[budaya_tionghua] Re: (Tanya)Tata cara pembagian waris kaum Tionghoa
Diluar nikah karena tanpa surat catatan sipil? Surat catatan sipil setau saya cuma pengakuan administrasi negara, sedangkan pernikahan adalah urusan keluarga, jika kedua keluarga setuju dan sudah melakukan upacara pernikahan secara adat maka dianggap sah, tidak peduli ada surat catatan sipil atau tidak. Memang pernikahan yang baik adalah: 1. Kemauan atau tekad berdua calon penganten 2. Persetujuan kedua keluarga 3. Membuat akte nikah, untuk menghindari, kesulitan2 mengenai hukum pernikahan, hukum waris atas harta tidak bergerak, seperti rumah/tanah/perusahaan di kemudian hari, kecuali bila mempunyai alasan tertentu, yang luar biasa. Akte pernikahan di catatan sipil ini, adalah pengesahan negara terhadap pernikahan kedua belah pihak, dan kedua pihak mendapat perlindungan hukum negara, kalau tidak mendaftar di catatan sipil maka akan terjadi seperti kesulitan2 dikemudian hari, dan ada istilah kumpul kebo.
Re: [budaya_tionghua] Re: ASAL OWE DARI MANA?
saya setuju dng. Teorinya Apeq Liang U bisa jadi benar, bahwa kata Owe berasal dari kata Ho-e. Tapi kalo sesama sebaya (setuju) akan dijawab E-SAI', kalo dipanggil sebaya akan dijawab Wei, dijawab E_SAY soalnya kalo BE_SAY, artina tai kuda kan???/jelek Wekekekekekek From: ulysee_me2 ulysee_...@yahoo.com.sg To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Mon, 22 March, 2010 9:23:15 Subject: [budaya_tionghua] Re: ASAL OWE DARI MANA? Rasanya asal kata Owe/ Oweh/ O-eh ini udah pernah dibahas deh dulu, tapi gue nggak nyimak detail. Dipergunakan banyakan oleh tionghoa peranakan di jawa (doank?) Asal kata dari dialek hokkian. Teorinya Apeq Liang U bisa jadi benar, bahwa kata Owe berasal dari kata Ho-e. Kenapa bisa jadi ada kata pengganti Ho-e ini? Kemungkinan disesuaikan dengan adat istiadat jawa feodal yang mengutamakan kesopanan dan kehalusan bahasa. Misalnya, sampe sekarang pun, kalau orangtua atau yang dihormati memanggil... . Jokoo! Jawabnya Dalem, Bu... Nah arti kata Jawa : 'Dalem' sewaktu menjawab itu apa ya??? Kalau diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa hokkian apa artinya sama dengan Oweh itu??? --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Akhmad Bukhari Saleh absa...@... wrote: Jangankan dalam bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia pun di tahun 1940-an sampai 1950-an, orang sering pakai kata saya sebagai penegasan affirmative. Jadi owe yang untuk affirmative memang bukan dari hauw-e, tetapi dari owe itu sendiri. Mengenai owe berasal dari gue, teorinya juga lemah. Karena nyatanya modifikasi kata gua dilafalkan gue, itu tidak berlaku di wilayah betawi udik, termasuk Tangerang, namun toh cina benteng pun menggunakan kata owe. Wasalam. = === - Original Message - From: zho...