[budaya_tionghua] menyusun buku turunan

2005-09-14 Thread Gouw, Christine (HID)
Dear Bapak/ibu,

Apakah ada yang tau bagaimana menyusun buku turunan?
Keluarga kami (dari pihak suami) punya buku turunan yang sudah tua umurnya.
Turunan tsb diawali dari generasi pertama sejak kedatangan nenek moyang
(kalo ga salah ingat) namanya Tantin dari kampung (kalo ga salah ingat)
namanya Kulamtaw tahun berapa yah? saya lupa harus nyontek buku turunan
dulu. 
Tetapi buku tsb tidak diteruskan lagi sejak +/- 30 tahun yang lalu, dan saya
berniat meneruskannya tetapi tidak tau caranya.

Mohon penjelasan dan pencerahan.

Terima kasih dan salam,
Christine


 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[budaya_tionghua] Kontes "Miss Chinese Cosmos Pageant 2005"

2005-09-14 Thread Ambon





http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/14/index.html
 
SUARA PEMBARUAN DAILY 
 
Kontes "Miss Chinese Cosmos Pageant 2005" 
 
JAKARTA - Wanita Indonesia kembali mendapatkan kesempatan mengikuti kontes 
kepribadian dan kecantikan kelas dunia. Pemilihan wanita tercantik sejagad itu 
bertajuk Miss Chinese Cosmos Pageant 2005. Sesuai namanya, pesertanya 
adalah para wanita asli puteri Tionghoa atau keturunan Tionghoa. 
Untuk Indonesia, pemilihan yang diberi nama Miss Chinese Cosmos Pageant 
2005-Indonesia Contest, diselenggarakan dengan disponsori antara lain, 
Yayasan Upasaka, Sanex-Tel, Hotel Radisson, Mandarin Station dan Radio 
Cakrawala. 
Semua peserta kontes tersebut, selama mengikuti babak seleksi sampai 
karantina di Jakarta, mendapatkan pelajaran bimbingan dari beberapa pakar 
kepribadian, kecantikan, psikologis, kesehatan, disiplin tata krama pergaulan, 
perawatan tubuh dan modeling. 
Mereka juga diberikan pengetahuan komunikasi, kebugaran, dan latar belakang 
budaya Indonesia lengkap dengan produk hukum yang berlaku, termasuk pendalaman 
tentang budaya masyarakat Tionghoa. Tidak ketinggalan syarat penting lainnya 
peserta Miss Chinese Cosmos Pageant yakni, cerdas, berpenampilan menarik, 
minimal lulusan SMU, menguasai aktif bahasa Inggris dan Mandarin, serta 
berkepribadian baik dengan pengalaman pengetahuan umum memadai. 
"Lewat ajang pemilihan Putri Tionghoa Indonesia ini diharapkan memberikan 
kontribusi positif untuk bangsa dan negara yang memiliki kekayaan budaya 
variatif juga mempererat hubungan persahabatan dengan bangsa lain di dunia," 
kata Ketua Pelaksana Miss Chinnese Cosmos Pageant, Ponijan Liaw, 
didampingi Ketua Panitia Isabell Koniawani, penasehat panitia Kim Ho, Direktur 
Sanex-Tel Edy Setiawan, dan penasehat hukum Soni SH kepada Pembaruan, di 
sela-sela paparan persiapan acara tersebut, di Jakarta, Senin (12/9). 
Menurut Ponijan, budaya merupakan satu unsur yang dapat merekatkan persatuan 
dan kesatuan bangsa secara nasional atau internasional tanpa memandang 
asal-usul. Budaya juga sarat dengan pesan-pesan moral, sehingga sudah 
sepantasnya mendapatkan porsi lebih besar dengan harapan akan menjadi perekat 
hubungan antarbangsa. 
Ditambahkan, sampai saat ini penyelenggara telah menerima calon peserta 
kontes Miss Chinese tak kurang 60 wanita, dengan usia 18-25 tahun. Mereka 
direkrut dari lokasi penjaringan tahap awal yakni, Jakarta, Pangkal Pinang, 
Palembang, Pekanbaru, Jambi, Medan dan Pontianak 
Peserta yang lolos seleksi akan disaring menjadi tiga kategori terbaik, 
dengan rincian, pemenang pertama akan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti 
ajang internasional di Hong Kong, sebagai wakil Indonesia. Untuk dua pemenang 
lainnya, masing-masing pemenang kedua dan ketiga, diberikan kesempatan mengikuti 
berbagai kegiatan menarik lainnya di Indonesia sesuai program penyelenggara. 
Sebagaimana diketahui kontes Miss Chinnes Cosmos Pageant kelas 
internasional telah dilaksanakan ketiga kalinya, untuk ajang sama pertama di 
Hong Kong dimenangkan peserta dari Shanghai, RRC, yang merupakan seorang top 
model, dan pada kompetisi kedua diraih seorang wanita karier warga 
Malaysia.(G-5) 

Last modified: 14/9/05 





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  









[budaya_tionghua] Fw: Han Hwie-Song: Polemik dan perbedahan tentang aksara pribumi dan non-pribumi

2005-09-14 Thread HKSIS





 
- Original Message - 
From: Han Hwie 
Song 
To: Chan C. T. ; k.prawira ; Nasional-list ; Tionghoa-net ; Jonathan 
Goeij 
Sent: Wednesday, September 14, 2005 8:54 PM
Subject: Re: Han Hwie-Song: Polemik dan perbedahan tentang aksara 
pribumi dan non-pribumi


Polemik dan  perbedahan tentang aksara pribumi dan 
non-pribumi
 
Belakangan ini saya dengan interesan 
membaca polemik mengenai terminologi pribumi dan non-pribumi. Diskusi untuk 
mencari penyelesaian sangat berguna kalau ada satu kontradiksi, angsalkan jangan 
sampai kontradiksi itu berkembang menjadi kontradiksi antar musuh, yang saya 
sebut antagonisme, penuh dengan emosi dan sampai mengenai pribadi. Tujuan dari 
diskusi atau polemik ini adalah membangun dan mencari kebersamaan dan kalau bisa 
menjadi kawan akrab untuk berpolemik, dengan perkataan lain ialah polemik dengan 
menempatkan diri kita diatas perbedahan politik, agama dan ide –ide, tetapi 
bebas, jujur dan tidak terikat pada sesuatu.
Ada yang tidak setuju dengan aksara pribumi 
dan non-pribumi, tetapi adakah aksara alternative untuk menggantinya; kalau ada 
katakanlah apa alternative yang baik. Ada teman yang 
mengatakan pada saya pakailah  terminology WNI keturunan Tionghoa atau 
etnis Tionghoa. Sebab menurut saya pada suatu waktu terminologi itu perlu 
dipakai untuk menjelaskan satu fenomen yang bertujuan baik. Misalnya untuk 
penyelidikan kesehatan yang terkena penyakit kanker payu darah (Breast cancer), 
atau penyakit pembuluh darah dan jantung golongan etnis mana lebih banyak; lalu 
dilanjutkan penyelidkan mengapa demikian, adakah pengaruh ini dan itu etc? Kalau 
umpama karena cara hidup, nah cara hidup ini bisa dirobah demi kesehatan rakyat 
Indonesia. Bagaimana kalau demi ilmu 
pengetahuan mengadakan penyelidikan demografis, maka penggunaan terminologi 
seperti itu sara rasa adalah satu keharusan, kalau tidak ada terminologi lain. 
Umpama penyelidikan demografis di kota ABC ternyata penduduknya berjumblah X dan 
golongan etnis Jawa y jumblahnya dan etnis Tionghoa Z etc. etc. Dibagi dari 
wanita, pria, umur-umur dan seterusnya. Ini sangat perlu untuk beleid Negara 
pada tahun tahun yang akan datang baik dalam bidang ekonomi maupun penghidupan 
social satu Negara.
Memang persoalan ini susah 
diselesaikan, apalagi kalau sudah digunakan dengan politik, paradigma-paradigma 
etc. akan lebih lebih kompleks lagi. Saya memberi satu contoh. Dalam sejarah 
Tiongkok 2000 tahun yang lalu, pikiran manusia masih sangat conservative dan 
secara etis, moral dilarang orang lelaki memegang tangan wanita, apalagi 
mengendong wanita bukan istri atau putrinya. Meng Zi (Mencius)  filosof 
besar kedua dalam confucianisme bercerita: ada satu wanita karena kurang 
hati-hati, maka dia jatuh kedalam kolam, seorang pria menolongnya dengan menarik 
tangannya atau mengangkat wanita itu kepinggir kolam. Dia membelah orang yang 
menolong itu dengan kata-kata:”kalau pria itu tidak menolong wanita yang 
tenggelam, maka dia adalah srigala. Dan orang menolong  itu harus menurut 
Tao, artinya menolong orang tenggelam harus dengan menarik tanggannya atau 
menggendongnya keatas tanpa tujuan apa-apa, selain menyelamatkan jiwa wanita 
itu!”
Budaya Tionghoa mengatakan bahwa 
orang harus tetap kalm, tenang jangan cepat dipengaruhi oleh fenomena yang 
datangnya secara fleeting (waktu yang pendek). Hilangkan semua dualitas 
dan jangan membiarkan jiwa kita mendapatkan “ketegangan” sedikitpun. Alam 
manusia di tandai dengan berbagai konflik, keadaan ditarik-tarik dengan 
keinginan yang bertentangan (opposing desires), ini mengakibatkan disharmoni 
dari jiwa kita, maka kita harus selalu waspada tentang 
ini.
Kalau kita demi kepentingan yang baik harus 
memakai aksara pribumi dan non-pribumi tanpa prasangka apa-apa saya rasa tidak 
apa-apa. Maka saya usulkan bahwa perdebatan itu harus dengan tujuan yang baik 
dan dalam suasana yang tenang dan debat itu diharepkan berachir dengan  
suasana persaudaraan.
 
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 14 September 2005  The 
Netherlands
 
 





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  









[budaya_tionghua] SEMBAHYANG KUE BULAN

2005-09-14 Thread nandha8285
Hallo semua,namaku nandha,minta info tentang
Perayaan sembahyang kue bulan pinyin&hanzinya gmn ya?
Bagaimana sejarah tradisi Sembahyang Kue Bulan?
Persiapan apa aja yang dilakukan masyarakat tionghua utk menyambut 
datangnya perayaan tsb?
Makna dari tradisi itu sendiri apa?
Apa ada pengkhususan berbusana ketika melaksanakan sembahyang kue 
bulan?
Makanan apa saja yg disajikan&yang wajib ada ketika sembahyang kue 
bulan?
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih!
Mohon disertakan Nama asli, usia, alamat dan pekerjaan anda(untuk 
kepentingan pembuatan laporan ttg perayaan hari raya tionghoa)






 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[budaya_tionghua] OOT: Perlakuan terhadap Korban Pelanggaran HAM Diskriminatif

2005-09-14 Thread Ambon





http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/14/index.html
 
SUARA PEMBARUAN DAILY 
 
Perlakuan terhadap Korban Pelanggaran HAM Diskriminatif
 
JAKARTA - Perlakuan masyarakat sipil terhadap korban-korban pelanggaran hak 
asasi manusia (HAM) masih diskriminatif, terpaku pada pola pikir lama bahwa 
korban "memang pantas mendapat ganjaran atas perbuatannya." 
Demikian pendapat pengamat sosial M Imam Aziz dalam konferensi internasional 
mengenai "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia" yang diselenggarakan 
atas kerja sama sejumlah lembaga: Uni Eropa, Friedrich Ebert Stiftung, New 
Zealand International Aid and Development Agency (NZAID), Lembaga Studi dan 
Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Jakarta Post, Selasa (13/9), di Jakarta. 
Menurut Aziz, bukan hanya produk-produk hukum yang diskriminatif terhadap 
kebutuhan dan kepentingan korban, sikap diskriminatif ini juga berlaku di tengah 
masyarakat kita. 
Wacana berpikir bahwa korban pantas memperoleh hukuman karena kesalahan 
mereka, perilaku moral, keyakinan maupun ideologi mereka masih tertanam erat di 
dalam masyarakat. 
Ini terlihat dalam bagaimana masyarakat memandang korban dalam peristiwa 
1965. 
Arus utama persepsi terhadap korban 1965 masih pada pola lama. Wacana 
antikomunisme tetap dihembuskan, rasa takut masih ditanamkan. Akibatnya ancaman 
kekerasan terhadap korban selalu tampak di depan mata. 
"Bukan hanya masyarakat awam, bahkan media massa dan kalangan intelektual 
kampus pun seolah-olah menutup mata atas masalah ini. Pola pikirnya pada umumnya 
masih di situ-situ juga," tukas Aziz dalam diskusi hari kedua konferensi yang 
menghadirkan pembicara dari berbagai negara yang berpengalaman dengan Komisi 
Kebenaran dan Rekonsiliasi ini (KKR), seperti dari Argentina, Guatemala, Peru, 
Afrika Selatan. 
Kurangnya empati masyarakat Indonesia terhadap komunitas korban terlihat 
dalam sesi diskusi "Pemenuhan Hak-Hak Korban." Seorang calon anggota KKR Dr 
Tjipta Lesmana mempertanyakan soal definisi korban dengan mengatakan para 
penjarah dalam Peristiwa Mei 1988 sepatutnya juga mendapat "hukuman" atas 
perbuatannya. Karenanya korban-korban Peristiwa Mei 1998 tidak pantas disebut 
korban. 
Pernyataannya kontan mendapat tanggapan keras dari keluarga korban, khususnya 
para orang tua yang kehilangan anak-anaknya dalam Peristiwa Mei 1998. Selain 
keluarga korban, calon anggota KKR yang lain, Fadjroel Rachman, juga 
memperingatkan soal tidak pantasnya pernyataan seperti itu. (Y-2) 
Last modified: 14/9/05 





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  









Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-14 Thread BISAI
Saudara Zhou Fy dan Saudara Mayat yang terhormat.
Bila seseorang mengatakan kepada saya:"dasar pribumi!!" meskipun yang  
dimaksudkan seseorang( umpamanya seorang asing yang suka menghina kita secara 
historis)  adalah barbar, maka  saya tidak akan marah, saya tidak tersinggung. 
Mengapa saya harus marah dan tersinggung. Pribumi adalah identitas Antroplogis 
saya. Memang  saya seorang pribumi meskipun saya tidak bangga sedikitpun 
menerima takdir yang tidak bisa saya tolak itu. Tapi siapa saja yang mengatai 
saya:"dasar barbar!!" meskipun dengan maksud baik, saya pasti akan bertindak 
lain. Saya setuju sekali dengan anda bahwa kata  telah di distorsi 
oleh Orba secara sangat serius seperti juga sama halnya dengan kata . 
Pendistorsian inilah yang saya tentang .  Tapi bukan dengan cara mengharamkan 
kata yang telah dicemari itu. Pada hakekatnya sangat banyak orang menentang 
pengharaman kata  , secara sadar atau tidak sadar, spontan maupun 
nuchter. Yang melakukan pengharaman itu adalah Orba, mesin politiknya Suharto 
dan bukan rakyat Indonesia. Mengapa Suharto dan Orbanya berbuat demikian?. 
Sejak pembantaian Suharto terhadap PKI dan rakyat Indonesia yang tidak bersalah 
yang mulai di tahun 1965 itu, Suharto ingin menyaring etnis Cina dengan tangguk 
rapat yang hampir-hampir tak tembus air untuk membedakan antara etnis Cina yang 
dia sangka ikut PKI, simpatisan komunis, simpatisan  negeri  dan Partai Komunis 
Cina, dengan Cina yang masih bisa dia pakai yang tentu saja pertama-tama yang 
kaya-kaya atau yang super kaya, yang bukan Komunis, yang tidak ber-orientasi ke 
Cina Daratan atau PKC. Hasil penyaringan itu, saya sebut saja satu nama untuk 
sementara, seperti yang kita kenal yang telah bernama Bob Hasan dan tentu saja 
masih banyak yang lainnya  yang yang sekelas kakap seperti Bob Hasan untuk 
dijadikan Suharto  menjadi para bendahara pribadinya. Suharto itu tidak bodoh 
seperti yang disangka sebagian orang, dia tahu dia tidak mungkin bicara soal 
atau mengelola ekonomi Indonesia tanpa para kapitalis Besar Cina yang kaya 
pengalaman, sukses dan lebih mudah dikendalikan karena bukan pribumi. Sedangkan 
waktu itu boleh dikatakan, Indonesia tidak punya kapitalis kakap yang 
sesunguhnya dan hanya memproduksi kapitalis birokrat yang bodoh berdagang tapi 
lihai mengeruk uang tanpa kerja dan susah payah. Tapi tentu saja Suharto tidak 
mau menggunakan terlalu banyak dan memberikan kesempatan kepada para kapitalis 
Cina saja. Itu akan menimbulkan kecemburuan di kalangan kroni-kroninya sendiri 
dan juga para pengusaha pribumi yang ingin berhasil tapi mendapatkan saingan 
yang maha berat bila harus bersaing dengan para kapitalis kakap dari etnis 
Cina. Dengan kata lain Suharto telah membikin kontradiksinya sendiri yang mana 
yang harus diistimewakan( baca: didiskriminasi).Sekali lagi dia seorang licik, 
lihai, cerdik dan juga tidak bodoh. Sambil memelihara dan menggunakan Bob Hasan 
dan sebangsanya, sambil juga mendiskriminir
antara pengusaha pribumi dan pengusaha Cina. Cina yang mulai dari yang miskin 
hingga agak kaya dia babat, yang miskin dia tuduh komunis untuk dibabat dan 
ahirnya sebagian terbesar dari etnis Cina menderita diskriminasi. Dia (Orba) 
lalu menyebarkan  kata yang telah dia beri racun: "PRIBUMI DIPERAS, DIJAJAH, 
OLEH NON PRIBUMI" dan dijadikannya sebagai psikologi massa yang bermakna: "Cina 
musuh orang Indonesia melalui penjajahan ekonomi". Akibat dari penyebaran 
psikologi massa yang beracun itu dengan sendirinya telah menyuluh kerusuhan 
atau teror rasial anti Cina sebagaimana yang antara lain, kita kenal ngerinya 
di bulan Mei 1998. Sesudah kejatuhannya(Suharto), dia menunjuk Habibi sebagai 
penggantinya. Kita tahu Habibi seorang cendekiawan yang betul-betul pintar, 
tapi juga tidak semata cuma pintar, ia juga lihai dan licik. Akibat dari 
kerusuhan terror rasial 98, banyak kapitalis dan pengusaha besar Cina kelas 
kakap lari ker luar negeri, seperti yang kita kenal ,dan tahulah dia, apa itu 
artinya bagi ekonomi Indonesia yang telah dihancurkan Suharto hingga mendekati 
angka nihil. Untuk memperbaiki sedikit muka Indonesia yang sudah coreng moreng 
itu di mata dunia dan juga muka dirinya , maka keluarlah dia punya instruksi 
untuk mengharamkan kata < pribumi> dan sebagai analogi tentu saja kata . Indah kedengarannya bukan?. Habibi bisa diangkat jadi pahlawan anti 
rasialist yang ingin menghapus rasialisme anti Cina di Indonesia hanya dengan 
dua buah kata  dan  harus menghilang dari kamus 
perbendaharaan kata bahasa Indonesia karena menurut dia berbau rasialis dan 
dengan maksud agar kembali menanamkan psikologi massa bahwa timbulnya rasiais 
atau pun penyebab rasialisme di Indonesia adalah karena kata  dan   dan bukan karena watak rasialis yang sesungguhnya dari Suharto dan 
Orbanya. Cerdik bukan? Dan bukan hanya cerdik, pandai dan lihai, tapi juga ada 
orang yang mempercayainya, seperti sebagian dari golongan anda hingga sekarang 
ini.Penyebab kerusuhan rasialis maupun rasilaisme menurut

[budaya_tionghua] Nanjing: Death dances with remembrance

2005-09-14 Thread Ambon







  
  

  Nanjing: Death dances with remembrance 
  
By Sheila Melvin International Herald 
  TribuneWEDNESDAY, SEPTEMBER 14, 2005
  

  
  
  
  

