya mengucapkan jazakallah 
khairan (Abu Muhammad-Ciamis). 6285223X

Jawaban. 
Perkara ini adalah termasuk yang dibolehkan dalam shalat, adapun tata caranya :

Apabila berdiri, maka di gendongnya, dan apabila ruku', maka diletakkannya 
(dilantai) dan apabila selesai sujud maka digendongnya kembali. Seperti yang 
dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menggendong 
cucunya, Umâmah bin Abi al-'Ash Radhiyallahu anhuma, sebagaimana dalam hadits :

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِي قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ وَهِيَ 
ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى 
عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُوْدِ أَعَادَهَا

Dari Abu Qatâdah al-Anshari Radhiyallahu anhu , ia berkata : saya melihat 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para Sahabat sambil 
menggendong Umamah bin Abi al-Ash, anak Zaenab puteri Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam, di atas bahunya, maka apabila ruku Beliau meletakkannya dan 
apabila selesai sujud Beliau menggendongnya kembali.

Dan dalam riwayat lain berbunyi : 

فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا وَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا

Apabila berdiri beliau menggendongnya dan apabila sujud beliau meletakkannya.[1]

Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1413H/2011M. Penerbit Yayasan 
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 
57183 Telp. 0271-761016]
___
Footnote
[1]. HR Bukhori - Muslim, Shohih Muslim juz 1, hal 385, bab jawazu hamlu 
shibyan fi shalat.no : 543
Dikutip dari : 
http://almanhaj.or.id/content/2664/slash/0/shalat-sambil-menggendong-anak-shalat-di-masjid-terdekat-shalat-jamaah-jauh-dari-masjid/
 
Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat
2. Menggendong anak kecil
Dari Abu Qatadah: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat 
sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam dan Abu al-'Ash bin ar-Rabi'. Jika beliau berdiri, beliau 
menggendongnya. Namun jika sujud, beliau meletakkannya." [14]
_
[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/590 no. 516)], 
Shahiih Muslim (I/385 no. 543), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/185 no. 
904), dan Sunan an-Nasa-i (II/45).
 
Dikutip dari :  
http://almanhaj.or.id/content/589/slash/0/dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat/
 
Wallahu Ta'ala A'lam