Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Salam sebangsa dan setanah air. Tidak banyak yang bisa saya tambahkan karena saya merasa sudah cukup banyak atau mungkin telah kebanyakan ,semua argumen, semua alasan, semua pertimbangan serta pendapat dan pemikiran saya sekitar Pribumi danNon Pribumi. Saya bukannya lelah atau kehabisan tenaga, tapi benar-benar jenuh, ingin berbicara soal lain dan ingin berlari dari kepengapanan dari perdebatan yang sudah non produktif ini meskipun itu bukan berarti sudah jelas siapa yang menang siapa yang kalah karena tujuan saya adalah untuk menguji kebenaran bukan untuk bertarung dengan teman-teman sesaudara sendiri. Masaalah ideologi memang tidak mudah dan tidak bisa dipaksakan betapapun seseorang telah merasa begitu benar dan orang lain telah dianggap begitu keras kepala. Terkadang kita harus berhenti di tengah jalan untuk istirahat, duduk, melepaskan lelah dari perjalanan jauh untuk satu tujuan yang sama. Masaalah pikiran bukan sekedar yang satu mengkrubuti yang lain dan lalu merasa menang karena merasa berada di pihak yang terbanyak. Demokrasi, tidak berlaku dalam mengadili sebuah pikiran yang berbeda. Demokrasi adalah untuk kesatuan tindakan bersama dan bukan untuk menindas pikiran yang berbeda.Tapi berbicara tentang diri sendiri, saya sedikitpun tidak merasa dikrubutin meskipun seolah demikian. Saya hanya merasa mungkin pikiran-pikiran saya dipedulikan orang lain dengan berbagai tanggapan yang saling berbeda. Itu sangat wajar dan bahkan sangat menguntungkan untuk diri saya sendiri karena saya bisa belajar dalam praktek itu sendiri. Juga saya tidak merasa bahwa pikiran saya sebagai pikiran minoritas, aneh, meng-ada-ada. Sama sekali tidak. Kalau pikiran saya memang aneh, meng-ada-ada, dalam satu dua kali terjang saja, rubuh terguling dan lalu tidak diperdulikan orang lain. Semua tuduhan negatif telah saya tangkis dan saya merasa, arah ke saling pengertian melalui perdebatan, keterus terangan, adalah arah utama dan bukan ke arah perseteruan atau dendam serta kebencian. Saya tidak menghitung jumlah, berapa yang menyetujui pikiran saya dan berapa yang tidak. Saya tidak berani main gampangan-gampangan dalam masaalah ideologi. Pengalaman di masa lalu sungguh sangat patut dijadikan cermin dan selalu aktual (guru negatif). Soal permainan kata, gonta ganti kata, haram sekarang, besok dihalalkan lagi dan lalu dibegitukan lagi menurut kepentingan seketika, kepentingan oportunis, kepentingan pragmatis sempit sepihak atau pribadi-pribadi penguasa, semua kita telah sepakat. Itu permainan busuk ORBA. Kita menolak permainan ini, apalagi menurutkan apa yang mereka maui dan paksakan. Mereka telah memaksa semua etnis Cina mengganti namanya dengan nama Indonesia ( Abubakar, Mohammad, Simon, Firdaus bahkan hingga Abdullah Aidit, apakah itu nama Indonesia asli?). Tapi karena dipaksa dengan ancaman undang-undang, represi dan bahkan hingga terror sekalipun, maka dituruti saja karena etnis Cina memang tidak berdaya menghadapi paksaan sebuah rezim yang sedang galak-galaknya ketika itu. Sekarang kita sebut jaman reformasi, jaman demokrasi. Tapi untuk kewaspadaan, janganlah hendaknya kita terlalu percaya dengan hembusan angin demokrasi yang baru sepoi sepoi basah itu. Suatu saat, ingatlah, tsunami Orba yang entah jilid ke berapa, bisa saja bangkit dari dasar lautan demagogi dan kemuafikan mereka. Apakah tidak mungkin bila semua ini terjadi, lalu semua etnis Cina yang telah berganti nama Indonesia lalu dipaksa kembali memakai dan menggunakan nama Cina mereka dengan tujuan untuk lebih mudah mengawasi dan mengontrol mereka dengan maksud untuk pemisahan( apa ya bhs Inggrisnya, segregate, barangkali, maafkanlah si bodoh ini) ras. Apakah itu tidak mungkin? Semoga tidak mungkin, tapi siapa yang bisa menjamin tidak mungkin. Lalu kita (atau generasi mendatang) akan rame-rame lagi mengutuk penggunaan nama Indonesia bagi etnis Cina. Inilah yang saya maksudkan komidi putar yang adalah komidi putar oportunisme yang cuma merugikan etnis Cina itu sendiri. Salam persaudaraan. asahan aidit. 