  BEIJING 
  The 60th anniversary of the end of World War II has been marked in China 
  by a host of cultural events commemorating the suffering of the Chinese 
  people under the Japanese occupation and celebrating the Japanese defeat. 
  Among the most unusual of these is an emotionally wrenching dance drama 
  called "Nanjing 1937," which was staged in Beijing's Poly Theater on Sept. 
  7 and 8 after opening in Nanjing in August. It will travel later this 
  autumn to Henan and Anhui. 
   Performed by the China 
  National Chinese Opera and Dance Drama Company, "Nanjing 1937" begins with 
  a woman in white wandering alone in the shadowy realms of the hereafter. 
  Her dance, beseeching and innocent, is interrupted when she pushes against 
  a gray wall that slides away at her touch. Behind it stands a mysterious 
  figure veiled in pure white who thrusts out her hand and gestures "Stop!" 
   But the dancer - Ye Bo in the 
  role of Iris Chang, the best-selling American author of "The Rape of 
  Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II" who last year took her 
  own life at 36 - cannot stop. 
   Instead, she opens a book that 
  transports her to the days before the Japanese occupation of Nanjing - 
  portrayed by dancers in period costume as a time of laughter and innocence 
  - and then inexorably pulls her into the all-consuming weeks of death and 
  despair in which Japanese soldiers raped and murdered upward of 250,000 
  civilians. 
   The only ray of light is the 
  figure of the American missionary Minnie Vautrin - danced by the 
  Beijing-based American Aly Rose - who heroically faces down the Japanese 
  even as she recoils at their atrocities. As the dance-drama unfurls, 
  alternating between the hereafter, the Nanjing of 1937 and the city today, 
  we understand that the veiled figure who eludes Iris Chang in heaven is 
  Minnie Vautrin and that the book she doesn't want Iris to read is her own 
  diary - which records her experiences during the Nanjing massacre and ends 
  with her own suicide in 1941. 
   It is an unlikely enough 
  choice to commemorate the highly sensitive subject of the rape of Nanjing 
  with a dance-drama, but to do so from the perspective of two American 
  women - one who rescued people and another who rescued history - is 
  particularly unorthodox. But the director and choreographer Tong Ruirui, 
  who also conceived and wrote the story, was determined to bring her vision 
  to the stage. 
   "I want to shock people," she 
  explained. "I went to Nanjing several times and visited the memorial. 
  Nanjing has a very long history. Six dynasties were based there. When you 
  go there and you see the old city walls that have been shot at by guns and 
  cannon, you see the photos of victims - you just cannot accept this. How 
  could people behave like this? You can't believe that people could be this 
  cruel. You feel that if you are a Chinese you should put this on stage, 
  make it into art, and allow more people to understand it." 
   Tong has succeeded in her goal 
  of re-kindling awareness of the Nanjing massacre, at least among those 
  young people who comprise the bulk of the audience for dance. Her 
  production unstintingly reflects the horrors of the Japanese occupation. 
   Audience response has been 
  strong, with tears a common reaction, and the show has received 
  considerable press. Tong has also created a compelling artistic link 
  between the lives - and deaths - of Iris Chang and Minnie Vautrin and done 
  much to revive the memory of the latter woman. 
   "I feel Minnie Vautrin is 
  really worthy of admiration," she said. "And I think that she and Iris 
  Chang are both in heaven, even though they committed suicide. So I 
  thought, when Chang meets Vautrin in heaven, what would she say? She would 
  have so much to say - or maybe nothing." 
   
   Chang was well known in China 
  for bringing renewed attention to the Japanese atrocities in Nanjing, and 
  her death shocked and saddened many here. Vautrin, on the other hand, is a 
  largely overlooked figure whose heroic efforts during the Nanjing massacre 
  certainly compare to those of the much better known German, John Rabe, who 
  is sometimes called "China's Schindler." Vautrin is credited with 
  protecting 10,000 women and girls from marauding Japanese soldiers by 
  sheltering them on the campus of the Ginling Women's College. 
   Because Japan was not yet at 
  war with any Western nations, its soldi

[budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-14 Thread mayatperempuan
Dirgahayu

jawaban kawan Asahan Aidit untuk bung Chan CT 
sangat menarik. saya banyak mendapat pelajaran
dan informasi dari uraian bung Asahan Aidit ini.
sehingga perkenankan saya untuk menambahkan
diskusi baik antara kawan Asahan Aidit vs bung
Chan CT.

masalah istilah untuk menamakan diri suatu etnis
adalah sepenuhnya HAK ETNIS BERSANGKUTAN. pemaksaan
penamaan untuk seseorang, sekelompok etnis, sebuah
bangsa adalah sebuah bentuk represif yang sangat
vulgar. kolonial belanda pernah menamakan rakyat
indonesia dgn istilah 'inlander'. tetapi harian
SIN PO akhirnya menolak penggunaan kata 'inlander'
dan menggantinya dengan istilah INDONESIA. harian
SIN PO ini adalah harian pertama yang menggunakan
kata INDONESIA dalam tajuk beritanya. 

SIN PO tidak memaksakan kata INDONESIA. tetapi karena
terdapat konsensus di antara para pejuang kemerdekaan
saat itu yang memilih kata INDONESIA maka SIN PO
telah bertindak benar dengan menolak kata 'inlander'
dan menggantinya dengan kata INDONESIA. sekalipun SIN PO
adalah terbitan golongan etnis tionghoa tetapi ternyata
kalangan SIN PO sangat menghormati, kooperatif dan
menunjukkan solidaritasnya terhadap perjuangan kemerdekaan
INDONESIA. 

bung Asahan Aidit perlu mengetahui bahwa selain 
penindasan fisik terdapat juga penjajahan psikologis
dan represif bahasa/istilah. Lenin memberi perhatian
yang sangat besar untuk masalah POLITIK ISTILAH. kawan
DN. Aidit mengetahui hal ini. sehingga setau saya,
hanya PKI saja yang paling baik menggeluarkan begitu
banyak slogan perjuangan. 

golongan tionghoa telah membuktikan diri sebagai 
golongan yang sangat toleran, sekalipun belum tentu
bersimpati dan mendukung, terhadap rezim orde baru
dengan tidak terlalu memaksakan kehendak ketika dirinya
diberi-nama CINA, demi semata-mata menghindari konflik
horisontal dan memperparah jalannya kehidupan berbangsa
pasca tragedi 65 yang begitu berdarah dan keji. tetapi 
saat ini masanya sudah agak berbeda. diktator suharto
telah mundur sekalipun tak tersentuh, dan sudah saatnya
kita kembali pada proses nation-building yang pernah 
diintervensi oleh soehato dan orde baru. salah satu
usaha itu adalah dengan menghormati pilihan penamaan
diri untuk etnis tionghoa. 

saatnya, kita menegaskan bahwa bukan hanya golongan
etnis tionghoa saja yang perlu berkontemplasi spt
yang selalu bung Asahan Aidit serukan. tetapi proses
kontemplasi ini harus dilakukan oleh seluruh golongan
rakyat Indonesia. agar kerukunan, saling menghormati
sesama saudara sebangsa dll dapat mulai dipraktekan
oleh seluruh golongan dan latar belakang. 

dan sebagai orang yang telah berpihak untuk menentang
segala bentuk penjajahan, saya mengira, kawan Asahan
Aidit pun akan menentang jenis penjajahan 'bahasa'. 
sebagai orang muda, saya hendak belajar banyak dari
sikap anti-penjajahan dari para senior saya spt bung
Asahan Aidit ini. sehingga saya pun berusaha dengan
objektif dan terbuka menentang usaha-usaha segregatif
sebuah rezim mulai dari pola-pola represif sampai pada 
kebijakan penggunaan istilah yang tampaknya remeh. 

sebagai seorang nasionalis kebangsaan indonesia, bung
Asahan Aidit seharusnya tidak mudah terjebak masuk
jerat parochialisme segregatif yang mengutamakan politik
etnisitas. nasionalisme kebangsaan tentu saja memiliki
bobot lebih tinggi dari politik etnis sehingga yang perlu
diutamakan adalah nasionalisme kebangsaan dan pola 
identifikasi diri sebagai BANGSA sehingga maksud-maksud
dan usaha-usaha untuk merenggangkan harmonisasi antar
golongan etnis dan usaha membagi rakyat ke dalam golongan
etnis dengan sistem berlapis spt terlihat dalam proyek
penggunaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" harus
DITOLAK, DIHARAMKAN, DILAWAN 

