Re: [assunnah]>>Mana yang rajih waktu puasa arofah<

2010-11-14 Terurut Topik akbar kurniawan
> Dari: Firman Iman 
> Kepada: assunnah@yahoogroups.com
> Terkirim: Kam, 11 November, 2010 18:20:11
> Judul: [assunnah] Mana yang rajih waktu puasa arofah
>
> Ana mau tanya mana yang rojih untuk puasa arofah dan sholat iedul adha tahun 
> ini
> 2010, ikut saudi atau pemerintah atau puasanya ikut saudi iednya pemerintah.
> berikut dalil dan pendapat ulama. sukron
>>>

Puasa Arafah (Ikut Siapa, Saudi Atau Indonesia?)
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/puasa-arafah.html

Berikut ana copy-kan dari blog
http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/11/14/kapankah-waktu-puasa-arafah-oleh-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir-abdat/

Kapankah Waktu Puasa Arafah?
Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa
pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “  Menghapuskan (kesalahan)
tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits
yang panjang)

Fiqih Hadits:

Didalam hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat
kuat tentang waktu puasa Arafah, yaitu pada hari Arafah ketika manusia
wuquf di Arafah. Karena puasa Arafah ini terkait dengan waktu dan
tempat. Bukan dengan waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain.
Oleh karena puasa Arafah itu terkait dengan tempat, sedangkan Arafah
hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota Makkah
bukan di Indonesia atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu
puasa Arafah adalah ketika kaum muslimin wuquf di Arafah. Seperti
tahun ini 1425 H/2004 M [seperti tertulis di dalam buku, admin] wuquf
jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh
negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari
Kamis. Bukan sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan ‘iednya
pada hari Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri
masing-masing seperti halnya bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri.
Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan sangatlah batil, karena
telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari Arafah,
yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya
bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied
lagi tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama!

Yang kedua, hujjah di atas lebih lemah dari sarang laba-laba, karena
telah mempergunakan qiyas ketika nash telah ada. Kaidah fiqqiyyah
mengatakan, “Apabila nash telah datang, maka batallah segala
pendapat”.

Yang ketiga, qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda
dengan apa yang di qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat disamakan
hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal dengan
puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam , “Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah
ketika melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan
Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau
negeri-negeri yang saling berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing
menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya telah jelaskan dengan
luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39.

Yang keempat, sebagian dari mereka mengatakan, “Kami melaksanakan
dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!”

Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri
sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka
sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh
karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak
ketaatan kepada ulil amri seperti perekataan yang sangat batil di
atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri
menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar
dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di
jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Selain
perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij
secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil
dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan dalil-dalil
yang tidak bersifat umum atau mutlak.

Disalin secara ringkas dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 hal.88-90 oleh
guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah
menjaganya~

Abu Sahal al-Atsary
Ahad, 14 November 2010




Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via e

Re: [assunnah] Mana yang rajih waktu puasa arofah

2010-11-12 Terurut Topik Abu Syabilla/Lontar Aditya
Dua2nya rojih, silahkan antum pilih sesuai keyakinan antum.

Mestikah Puasa Arofah Ikut Hari Wukuf di Arofah? 

Kamis, 19 November 2009 00:00 

Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari 
Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi 
Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti 
dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan 
Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di 
Arofah? 

Syaikh Muhammad bin Sholih ‘Utsamin pernah diajukan pertanyaan:

Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara 
saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya 
bersama Saudi Arabia.

Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya 
bersama negeri kami.

Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun 
untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia.

Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan 
puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun 
belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika 
melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini 
memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. 
Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga 
hari. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.

Syaikh menjawab:

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru’yah hilal 
apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain 
belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal 
tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan 
negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.

Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri setempat. 
Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam 
hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, 
maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ 
hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang 
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang 
lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas.

Dalil dari Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى 
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا 
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ 
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di 
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit 
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), 
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah 
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan 
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah 
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al 
Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, 
maka ia tidak diharuskan untuk puasa.

Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat 
hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 
1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka 
ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.

Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri 
itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah 
hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur 
sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah 
barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di 
negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan 
tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika 
bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, 
maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan 
dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.

Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ 
(tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk 
mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di 
negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan