Re: [assunnah] melakukan AZL pada waktu istri nipas?
On Tue, 05 Jun 2007 03:03:50 - "faridsadud" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Assalaamu 'alaikum warahmatulllahi wabarakaatuhu. > > bolehkan melakukan AZL pada saat istri nipas? mohon >penjelasan nya. > syukron. > > Jazaakumullah khairan khatiran > >Farid Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Menjawab pertanyaan akhi Farid dapat ana sampaikan jawaban sebagai berikut: AZL (mengeluarkan sperma diluar rahim istri) berarti melakukan jima' terhadap istri dan menumpahkannya di luar rahim istri selama nifas sudah jelas kehukumannya haram. Karena menurut penjelasan pertanyaan akhi di atas berarti terjadi Coitus/penetrasi terhadap istri pada rahim istri yang dilarang pada masa haid maupun nifas. Berikut ini ana lampirkan Artikel dari Salafydb. Sekian tanggapan dari ana. Apabila ada sesuatu yang salah tolong untuk diluruskan kepada sekalian ikwan dan akhwat. Zainal Fanani - NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin MAKNA NIFAS Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits." Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni. Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah. Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban" HUKUM-HUKUM NIFAS Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini: [a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan. [b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak. Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami dih
Re: [assunnah]>>bacaan fathihah dalam sholat berjamaah<
On Fri, 25 May 2007 11:27:20 +0700 "Agustisna" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > afwan, ana baru beberapa hari ikutan milis ini, ana mo >tanya: > 1. kalo kita sholat berjamaah, imam baca fatihah kita >baca apa? terus kalo baca surat apakah kita baca fatihah >atau baca apa? > 2. batasan masbuq ketinggalan rakaat dari mana? apa kalo >kita ketinggalan fatihah itu sudah ketinggalan satu >rakaat? atau kita bisa baca fatihah pas imam lagi baca >surat? soalnya ana diajarinnya begitu. (kalo imam baca >surat kita baca fatihah) > maaf kalo pertanyaan kurang berbobot, soalnya ana masih >bingung sampai sekarang > > abinya hafidz Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. 1. untuk pertanyaan pertama, Kita mendengarkan bacaan imam ( kita diam saja ). 2. untuk pertanyaan kedua, Batasan masbuq atau ketinggalan rakaat itu dapat di jelaskan sbb: Apabila kita mendapati imam rukuk maka shalat kita terhitung satu rakaat. dan apabila mendapati imam berdiri dari rukunya maka kita langsung takbir dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Imam, dan ini berarti kita tertinggal satu rakaat. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada Buku Sifat Sholat Nabi karangan Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani Zainal Fanani. Afwan apabila ada kesalahan, mohon dilengkapi atau diluruskan ikwan/akhwat sekalian. Berikut ini kami Copykan artikel dari salafydb , Membaca Al-Fatihah Di Belakang Imam [Shalat Jahriyah] oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Sumber: http://www.almanhaj.or.id Pertanyaan Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani ditanya : Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya) bacaan Al-Fatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar. Akan tetapi dalam kitab Al-I'tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi ? Jawaban Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Ftihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya. Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang di maksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya. Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar. Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah I. "Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur'an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rakhmat" [Al-A'raaf : 204] Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan. Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah dii belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagaii masalah dan dalil, dimana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut. Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah I : "Dan jika dibacakan Al-Qur'an maka perhatikanlah dan diamlah", dari perkataan Rasulullah r. "Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah" Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalah keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits. "Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah" Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus,