Rinto Jiang [EMAIL PROTECTED] wrote:Lucas Ony menulis:
Mudah2an ada rencana penghapusan peraturan buatan CIA dalam UU No 62 Tahun
1958 ini...
Saya sudah bosan dengar kata SBKRI... kalau orang yang baru datang dari luar
negri lalu ganti warga negara di sini, masih cengli pakai SBKRI, tapi kalau
yang sudah 7 turunan tinggal di sini apa perlu lagi ya pakai peraturan
buatan CIA ini?
Rinto Jiang:
Saya ingin meluruskan salah kaprah tentang SBKRI ini. Saya rasa, SBKRI
memang mutlak diperlukan buat pemerintah untuk mengatur masalah
kependudukan, dalam hal ini warga negara lain yang menjalani naturalisasi.
Memang pada dasarnya, keharusan memiliki SBKRI ini cuma pada warga
negara lain yang menjalani naturalisasi, jadi tidak ada yang salah pada
keharusan ini. Masalahnya yah di situ, penyimpangan yang kemudian
terjadi adalah bahwa SBKRI lalu disalahgunakan menjadi objek pemerasan,
karena ada peraturan setingkat menteri yang memutuskan anak2 dari warga
keturunan yang memiliki SBKRI harus membuktikan orang tuanya adalah WNI
yang memiliki SBKRI. Mengapa harus ada peraturan seperti ini? Ini muncul
karena di Indonesia kira2 ada jutaan orang Tionghoa yang tidak memiliki
SBKRI, tidak menjalani naturalisasi sehingga dianggap sebagai WN asing,
dalam hal ini Tiongkok. Celakanya, setelah 1966, Tiongkok juga tidak
otomatis memberikan kewarganegaraan buat orang asing yang diklaim
sebagai WN Tiongkok ini, bila mau, harus mengajukan naturalisasi
kembali, masalahnya, orang Tionghoa di desa2 mana mungkin tahu ketentuan
ini, dan bilapun tahu, ke mana mereka harus mengurus? Wong, kedubes RRT
sudah ditutup.
Kembali kepada ketentuan mengharuskan anak membuktikan orang tuanya
punya SBKRI, bayangkan saja, bila saya punya 12 anak, dan tiap2 anak
sudah tinggal merantau ke mana2, apakah SBKRI saya perlu dikoyak2
menjadi 12 bagian dan dibagi2kan ke anak saya, biar mereka tidak perlu
meminjam SBKRI ke saya bila ingin mengurus surat2? Tidak mungkin bukan,
makanya mereka kemudian terpaksa mengurus sendiri SBKRI sendiri walaupun
mereka resmi sudah WNI. Ini penyimpangan terbesar dan yang dimaksud oleh
Bung Ony dengan SBKRI 7 turunan. Celakanya, ini didukung
legalisasi-nya oleh para calo2 Pengadilan Negeri yang mayoritas juga
orang Tionghoa sendiri. Calo2 ini berkongkalingkong dengan oknum2
pengadilan negeri buat bagi hasil uang mengurus SBKRI. Ironis bukan, ini
namanya Cina makan Cina. Saya sendiri tidak pernah punya SBKRI, ada calo
yang sering memperingati orang tua saya agar membuatkan SBKRI untuk
saya, artinya saya punya SBKRI terpisah dari orang tua, namun saya
berkeras tidak mau, karena akte kelahiran saya sudah seperti halnya WNI
biasa, tidak seperti akte kelahiran orang tua saya yang masih ada
tulisan besar2 Catatan Besar Kelahiran Orang Tionghoa, artinya
pemerintah Indonesia cuma membantu mencatat, namun tidak otomatis
memberikan status kewarganegaraan. Cuma SBKRI-lah yang membuktikan bahwa
mereka telah menjadi WNI.
Jadi, tidak ada yang salah dengan peraturan diskrimintatif ini, yang
salah itu pelaksanaannya di lapangan juga oknum2 yang berusaha
melestarikannya.
Terus, kalau mau ditarik kembali mengapa SBKRI cuma dikenakan pada orang
Tionghoa, ini yah dikarenakan klaim Tiongkok atas status kewarganegaraan
orang Tionghoa di Indonesia. Arab, India dan Belanda tidak mengklaim,
maka tidak ada masalah dengan kewarganegaraan mereka. Makanya, saya
sangat mendukung kebijakan Deng Xiaoping meng-amandemen UU
kewarganegaraan mereka pada tahun 1980, yang tidak serta merta mengklaim
status seorang anak dari keturunan Tionghoa.
Sebenarnya, kebijakan Tiongkok untuk mengklaim status orang Tionghoa di
Indonesia ini juga bersumber dari duta besar RRT untuk Indonesia saat
itu (saya lupa namanya), yang bersikeras mengklaim status
kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia. Setahu saya, Zhou Enlai
memarahi duta besar mereka ini setelah persetujuan ditetapkan antara RRT
dan Indonesia. Kemarahan Zhou Enlai ini wajar, karena klaim RRT ini
dapat menjadikan orang Tionghoa di Indonesia macam buah simalakama, maju
tak bisa mundur tak mampu karena terjepit di tengah. Terus terang saja,
RRT juga tidak sepenuhnya mempercayai orang Tionghoa di Indonesia,
karena Mao pernah melontarkan ucapan bahwa orang Tionghoa yang merantau
di LN perlu dicurigai karena dapat membahayakan ideologi komunisme
mereka. Juga karena mayoritas orang Tionghoa di LN adalah pendukung KMT
nasionalis yang waktu itu sudah mundur ke Taiwan.
Bayangkan saja, bila RRT dari dulu tidak mengklaim ini dan itu, saya
rasa, SBKRI pasti bukan masalah pelik dan utama buat isu Tionghoa di
Indonesia sekarang ini. Untung saja, mulai 1980, RRT sudah mengganti
kebijakannya. Makanya, beberapa waktu lalu, saya sangat2 tidak setuju
dengan pendapat Bung Li Tianci yang masih merasa bangga dengan klaim
kewarganegaraan RRT itu.
Demikian dulu penjelasan saya.
Rinto Jiang
hehehe:-))
Jadi persoalannya adalah karena penyimpangan dari