40 tahun dalam pengasingan. - Original Message - From: HKSIS [EMAIL PROTECTED] To: budaya_tionghua@yahoogroups.com; HKSIS-Group [EMAIL PROTECTED] Sent: Sunday, September 18, 2005 5:21 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi? Sahabat-sahabat netter yb, Makin dipikir, makin terasa jadinya kita terjerat dalam lingkaran-setan kata-kata Pribumi yang melilit. Begitu sulit dan alotnya untuk menyatukan pendapat, padahal seperti terasa gampang saja. Mengapa dan dimana masalahnya, ya? Benar seperti dinyatakan beberapa kawan, nampaknya pemerintah Orba suka bermain dengan kata-kata untuk mencapai tujuan politik tertentu. Diawal terbentuknya kekuasaan Orba, melancarkan gerakan ganti-nama bagi etnis Tionghoa, sebagai pernyataan kesetiaan pada RI, membuktikan loyalitasnya pada RI. Kesetiaan atau loyalitas seseorang jadi bagaikan jubah, cukup dengan mengganti nama, menyandang nama
Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Bung ChanCT Yang sangat baik, Kalau bung bertanya bagaimana caranya menghilangkan noda dan kotoran pada kata pribumi, maka saya jawab: dengan memberikan pengertian yang benar dan bebas dari tujuan-tujuan politik tertentu dan mengembalikan arti kata itu pada asal mula artinya. Dalam kamus umum dan juga dalam banyak kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu (baca: Malaysia) kata pribumi berarti penduduk asli, bumiputra.Bukankah itu kata Indonesia? arti netralnya, bumi berarti tanah. Sedangkan pri berarti sebelum atau mulal-mula, yang pertama. Jadi pribumi mengandung arti penduduk yang mula-mula atau yang pertama yang mendiami suatu bagian bumi atau daerah atau wilayah atau kawasan tetentu. Di mana letak rasialisnya yang dikandung kata itu. Tapi kalau kita mau main difinisi-difinisian atau main criterium yang ketat maka akan rusaklah sebuah semantik atau arti kata mula sebuah kata. Sebuah kata lahir bukan dari hasil perundingan dari para cerdik pandai dan juga bukan hasil berpandir-pandir orang-orang dungu atau setengah waras.Kata itu lahir dari kesepakatan masyarakat suatu bahasa yang telah mereka terima atau setidaknya sebagian besar telah menerimananya dan dipastikan sebagai sebuah kata dengan arti tertentu. Demikian pula halnya dengan kata pribumi. Tapi kalau kita main mutlak-mutlakan dan lantas menuntut difinisi muluk-muluk,super eksak , semua kata akan menjadi rusak, mengalami revisi yang gila-gilaan. Mengapa umpamanya orang harus kelabakan atau trauma akan kata asli dalam penduduk asli . Apakah setiap insan pribumi akan menjadi rasialis bila dia merasa penduduk asli suatu daerah tertentu dimana ia dilahirkan, dimana orang tuanya yang telah berketurunan berlahiran dan berdiam di sana. Ada sebuah anekdot yang sangat populer di Perancis: Bila ingin mencari orang Perancis asli, datanglah ke kuburan. Jangan buru-buru membenarkan teori anti pribumi. Orang Perancis tidak banyak ambil pusing siapa yang suka merasa asli maupun yang tidak, kecuali Le Pen.Tapi orang Perancis pasti akan menolak kalau dikatakan di Perancis tidak ada orang Perancis atau penduduk asli. Persetan pada itu definisi apa itu asli apa yang tidak asli, hak merasa asli, siapa yang punya siapa yang tidak. Semua itu omong kosong, direkayasa dan dibikin bikin.Tapi politik, kongkretnya politik Orba-nya Suharto dimasa ia sedang berkuasa, ia mempertajam bentrokan ras terutama dengan ras Cina untuk mengentalkan politik diskriminasinya sampai ke bidang bahasa. Asli atau pribumi dia beri arti mutu dan perbedaan hak antara dua macam manusia yang berlainan ras. Inilah yang telah berkali kali saya uraikan sebagai mengotori dan mencemarkan arti sebuah kata yang netral seperti kata pribumi menjadi kata yang lalu ditabukan oleh penerusnya Habibi dengan intsruksinya yang melarang penggunaan