Re: [budaya_tionghua] SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?

2006-03-13 Terurut Topik Rinto Jiang
Nasir Tan:

hehehe:-))
  Jadi persoalannya adalah karena penyimpangan dari pelaksanaan SKBI nya 
tohberarti SKBI sendiri bukan masalah yah..!! Nah sekarang wa mau 
nanya sama Ko Rinto nih, : Apa kira-kira kita yang kami harus upayakan 
agar penyalahgunaan dilapangan tidak terjadi lagi ( minimal 
menimize)sehingga kalaupun kita2 ini harus mengurus SKBI tidak 
bertele-tele atau dipersulit lagi?
 
 
  salam,
 
  Nasir Tan



Rinto Jiang:

Kenapa harus mengurus SBKRI? Kita harus tahu bahwa penyertaan SBKRI 
secara resmi sudah dibatalkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1996, 
diperkuat oleh Habibie pada tahun 1999. Bila masih ada oknum2 yang 
nakal, itu oknum, itu karena di Indonesia pengertian hukum itu masih 
rendah. Mayoritas dari kita selalu ingin cepat, mudah dan tidak repot, 
konsekuensinya, uang pelicin. Ini yang sebenarnya menjadi sebab utama 
mengapa SBKRI masih terus menjadi permasalahan, bukan karena oknum2 itu 
peduli akan keamanan negara, takut si A itu WNI palsu (Cina Malaysia) 
yang mau bikin KTP dan paspor Indonesia biar mulus dalam usaha menebang 
hutan di Kalimantan, bukan !. Yang ada di dalam otak oknum2 tadi adalah, 
bila yang datang orang Tionghoa, maka mereka  punya kesempatan untuk 
memanfaatkan SBKRI untuk melakukan pemerasan legal.

Saya dari dulu sudah mulai menghimbau seluruh orang yang peduli akan 
negeri ini untuk melakukan aksi, jangan cuma berkoar2 di milis 
menghujat2 pemerintah atau oknum2 yang korup. Bagi yang punya waktu, 
cobalah untuk mengurus surat2 lewat jalan resmi, jangan lewat belakang 
atau lewat calo2. Bila dimintai SBKRI, jangan kasih, tunjukkan fotocopy 
Inpres dan Keppres yang sudah membatalkan keharusan menyertakan SBKRI 
bila mengurus surat2. Fotocopy itu ada di bagian Files milis, boleh 
didownload sendiri.

Konteks memberantas oknum2 seperti ini ada 2 macam, top-down dan 
bottom-up. Top-down adalah niat pemerintah untuk melaksanakan penegakan 
hukum, sedangkan bottom-up adalah usaha kita, para korban pemerasan 
untuk melakukan perlawanan kecil. Top-down boleh dengan cara 
melaporkan sang oknum kepada atasan atau telepon hotline SBKRI yang saya 
kurang tahu masih aktif atau tidak.

Namun, daripada mengharapkan niat pemerintah, lebih baik kita berusaha 
sendiri, tidak usah mengharapkan hasil dahulu, yang penting oknum2 tadi 
tahu bahwa kita sudah muak. Dengan demikian, mudah2an oknum2 tadi pelan2 
akan sadar bahwa orang Tionghoa bukan sapi2 perahan yang tetap tinggal 
diam bila digertak dan diperas.

Tapi, sebaliknya, bila kita di satu pihak juga mendapat keuntungan dari 
kolusi (orang memeras, kita menyuap), maka kita tak berhak menyumpahi 
sang oknum, karena ini adalah mutualisme.


Rinto Jiang



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [budaya_tionghua] SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?

2006-03-12 Terurut Topik Nasir Tan


Rinto Jiang [EMAIL PROTECTED] wrote:Lucas Ony menulis:

Mudah2an ada rencana penghapusan peraturan buatan CIA dalam UU No 62 Tahun
1958 ini...
Saya sudah bosan dengar kata SBKRI... kalau orang yang baru datang dari luar
negri lalu ganti warga negara di sini, masih cengli pakai SBKRI, tapi kalau
yang sudah 7 turunan tinggal di sini apa perlu lagi ya pakai peraturan
buatan CIA ini?



Rinto Jiang:

Saya ingin meluruskan salah kaprah tentang SBKRI ini. Saya rasa, SBKRI 
memang mutlak diperlukan buat pemerintah untuk mengatur masalah 
kependudukan, dalam hal ini warga negara lain yang menjalani naturalisasi.