Mayat




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
> Bung ChanCT yang sangat baik.
> 
> 
> Saya dapat menangkap makna yang terpositif  dari uraian bung: 
memblokir rasialisme di semua sudut dan pintu-pintunya yang terkecil 
sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih memerlukan peneropongan 
lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor terselubung 
lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai 
cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata  atau 
phraselogisme, terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh 
penguasa dan pejabat tinggi.
> Kata  sebagai kata biasa di antra puluhan ribu kata 
lainnya di dalam bahasa Indonesia  sebenarnya lebih banyak dikaitkan 
dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan   
atau  < bumiputera>. Itu juga yang saya maksudkan dengan arti netral 
atau arti sesungguhnya dari kata . Tapi lalu kata itu 
diberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang tentu saja 
untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, 
atau mungkin Peraturan Pemerintah  atau Keputusan Presiden atau 
rencana Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut 
dari kamus umum bahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. 
Kamus umum bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus 
Poli

[budaya_tionghua] China: Bachelor bomb

2005-09-14 Thread Ambon





http://www.iht.com/articles/2005/09/14/opinion/edegner.php
 
 
 


  
  

  China: Bachelor bomb 
  
Dudley L. Poston Jr. and Peter A. 
  Morrison International Herald 
  TribuneWEDNESDAY, SEPTEMBER 14, 2005
  

  
  
  
  

  SANTA 
  MONICA, California In a trend fraught with troubling political and 
  social implications, China will soon find itself with a marriage-age 
  population remarkably out of balance, with about 23 million more young men 
  than women available for them to marry in this decade and the next - what 
  demographers term a "marriage squeeze." 
   This impending surplus of 
  unattached young men could be a driving force behind increased crime, 
  explosive epidemics of HIV and other sexually transmitted diseases, and 
  even international threats to the security of other nations. Yet the 
  Chinese government has done little to address its demographic destiny. 
   The coming squeeze is largely 
  the legacy of the government's one-child policy, along with societal 
  modernization. As a result, the nation's fertility rate has fallen 
  dramatically, from around 6 children per woman in the 1960s to around 1.7 
  currently. 
   But the society's strong 
  cultural preference for sons has not changed. In recent decades, ready 
  access to ultrasound technology has enabled parents to learn the sex of 
  their unborn children and has led to widespread female-specific abortion. 
   The demographic consequence is 
  now apparent. Most societies exhibit biologically natural sex ratios at 
  birth of around 105 baby boys born for every 100 baby girls, yielding 
  roughly equal numbers of prospective brides and grooms as generations 
  reach marriageable age. This normal pattern emerges where human 
  interventions don't disturb biology. 
   But China has departed 
  markedly from this natural pattern since the 1980s. Its sex ratio at birth 
  has hovered between 115 and 120 baby boys for every 100 baby girls in 
  recent years, a level that renders roughly one of every eight men in a 
  generation "surplus." Many Chinese refer to the surplus boys as guang gun 
  (bare branches). 
   Past societies with large 
  numbers of unattached men have on occasion turned to a more authoritarian 
  political system, perceiving threats of violence. Such societies have also 
  sought to harness their surplus of men by recruiting excess males into 
  military occupations, pursuing expansionist policies aimed at developing 
  unexplored territories or colonizing neighboring ones. 
   The tensions associated with 
  so many bachelors in China's big cities might tempt its future leaders to 
  mobilize this excess manpower and go pick a fight, or invade another 
  country. China is already co-opting poor unmarried young men into the 
  People's Liberation Army and the paramilitary People's Armed Police. 
   No less disquieting are the 
  social dynamics accompanying a severe marriage squeeze. In all likelihood, 
  millions of young, poor Chinese bachelors never will marry. Many will 
  migrate from rural areas to urban destinations, patronizing prostitutes 
  there. In doing so, these unattached men could turn China's HIV epidemic - 
  now confined to certain high-risk populations - into a more generalized 
  one by creating "bridging" populations from high- to low-risk individuals. 
  Such male bridging populations have fueled HIV epidemics in Cambodia and 
  sub-Saharan Africa. 
   China's legal marriage age - 
  22 years for men, 20 for women - means that more than 23.5 million young 
  men (by our estimate) will be unable to find Chinese wives during the 
  period from 2000 to 2021, owing to the inadequate supply of Chinese women 
  in the marriage market. Neither a spontaneous shift toward a later average 
  age at first marriage nor lax enforcement on the supply side to allow 
  teenage brides would substantially lessen this market imbalance. 
   Although the 23 million-plus 
  surplus of boys exceeds the entire population of most countries, it 
  represents but a tiny fraction of all 1.3 billion Chinese. However, these 
  millions of "bare branches" will be concentrated in a generation born over 
  a short 20-year period and living mostly in the cities of a largely rural 
  China. 
   The surplus of boys and 
  shortage of girls "made in China" could soon become not just a concern for 
  China, but for the world. 
   (Dudley L. Poston is a 
  professor of sociology at Texas A&M University. Peter A. Morrison is a 
  demographer with RAND Corp.) 
   
  
  





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.o

Re: [budaya_tionghua] Sarana pelicin (Re: Resep Kue Bulan)

2005-09-14 Thread Rinto Jiang






Krikil menulis:

Kalau saya lihat-lihat resep Rinto-heng, maka saya ambil kesimpulan
bahwa itu 'kue basah'. Sedangkan yang umumnya kita dapati di INA
(dulu, entah sekarang) adalah tiongciupia kue kering, terbuat dari
tepung terigu dicampur kuning telor, tipikal bahwa tepung kue yang
berlapis-lapis itu suka 'merotoli/rontok' kalau sedang dimakan, diatas
kue tampak tulisan aksara Cina dalam huruf merah.

Nah, hari ini saya baca artikel di koran Jerman (FAZ) yang berjudul
'Mondkuchenbestechung' - sogokan melalui kue bulan. Ternyata di Cina
(daratan) sudah umum menyogok dengan cara memasukkan barang-barang
pelicin seperti digital camera, handphone, emas, perak dll di dalam
dus hadiah kue bulan. Malah menurut sebuah koran Cina, di Yunnan ada
yang memasukkan barang seharga 30 000 Euro ke dalam dus.

Bagaimana kebiasaan buruk ini pada masa Tiongciu di INA atau Taiwan
(Rinto-heng)?


Rinto Jiang:

Ini saya bongkar dari arsip tahun lalu. Seingat saya pertanyaan
Bill-heng ini tidak pernah saya jawab, mungkin kelewatan.

Tradisi mengirimkan hadiah berupa kue bulan, penganan sejenis, jeruk
kepruk dan lain sebagainya dekat2 Festival Musim Gugur ini memang sudah
berlangsung lama, sudah ribuan tahun. Ini dikarenakan memberikan hadiah
adalah semacam tata krama. Namun, fenomena yang disinggung Bill-heng di
atas hanya berlaku di kalangan pejabat, sebenarnya dapat dilakukan
kapan saja tanpa harus menunggu momentum festival ini. 

Kebiasaan buruk seperti ini juga ada di HK dan Taiwan. Namun sejak
tahun 1970-an di HK sejak diadakan pemberantasan korupsi, praktis tidak
ada lagi kebiasaan ini (kebiasaan memberikan hadiah kepada instansi
pemerintahan). 

Di Taiwan mulai tahun 1990-an sejak ada Kantor Etika di setiap instansi
pemerintahan, tradisi memberikan hadiah kepada instansi pemerintahan
baik diberikan kepada pribadi ataupun keseluruhan instansi adalah tidak
diperbolehkan. 

