Re: [balita-anda] Fw: Maafkan Aku Mama... - Kekerasan thd anak

2006-01-28 Terurut Topik lilis setiawati
Menyambung kekerasan terhadap anak ini sebenarnya bukan hanya terhadap orang 
tua yang membuat kekerasan terhadap anak, tetapi bagaimana kalau kita lihat 
dengan mata kepala kita sendiri sehari-hari di mana anak usia 2 tahun pun yang 
belum mengerti apa2 harus berada di jembatan penyeberangan busway di tengah 
sore yang dingin sehabis hujan. Dia disuruh meminta-minta oleh orangtuanya. 
Atau pernahkah hati kita tergugah dengan anak yang terpaksa tidur di jembatan 
penyeberangan dengan topi peminta-minta menunggu belas kasihan dari orang-orang 
sekitarnya.tidakkah kekejaman seperti itu dari orang tua atau mungkin bukan 
orangtuanya harus mendapat imbalan hukum yang setimpal dari orang yang 
menyatakan dirinya melindungi hak asasi anak.
   
  Saya pikir hak asasi anak juga harus menyangkut perlindungan anak yang 
diperlakukan semena-mena, seharusnya terhadap orang-orang yang memperdayakan 
anak juga harus diadakan tindakan hukum.
   
  Rgrds,
  Lilis

Ermalen Dewita [EMAIL PROTECTED] wrote:
  maaf bila sudah pernah terima imel yang sama...

salam
dewi

- Original Message - 

Sent: Tuesday, January 24, 2006 11:38 PM
Subject: Maafkan Aku Mama... - Kekerasan thd anak


 -
 
 Kekerasan Terhadap Anak:
 
 Maafkan Aku Mama...
 
 
 Mama, maafkan aku, tidak seharusnya aku berbuat jahat pada Mama dan 
 Papa. Mama adalah Mamaku, dan Papa kan Papaku, tidak seharusnya aku 
 nge-(maaf: seks) dengan Mama dan Papa.
 
 Surat bernada pilu itu ditulis Embun, sebut saja begitu, yang kini 
 menginjak remaja. Bocah perempuan kelahiran 31 Oktober 1991 itu kini 
 harus berjuang mengendalikan dorongan kuat dirinya untuk berhubungan 
 badan.
 
 Embun belum lama bisa menulis surat itu. Kemampuan itu diperolehnya 
 setelah mendapat bimbingan intensif dari lembaga yang ditunjuk Komisi 
 Nasional(Komnas) Perlindungan Anak.
 
 Ia terpaksa berakhir di lembaga pemulihan karena sejak usia delapan 
 tahun telah mengalami kekerasan seksual. Luka batinnya tak 
 tersembuhkan karena justru dilakukan orang terdekat: ibu kandung dan 
 kakek.
 
 Peristiwa memilukan itu baru terungkap setelah sang mama yang waktu 
 itu masih menjadi pengasuhnya menemukan bercak putih di pakaian dalam 
 Embun.
 
 Tanpa ragu, pengasuh yang memang sangat dekat dengan Embun itu 
 membawanya ke ginekolog. Betapa terkejutnya ia ketika dokter 
 mengatakan Embun terkena herpes.
 
 Dokter menemukan bocah yang terlihat begitu polos itu telah kehilangan
 kehormatannya.
 
 Perlahan, penderitaan Embun mulai terungkap. Ia mengaku sejak kecil 
 sering diajak ibu kandungnya bersama-sama menonton film biru. Begitu 
 juga dua adik lelaki Embun, sebut saja Raga (12) dan Adam (10).
 
 Bedanya, Embun kemudian diajak mempraktikkan apa yang dilihat di film 
 oleh si ibu. Bocah itu tidak bisa menolak ketika si ibu mengatakan, 
 semua itu dilakukan karena rasa kasih sayang. Tindakan itu juga 
 melibatkan si kakek sehingga ia bisa dengan lancar menceritakan cara 
 permainan berkelompok.
 
 Meski terjadi enam tahun lalu, peristiwa itu membawa trauma mendalam 
 dan gangguan psikologis bagi Embun dan si bungsu Adam. Embun sulit 
 mengendalikan hasrat seksualnya, sedangkan Adam merasa dirinya korban 
 yang ditabrak truk sehingga sering berbalut perban.
 
 Ketika hasratnya bergejolak, Embun yang belum paham cara 
 mengendalikannya sering memaksa siapa saja, termasuk ayah kandung, 
 mama barunya, pembantu perempuan maupun lelaki, untuk melayani. 
 Kesalahan penanaman nilai keluarga membuatnya menyalahartikan 
 hubungan intim sebagai bagian dari wujud kasih sayang.
 
 Setelah tahu, ia sering merasa jijik pada diri sendiri-terutama saat 
 tahu tindakan ibu kandung dan kakeknya merupakan perbuatan terlarang.
 
 Ia pernah mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. 
 Ia juga suka melukai diri sendiri untuk memperoleh perhatian.
 
 Pada Adam, orang menyebutnya terkena sindrom Munchausen.
 
 Ini adalah upaya menarik perhatian berlebihan dengan berpura-pura 
 menderita sakit parah. Perban dari kepala hingga kakinya dipenuhi 
 obat merah.
 
 Menyadari kenyataan itu, keluarga mengirim Embun ke sanatorium 
 Dharmawangsa. Baru tahun 2004 mereka menyerahkan persoalan Embun ke 
 Komnas Perlindungan Anak, yang lalu mengirim Embun ke shelter atau 
 rumah aman yang sesuai.
 
 Saat ini Embun tak lagi melukai diri. Ia pun tampak lebih 
 ceria.Sekarang saya sadar, semua itu salah. Saya sekarang ingin 
 menjadi orang sukses, tetapi kadang masih sulit menghilangkan pikiran-
 pikiran jahat itu, kata Embun ketika ditemui di rumah barunya di 
 pinggiran Jakarta.
 
 Embun hanyalah satu dari sekian ratus korban kekerasan kepada anak 
 yang cenderung meningkat. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan, 
 kekerasan kepada anak termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
 
 Jika tahun 2004 hanya tercatat 544 kasus, tahun 2005 menjadi 736 
 kasus. Dan di bulan Januari 2006 setidaknya telah terjadi 69 kasus.
 
 Kasus-kasus ini tertutup dari perhatian umum karena orang sering 

[balita-anda] Fw: Maafkan Aku Mama... - Kekerasan thd anak

2006-01-25 Terurut Topik Ermalen Dewita
maaf bila sudah pernah terima imel yang sama...

salam
dewi

- Original Message - 

Sent: Tuesday, January 24, 2006 11:38 PM
Subject: Maafkan Aku Mama... - Kekerasan thd anak


 -
 
 Kekerasan Terhadap Anak:
 
 Maafkan Aku Mama...
 
 
 Mama, maafkan aku, tidak seharusnya aku berbuat jahat pada Mama dan 
 Papa. Mama adalah Mamaku, dan Papa kan Papaku, tidak seharusnya aku 
 nge-(maaf: seks) dengan Mama dan Papa.
 
 Surat bernada pilu itu ditulis Embun, sebut saja begitu, yang kini 
 menginjak remaja. Bocah perempuan kelahiran 31 Oktober 1991 itu kini 
 harus berjuang mengendalikan dorongan kuat dirinya untuk berhubungan 
 badan.
 
 Embun belum lama bisa menulis surat itu. Kemampuan itu diperolehnya 
 setelah mendapat bimbingan intensif dari lembaga yang ditunjuk Komisi 
 Nasional(Komnas) Perlindungan Anak.
 
 Ia terpaksa berakhir di lembaga pemulihan karena sejak usia delapan 
 tahun telah mengalami kekerasan seksual. Luka batinnya tak 
 tersembuhkan karena justru dilakukan orang terdekat: ibu kandung dan 
 kakek.
 
