From: casuya
[EMAIL PROTECTED]
Date: MonJun20,2005 11:56
pm
Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman
Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik
saya,
Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan,
sehingga saya
pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar
buku ini.
Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan
tentang diri
adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya.
Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan
suatu
peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula
hidup
saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.
Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu
hal yang
pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya
selalu
berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis,
melakukan
kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang
sejenisnya
lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang
mengerti
saya. Dan kritik-kritik saya tidsak mengubah keadaan. Jadi apa
sebenarnya yang
saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi
kalau
keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan
semacam
onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian".
Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang
keras di
koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah
mendapat
surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang
tidak
tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah
dan
berkata: " Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja,
tidak
mendapat uang". Terhadap ibu dia Cuma tersenyum dan berkata "Ah, mama
tidak
mengerti".
Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya
tidak
setuju - mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu
adalah
seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara
dengan
dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: "Kadang-kadang, saya merasa sedih.
Kalau saya
bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya.
Bahkan dia
mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau
anaknya
diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya
membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya".
Karena itu,
ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: "Gie seorang
intelektual
yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau
membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan
kekuasaan
lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang
seperti
kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan.
Ini akan
terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau
bertahan
sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian,
penderitaan".
Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia
seakan mau
berkata: Ya, saya siap.
Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi
ke puncak
gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim
bedak dan
pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan
supaya
mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka
penguasa.
Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan
beberapa
teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun
1966.
Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di
suatu
tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya,
salah
seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman lantang.
Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di
tengah
malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru.
Jenazah
tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali,
digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning
pucat,
matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: "Tentunya sepi
dan dingin
terbungkus dalam plastik itu".
Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul
di dalam
diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan
sebelum
saya tiba kembali di Jakarta.
Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang.
Dia tanya,
apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak. Mengapa?" Dia
cerita,
tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati
ini? Teman
saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak
terkejut.
"Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia bertanya. Teman saya
mengiyakan.
Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya
yang
terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis,
tapi yang
ditanya terus