Namun tentunya cuma berlaku di kalangan instansi pemerintahan. Kalangan
swasta, pribadi tentu saja tidak mungkin dibatasi pelaksanaan tata
krama ini. Kebiasaan memberikan hadiah juga ada di perusahaan di Taiwan
dan HK, seperti pemberian angpao (lekim) kepada karyawan sebagai bonus.


Rinto Jiang






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  










[budaya_tionghua] OOT: Kekerasan Psikologis terhadap Anak-Anak

2005-09-14 Thread als










Tanpa disadari dan
disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan psikologis terhadap
anak-anaknya.  Kita mungkin sering melihat seorang anak yang melakukan
kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang tidak perlu. 
Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si anak malang langsung dicubiti
dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang jadi bintang kelas. 
Anak-anak keluarga dokter (kakek buyut-kakek-dokter) di"jurus"kan dan
di"kondisi"kan sejak kecil agar kelak juga menjadi dokter, padahal
bakat dan keinginan anak adalah menjadi seorang pemusik professional.

 

 

 

Contoh kekerasan psikologis
yang tersamar tapi bisa membawa dampak yang lebih fatal adalah ketika sepasang
orang tua yang terbilang fanatic dalam bidang syariat agama (apa saja)
menjejali "tabula rasa" anaknya yang masih bersih dan murni dengan
segala ajaran yang lebih condong ke arah seremonial, atribut fisik, sectarian,
rasial, perpecahan antar umat ("punya kita yang terbaik") alih-alih
memberi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari (baik dengan ucapan atau
perbuatan) mengenai nilai-nilai luhur keuniversalan agamanya masing-masing
serta memberi contoh-contoh bagaimana cara bertingkahlaku dan bertindak secara
luhur dan manusiawi dalam suatu lingkungan pergaulan dalam masyarakat plural
yang berlain-lainan system kepercayaannya.

 

 

 

Mungkin para orang tua yang
saya contohkan pada alinea di atas tidak menyadari bahwa mereka telah (secara
halus maupun kasar) memaksakan keinginannya terhadap anak-anak mereka yang
secara manusiawi punya keinginan hidupnya sendiri-sendiri dan punya
kehidupannya sendiri-sendiri.  Jadi secara tidak sadar si orang tua telah
melanggar hak asasi anak-anaknya!

Padahal, seorang anak yang
telah di'stel' sejak kecil untuk terbiasa dengan atribut fisik keagamaan
tertentu tanpa dididik dengan nilai-nilai luhur universal agama itu sendiri
hanya akan membawa bencana bagi dirinya sendiri dan lingkungannya dan secara langsung
atau tidak langsung juga akan mencemarkan nama agama itu sendiri.  Saya hanya
ingin memberi suatu contoh kecil kesulitan yang dihadapi oleh si buyung atau si
upik yang mengenakan atribut fisik dan menunjukkan tingkah laku seremonial
keagamaan tertentu, misalnya ketika dia berada dalam suatu lingkungan pergaulan
yang bersikap "hostile" terhadap atribut tersebut.  Dalam masyarakat
sekarang yang terkadang sangat brutal, si buyung dan si upik kecil seakan-akan
diberi "stempel" pada dahinya mengenai system kepercayaan
bapak-ibunya, tanpa disadari oleh sang orang tua bahwa anaknya bisa menjadi
"sasaran tindak kekerasan" di hutan beton belantara. Ketika si buyung
menginjak remaja dan dia kebetulan menaruh hati pada seorang gadis yang atribut
fisik keagamaannya lain sama sekali, apa dia kira-kira tidak mengalami beban
psikologis tertentu yang seharusnya tidak membebaninya ketika orang tuanya dulu
tidak membebanpengaruhinya begitu hebat sejak kecil.  Contoh-contoh nyata bisa
diberikan berpanjang lebar, tapi mungkin nanti bisa menyungging eh menyinggung
perasaan.

 

 

 

Posting yang begini ini
biasanya sepi tanggapan, tapi siapa tahu kali ini banyak yang berminat untuk
"sharing" secara terbuka mengenai masalah nyata dalam masyarakat kita
ini. Saya tunggu dengan pikiran dan hati terbuka. :-)

 

 

 

 

 

Andy

 

 

 

 

 









.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  











Re: [budaya_tionghua] Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-14 Thread andri halim
Salam saudara sekalian,

Ingin rasanya mengungkapkan rasa di hati ini,
Seperti yg  diketahui telah beberapa ratus tahun Chung
hua tinggal di Indonesia, sebelum kedatangan VOC
pertama kali tahun 1600an pun orang-orang chung hua
telah tinggal bersama orang-orang asli di indonesia
untuk berdagang, pada saat pertama kali yang datang
hanya mereka yg berkelamin lelaki, karena pada sekitar
jaman dinasti Ming (kira2 1300an) ada larangan
perempuan tidak boleh ke luar negri, sehingga lelaki
chung hua perantauan menikah dengan penduduk asli
sekitar, dan ini berjalan dengan baik sampai akhir
diterbitkannya devide et empera oleh pihak Belanda,
semua mulai berjalan dengan tidak nyaman 


Nah yang jadi permasalahan yang dihadapi sekarang
lebih berat lagi, karena masyarakat Indonesia tidak
lagi menerima pluralisme, negara terdiri dari beberapa
macam suku, agama, ras, dll. dan seharusnya pemerintah
menggalakkan pluralisme agar masyarakatnya dapat
menerima semua apa yang disebut sebagai "Perbedaan",
tetapi yang terjadi dilapangan adalah Pemerintah tidak
mempunyai kekuatan untuk mengatur negara ini, jadi
begitu gampangnya dipermainkan oleh pihak2 yang
bertujuan, dan satu hal yang sangat-sangat membuatku
prihatin adalah : 
OOT :
Negara ini adalah negara mayoritas Islam terbanyak,
bahkan masjid terbanyak juga berada di Indonesia, jauh
lebih banyak dari asal agama itu sendiri, tetapi, yang
menjadi masalah adalah, islam ada yang Fund dan
Liberal, dan pemerintah terkesan sangat tidak berkutik
menghadapi masalah ini, karena sangat terlihat apabila
ada Is-Fund yang mengerakkan massa, maka pemerintah
hanya bisa bengong melihat, ini sudah terlalu sering,
yang akhirnya membuatku berpikir bahwa peranan yang
paling penting di Negara ini adalah agama mayoritasnya
nya dari pada pemerintah itu sendiri, yang akhirnya
membuat masyarakat tidak bisa menerima apa yang
namanya pluralisme, dan mengakibatkan diskriminasi
terus berjalan sampai sekarang, (dalam hati aku
berterima kasih kepada Gus dur, yg sangat Pluralisme
dan Liberal, masih mau melihat minoritas2 dan menahan
gerakan Fund)
---> bukankan seharusnya pemerintah yang melihat
kejadian seperti ini dapat membuat ancang2 untuk
membatasi ruang gerak organisasi2 yang terlalu fund
seperti ini, agar terciptanya pluralisme