@... To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Sent: Saturday, March 20, 2010 1:49 PM Subject: Re: [budaya_tionghua] ASAL OWE DARI MANA? Dlm bhs jawa halus, setiap kita mengiyakan ucapan orang tua, kita akan berucap: Kulo, artinya saya. Kulo pakde Saya Bu Jadi, kata owe yg dipakai utk mengiyakan ini maksudnya apa bukan tetap saya? - - - - - - From: liang u lian...@... Date: Fri, 19 Mar 2010 22:10:35 -0700 (PDT) To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Subject: Re: [budaya_tionghua] ASAL OWE DARI MANA? Rekan-rekan, Dulu waktu masih zaman orba, saya lupa majalah Star Weekly atau Pancawarna pernah memuat beberapa artikel yang mendiskusikan dari mana kata owe itu berasal? Kata itu dalam masyarakat Tionghoa Jawa Barat dipergunakan sebagai kata saya untuk laki-laki, tapi dipakai juga sebagai kata ya untuk laki-laki. Kaum Tionghoa totok yang menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan kata owe , tentu tidak kalau ia menggunakan bahasa daerah Tiongkok. Orang Tionghoa non Hokkian jarang menggunakan kata itu, kecuali ia berbicara dengan orang peranakan Hokkian dalam bahasa Indonesia atau Melayu Tionghoa. Sampai sekarang saya tidak dapat menemukan jawaban yang tepat. Menurut perkiraan saya, kata owe yang berarti saya berasal dari kata gua dalam dialek Hokkian. Orang yang berdialek Melayu Jakarta, mengucapkan gua menjadi gue. Kata gue ini yang berubah bunyi menjadi owe. Dalam dialek Hokkian bunyi w itu dari segi linguistik agak beda dengan w Indonesia, tapi lebih dekat ke o. Kata gwan lebih tepat diucapkan goan, jadi owe itu berasal dari o-e, yang bunyinya dekat dengan gue Jakarta. Karena oe zaman Belanda dibaca u, maka o-e tidak ditulis oe tapi ditambah w, menjadi owe. Owe juga digunakan sebagai kaya ya dalam menjawab pertanyaan atau perintah orang. Kalau orang tua memerintah kita: Kau pulang cepat yah. Si anak akan menjawab Owe, ne! ne adalah ibu dari dialek Hokkian. Sedang kalau perempuan akan menjawab, Saya, ne:. Baik owe maupun saya di sini berarti ya. Lalu dari mana datangnya owe di sini ? Kita lihat dalam dialek Hokkian kalau diperintah demikian orang akan menjawab: Ho! kadang ho e! Ho berarti baik 好ï? e adalah akhiran, yang berfungsi seperti lah dalam bahasa Indonesia. Bunyi ho-e ini menjadi owe. Jadi jawaban : owe berarti ya atau baiklah. Dalam bahasa Mandarin dikatakan: 好â€?atau 好ç?Dalam dialek Hokkian hao adalah ho, de adalah e. Lama-lama terjadilah pembagian kerja, kalau gue atau gua dianggap kasar hanya digunakan terhadap orang yang setingkat atau lebih rendah, owe digunakan kepada orang yang lebih tinggi. Jadi owe halus, sedang gue atau gua kasar. Mengapa untuk perempuan owe diganti saya atau ya? Maaf, saya tak dapat menjawab. Tolong diperhatikan, gua atau gue dianggap kasar kalau bicara dalam bahasa Indonesia atau Melayu Tionghoa, dialek Betawi dll. Tapi gua dianggap tidak kasar sebab berarti saya dalam dialek Hokkian. Saya sendiri kalau ada anak muda yang berkata.
[budaya_tionghua] Fw: Sincia Zaman Dulu di Rumah Kapten Tionghoa
- Original Message - From: Sien Ay Go To: Sent: Monday, March 22, 2010 4:18 PM Subject: Sincia Zaman Dulu di Rumah Kapten Tionghoa Sincia Zaman Dulu di Rumah Kapten Tionghoa Oleh: Go Sien Ay Suatu kenang-kenangan zaman dulu yang pernah saya alami ialah ketika perayaan Sincia di rumah seorang Kapten Tionghoa Pati bernama Ong Kie Bik yang berdiam di Daendelsweg nomor 295, berdampingan dengan rumah kakek/nenek saya yakni Gan Swan Tien/Liem Per Nio di Daendelsweg 297. Pada tiap perayaan Tahun Baru Imlek rumah Kapten tersebut selalu diterangi dengan lampu pom (lampu dengan bahan bakar gas) hingga terang benderang. Kapten Ong berdiam dengan istrinya yang ketiga di situ bersama 9 anaknya yakni 4 putra dan 5 putri, dua di antaranya sebaya dengan saya. Dari istri pertamanya, Kapten Ong dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Putra pertamanya bernama Ong Gwat Tjee dan bersama adik prempuannya berdiam bersama ibunya di rumah lain. Sedang istri kedua Kapten Ong melahirkan seorang putra dan 2 putri. Di masa kecilnya Ong Gwat Tjee, yang diharapkan dapat menggantikan kedudukan ayahnya kelak, ternyata lebih suka bermain dengan kudanya sampai berlebihan, sehingga membuat jengkel ayahnya dan ketika ia ditugaskan untuk melakukan suatu pekerjaan, ia membangkang. Maka ayahnya naik pitam dan menyumpahinya dengan kata-kata: Hee... Klembak, besok kau akan diberi makan oleh kudamu. Klembak ini adalah nama Jawanya Ong Gwat Tjee. Ternyata di kemudian hari ucapan sang Kapten kepada putranya itu manjur sekali dan Klembak seumur hidupnya tak bisa bekerja selain sebagai sais dokar yang ditarik kudanya, walaupun dokarnya itu lux, sering digunakan untuk mempelai sebagai gantinya mobil di zaman Jepang dan pada masa revolusi. Bahkan saya bersama Thio Kiat Sing, ketika ke Semarang tanggal 19 Januari 1949 naik dokar Klembak, putra Kapten Ong sampai Kudus yang dikusiri oleh Klembak sendiri. Sudah menjadi tradisi, bahwa pada tiap Sincia di rumah Kapten Ong itu diadakan judi antar kaum prempuan Tionghoa kaya Pati, yang disponsori oleh Ny. Kapten. Sayang Kapten Ong setelah baru naik pangkat dari Letnan menjadi Kapten telah wafat. Judi yang diadakan di sana adalah ceki dengan menggunakan meja bulat pendek. Semua peserta ceki duduk lesehan diatas tikar halus. Di situ ada 2 pasangan ibu dan putrinya salah satunya ialah Ny Kapten dan ibunya sendiri yang khusus datang dari Tayu. Sebelum kedatangan nyonya-nyonya besar itu, telah dipersiapkan payung kebesaran untuk menyambut mereka. Saya dan adik Sien Ging serta putra Kapten Ong Hong LIat dan putrinya Ong Hong Ien, ditugaskan untuk memayungi pata tamu agung tersebut dan kalau hujan ditugaskan juga untuk mengganti sepatu mereka dengan sandal cap Macan buatan Srondol yang terkenal ketika itu. Sepatu-sepatu mereka kita bawa masuk. Kita juga ditugaskan mengambil buah pinang di belakang kebun rumah kakek/nenek saya serta membuatkan rokok dari bunga kecubung yang telah dikeringkan untuk ibu Ny. Kapten yang menderita asma alias bengek. Para putri Ny. Kapten mempersiapkan perangkat menginang yang ditempatkan dalam kotak perak antik serta tempolong tempat membuang ludah terbuat dari kuningan. Kita juga ditugaskan menyajikan minuman dan snack, yang seringkali kita mencicipinya terlebih dahulu, dasar anak-anak. Momen yang paling mendebarkan dan menggembirakan, ialah ketika perjudian ceki berakhir. Kita ramai-ramai minta cok (baca seperti Koperasi) dari pemenang judi. Kita anak-anak diberi cok 4 sen masing-masing, sedang yang remaja mendapat 10 sen, lumayan. Kedatangan dan kepulangan para nyonya besar itu selalu