kata pribumidan non pribumi dengan maksud untuk menutupi wajah diskriminasi rasialnya. Tapi orang menilai dan melihat perbuatannya dan bukan cuma kata-katanya yang lalu menjadi istruksinya sebagai Presiden. Apa yang telah dibuat Habibi kongkretnya dalam mencari, menangkap para pelaku kerusuhan dan teror rasial di bulan Mei 1998?. Apakah dia telah menangkap para biangkeladi, para penyulut, para pelaku kerusuhan itu. Siapa orang-orangnya? apakah sudah diadili dan dipenjara? siapa nama-namanya? di mana atau dipenjara mana mereka-mereka itu sekarang, dari oknum-oknum yang mana saja?. Cobalah jawab pertanyaan dasar ini. Lalu apakah dia (Habibi) telah menjamin secara hukum dan dilakukan dalam praktek bahwa etnis Cina yang telah melarikan diri ke luar negeri bisa kembali ke Indonesia dengan aman?. Lalu apakah sesudah pengharaman dan pelarangan kata pribumidan non pribumi: semua etnis Cina tidak lagi didiskriminasi, sudah merasa aman tentram? Mengapa dia gagal jadi Presiden pilihan rakyat padahal telah dianggap pahlawan anti diskriminasi rasial maupun segala bentuk diskriminasi sosial, ekomomi, politik dsb-nya? Masih bergunung pertanyaan, apa yang telah dia buat kongkret atas perlawanannya terhadap diskriminasi rasial di Indonesia, dalam perbuatan dan bukan cuma dalam kata-kata dan instruksi melulu. Berdiri di belakang Habibi (bukan cuma dia juga produk mega Orba) dan menganggapnya sebagai pahlawan anti diskriminasi rasial adalah kekeliruan yang dalam, salah kaprah dalam pandangan politik maupun ideologi. Kardinal fout . Kembali ke soal kata pribumi. Mengharamkan kata itu lalu timbul kebutuhan mengharamakan kata pendatang untuk menegasi kata asli yang dijadikan trauma itu. Betul-betul ini sebuah lingkraran setan yang dibuat-buat untuk menyiksa diri dan juga pada giliranya menyiksa orang lain. Kalau umpamanya ke Belitung berdatangan orang-orang dari suku lain seperti Jawa, Madura, Sunda ke pulau Belitung (yang sekarang bukan main banyaknya) lalu saya atau kami orang Belitung menyebutnya sebagai warga-warga pendatang, lalu saya atau kami dituduh rasialis karena itu berarti mendiskriminasi mereka sebagai non pribumi. La ila Haillalla, mak, alangkah telah pengapnya dunia ini
Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Saudara Zhou Fy dan Saudara Mayat yang terhormat. Bila seseorang mengatakan kepada saya:dasar pribumi!! meskipun yang dimaksudkan seseorang( umpamanya seorang asing yang suka menghina kita secara historis) adalah barbar, maka saya tidak akan marah, saya tidak tersinggung. Mengapa saya harus marah dan tersinggung. Pribumi adalah identitas Antroplogis saya. Memang saya seorang pribumi meskipun saya tidak bangga sedikitpun menerima takdir yang tidak bisa saya tolak itu. Tapi siapa saja yang mengatai saya:dasar barbar!! meskipun dengan maksud baik, saya pasti akan bertindak lain. Saya setuju sekali dengan anda bahwa kata pribumi telah di distorsi oleh Orba secara sangat serius seperti juga sama halnya dengan kata Cina. Pendistorsian inilah yang saya tentang . Tapi bukan dengan cara mengharamkan kata yang telah dicemari itu. Pada hakekatnya sangat banyak orang menentang pengharaman kata pribumi , secara sadar atau tidak sadar, spontan maupun nuchter. Yang melakukan pengharaman itu adalah Orba, mesin politiknya Suharto dan bukan rakyat Indonesia. Mengapa Suharto dan Orbanya berbuat demikian?. Sejak pembantaian Suharto terhadap PKI dan rakyat Indonesia yang tidak bersalah yang mulai di tahun 1965 itu, Suharto ingin menyaring etnis Cina dengan tangguk rapat yang hampir-hampir tak tembus air untuk membedakan antara etnis Cina yang dia sangka ikut PKI, simpatisan komunis, simpatisan negeri dan Partai Komunis Cina, dengan Cina yang masih bisa dia pakai yang tentu saja pertama-tama yang kaya-kaya atau yang super kaya, yang bukan Komunis, yang tidak ber-orientasi ke Cina Daratan atau PKC. Hasil penyaringan itu, saya sebut saja satu nama untuk sementara, seperti yang kita kenal yang telah bernama Bob Hasan dan tentu saja masih banyak yang lainnya yang yang sekelas kakap seperti Bob Hasan untuk dijadikan Suharto menjadi para bendahara pribadinya. Suharto itu tidak bodoh seperti yang disangka sebagian orang, dia tahu dia tidak mungkin bicara soal atau mengelola ekonomi Indonesia tanpa para kapitalis Besar Cina yang kaya pengalaman, sukses dan lebih mudah dikendalikan karena bukan pribumi. Sedangkan waktu itu boleh dikatakan, Indonesia tidak punya kapitalis kakap yang sesunguhnya dan hanya memproduksi kapitalis birokrat yang bodoh berdagang tapi lihai mengeruk uang tanpa kerja dan susah payah. Tapi tentu saja Suharto tidak mau menggunakan terlalu banyak dan memberikan kesempatan kepada para kapitalis Cina saja. Itu akan menimbulkan kecemburuan di kalangan kroni-kroninya sendiri dan juga para pengusaha pribumi yang ingin berhasil tapi mendapatkan saingan yang maha berat bila harus bersaing dengan para kapitalis kakap dari etnis Cina. Dengan kata lain Suharto telah membikin kontradiksinya sendiri yang mana yang harus diistimewakan( baca: didiskriminasi).Sekali lagi dia seorang licik, lihai, cerdik dan juga tidak bodoh. Sambil memelihara dan menggunakan Bob Hasan dan sebangsanya, sambil juga mendiskriminir antara pengusaha pribumi dan pengusaha Cina. Cina yang mulai dari yang miskin hingga agak kaya dia babat, yang miskin dia tuduh komunis untuk dibabat dan ahirnya sebagian terbesar dari etnis Cina menderita diskriminasi. Dia (Orba) lalu menyebarkan kata yang telah dia beri racun: PRIBUMI DIPERAS, DIJAJAH, OLEH NON PRIBUMI dan dijadikannya sebagai psikologi massa yang bermakna: Cina musuh orang Indonesia melalui penjajahan ekonomi. Akibat dari penyebaran psikologi massa yang beracun itu dengan sendirinya telah menyuluh kerusuhan atau teror rasial anti Cina sebagaimana yang antara lain, kita kenal ngerinya di bulan Mei 1998. Sesudah kejatuhannya(Suharto), dia menunjuk Habibi sebagai penggantinya. Kita tahu Habibi seorang cendekiawan yang betul-betul pintar, tapi juga tidak semata cuma pintar, ia juga lihai dan licik. Akibat dari kerusuhan terror rasial 98, banyak kapitalis dan pengusaha besar Cina kelas kakap lari ker luar negeri, seperti yang kita kenal ,dan tahulah dia, apa itu artinya bagi ekonomi Indonesia yang telah dihancurkan Suharto hingga mendekati angka nihil. Untuk memperbaiki sedikit muka Indonesia yang sudah coreng moreng itu di mata dunia dan juga muka dirinya , maka keluarlah dia punya instruksi untuk mengharamkan kata pribumi dan sebagai analogi tentu saja kata Non pribumi. Indah kedengarannya bukan?. Habibi bisa diangkat jadi pahlawan anti rasialist yang ingin menghapus rasialisme anti Cina di Indonesia hanya dengan dua buah kata pribumi dan non pribumi harus menghilang dari kamus perbendaharaan kata bahasa Indonesia karena menurut dia berbau rasialis dan dengan maksud agar kembali menanamkan psikologi massa bahwa timbulnya rasiais atau pun penyebab rasialisme di Indonesia adalah karena kata pribumi dan non pribumi dan bukan karena watak rasialis yang sesungguhnya dari Suharto dan Orbanya. Cerdik bukan? Dan bukan hanya cerdik, pandai dan lihai, tapi juga ada orang yang mempercayainya, seperti sebagian dari golongan anda hingga sekarang
Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Bung ChanCT yang sangat baik. Saya dapat menangkap makna yang terpositif dari uraian bung: memblokir rasialisme di semua sudut dan pintu-pintunya yangterkecil sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih memerlukan peneropongan lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor terselubung lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata atau phraselogisme, terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh penguasa dan pejabat tinggi. Kata pribumi sebagai kata biasa di antra puluhan ribu kata lainnya di dalam bahasa Indonesia