Hah..., kadang aku sedih melihat yang terjadi di
negara ini, aku seorang Chung hua generasi ketiga dari
kakek aku yang tinggal di Indonesia, darah aku darah
China, tetapi aku lahir di negara Indonesia ini,
sehingga membuat aku sayang kepada tanah air ini,
dengan lantang aku bisa berteriak aku Orang Indonesia,
aku Nasionalis, tetapi di dalam hati kecil aku
menangis, apakah benar aku orang Indonesia, kalau iya
kenapa terasa telak diskriminasi yang terjadi di
negara ini seolah-olah aku bukan orang Indonesia,
ataukah aku hanya menumpang tinggal disini, mencari
makan disini, apakah hanya sekedar itu?, 

Back on topic,
What is in a name, pernah juga diucapkan oleh Sukarno
pada saat rapat Baperki kedua, beliau mengatakan bahwa
apa lah arti sebuah nama, aceng kek, acong kek,
terserah kamu, suka-suka kamu, nah yang aku ingin
ungkapkan adalah kenapa mau repot-repot mempersoalkan
masalah pribumi dan Non-pribumi, wong kita sama saja
kok sebagai warga negara Indonesia, negara ini sedang
banyak2nya menghadapi masalah yg lebih penting,
masalah pribumi ataupun bukan pribumi itu masalah
belakang, tetapi yg harus dipersoalkan adalah
bagaimana cara menghilangkan "DISKRIMINASI", dengan
tidak adanya diskriminasi lagi maka secara langsung
efek dari Pribumi dan Non-pribumi akan pupus dengan
sendirinya, menurutku inilah inti jawaban dari Pribumi
dan Non-pribumi.

Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras,
maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa
yang salah, kenapa suku tiong hua saja yang selalu
bermasalah, bukan maksud aku membela2 native, karena
menurutku native juga ada yang baik dan yang tidak,
sama seperti orang2 tiong hua dan orang2 suku lainnya,
pasti ada yang baik dan tidak, nah yang seharusnya
dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang2
yang rasialis/yang suka mendiskriminasikan dapat
menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai
macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini
jauh lebih baik


NB : emai ini benar2 dari yang aku pikirkan selama
ini, memang dalam hati aku secara jujur banyak setuju
dengan apa yang diungkapan Bung Asahan, jadi aku nga
mau panjang2 cerita lagi, karena inti yang aku
pikirkan rata2 sama, dan walau aku bukan jago politik
ttp mohon intelektual pribadi aku jgn dihina ya :->,
kalo aku salah mohon tolong dikoreksi

Rgds,
Andri



> __
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam
> protection around 
> http://mail.yahoo.com > To: "BUDAYA TIONGHUA"
> ,
> "WAHANA" <[EMAIL PROTECTED]>
> From: "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]>
> Date: Tue, 13 Sep 2005 21:18:15 +0200
> Subject: [budaya_tionghua] Fw: [Politik_Tionghoa]
> Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Prib

Re: [budaya_tionghua] menyusun buku turunan

2005-09-14 Thread Rinto Jiang






Christine menulis:

Dear Bapak/ibu,

Apakah ada yang tau bagaimana menyusun buku turunan?
Keluarga kami (dari pihak suami) punya buku turunan yang sudah tua
umurnya.
Turunan tsb diawali dari generasi pertama sejak kedatangan nenek moyang
(kalo ga salah ingat) namanya Tantin dari kampung (kalo ga salah ingat)
namanya Kulamtaw tahun berapa yah? saya lupa harus nyontek buku turunan
dulu. 
Tetapi buku tsb tidak diteruskan lagi sejak +/- 30 tahun yang lalu, dan
saya
berniat meneruskannya tetapi tidak tau caranya.

Mohon penjelasan dan pencerahan.

Terima kasih dan salam,
Christine


Rinto Jiang:

Buku silsilah sebenarnya tidak ada bentuk yang tetap atau standar,
artinya tiap keluarga boleh memiliki buku silsilah dengan gaya mereka
sendiri. Untuk kasus seperti Christine-jie yang ingin melanjutkan
catatan buku keturunan ini, saya kira sudah mudah karena tinggal
mengikuti cara pencatatan yang telah ada di dalam buku tersebut.
Kebetulan buku keturunan ini memang di-update beberapa puluh tahun
sekali, jadi 30 tahun lalu tidak termasuk terlalu lama atau jauh untuk
melanjutkannya.

Pertama, mungkin yang paling dasar adalah penguasaan bahasa Mandarin.
Bila generasi kita telah sulit karena ketiadaan waktu mempelajarinya,
mulai dorong anak2 kita untuk belajar bahasa Mandarin, bukan untuk
chauvinis, namun anggap saja itu sama pentingnya dengan bahasa Inggris
di masa depan. Setelah bisa Mandarin, ada 2 opsi untuk melanjutkan buku
keturunan ini, apakah akan ditulis dalam bahasa Mandarin atau
diteruskan dalam bahasa Indonesia saja. Saya kira sedapat2nya
dituliskan dalam 2 bahasa, bila tidak bahasa Indonesia saja juga tak
apa2.

Yang ketiga, pengumpulan informasi dan pencatatan data 2 generasi ke
atas, karena buku keturunan keluarga suami Christine-jie itu baru putus
30 tahun lalu, saya kira generasi kakek-nenek pasti sudah ada tercatat
di sana, jadi tinggal memasukkan saja generasi suami. Mengenai generasi
seterusnya, anak2 karena mungkin masih akan ada penambahan (misalnya
dari generasi suami masih ada yang belum menikah sehingga belum punya
anak) maka cukup dicatat dulu, namun tidak usah dibukukan dahulu.
Pembukuannya tunggu mereka punya generasi selanjutnya baru dibukukan
saja, jadi tidak usah terlalu banyak pengeditan dalam jangka waktu
tertentu.

Data2 yang menurut saya perlu dicatat:
1. Biografi singkat masing2 anggota keluarga, dicatat saja dalam bahasa
Indonesia atau bilingual bila memungkinkan. Singkat saja juga boleh,
nama Tionghoa/Indonesia, tempat/tanggal lahir, pernikahan, tempat
tinggal terakhir, tempat/tanggal meninggal bila telah mendiang.
2. Puisi generasi keluarga, buat nama generasi (karakter kedua dari
nama Tionghoa).
3. Pesan leluhur. Ini kalau perlu saja, karena ada beberapa keluarga
yang leluhurnya punya prestasi tinggi biasanya akan mencantumkan pesan2
moral untuk generasi berikutnya.
4. Letak (peta) lokasi makam atau tempat abu leluhur. Supaya dapat
dengan mudah tercari oleh generasi2 berikutnya.

Sementara ini saja dulu dari saya. Bila ingin referensi atau saran
lebih lanjut mungkin dapat menghubungi Steve-heng yang merupakan
anggota keluarga marga Gan yang juga telah berhasil menyusun buku
silsilah yang memuat 5000-an keturunan Gan Peng (mandarin: Yan Bin)
yang datang dari Hokkian 300 tahun lalu dan sekarang tersebat di
seluruh dunia.


Rinto Jiang






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Indonesia
  
  
Culture
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



   Visit your group "budaya_tionghua" on the web. 
   To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.



  










Re: [budaya_tionghua] OOT: Kekerasan Psikologis terhadap Anak-Anak

2005-09-14 Thread Tirta D. Arief
Buat para orang tua, satu pertanyaan yang tidak sulit-sulit amat, kalau 
anda memarahi anak(-anak) coba direnungkan apakah anda marah karena demi 
kebaikan sang anak, misalnya agar dia memperbaiki 'perilaku'nya, atau 
lantaran anda merasa harga diri anda sebagai orang tua telah dilecehkan?