menggunakan dokar, tapi tak pernah sekalipun naik dokar Klembak, putra sulung alm Kapten Ong Kie Bik. Seringkali Ny. Kapten juga memanggil rombongan ketoprak jalanan Sipon untuk mementaskan cerita Sanpek Engtay atau Nyai Dasima atau cerita lainnya. Jika Capgomeh tiba maka di rumah itu dipertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Demikianlah sedikit kisah di zaman dahulu pada saat Sincia. Saya tunggu respons sdr. Go Sien Ay No virus found in this incoming message. Checked by AVG - www.avg.com Version: 9.0.791 / Virus Database: 271.1.1/2760 - Release Date: 03/21/10 03:33:00
Re: [budaya_tionghua] Panggilan agyu\kuku pada keluarga khek
Prinsipnya, orang tionghoa membedakan panggilan utk family dari pihak ayah dan pihak ibu. Sdr dari pihak ayah dipanggil Bobo/a Pak dlm bhs hakka (kakak laki ayah), Shushu(adik laki ayah) dan Gugu(sdr perempuan ayah), dari pihak ibu dipanggil Jiujiu(sdr laki ibu) dan yiyi(sdr perempuan ibu). Sdr sepupu dr pihak ayah disebut Tang, dari pihak ibu disebut Biao Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Ika Marlina caca...@gmail.com Date: Sun, 21 Mar 2010 16:08:53 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Panggilan agyu\kuku pada keluarga khek Dear all.. Mohon pencerahannya Baru2 ini saya diberitahu mama mertua kalau kalau keponakan dari koko sepupu( biao, anak dari ii ) tidak boleh panggil saya kuku. Karena xing kami berbeda. Begitupun dengan anak saya nantinya tidak boleh panggil koko sepupu saya itu agyu. ( Panggilan agyu khusus untuk orang tua bermarga sama ) , jadi panggilnya pak pak. Apakah betul begitu? Xie xie Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links
[budaya_tionghua] Re: Susahnya Jadi Dokter Keturunan Tionghoa == [GELORA45] Diskriminasi di R.I.
Benar Bung Tjaniago, Gerakan ganti-nama ditahun-tahun 1966 itu yang katanya sebagai pernyataan SETIA pada RI, sebenarnya hanya usaha Presiden Soeharto untuk menghilangkan segala yang berbau Tionghoa saja. Bahkan dilatar belakangi untuk melecehkan warga Tionghoa, untuk menekan yang katanya ketika itu Tionghoa merasa superior. Sungguh dagelan, Ke-SETIA-an seseorang pada RI cukup dinilai dengan ganti nama yang berbau Jawa bahkan Arab. Mereka tidak berani melihat kenyataan tidak sedikit tokoh-tokoh Tionghoa yang tetap gunakan nama 3 suku itu sudah ikut dalam gerakan perjuangan melawan koloni Belanda, termasuk yang diasingkan ke Digul. Pada saat Jepang masuk, tidak sedikit TIonghoa terlibat gerakan melawan Jepang, juga terlibat dalam gerakan Kemerdekaan, Agresi I-II Belanda, ... tidak sedikit Tionghoa yang oleh karenanya dijebloskan dalam penjara bahkan korbankan jiwa dan jelas tanpa ada orang yang mempersoalkan nama 3 sukunya apalagi mengharuskan ganti nama lebih dahulu. Hanya, hanya segelintir pejabat dan jenderal yang berjiwa rasialis saja yang dengki dan Selalu berusaha menggeser, ingin gantikan posisi Tionghoa dibidang ekonomi. Ganjelan, persulit usaha Tionghoa dapatkan ijin import-eksport, persulit dapatkan kredit, pembatasan kuota masuk Universitas negeri, ... dilakukan berpuluhtahun. Tapi dalam kenyataan tetap tidak sedikit TIonghoa yang survive, salah satunya Dr. Tjioe Tjay Kian ini. Bagus dan salut. Itulah yang namanya baja ditempa melalui kekerasan, bukan keluar dari kemudahaan hak istimewa dan bersekongkol dengan pejabat. Salam, ChanCT - Original Message - From: Barisan Merahputih To: gelor...@yahoogroups.com Cc: wahana-n...@yahoogroups.com Sent: Monday, March 22, 2010 5:27 PM Subject: [GELORA45] Diskriminasi di R.I. Sangat tragis Dr. Tjioe Tjay Kian alias Eka Julianta Wahjoepramono (nama Integrasi paksaan).Di sebuah Republik yang mempunyai Konstitusi1945 yang progresiv dalam hubungan Kemanusiaan, yang menjamin Hak sama dalam Bhinneka Tunggal Ika, tapi nama asli kelahiran tidakbisa dipakai, dan walaupun sudah di JOWOkan, diskriminasi dan malah di Perguruan Tinggi terus dilaksanakan. Yeah, Dr. Tjioe Tjay Kian, untuk apa penggantian nama, kalau dikenakan juga oleh hubungan diskriminatif? Pemerintahan yang tidakpernah menghormati Hak Hak Azasi Manusia, tumbuhsubur dalam berbagai bentuk, diskriminasi dalam hubungan masyarakat. A.Tjaniago Susahnya Jadi Dokter Keturunan Tionghoa Posted on March 11 2010 by Sriwidjaja Post Dokter Eka Julianta Wahjoepramono SpBS menorehkan prestasi besar di dunia kedokteran. Ia menjadi dokter pertama dan satu-satunya di Indonesia yang sukses melakukan bedah batang otak. Berikut ini Eka menuturkan pahit-getir pengalamannya dalam buku berjudul Tinta Emas di Kanvas Dunia. Buku ini memuat kisah-kisah heroik Dr Eka, termasuk mengoperasi para penderita gangguan pada otak yang sulit dioperasi dan melambungkanya ke posisi dokter kaliber internasional. Berikut kisah-kisah dokter pada Rumah Sakit Siloam Karawaci ini. LAHIR di Klaten, Jawa Tengah, 27 Juli 1958 dengan nama Tjioe Tjay Kian. Kakek-neneknya berasal dari Provinsi Fujian, Tiongkok bagian Selatan. Ketika pemerintah mewajibkan keturunan Tinghoa bernama Indonesia, tahun 1965, nama ini diubah menjadi Eka Julianta Wahjoepramono. Tidak mudah bagi Eka mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. Setamat SMA, dia mengikuti seleksi di sejumlah perguruan tinggi negeri. Antara lain Universitas Gadjahmada Yogyakarta dan Universitas Diponegoro Semarang. Bukan karena nilainya rendah, melainkan perlakuan diskriminasi yang membatasai kuota keturunan Tionghoa kuliah di universitas besar. Eka gagal masuk UGM. Ia lalu mencoba peruntungan ke Undip. Ia menyaksikan hasil ujian yang menyatakan lulus. Namun aturannya sama dengan di UGM, mahasiswa keturunan Tionghoa dibatasi, serta permintaan uang sumbangan. Eka yang berasal dari keluarga tak mampu, sempat keder. Namun Eka tidak kurang akal. Ia menemui pakdenya yang akhirnya memberi uang sumbangan Rp 2 juta. Pada tahun 1977, uang sejumlah itu sudah dapat membeli mobil baru. Setelah membayar uang sumbangan itulah, Eka mendapat tiket menjadi dokter. Eka kuliah selama 6 tahun di Undip. Dan selama kuliah, dia aktif dalam kegitan kampus. Ia pernah menjabat ketua kelas, jabatan yang strategis menunjang kuliah maupun mendekati mahasiswa baru. Dan jabatan itu pula yang dimanfaatkan Eka, mendekati seorang mahasiswi baru, Hannah Kiati Damar, putri Dr Gan Haoy Kiong, dokter ahli bedah yang sangat terkenal di Semarang. Keduanya berjodoh dan berumah tangga, dan sama-sama dokter, jadilah rumah tangga dokter; pasangan Dr Eka dengan Hannah. Pasangan dokter yang bekerja di RS Siloam, Karawaci, ini dikaruniai tiga anak. Lulus dari Fakultas Kedokteran Undip sebagai dokter umum tahun 1984, Eka ingin melanjutkan ke dokter
[budaya_tionghua] Re: Kelas untuk Wing Chun, Ba Gua dan Tai Chi
Coba ke Sasana Wushu Sinduadi, atau kalau nggak datang ke belakang Ramai Mall Malioboro hari Minggu jam 6.30 --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, hatma.suryoharyo hatma.suryoha...@... wrote: Dear All, Perkenalkan saya Hatma 29 tahun domisili di Jogja. Saya suka budaya Tiong Hoa yang unik. Terutama beladirinya. Saya ingin mengenali diri saya sendiri melalui jalan beladiri. Mohon bantuan anda sekalian untuk informasi dan referensi tentang dimana saya bisa berguru Wing Chun atau Tai Chi atau Ba Gua di daerah Jogja atau Solo (yang terjangkau oleh saya). Terima kasih sebelumnya. Salam hangat,
Re: [budaya_tionghua] ASAL OWE DARI MANA?