 Peristiwa memilukan itu baru terungkap setelah sang mama yang waktu 
 itu masih menjadi pengasuhnya menemukan bercak putih di pakaian dalam 
 Embun.
 
 Tanpa ragu, pengasuh yang memang sangat dekat dengan Embun itu 
 membawanya ke ginekolog. Betapa terkejutnya ia ketika dokter 
 mengatakan Embun terkena herpes.
 
 Dokter menemukan bocah yang terlihat begitu polos itu telah kehilangan
 kehormatannya.
 
 Perlahan, penderitaan Embun mulai terungkap. Ia mengaku sejak kecil 
 sering diajak ibu kandungnya bersama-sama menonton film biru. Begitu 
 juga dua adik lelaki Embun, sebut saja Raga (12) dan Adam (10).
 
 Bedanya, Embun kemudian diajak mempraktikkan apa yang dilihat di film 
 oleh si ibu. Bocah itu tidak bisa menolak ketika si ibu mengatakan, 
 semua itu dilakukan karena rasa kasih sayang. Tindakan itu juga 
 melibatkan si kakek sehingga ia bisa dengan lancar menceritakan cara 
 permainan berkelompok.
 
 Meski terjadi enam tahun lalu, peristiwa itu membawa trauma mendalam 
 dan gangguan psikologis bagi Embun dan si bungsu Adam. Embun sulit 
 mengendalikan hasrat seksualnya, sedangkan Adam merasa dirinya korban 
 yang ditabrak truk sehingga sering berbalut perban.
 
 Ketika hasratnya bergejolak, Embun yang belum paham cara 
 mengendalikannya sering memaksa siapa saja, termasuk ayah kandung, 
 mama barunya, pembantu perempuan maupun lelaki, untuk melayani. 
 Kesalahan penanaman nilai keluarga membuatnya menyalahartikan 
 hubungan intim sebagai bagian dari wujud kasih sayang.
 
 Setelah tahu, ia sering merasa jijik pada diri sendiri-terutama saat 
 tahu tindakan ibu kandung dan kakeknya merupakan perbuatan terlarang.
 
 Ia pernah mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. 
 Ia juga suka melukai diri sendiri untuk memperoleh perhatian.
 
 Pada Adam, orang menyebutnya terkena sindrom Munchausen.
 
 Ini adalah upaya menarik perhatian berlebihan dengan berpura-pura 
 menderita sakit parah. Perban dari kepala hingga kakinya dipenuhi 
 obat merah.
 
 Menyadari kenyataan itu, keluarga mengirim Embun ke sanatorium 
 Dharmawangsa. Baru tahun 2004 mereka menyerahkan persoalan Embun ke 
 Komnas Perlindungan Anak, yang lalu mengirim Embun ke shelter atau 
 rumah aman yang sesuai.
 
 Saat ini Embun tak lagi melukai diri. Ia pun tampak lebih 
 ceria.Sekarang saya sadar, semua itu salah. Saya sekarang ingin 
 menjadi orang sukses, tetapi kadang masih sulit menghilangkan pikiran-
 pikiran jahat itu, kata Embun ketika ditemui di rumah barunya di 
 pinggiran Jakarta.
 
 Embun hanyalah satu dari sekian ratus korban kekerasan kepada anak 
 yang cenderung meningkat. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan, 
 kekerasan kepada anak termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
 
 Jika tahun 2004 hanya tercatat 544 kasus, tahun 2005 menjadi 736 
 kasus. Dan di bulan Januari 2006 setidaknya telah terjadi 69 kasus.
 
 Kasus-kasus ini tertutup dari perhatian umum karena orang sering 
 beranggapan masalah anak adalah masalah keluarga.
 
 Banyak tetangga yang memilih diam dan menutup kuping ketika mendengar 
 jerit tangis anak-anak di rumah sebelahnya. Padahal berbagai 
 peraturan kini sudah tersedia. Apakah nasib sebagian anak Indonesia 
 akan begitu selamanya?
 
 (Sumber:Kompas)
 
 
 




Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]