Kalau anda mewajibkan anak mencapai ranking atas di kelasnya, apakah demi 
masa depan si anak atau demi kebanggaan anda sebagai orang tuanya?

Kalau anak anda 'jatuh cinta' kepada seseorang yang anda tidak suka, anda 
akan merestui atau melarang pernikahan mereka?

Sadarkah sebagai orang tua bahwa 'tugas' kita hanyalah mengantar sang 
anak untuk 'menemukan' jalan hidupnya?

tirta

On Thu, 15 Sep 2005, als wrote:

> Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan
> psikologis terhadap anak-anaknya.  Kita mungkin sering melihat seorang anak
> yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang
> tidak perlu.  Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang
> tua, si anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak
> tetangga yang jadi bintang kelas.  Anak-anak keluarga dokter (kakek
> buyut-kakek-dokter) di"jurus"kan dan di"kondisi"kan sejak kecil agar kelak
> juga menjadi dokter, padahal bakat dan keinginan anak adalah menjadi seorang
> pemusik professional.





 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[budaya_tionghua] OOT: Laporan Diskusi Bulanan NIM: Perempuan & Kebangsaan Kita

2005-09-14 Thread National Integration Movement
Laporan Diskusi Bulanan NIM yang diselenggarakan di One Earth, One
Sky, One Humankind (Ciawi, Bogor). Diskusi ini terbuka untuk umum dan
inilah laporannya sebagai bentuk sharing kepedulian terhadap Bangsa
dan Negara ini.

Salam,
Maya S. Muchtar
(Ketua Harian NIM)

Kompleks Ruko Golden Fatmawati,
Jl. RS Fatmawati, Blok J/35 Lt. 3, 12420,
Jakarta Selatan, Tel./Fax. 021-7669618
Email: [EMAIL PROTECTED]
Website: www.nationalintegrationmovement.org

-

PEREMPUAN DAN KEBANGSAAN KITA

Peranan kaum wanita di dalam sejarah Indonesia sebenarnya sangat
nyata, besar dan tidak kalah jasanya seperti kaum pria. Tapi mungkin
karena kebanyakan sejarah ditulis oleh kaum pria, maka peran kaum
wanita sering kali dimarginalkan. Padahal bila mendengar cerita-cerita
dari sejarah 'alternatif', kaum wanita banyak berperan secara fisik
dalam perang kemerdekaan Indonesia, seperti menyelundupkan granat
tangan dan senjata api di dalam bakul jinjingannya, langsung ke
kantong-kantong kekuatan perjuangan rakyat. Atau, unjuk rasa yang
dilakukan oleh kelompok Suara Ibu Peduli tahun 1998, yang berunjuk
rasa memprotes kenaikan harga susu dan bahan kebutuhan pokok, mematik
dan menyulut aksi-aksi selanjutnya menuntut reformasi. Gerakan para
ibu ini langsung menyurut atau mundur setelah aksi-aksi lain bisa
menggantikan mereka tanpa mengharapkan imbalan atau konsensi politik
apapun.

Demikian dituturkan Ibu Eva Kusuma Sundari, anggota komisi VI DPR dari
PDI-P, sebagai pembicara pertama dalam Diskusi Kebangsaan NIM pada
hari Sabtu, 10 September 2005 di One Earth Ciawi.

Politik identitas sudah sejak lama diterapkan secara sistematis untuk
mengatur kehidupan wanita tanpa peduli dengan keinginan wanita itu
sendiri. Wanita sudah dari kecil dikondisikan dan selalu dikaitkan
dengan 'Dapur, Kasur dan Sumur' serta Reproduksi sehingga tanpa sadar
wanita telah 'terkotakan' dan dimarginalkan oleh pria maupun wanita
sendiri menjadi suatu hal yang harus diurusi atau diperhatikan seperti
urusan politik, urusan ekonomi, dll.

Padahal dalam kehidupan manusia, selalu ada 'Conscious Awareness'
bahwa tiap manusia genuinely punya kecenderungan untuk setara (to be
equal), bebas (free) dan identitas personalnya diakui/dibedakan
sebagai suatu individu yang berdaulat atas dirinya sendiri. Pengakuan
dan perbedaan di sini dimaksudkan bukan untuk 'dimarginalkan' atau
'dikotak-kotakan' tapi untuk disetarakan dengan individu-individu lainnya.

Maka bagaimana individu-individu yang berbeda ini bisa bebas tapi
dapat bersatu secara setara, adalah tantangan yang harus kita hadapi
dalam konteks kebangsaan Indonesia. Menurut Ibu Eva, ada 2 tantangan
untuk mencapai 'Civil Society' atau masyarakat Marheinisme versi
Soekarno, yaitu : (1) tantangan feodalisme sebagai faktor internal
diri dan (2) Neoliberalisme (Neolib) atau mengekspoitasi orang lain
sebagai faktor eksternal.

Feodalisme dalam diri ini yang mendasari misalnya Perda 'yang
mengatur' kehidupan wanita' dan dianggap Perda berdasarkan Syariat
Islam di Bengkulu. Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana tidak boleh
dilayani oleh Bank. Dan wanita yang berjalan bolak-balik di suatu
tempat sendirian dilarang karena akan dianggap PSK. Perda tersebut
jelas sangat diskriminatif kepada kaum wanita, karena kenapa hanya
mengatur wanita ?

Rasa ingin diakui ini juga mendasari permainan mata politik antara
anggota DPD dan beberapa anggota DPR berhaluan islam. Baru-baru ini,
ada wacana dari DPD untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa dengan
agenda mengganti Psl 4 dari UUD'45 supaya kedudukan DPD diakui setara
dengan DPR di legistatif seperti kedudukan senator pada badan
legislatif di Amerika Serikat. Sebagai 'bargain politik', DPD akan
mendukung masuknya kembali Piagam Jakarta ke dalam pembukaan UUD'45.
Untung saja, wacana seperti ini akhirnya kandas di tengah jalan.

Sedangkan Neolib adalah faktor eksternal yang sedang menggerogoti
masyarakat kta. Rakyat yang berdaulat adalah Civil Society, dan rakyat
yang berdaulat sepakat untuk membentuk negara. Jadi 'negara' adalah
alat dari civil society. Masalanya sekarang negara sudah 'tersandera'
oleh globalisasi, maka peran rakyat sebagai civil society harus
diberdayakan semaksimal mungkin untuk membendung arus Neolib yang
bermaksud mengekpoitasi masyarakat sipil lewat negara.

Maka Ibu Eva mengajak para peserta untuk tidak berbicara dalam tingkat
wacana saja, tapi harus ikut mengontrol negara (pemerintah) lewat
advokasi budgeting. Police-making decision tergantung pada budgeting.
Misalnya : biarpun banyak kampanye penghematan dan good governess oleh
pemerintah tapi bila dana 'coffee morning' seorang gubernur DKI
misalnya mencapai 1 jt per hari, apakah itu berarti penghematan ?
Semua realisasi program bisa dilihat dalam advokasi budgeting ini.

Pentingnya advokasi budgeting ini diamini kemudian oleh Bapak Slamet
Harsono dari Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ) yang kebetulan berprofesi
sebagai akuntan publik.

Ibu Agnes Sri Purbasari adalah pengajar di fak