Memang pada dasarnya, keharusan memiliki SBKRI ini cuma pada warga 
negara lain yang menjalani naturalisasi, jadi tidak ada yang salah pada 
keharusan ini. Masalahnya yah di situ, penyimpangan yang kemudian 
terjadi adalah bahwa SBKRI lalu disalahgunakan menjadi objek pemerasan, 
karena ada peraturan setingkat menteri yang memutuskan anak2 dari warga 
keturunan yang memiliki SBKRI harus membuktikan orang tuanya adalah WNI 
yang memiliki SBKRI. Mengapa harus ada peraturan seperti ini? Ini muncul 
karena di Indonesia kira2 ada jutaan orang Tionghoa yang tidak memiliki 
SBKRI, tidak menjalani naturalisasi sehingga dianggap sebagai WN asing, 
dalam hal ini Tiongkok. Celakanya, setelah 1966, Tiongkok juga tidak 
otomatis memberikan kewarganegaraan buat orang asing yang diklaim 
sebagai WN Tiongkok ini, bila mau, harus mengajukan naturalisasi 
kembali, masalahnya, orang Tionghoa di desa2 mana mungkin tahu ketentuan 
ini, dan bilapun tahu, ke mana mereka harus mengurus? Wong, kedubes RRT 
sudah ditutup.

Kembali kepada ketentuan mengharuskan anak membuktikan orang tuanya 
punya SBKRI, bayangkan saja, bila saya punya 12 anak, dan tiap2 anak 
sudah tinggal merantau ke mana2, apakah SBKRI saya perlu dikoyak2 
menjadi 12 bagian dan dibagi2kan ke anak saya, biar mereka tidak perlu 
meminjam SBKRI ke saya bila ingin mengurus surat2? Tidak mungkin bukan, 
makanya mereka kemudian terpaksa mengurus sendiri SBKRI sendiri walaupun 
mereka resmi sudah WNI. Ini penyimpangan terbesar dan yang dimaksud oleh 
Bung Ony dengan SBKRI  7 turunan. Celakanya, ini didukung 
legalisasi-nya oleh para calo2 Pengadilan Negeri yang mayoritas juga 
orang Tionghoa sendiri. Calo2 ini berkongkalingkong dengan oknum2 
pengadilan negeri buat bagi hasil uang mengurus SBKRI. Ironis bukan, ini 
namanya Cina makan Cina. Saya sendiri tidak pernah punya SBKRI, ada calo 
yang sering memperingati orang tua saya agar membuatkan SBKRI untuk 
saya, artinya saya punya SBKRI terpisah dari orang tua, namun saya 
berkeras tidak mau, karena akte kelahiran saya sudah seperti halnya WNI 
biasa, tidak seperti akte kelahiran orang tua saya yang masih ada 
tulisan besar2 Catatan Besar Kelahiran Orang Tionghoa, artinya 
pemerintah Indonesia cuma membantu mencatat, namun tidak otomatis 
memberikan status kewarganegaraan. Cuma SBKRI-lah yang membuktikan bahwa 
mereka telah menjadi WNI.

Jadi, tidak ada yang salah dengan peraturan diskrimintatif ini, yang 
salah itu pelaksanaannya di lapangan juga oknum2 yang berusaha 
melestarikannya.

Terus, kalau mau ditarik kembali mengapa SBKRI cuma dikenakan pada orang 
Tionghoa, ini yah dikarenakan klaim Tiongkok atas status kewarganegaraan 
orang Tionghoa di Indonesia. Arab, India dan Belanda tidak mengklaim, 
maka tidak ada masalah dengan kewarganegaraan mereka. Makanya, saya 
sangat mendukung kebijakan Deng Xiaoping meng-amandemen UU 
kewarganegaraan mereka pada tahun 1980, yang tidak serta merta mengklaim 
status seorang anak dari keturunan Tionghoa.

Sebenarnya, kebijakan Tiongkok untuk mengklaim status orang Tionghoa di 
Indonesia ini juga bersumber dari duta besar RRT untuk Indonesia saat 
itu (saya lupa namanya), yang bersikeras mengklaim status 
kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia. Setahu saya, Zhou Enlai 
memarahi duta besar mereka ini setelah persetujuan ditetapkan antara RRT 
dan Indonesia. Kemarahan Zhou Enlai ini wajar, karena klaim RRT ini 
dapat menjadikan orang Tionghoa di Indonesia macam buah simalakama, maju 
tak bisa mundur tak mampu karena terjepit di tengah. Terus terang saja, 
RRT juga tidak sepenuhnya mempercayai orang Tionghoa di Indonesia, 
karena Mao pernah melontarkan ucapan bahwa orang Tionghoa yang merantau 
di LN perlu dicurigai karena dapat membahayakan ideologi komunisme 
mereka. Juga karena mayoritas orang Tionghoa di LN adalah pendukung KMT 
nasionalis yang waktu itu sudah mundur ke Taiwan.

Bayangkan saja, bila RRT dari dulu tidak mengklaim ini dan itu, saya 
rasa, SBKRI pasti bukan masalah pelik dan utama buat isu Tionghoa di 
Indonesia sekarang ini. Untung saja, mulai 1980, RRT sudah mengganti 
kebijakannya. Makanya, beberapa waktu lalu, saya sangat2 tidak setuju 
dengan pendapat Bung Li Tianci yang masih merasa bangga dengan klaim 
kewarganegaraan RRT itu.

Demikian dulu penjelasan saya.


Rinto Jiang

  hehehe:-))
  Jadi persoalannya adalah karena penyimpangan dari