Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-18 Terurut Topik BISAI

 Salam sebangsa dan setanah air.
Tidak banyak yang bisa saya tambahkan karena saya merasa sudah cukup banyak
atau mungkin telah kebanyakan ,semua argumen,  semua alasan, semua
pertimbangan serta pendapat dan pemikiran saya sekitar Pribumi danNon
Pribumi. Saya bukannya lelah atau kehabisan tenaga, tapi benar-benar jenuh,
ingin berbicara soal lain dan ingin berlari dari kepengapanan dari
perdebatan yang sudah non produktif ini  meskipun itu bukan berarti  sudah
jelas siapa yang menang siapa yang kalah karena tujuan saya adalah untuk
menguji kebenaran bukan untuk bertarung dengan teman-teman sesaudara
sendiri. Masaalah ideologi memang tidak mudah dan tidak bisa dipaksakan
betapapun seseorang telah merasa begitu benar dan orang lain  telah dianggap
begitu keras kepala. Terkadang kita harus berhenti di tengah jalan untuk
istirahat, duduk, melepaskan lelah dari perjalanan jauh untuk satu tujuan
yang sama. Masaalah pikiran bukan sekedar yang satu mengkrubuti yang lain
dan lalu merasa menang karena merasa berada di pihak yang terbanyak.
Demokrasi, tidak berlaku dalam mengadili sebuah pikiran yang berbeda.
Demokrasi adalah untuk kesatuan tindakan bersama dan bukan untuk menindas
pikiran yang berbeda.Tapi berbicara tentang diri sendiri, saya sedikitpun
tidak merasa dikrubutin meskipun seolah demikian. Saya hanya merasa mungkin
pikiran-pikiran saya dipedulikan orang lain dengan berbagai tanggapan yang
saling berbeda. Itu sangat wajar dan bahkan sangat menguntungkan untuk diri
saya sendiri karena saya bisa belajar dalam praktek itu sendiri. Juga saya
tidak merasa bahwa pikiran saya sebagai pikiran minoritas, aneh,
meng-ada-ada. Sama sekali tidak. Kalau pikiran saya memang aneh, 
meng-ada-ada,
dalam satu dua kali terjang saja, rubuh terguling dan lalu tidak
diperdulikan orang lain. Semua tuduhan negatif telah saya tangkis dan saya
merasa, arah ke saling pengertian melalui perdebatan, keterus terangan,
adalah arah utama dan bukan ke arah perseteruan atau dendam serta kebencian.
Saya tidak menghitung jumlah, berapa yang menyetujui pikiran saya dan berapa
yang tidak. Saya tidak berani main gampangan-gampangan dalam masaalah
ideologi. Pengalaman di masa lalu sungguh sangat patut dijadikan cermin dan
selalu aktual (guru negatif).
 Soal permainan kata, gonta ganti kata, haram sekarang, besok dihalalkan
lagi dan lalu dibegitukan lagi menurut kepentingan seketika, kepentingan
oportunis, kepentingan pragmatis sempit sepihak atau pribadi-pribadi
penguasa, semua kita telah sepakat. Itu permainan busuk ORBA. Kita menolak
permainan ini, apalagi menurutkan apa yang mereka maui dan paksakan. Mereka
telah memaksa semua etnis Cina mengganti namanya dengan nama Indonesia (
Abubakar, Mohammad, Simon, Firdaus bahkan hingga Abdullah Aidit, apakah itu
nama Indonesia asli?). Tapi karena dipaksa dengan ancaman undang-undang,
represi dan bahkan hingga terror sekalipun, maka dituruti saja karena etnis
Cina memang tidak berdaya menghadapi paksaan sebuah rezim yang sedang
galak-galaknya ketika itu. Sekarang  kita sebut jaman reformasi, jaman 
demokrasi.
Tapi untuk kewaspadaan, janganlah hendaknya kita terlalu percaya dengan
hembusan angin demokrasi yang baru sepoi sepoi basah itu. Suatu saat,
ingatlah, tsunami Orba yang entah jilid ke berapa, bisa saja bangkit dari
dasar lautan demagogi dan kemuafikan mereka. Apakah tidak mungkin bila semua
ini terjadi, lalu semua etnis Cina yang telah berganti nama Indonesia lalu
dipaksa kembali memakai dan menggunakan nama Cina mereka dengan tujuan untuk
lebih mudah mengawasi dan mengontrol mereka dengan maksud untuk pemisahan(
apa ya bhs Inggrisnya, segregate, barangkali, maafkanlah si bodoh ini) ras.
Apakah itu tidak mungkin? Semoga tidak mungkin, tapi siapa yang bisa
menjamin tidak mungkin. Lalu kita (atau generasi mendatang) akan rame-rame
lagi mengutuk penggunaan nama Indonesia bagi etnis Cina. Inilah yang saya
maksudkan komidi putar yang adalah komidi putar oportunisme yang cuma
merugikan etnis Cina itu sendiri.
Salam persaudaraan.
asahan aidit.
40 tahun dalam pengasingan.



- Original Message - 
From: HKSIS [EMAIL PROTECTED]
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com; HKSIS-Group [EMAIL PROTECTED]
Sent: Sunday, September 18, 2005 5:21 PM
Subject: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi
dan Non Pribumi?


 Sahabat-sahabat netter yb,

Makin dipikir, makin terasa jadinya kita terjerat dalam lingkaran-setan
 kata-kata Pribumi yang melilit. Begitu sulit dan alotnya untuk
 menyatukan pendapat, padahal seperti terasa gampang saja. Mengapa dan
 dimana masalahnya, ya?

Benar seperti dinyatakan beberapa kawan, nampaknya pemerintah Orba suka
 bermain dengan kata-kata untuk mencapai tujuan politik tertentu. Diawal
 terbentuknya kekuasaan Orba, melancarkan gerakan ganti-nama bagi etnis
 Tionghoa, sebagai pernyataan kesetiaan pada RI, membuktikan
 loyalitasnya pada RI. Kesetiaan atau loyalitas seseorang jadi bagaikan
 jubah, cukup dengan mengganti nama, menyandang nama 

Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-16 Terurut Topik BISAI
Bung  ChanCT Yang sangat baik,
Kalau bung bertanya bagaimana caranya menghilangkan noda dan kotoran pada
kata pribumi, maka  saya jawab: dengan memberikan pengertian yang benar
dan bebas dari tujuan-tujuan politik tertentu dan mengembalikan arti kata
itu pada asal mula artinya. Dalam kamus umum dan juga dalam banyak kamus
bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu (baca: Malaysia) kata pribumi berarti
penduduk asli, bumiputra.Bukankah itu kata Indonesia? arti netralnya, bumi
berarti tanah.
Sedangkan pri berarti sebelum atau mulal-mula, yang pertama. Jadi pribumi
mengandung arti penduduk yang mula-mula atau yang pertama yang mendiami
suatu bagian bumi atau daerah atau wilayah atau kawasan tetentu. Di mana
letak rasialisnya yang dikandung kata itu. Tapi kalau kita mau main
difinisi-difinisian atau main criterium yang ketat maka akan rusaklah sebuah
semantik atau arti kata mula sebuah kata. Sebuah kata lahir bukan dari hasil
perundingan dari para cerdik pandai dan juga bukan hasil berpandir-pandir
orang-orang dungu atau setengah waras.Kata itu lahir dari kesepakatan
masyarakat suatu bahasa yang telah mereka terima atau setidaknya sebagian
besar telah menerimananya dan dipastikan sebagai sebuah kata dengan arti
tertentu. Demikian pula halnya dengan kata pribumi. Tapi kalau kita main
mutlak-mutlakan dan lantas menuntut difinisi muluk-muluk,super eksak , semua
kata akan menjadi rusak, mengalami revisi yang gila-gilaan. Mengapa
umpamanya orang harus kelabakan atau trauma akan kata asli dalam penduduk
asli . Apakah setiap insan pribumi akan menjadi rasialis bila dia merasa
penduduk asli suatu daerah tertentu dimana ia dilahirkan, dimana orang
tuanya yang telah berketurunan berlahiran dan berdiam di sana. Ada sebuah
anekdot yang sangat populer di Perancis: Bila ingin mencari orang Perancis
asli, datanglah ke kuburan. Jangan buru-buru
membenarkan teori anti pribumi. Orang Perancis tidak banyak ambil pusing
siapa yang suka merasa asli maupun yang tidak, kecuali Le Pen.Tapi orang
Perancis pasti akan menolak kalau dikatakan di Perancis tidak ada orang
Perancis atau penduduk asli. Persetan pada itu definisi apa itu asli apa
yang tidak asli, hak merasa asli, siapa yang punya siapa yang tidak. Semua
itu omong kosong, direkayasa dan dibikin bikin.Tapi politik, kongkretnya
politik Orba-nya Suharto dimasa ia sedang berkuasa, ia mempertajam bentrokan
ras terutama dengan ras Cina untuk mengentalkan politik diskriminasinya
sampai ke bidang bahasa. Asli atau pribumi dia beri arti mutu dan perbedaan
hak antara dua macam manusia yang berlainan ras. Inilah yang telah berkali
kali saya uraikan sebagai mengotori dan mencemarkan arti sebuah kata yang
netral seperti kata pribumi menjadi kata yang lalu ditabukan oleh
penerusnya Habibi dengan intsruksinya yang melarang penggunaan kata
pribumidan non pribumi dengan maksud untuk menutupi wajah diskriminasi
rasialnya. Tapi orang menilai dan melihat perbuatannya dan bukan cuma
kata-katanya yang lalu menjadi istruksinya sebagai Presiden. Apa yang telah
dibuat Habibi kongkretnya dalam mencari, menangkap para pelaku kerusuhan dan
teror rasial di bulan Mei 1998?. Apakah dia telah menangkap para
biangkeladi, para penyulut, para pelaku kerusuhan itu. Siapa orang-orangnya?
apakah sudah diadili  dan dipenjara? siapa nama-namanya? di mana atau
dipenjara mana mereka-mereka itu sekarang, dari oknum-oknum yang mana saja?.
Cobalah jawab pertanyaan dasar ini.
Lalu apakah dia (Habibi) telah menjamin secara hukum dan dilakukan dalam
praktek bahwa etnis Cina yang telah melarikan diri ke luar negeri bisa
kembali ke Indonesia dengan aman?.
Lalu apakah sesudah pengharaman dan pelarangan kata pribumidan non
pribumi: semua etnis Cina tidak lagi didiskriminasi, sudah merasa aman
tentram? Mengapa dia gagal jadi Presiden pilihan rakyat padahal telah
dianggap pahlawan anti diskriminasi rasial maupun segala bentuk diskriminasi
sosial, ekomomi, politik dsb-nya? Masih bergunung pertanyaan, apa yang telah
dia buat kongkret atas perlawanannya terhadap diskriminasi rasial di
Indonesia, dalam perbuatan dan bukan cuma dalam kata-kata dan instruksi
melulu. Berdiri di belakang Habibi (bukan cuma dia juga produk mega Orba)
dan menganggapnya sebagai pahlawan anti diskriminasi rasial adalah
kekeliruan yang dalam, salah kaprah dalam pandangan politik maupun ideologi.
Kardinal fout .
Kembali ke soal kata pribumi. Mengharamkan kata itu lalu timbul kebutuhan
mengharamakan kata
pendatang untuk menegasi kata asli yang  dijadikan trauma itu.
Betul-betul ini sebuah lingkraran setan yang dibuat-buat untuk menyiksa diri
dan juga pada giliranya menyiksa orang lain. Kalau umpamanya ke Belitung
berdatangan orang-orang dari suku lain seperti Jawa, Madura, Sunda ke pulau
Belitung (yang sekarang bukan main banyaknya) lalu saya atau kami orang
Belitung menyebutnya sebagai warga-warga pendatang, lalu saya atau kami
dituduh rasialis karena itu berarti mendiskriminasi mereka sebagai non
pribumi. La ila Haillalla, mak, alangkah telah pengapnya dunia ini 

Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-14 Terurut Topik BISAI
Saudara Zhou Fy dan Saudara Mayat yang terhormat.
Bila seseorang mengatakan kepada saya:dasar pribumi!! meskipun yang  
dimaksudkan seseorang( umpamanya seorang asing yang suka menghina kita secara 
historis)  adalah barbar, maka  saya tidak akan marah, saya tidak tersinggung. 
Mengapa saya harus marah dan tersinggung. Pribumi adalah identitas Antroplogis 
saya. Memang  saya seorang pribumi meskipun saya tidak bangga sedikitpun 
menerima takdir yang tidak bisa saya tolak itu. Tapi siapa saja yang mengatai 
saya:dasar barbar!! meskipun dengan maksud baik, saya pasti akan bertindak 
lain. Saya setuju sekali dengan anda bahwa kata pribumi telah di distorsi 
oleh Orba secara sangat serius seperti juga sama halnya dengan kata Cina. 
Pendistorsian inilah yang saya tentang .  Tapi bukan dengan cara mengharamkan 
kata yang telah dicemari itu. Pada hakekatnya sangat banyak orang menentang 
pengharaman kata pribumi , secara sadar atau tidak sadar, spontan maupun 
nuchter. Yang melakukan pengharaman itu adalah Orba, mesin politiknya Suharto 
dan bukan rakyat Indonesia. Mengapa Suharto dan Orbanya berbuat demikian?. 
Sejak pembantaian Suharto terhadap PKI dan rakyat Indonesia yang tidak bersalah 
yang mulai di tahun 1965 itu, Suharto ingin menyaring etnis Cina dengan tangguk 
rapat yang hampir-hampir tak tembus air untuk membedakan antara etnis Cina yang 
dia sangka ikut PKI, simpatisan komunis, simpatisan  negeri  dan Partai Komunis 
Cina, dengan Cina yang masih bisa dia pakai yang tentu saja pertama-tama yang 
kaya-kaya atau yang super kaya, yang bukan Komunis, yang tidak ber-orientasi ke 
Cina Daratan atau PKC. Hasil penyaringan itu, saya sebut saja satu nama untuk 
sementara, seperti yang kita kenal yang telah bernama Bob Hasan dan tentu saja 
masih banyak yang lainnya  yang yang sekelas kakap seperti Bob Hasan untuk 
dijadikan Suharto  menjadi para bendahara pribadinya. Suharto itu tidak bodoh 
seperti yang disangka sebagian orang, dia tahu dia tidak mungkin bicara soal 
atau mengelola ekonomi Indonesia tanpa para kapitalis Besar Cina yang kaya 
pengalaman, sukses dan lebih mudah dikendalikan karena bukan pribumi. Sedangkan 
waktu itu boleh dikatakan, Indonesia tidak punya kapitalis kakap yang 
sesunguhnya dan hanya memproduksi kapitalis birokrat yang bodoh berdagang tapi 
lihai mengeruk uang tanpa kerja dan susah payah. Tapi tentu saja Suharto tidak 
mau menggunakan terlalu banyak dan memberikan kesempatan kepada para kapitalis 
Cina saja. Itu akan menimbulkan kecemburuan di kalangan kroni-kroninya sendiri 
dan juga para pengusaha pribumi yang ingin berhasil tapi mendapatkan saingan 
yang maha berat bila harus bersaing dengan para kapitalis kakap dari etnis 
Cina. Dengan kata lain Suharto telah membikin kontradiksinya sendiri yang mana 
yang harus diistimewakan( baca: didiskriminasi).Sekali lagi dia seorang licik, 
lihai, cerdik dan juga tidak bodoh. Sambil memelihara dan menggunakan Bob Hasan 
dan sebangsanya, sambil juga mendiskriminir
antara pengusaha pribumi dan pengusaha Cina. Cina yang mulai dari yang miskin 
hingga agak kaya dia babat, yang miskin dia tuduh komunis untuk dibabat dan 
ahirnya sebagian terbesar dari etnis Cina menderita diskriminasi. Dia (Orba) 
lalu menyebarkan  kata yang telah dia beri racun: PRIBUMI DIPERAS, DIJAJAH, 
OLEH NON PRIBUMI dan dijadikannya sebagai psikologi massa yang bermakna: Cina 
musuh orang Indonesia melalui penjajahan ekonomi. Akibat dari penyebaran 
psikologi massa yang beracun itu dengan sendirinya telah menyuluh kerusuhan 
atau teror rasial anti Cina sebagaimana yang antara lain, kita kenal ngerinya 
di bulan Mei 1998. Sesudah kejatuhannya(Suharto), dia menunjuk Habibi sebagai 
penggantinya. Kita tahu Habibi seorang cendekiawan yang betul-betul pintar, 
tapi juga tidak semata cuma pintar, ia juga lihai dan licik. Akibat dari 
kerusuhan terror rasial 98, banyak kapitalis dan pengusaha besar Cina kelas 
kakap lari ker luar negeri, seperti yang kita kenal ,dan tahulah dia, apa itu 
artinya bagi ekonomi Indonesia yang telah dihancurkan Suharto hingga mendekati 
angka nihil. Untuk memperbaiki sedikit muka Indonesia yang sudah coreng moreng 
itu di mata dunia dan juga muka dirinya , maka keluarlah dia punya instruksi 
untuk mengharamkan kata  pribumi dan sebagai analogi tentu saja kata Non 
pribumi. Indah kedengarannya bukan?. Habibi bisa diangkat jadi pahlawan anti 
rasialist yang ingin menghapus rasialisme anti Cina di Indonesia hanya dengan 
dua buah kata pribumi dan non pribumi harus menghilang dari kamus 
perbendaharaan kata bahasa Indonesia karena menurut dia berbau rasialis dan 
dengan maksud agar kembali menanamkan psikologi massa bahwa timbulnya rasiais 
atau pun penyebab rasialisme di Indonesia adalah karena kata pribumi dan non 
pribumi  dan bukan karena watak rasialis yang sesungguhnya dari Suharto dan 
Orbanya. Cerdik bukan? Dan bukan hanya cerdik, pandai dan lihai, tapi juga ada 
orang yang mempercayainya, seperti sebagian dari golongan anda hingga sekarang 

Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

2005-09-12 Terurut Topik BISAI





Bung ChanCT yang sangat 
baik.


Saya dapat menangkap makna yang 
terpositif dari uraian bung: memblokir rasialisme di semua sudut dan 
pintu-pintunya yangterkecil sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih 
memerlukan peneropongan lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor 
terselubung lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai 
cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata atau phraselogisme, 
terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh penguasa dan pejabat 
tinggi.
Kata pribumi sebagai kata biasa di 
antra puluhan ribu kata lainnya di dalam bahasa Indonesia sebenarnya lebih 
banyak dikaitkan dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan 
penduduk asli atau  bumiputera. Itu juga yang saya 
maksudkan dengan arti netral atau arti sesungguhnya dari kata pribumi. 
Tapi lalu kata itudiberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang 
tentu saja untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, 
atau mungkin Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden atau rencana 
Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut dari kamus 
umumbahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. Kamusumum 
bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus Politik bertambah tebal. 
Salah satu budaya bangsa kita adalah budaya akronim, budaya phraseologi, budaya 
semboyan dan budaya verbalisme. Tapi semua budaya itu dimaksudkan untuk membuat 
tabir kabut, filsafat semu sebagai senjata buram penguasa bila 
berhadapandengan rakyatnya yang mereka anggap masih bodoh, tidak kritis. 
Kita ambil contohdari yang paling hangat sekarang ini. Perundingan antara 
Pemerintah dengan GAM telah diahiri dengan persetujuan yang disebut MoU itu. 
Pemerintah NKRI sudah jelas kalah dan mendapat banyak kritik dari kalangan 
masyarakat luas di Indonesia. Saya pribadi menganggap kekalahan itu adalah 
kekalahan positif karena saya selalu berpihak kepada semua rakyat yang berontak 
untuk melawan ketidak adilan. Lalu apa yang dikatakan oleh salah seorang 
perunding penting dari Pihak Pemerintah atas kritik bahwa NKRI tak disebut-sebut 
dalam persetujuan itu yang itu juga berarti GAM telah punya senjata strategis di 
masa yad untuk kemungkinan memerdekakan diri secara penuh dan tidak ada 
keterikatan dengan NKRI. Sang Perunding mengatakan, itu kan cuma soal 
"semantik". Dia mengambil dari istilah Linguistik untuk menghindari kata 
penafsiran karena kalau kata itu yang dia gunakan risikonya akan lebih 
besar untuk dikrubutin banyak orang. Tapi kata semantik tidak semua 
rakyat jelata mengenalnya yang berarti sang perunding ingin menyemukan kekalahan 
besarnya dan berharap sudahlah untuk apa diributkan dan jawabannya cuma sebegitu 
saja, masak rakyat maurepot-repot lihat kamus.
Saya kembali ke istilah pribumi. 
Penguasa ingin mengusir kata itu dari kamus umum Bahasa Indonesia ,ke kamus 
Politik dengan diberi arti rasialisme lalu melarang penggunaan kata itu untuk 
yang katanya melawan rasialisme. Nasib kata pribumi agak sedikit 
sama dengan kata  CINA yang juga oleh penguasa di suatu periode diganti 
dengan kata "TIONGKOK" atau "TIONGHOA" 
Diinstruksikan bahwa kataCina 
puya sifat penghinaan, rasialistis. Ini tidak lebih dari sebuah komidi 
omongpenguasa yang bahkan di bidang bahasapun ingin main diktator. Mungkin 
di masa yang akan datang yang tidak terlalu jauh akan ada lagi instruksi tidak 
bolen menyebut kata  JAWA untuk etnis Jawa, karena kata itu mengandung 
penghinaan, karena di tengah pasar adadua orang anak yang bertengkar yang 
berlainan etnis, lalu yang satu bilang: "Jawa lu!!!" dan yang lain bilang: " 
Dasar lu Batak!!!", Dan ketika ada yang melerai salah seorang pembela bilang: 
"Lu Sunda jangan ikut-ikut!!!". Dan ketika pertengkaran itu bubar seorang dewasa 
yang lain bilang sebagai kesimpulan: "Payah dehMelayu...". Bukankah itu 
semua mengandung penghinaan ras dan lalu apakah kata: Jawa, Batak, Sunda dan 
Melayu harus diganti menurut instruksi Presiden hasil Pilpres 2009?. Kalau kita 
menuruti norma-norma yang berlaku di pasar atau di lorong-lorong kampung yang 
dikuasai geng- geng atau para jagoan yang mempunyai jargon-jargonnya sendiri dan 
lalu dijadikanstandar umum bahasa Indonesia dan lalu dikebiri oleh para 
elit penguasa bangunan atas untuk tujuan-tujuan politik gelap mereka, maka 
beginilah nasib bangsa Indonesia, terpuruk disegala bidang. Ingin memerangi 
rasialisme, ahirnya jadi rasialis. Ingin jadi rasialis sejati, eh, kok dianggap 
anti rasialis akibat berputar putar di lingkaran setan istilah bahasa yang 
diperumit sendiri, sedangkan para elit menggunakannya sebagai senjata tak 
terlihat, senjata wasiat untuk mengadu domba rakyatnya sendiri demi mengeruk 
keuntungan dan menyembunyikan
dosa-dosa mereka agar tak terlihat oleh rakyatnya. Saya 
setuju dengan ajakan: Kembalikan kata kepada asalnya yang semula. Tapi 
tidak dalam pengertian membikin puisi absurd yang hakekatnya menegasi semua ujud 
kata menjadi nihil dan tak berfungsi.

 Apakah etnis Cina