From: amin.tau...@gmail.com
Date: Wed, 10 Apr 2013 08:50:56 +0700
Assalamu'alaikum,
Saat ini, ana dan keluarga hidup dikota yang berlainan. Ana kerja di Jakarta,
sementara keluarga tinggal di Tegal - Jawa Tengah. Setiap minggu ana pulang
untuk menjenguk keluarga.
Yang ana tanyakan : Di kota manakah ana disebut Muqim, dan dikota mana ana
Safar? Apakah ana dapat menjalankan sholat Jama' jika ana sedang berada disalah
satu kota yang memposisikan ana sedang safar?
Syukron katsiir atas informasinya.
Wassalamu'alaikum
Amin Taufik
>>>
Pengertian Muqim
1. Seseorang yang menetap di suatu tempat dengan membawa barang-barang
keperluannya, dia tinggal di tempat yang khusus baginya dengan tentram dan
tidak berpindah-pindah, maka dia seorang muqîm, bukan musafir.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Secara pasti kita mengetahui bahwa keadaan
safar bukanlah keadaan iqâmah (tinggal menetap di kotanya sendiri). Safar itu
adalah berpindah-pindah di selain kota tempat tinggalnya, sedangkan iqâmah
adalah tinggal dan berpindah-pindah di kota tempat tinggalnya. Ini adalah hukum
syari'at dan tabi'at sekaligus. Jika demikian, maka orang yang tinggal di suatu
tempat adalah seorang muqîm dengan tanpa keraguan". [2]
Syaikh 'Adil bin Yûsuf al-'Azzâzi -hafizhahulâh- menyatakan: "Para duta negara
dan diplomat yang tinggal di kedutaan (di luar negeri) mengikuti hukum muqîm,
demikian juga orang yang bekerja atau belajar di luar kota. Mereka semua
melakukan shalat sempurna, wallâhu a'lam, walaupun di dalam masalah ini
terdapat perbedaan pendapat." [3]
__
[2]. Al-Muhalla 5/35
[3]. Tamâmul Minnah, 1/292, penerbit. Muasasah Qurthûbah
Selengkapnya baca di
http://almanhaj.or.id/content/2532/slash/0/arah-kiblat-musafir-nazil-mengqashar-shalat-arti-hayya-alal-falah/
2. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin di dalam Syarhul-Mumti' (4/546)
menjelaskan, bahwa iqâmah (bermukim) dibagi menjadi dua, yaitu iqâmah mutlak
dan iqâmah muqayyad (terbatas).
Pengertian iqâmah mutlak, yaitu berniat mukim menetap selama tidak ada sebab
yang mengharuskannya meninggalkan tempat tersebut. Di antaranya para duta
besar. Sudah pasti pada asalnya mereka menetap dengan iqâmah mutlak, sehingga
tidak meninggalkannya kecuali bila diperintahkan. Berdasarkan hal ini, maka ia
wajib menyempurnakan (tidak mengqashar), puasa Ramadhan, dan dalam mengusap
khauf tidak lebih dari sehari semalam. Karena iqâmah mutlak, sehingga ia
mengambil hukum mustauthin (warga yang mukim tetap).
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, iqâmah muqayyadah
ada dua. Yaitu yang terikat dengan waktu, dan terikat dengan pekerjaan. Orang
yang berniat iqâmah muqayyad disebabkan oleh pekerjaannya, maka ia tetap
mengqashar shalatnya, walaupun waktunya lama.
Selengkapnya baca di
http://almanhaj.or.id/content/2214/slash/0/bacaan-amin-setelah-al-fatihah-musfir-atau-bukan-menggabung-dua-ijtihd/
SHALAT ORANG YANG MELAKUKAN SAFAR
http://almanhaj.or.id/content/1141/slash/0/shalat-orang-yang-melakukan-safar/
1. Safar
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur hingga
waktu 'Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu menjama' keduanya. Dan jika
matahari sudah tergelincir sebelum melakukan perjalanan, maka beliau shalat
Zhuhur lalu naik kendaraan." [11]
Dari Mu'adz Radhiyallahu anhu: "Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau
akhirkan Zhuhur sampai waktu 'Ashar. Kemudian beliau menjama' kedua shalat
tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau menjama' shalat
Zhuhur dengan 'Ashar lalu berangkat. Bila bepergian sebelum Maghrib, beliau
akhirkan Maghrib hingga menjama'nya dengan 'Isya. Bila bepergian setelah
Maghrib, beliau mengawalkan waktu 'Isya dan menjama'nya dengan Maghrib." [12]
Masih dari Mu’adz: "Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib
dengan 'Isya'." Dia berkata lagi: "Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat.
Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan 'Ashar dengan dijama'. Setelah itu beliau
masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi lalu shalat Maghrib dan 'Isya
dengan dijama'."[13]
Wallahu Ta'ala A'lam