Fatwa Ulama Islam Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Ied
Redaksi Buletin Al Atsariyah
Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang
tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan
menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam urusan
ibadah mereka. Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 12 September karena
mengikuti negeri lain; ada yang puasa tanggal 13 karena mengikuti pemerintah;
ada yang berpuasa tanggal 14, karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga
terkadang muncul beberapa versi. Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin
tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu.
Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim dalam
menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –dan
memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena merekalah
yang lebih paham agama.
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang
tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang
beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil
Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah
bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul
"Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir
Al-Albaniy.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)
Soal: " Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami;
mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon.
Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang
muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu
atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau
dua hari setelah (masuknya) hari raya…"
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab: "Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan
sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), "Berpuasalah kalian karena
melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada
mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari,
pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata
adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan
alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- (yang artinya), "(Waktu)Puasa pada hari mereka berpuasa, dan
berbuka (berhari raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban
pada hari mereka berkurban".[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu
Majah (1660). Lihat Ash-Shohihah (224)]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada
Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)
Soal: "Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di
Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil
Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat
hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami
ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran
radio, namun jumlah mereka sedikit.diantara kami; Ada yang menunggu sampai la
melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah-Subhanahu wa Ta’la-
(yang artinya), "Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu";
sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), "Berpuasalah kalian
karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya".
dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), "Bagi setiap
daerah ada ru’yahnya". sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua
kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut.
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab: "Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para
ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka
memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio,
atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan
masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.
jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas
kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan
menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini,
pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan
kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.
Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru’yah", ini
bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi