Re: [budaya_tionghua] Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi

2008-02-26 Terurut Topik surya lesmana
Semoga bukan hanya disemarang saja ! 
  pengalaman saya,SBKRI tetap diminta oleh petugas yang dibawah ! katanya  
itukan kata pemerintah pusat,dimagelang belum terima aturan tersebut !  
nah,siapa yang salah ?
  Bagaimana warga suku Tionghoa bisa ikut membela negara kalau dipersulit 
begitu ! kalau sudah begitu dibilang tidak nasionalis ! yang tidak nasionalis 
tuh ya petugas2 brengsek itu ! (karena tidak punya SBKRI sebagai bukti bahwa 
mereka warga negara Indonesia) bukan cuma tidak nasionalis,mereka juga tidak 
beragama,tidak manusiawi (mungkin mereka bukan manusia ya ?)

HKSIS [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi

Semarang, CyberNews. Kisah yang dituturkan ''pasangan emas'' Indonesia, Alan 
Budikusuma-Susi Susanti, membuat Megawati Soekarnoputri--ketika itu Presiden 
RI--terhenyak. Bayangkan, pebulutangkis yang mengharumkan nama Indonesia pada 
Olimpiade Barcelona 1992 itu, harus melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan 
Republik Indonesia (SBKRI), ketika mengurus paspor. 

Ketika itu, Keharusan melampirkan SBKRI itu, sama artinya dengan meragukan 
keindonesiaan Alan-Susi, yang sudah tak terbilang kali mengharumkan nama 
Indonesia di ajang berskala internasional. Yang lebih mengenaskan, ketika 
dimintai SBKRI itu, mereka tengah mengurus paspor untuk berangkat ke Olimpiade 
Atlanta, Juli 2004. Mereka diundang International Olympic Committee (IOC) 
sebagai pembawa obor Olimpiade.

Tanpa ba-bi-bu, ketika itu Megawati pun memberikan penegasan, SBKRI tidak perlu 
dijadikan kewajiban dalam pengurusan dokumen apa pun. Untuk itu, masyarakat 
serta aparat pemerintahan tidak membeda-bedakan antara warga pribumi dan non 
pribumi. 

Dengan KTP saja, itu sudah bisa menjadi semacam bukti seseorang jadi WNI 
sehingga SBKRI bukan merupakan kewajiban. Oleh karena itu, para menteri dan 
Dirjen Imigrasi diminta untuk mensosialisasikannya agar tidak terjadi lagi 
permasalahan serupa di kemudian hari, kata Megawati, ketika itu.

Presiden boleh berkata begitu, tapi di lapangan kenyataan berbicara lain. 
Hingga dua tahun terakhir, acapkali WNI suku Tionghoa, atau lebih populer 
dengan sebutan warga keturunan, memperoleh perlakuan diskriminatif dalam soal 
pengurusan dokumen kependudukan atau kewarganegaraan. 

Mereka selalu diminta melampirkan SBKRI, ketika mengurus paspor atau 
surat-surat lainnya. Satu hal yang tidak diminta, ketika WNI dari suku lain 
mengurus dokumen yang sama. Padahal, bagi seorang Tionghoa, mengurus SBKRI 
bukan perkara gampang.

Tak Lagi Sulit

Anggota DPRD Kota Semarang Kristanto membenarkan, beberapa tahun lalu, 
kesulitan pengurusan dokumen bagi warga Tionghoa memang terjadi. Tapi, dia 
menjamin, untuk sekarang dan pada masa-masa yang akan datang, kesulitan semacam 
itu tidak akan ada lagi.

''Paling tidak, untuk Kota Semarang. Saya sudah mengecek ke Kantor Imigrasi 
serta Dispenduk dan Capil, tidak ada lagi kewajiban untuk melampirkan SBKRI,'' 
kata anggota Dewan dari Fraksi Partai Golkar tersebut.

Penerbitan UU No 12 Tahun 2006 tetang Kewarganegaran dan UU No 23 tahun 2006 
tentang Administrasi Kependudukan, kata dia, merupakan pintu terbuka bagi 
hilangnya diskriminasi bagi warga Tionghoa. Dalam UU Kewarganegaraan diatur, 
hanya ada dua pembedaan, Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing 
(WNA).

''Siapa pun yang lahir di Indonesia, dan beribu bapak WNI, secara otomatis 
menjadi WNI. Tak peduli keturunan suku mana pun,'' kata Kristanto. 

Hanya saja, dia meminta, warga Tionghoa memahami, proses untuk itu tidak 
semudah membalik tangan. Sesudah UU Kependudukan dan UU Adminduk terbit, 
disusul PP No 37 Tahun 2007 Kependudukan, perlu peraturan daerah (Perda) di 
tingkat Kota sebagai aturan pelaksanaannya.

''Saat ini DPRD tengah menyiapkan raperda adminduk, yang sudah masuk pada 
pembahasan di tingkat Pansus,'' imbuhnya.

Terpisah, Ketua Pansus Raperda Adminduk Fris Dwi Yulianto membenarkan, pihaknya 
tengah membahas raperda adminduk, yang direncanakan bisa diparipurnakan 5 Maret 
mendatang. Semangat dalam raperda itu, antara lain, menghilangkan diskriminasi 
perlakuan bagi warga negara. 

''Termasuk di dalamnya, tak ada lagi perbedaan perlakuan pada WNI, baik 
keturunan Jawa, Arab, Tionghoa, maupun etnis lain,'' tandasnya. 

(Achiar M Permana, Fani Ayudea /CN09)

[Non-text portions of this message have been removed]



 

   
-
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]



[budaya_tionghua] Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi

2008-02-25 Terurut Topik HKSIS
Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi


Semarang, CyberNews. Kisah yang dituturkan ''pasangan emas'' Indonesia, Alan 
Budikusuma-Susi Susanti, membuat Megawati Soekarnoputri--ketika itu Presiden 
RI--terhenyak. Bayangkan, pebulutangkis yang mengharumkan nama Indonesia pada 
Olimpiade Barcelona 1992 itu, harus melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan 
Republik Indonesia (SBKRI), ketika mengurus paspor. 

Ketika itu, Keharusan melampirkan SBKRI itu, sama artinya dengan meragukan 
keindonesiaan Alan-Susi, yang sudah tak terbilang kali mengharumkan nama 
Indonesia di ajang berskala internasional. Yang lebih mengenaskan, ketika 
dimintai SBKRI itu, mereka tengah mengurus paspor untuk berangkat ke Olimpiade 
Atlanta, Juli 2004. Mereka diundang International Olympic Committee (IOC) 
sebagai pembawa obor Olimpiade.

Tanpa ba-bi-bu, ketika itu Megawati pun memberikan penegasan, SBKRI tidak perlu 
dijadikan kewajiban dalam pengurusan dokumen apa pun. Untuk itu, masyarakat 
serta aparat pemerintahan tidak membeda-bedakan antara warga pribumi dan non 
pribumi. 

Dengan KTP saja, itu sudah bisa menjadi semacam bukti seseorang jadi WNI 
sehingga SBKRI bukan merupakan kewajiban. Oleh karena itu, para menteri dan 
Dirjen Imigrasi diminta untuk mensosialisasikannya agar tidak terjadi lagi 
permasalahan serupa di kemudian hari, kata Megawati, ketika itu.

Presiden boleh berkata begitu, tapi di lapangan kenyataan berbicara lain. 
Hingga dua tahun terakhir, acapkali WNI suku Tionghoa, atau lebih populer 
dengan sebutan warga keturunan, memperoleh perlakuan diskriminatif dalam soal 
pengurusan dokumen kependudukan atau kewarganegaraan. 

Mereka selalu diminta melampirkan SBKRI, ketika mengurus paspor atau 
surat-surat lainnya. Satu hal yang tidak diminta, ketika WNI dari suku lain 
mengurus dokumen yang sama. Padahal, bagi seorang Tionghoa, mengurus SBKRI 
bukan perkara gampang.

Tak Lagi Sulit

Anggota DPRD Kota Semarang Kristanto membenarkan, beberapa tahun lalu, 
kesulitan pengurusan dokumen bagi warga Tionghoa memang terjadi. Tapi, dia 
menjamin, untuk sekarang dan pada masa-masa yang akan datang, kesulitan semacam 
itu tidak akan ada lagi.

''Paling tidak, untuk Kota Semarang. Saya sudah mengecek ke Kantor Imigrasi 
serta Dispenduk dan Capil, tidak ada lagi kewajiban untuk melampirkan SBKRI,'' 
kata anggota Dewan dari Fraksi Partai Golkar tersebut.

Penerbitan UU No 12 Tahun 2006 tetang Kewarganegaran dan UU No 23 tahun 2006 
tentang Administrasi Kependudukan, kata dia, merupakan pintu terbuka bagi 
hilangnya diskriminasi bagi warga Tionghoa. Dalam UU Kewarganegaraan diatur, 
hanya ada dua pembedaan, Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing 
(WNA).

''Siapa pun yang lahir di Indonesia, dan beribu bapak WNI, secara otomatis 
menjadi WNI. Tak peduli keturunan suku mana pun,'' kata Kristanto. 

Hanya saja, dia meminta, warga Tionghoa memahami, proses untuk itu tidak 
semudah membalik tangan. Sesudah UU Kependudukan dan UU Adminduk terbit, 
disusul PP No 37 Tahun 2007 Kependudukan, perlu peraturan daerah (Perda) di 
tingkat Kota sebagai aturan pelaksanaannya.

''Saat ini DPRD tengah menyiapkan raperda adminduk, yang sudah masuk pada 
pembahasan di tingkat Pansus,'' imbuhnya.

Terpisah, Ketua Pansus Raperda Adminduk Fris Dwi Yulianto membenarkan, pihaknya 
tengah membahas raperda adminduk, yang direncanakan bisa diparipurnakan 5 Maret 
mendatang. Semangat dalam raperda itu, antara lain, menghilangkan diskriminasi 
perlakuan bagi warga negara. 

''Termasuk di dalamnya, tak ada lagi perbedaan perlakuan pada WNI, baik 
keturunan Jawa, Arab, Tionghoa, maupun etnis lain,'' tandasnya. 

(Achiar M Permana, Fani Ayudea /CN09)


[Non-text portions of this message have been removed]