Dear Moms... article ini mungkin dpt dijadikan sebagai salah satu
penghibur, dilema yang sering dirasakan ibu bekerja..
Kekurangan yang Membentuk Kemandirian
Kadang, terlihat lelah di wajahmu Kadang, terlihat senyum di bibirmu
Kadang, terlihat marah di matamu
Ummi, oh aku sayang padamu Terlalu sulit kata-kata kuucapkan untukmu
Ummi, hanya Allah yang dapat membalas kebaikanmu Sabar ya Ummi,
mudah-mudahan surgalah tempatmu
Dari anakmu Naura
(Naura, 6 tahun, Kelas 1 SD)
***
eramuslim - Puisi di atas adalah milik Naura. Usianya baru enam tahun.
Masih duduk di kelas satu SD. Kakak dari seorang bocah laki-laki berusia
4 tahun, itu adalah gadis kecil yang 'dewasa' dalam pandangan saya.
Dalam usianya yang masih anak-anak, dia telah melakukan banyak hal yang
tak dilakukan oleh rekan-rekan sebayanya. Ibundanya bukanlah wanita
karir sebagaimana 'karir' dalam persepsi banyak orang. Bahkan sang Ibu
keluar dari pekerjaan kantornya, namun ia berkarir dalam dakwah dan
pendidikan anak usia sekolah. Pilihan itu, meski tidak lagi bekerja
kantoran, membuatnya jadi harus sering meninggalkan kedua anaknya berdua
saja, tanpa pengasuh. Tidak juga dengan bantuan keluarga, karena Ayah
dan Bunda Naura berasal dari kota yang jauh dari tempat tinggal mereka
saat ini. Sering ditinggalkan oleh ibunya telah membuat Naura menjadi
dewasa dan mandiri. Setiap hari sang Bunda 'mendidiknya' dengan catatan
di kertas: "makan siang ada di lemari". "Selesai makan jangan lupa bobok
siang dan belajar". "Nanti kalau sudah jam 3 mandi, sekalian mandikan
adiknya ya". Dengan itu semua, dia belajar mandiri. Usianya baru enam
tahun, dan dia telah terampil mengurus diri dan adiknya.
Hal ini juga berlaku pada Hasan dan Azka, dua orang kakak beradik yang
ditinggal ibunya bekerja. Karena tidak punya pengasuh, keduanya setiap
pulang sekolah menghabiskan waktu berdua, hanya dalam pengawasan
tetangga sebelah, ibu dari teman bermain mereka. Awal-awal mereka harus
menjalani kesendirian ini membuat mereka tidak berani berdiam di rumah
jika bundanya belum pulang. Namun lama-lama sang kakak beradaptasi
dengan cepat dan terampil. Dia memimpin adiknya untuk makan dan tidur
siang, bahkan kemudian memandikannya, hingga ketika sang bunda pulang,
cowok kecil kelas dua SD itu dan adiknya telah rapi. Ya, sang ibu adalah
pegawai kantoran yang tiap hari harus meninggalkan mereka, demi mendapat
tambahan nafkah dan berbakti pada negara atas beasiswa yang diterimanya
dulu.
Bahkan, mengingat masa lalu saya sendiri, sifat kemandirian dan
kepemimpinan yang lekat dalam diri saya kini, adalah tak lepas dari
kondisi yang saya jalani ketika saya kecil. Saya sudah harus memasak dan
berbenah rumah di usia saya yang kelas dua SD, karena ibu saya bekerja
menjadi buruh harian, bahkan sejak saya berusia dua bulan.
***
Lebih banyak tinggal di rumah, mendampingi dan mendidik anak-anak dalam
usia SD apalagi balita barangkali merupakan kondisi ideal yang
dianjurkan oleh agama dan pakar pendidikan anak juga diharapkan hati
terdalam seorang ibu. Siapa yang tak ingin? Namun realitas hidup
seringkali berbeda. Dengan sebab utama 'membantu suami memenuhi
kebutuhan rumah tangga' atau 'menyumbangkan kapasitas diri untuk
menjalankan tugas kekhilafahan manusia dan menyebarkan kebaikan bagi
ummat' seorang ibu seringkali harus banyak keluar rumah dan meninggalkan
anak-anaknya. Tentu saja, pada rentang tertentu hal ini akan menimbulkan
rasa bersalah bagi sang bunda, dan juga konsekuensi kurang di beberapa
sisi pengasuhan dan pendidikan anak.
Kurang waktu bermain penuh kasih sayang bersama ibu misalnya. Namun di
sisi lain, hal ini memiliki banyak keuntungan. Banyak fakta menunjukkan
bahwa anak-anak yang tidak selalu didampingi ibunya tumbuh lebih matang
secara emosi, dewasa dan mandiri dibanding dengan mereka yang selalu
diasisteni dan ditemani Ibunya dalam segala hal. Seperti Naura, Rahman,
Hasan dan Azka yang mandiri di usia mereka yang masih sangat belia.
Karena itu, sesungguhnya 'berkarir' di luar rumah bagi seorang ibu tidak
selayaknya selalu disikapi dengan negatif. Selama sang Ibu memahami dan
menghayati, bahwa ia, dalam kondisi bagaimanapun, mesti menomorwahidkan
pendidikan dan pengasuhan anak. Selama sang bunda memahami dan
menghayati bahwa tugas di luar rumah dan pendidikan anak adalah satu hal
yang saling mendukung dan perlu disinkronkan. InsyaAllah, pendidikan dan
pengasuhan anak masih tetap dapat dioptimalkan, dan di dapatkan pahala
dan nilai tambahan dari keluar rumahnya sang bunda.
Dan percayalah, jika 'keluar rumahnya' seorang ibu adalah untuk sebuah
alasan yang benar, dapat diterima secara nurani oleh orang dewasa maupun
anak-anak, sang ibu tidak akan kehilangan cinta, kepatuhan dan
penghargaan dari anak-anaknya. Seperti Naura yang tetap mencintai dan
mengagumi, bahkan menghadiahi sang Bunda dengan sebuah puisi indah.
Seperti Hasan yang menyambut kedatangan ibunya dengan penuh sukacita.
Seperti saya yang selalu menatap Ibu penuh cinta dan kekaguman, atas
keperka