salam hormat , oom Liang, semoga sehat selalu. ingin berbagi sedikit, tentang sebutan owe ini. di daerah Padang, dalam pergaulan sehari hari , kita menyebut diri sendiri kepada yang lebih tua, sebagai we, .. tidak pake o. sedangkan terhadap teman sebaya, ..gua... kepada yang lebih tua umurnya,... memanggil ie--ie,perempuan ...dan ... encek,lelaki kepada yang seumur lu kepada yang lebih muda ...babalelaki... nonaperempuan. .salam ie Pada 20 Maret 2010 12:10, liang u lian...@yahoo.com menulis: Rekan-rekan, Dulu waktu masih zaman orba, saya lupa majalah Star Weekly atau Pancawarna pernah memuat beberapa artikel yang mendiskusikan dari mana kata owe itu berasal? Kata itu dalam masyarakat Tionghoa Jawa Barat dipergunakan sebagai kata saya untuk laki-laki, tapi dipakai juga sebagai kata ya untuk laki-laki. Kaum Tionghoa totok yang menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan kata owe , tentu tidak kalau ia menggunakan bahasa daerah Tiongkok. Orang Tionghoa non Hokkian jarang menggunakan kata itu, kecuali ia berbicara dengan orang peranakan Hokkian dalam bahasa Indonesia atau Melayu Tionghoa. Sampai sekarang saya tidak dapat menemukan jawaban yang tepat. Menurut perkiraan saya, kata owe yang berarti saya berasal dari kata gua dalam dialek Hokkian. Orang yang berdialek Melayu Jakarta, mengucapkan gua menjadi gue. Kata gue ini yang berubah bunyi menjadi owe. Dalam dialek Hokkian bunyi w itu dari segi linguistik agak beda dengan w Indonesia, tapi lebih dekat ke o. Kata gwan lebih tepat diucapkan goan, jadi owe itu berasal dari o-e, yang bunyinya dekat dengan gue Jakarta. Karena oe zaman Belanda dibaca u, maka o-e tidak ditulis oe tapi ditambah w, menjadi owe. Owe juga digunakan sebagai kaya ya dalam menjawab pertanyaan atau perintah orang. Kalau orang tua memerintah kita: Kau pulang cepat yah. Si anak akan menjawab Owe, ne! ne adalah ibu dari dialek Hokkian. Sedang kalau perempuan akan menjawab, Saya, ne:. Baik owe maupun saya di sini berarti ya. Lalu dari mana datangnya owe di sini ? Kita lihat dalam dialek Hokkian kalau diperintah demikian orang akan menjawab: Ho! kadang ho e! Ho berarti baik 好, e adalah akhiran, yang berfungsi seperti lah dalam bahasa Indonesia. Bunyi ho-e ini menjadi owe. Jadi jawaban : owe berarti ya atau baiklah. Dalam bahasa Mandarin dikatakan: 好” atau 好的“ 。 Dalam dialek Hokkian hao adalah ho, de adalah e. Lama-lama terjadilah pembagian kerja, kalau gue atau gua dianggap kasar hanya digunakan terhadap orang yang setingkat atau lebih rendah, owe digunakan kepada orang yang lebih tinggi. Jadi owe halus, sedang gue atau gua kasar. Mengapa untuk perempuan owe diganti saya atau ya? Maaf, saya tak dapat menjawab. Tolong diperhatikan, gua atau gue dianggap kasar kalau bicara dalam bahasa Indonesia atau Melayu Tionghoa, dialek Betawi dll. Tapi gua dianggap tidak kasar sebab berarti saya dalam dialek Hokkian. Saya sendiri kalau ada anak muda yang berkata. Apeq, itu punya gua. Hati langsung agak tersinggung, kasar benar, kalau bicara dalam dialek Hokkian: Hallo, li apeq aq, gua Abeng. merasa tidak apa-apa. Kata yang sama dalam dua bahasa yang berbeda menghasilkan arti yang berbeda, itu tak aneh, yang penting kita tahu di mana dan kapan kita gunakan. Tolong masukan lain atau sanggahan dari teman yang Hokkian native speaker. Kiongchiu -- *From:* Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com *To:* budaya_tionghua@yahoogroups.com *Sent:* Fri, March 19, 2010 2:29:49 PM *Subject:* [budaya_tionghua] ASAL OWE DARI MANA? Dear member, Kata ganti orang pertama OWE yang dipakai warga Tionghoa - ternyata tidak dipakai oleh warga Tionghoa luar pulau Jawa. Kata OWE hanya dipakai oleh warga Tionghoa peranakan (babah) yang lahir di Jawa terutama dari suku Hokkian. Kata OWE hanya untuk laki laki, perempuan tetap pakai kata SAYA. Di Tiongkok tidak dikenal kata OWE. Mohon pencerahan dari para pakar bahasa Tionghoa; sesungguhnya kata OWE berasal dari mana? Dan sejak kapan digunakan secara luas? RGDS.TG http://rgds.tg/
[budaya_tionghua] Re: Kelas untuk Wing Chun, Ba Gua dan Tai Chi
Informasi tambahan juga : ATNI DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) Jl. Nagan Tengah no.43 Kraton, Yogyakarta. Phone: 0274-387108 Ketua Umum : Bp. Tjoe Ren Fat Ketua Harian : Bp. Sutrisno Sekretaris : Sdr. AP Sujito Sdr. Didiek Sulistyo ATNI Solo (JATENG) Jl.Urip Sumoharjo no.55, Surakarta. ph/fax : 0271-652965 Email : aestd_dew...@yahoo.com Ketua : Bp.Thedjo Darmawan (The Kong Wan) Sekretaris : Ibu Hartati Mulyodarsono Wakil Sektrs. : Bp. Onggo T. Librawan sepertinya ATNI ini hanya belajar tai chi chuan. salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@... wrote: Coba ke Sasana Wushu Sinduadi, atau kalau nggak datang ke belakang Ramai Mall Malioboro hari Minggu jam 6.30 --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, hatma.suryoharyo hatma.suryoharyo@ wrote: Dear All, Perkenalkan saya Hatma 29 tahun domisili di Jogja. Saya suka budaya Tiong Hoa yang unik. Terutama beladirinya. Saya ingin mengenali diri saya sendiri melalui jalan beladiri. Mohon bantuan anda sekalian untuk informasi dan referensi tentang dimana saya bisa berguru Wing Chun atau Tai Chi atau Ba Gua di daerah Jogja atau Solo (yang terjangkau oleh saya). Terima kasih sebelumnya. Salam hangat,
Re: [budaya_tionghua] Re: Susahnya Jadi Dokter Keturunan Tionghoa == [GELORA45] Diskriminasi di R.I.
RSS, Untuk pencerahan masalah ini mungkin bisa membaca memoarnya Prof DR.Han Hwie Song juga karena kebetulan beliau juga seorang dokter dan mempunyai suka duka selama menempuh pendidikan seorang dokter di Airlangga salam loek's Quoting ChanCT sa...@netvigator.com: Gerakan ganti-nama ditahun-tahun 1966 itu yang katanya sebagai pernyataan SETIA pada RI, sebenarnya hanya usaha Presiden Soeharto untuk menghilangkan segala yang berbau Tionghoa saja. Bahkan dilatar belakangi untuk melecehkan warga Tionghoa, untuk menekan yang katanya ketika itu Tionghoa merasa superior.