sebenarnya lebih banyak dikaitkan dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan penduduk asli atau bumiputera. Itu juga yang saya maksudkan dengan arti netral atau arti sesungguhnya dari kata pribumi. Tapi lalu kata itudiberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang tentu saja untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, atau mungkin Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden atau rencana Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut dari kamus umumbahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. Kamusumum bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus Politik bertambah tebal. Salah satu budaya bangsa kita adalah budaya akronim, budaya phraseologi, budaya semboyan dan budaya verbalisme. Tapi semua budaya itu dimaksudkan untuk membuat tabir kabut, filsafat semu sebagai senjata buram penguasa bila berhadapandengan rakyatnya yang mereka anggap masih bodoh, tidak kritis. Kita ambil contohdari yang paling hangat sekarang ini. Perundingan antara Pemerintah dengan GAM telah diahiri dengan persetujuan yang disebut MoU itu. Pemerintah NKRI sudah jelas kalah dan mendapat banyak kritik dari kalangan masyarakat luas di Indonesia. Saya pribadi menganggap kekalahan itu adalah kekalahan positif karena saya selalu berpihak kepada semua rakyat yang berontak untuk melawan ketidak adilan. Lalu apa yang dikatakan oleh salah seorang perunding penting dari Pihak Pemerintah atas kritik bahwa NKRI tak disebut-sebut dalam persetujuan itu yang itu juga berarti GAM telah punya senjata strategis di masa yad untuk kemungkinan memerdekakan diri secara penuh dan tidak ada keterikatan dengan NKRI. Sang Perunding mengatakan, itu kan cuma soal "semantik". Dia mengambil dari istilah Linguistik untuk menghindari kata penafsiran karena kalau kata itu yang dia gunakan risikonya akan lebih besar untuk dikrubutin banyak orang. Tapi kata semantik tidak semua rakyat jelata mengenalnya yang berarti sang perunding ingin menyemukan kekalahan besarnya dan berharap sudahlah untuk apa diributkan dan jawabannya cuma sebegitu saja, masak rakyat maurepot-repot lihat kamus. Saya kembali ke istilah pribumi. Penguasa ingin mengusir kata itu dari kamus umum Bahasa Indonesia ,ke kamus Politik dengan diberi arti rasialisme lalu melarang penggunaan kata itu untuk yang katanya melawan rasialisme. Nasib kata pribumi agak sedikit sama dengan kata CINA yang juga oleh penguasa di suatu periode diganti dengan kata "TIONGKOK" atau "TIONGHOA" Diinstruksikan bahwa kataCina puya sifat penghinaan, rasialistis. Ini tidak lebih dari sebuah komidi omongpenguasa yang bahkan di bidang bahasapun ingin main diktator. Mungkin di masa yang akan datang yang tidak terlalu jauh akan ada lagi instruksi tidak bolen menyebut kata JAWA untuk etnis Jawa, karena kata itu mengandung penghinaan, karena di tengah pasar adadua orang anak yang bertengkar yang berlainan etnis, lalu yang satu bilang: "Jawa lu!!!" dan yang lain bilang: " Dasar lu Batak!!!", Dan ketika ada yang melerai salah seorang pembela bilang: "Lu Sunda jangan ikut-ikut!!!". Dan ketika pertengkaran itu bubar seorang dewasa yang lain bilang sebagai kesimpulan: "Payah dehMelayu...". Bukankah itu semua mengandung penghinaan ras dan lalu apakah kata: Jawa, Batak, Sunda dan Melayu harus diganti menurut instruksi Presiden hasil Pilpres 2009?. Kalau kita menuruti norma-norma yang berlaku di pasar atau di lorong-lorong kampung yang dikuasai geng- geng atau para jagoan yang mempunyai jargon-jargonnya sendiri dan lalu dijadikanstandar umum bahasa Indonesia dan lalu dikebiri oleh para elit penguasa bangunan atas untuk tujuan-tujuan politik gelap mereka, maka beginilah nasib bangsa Indonesia, terpuruk disegala bidang. Ingin memerangi rasialisme, ahirnya jadi rasialis. Ingin jadi rasialis sejati, eh, kok dianggap anti rasialis akibat berputar putar di lingkaran setan istilah bahasa yang diperumit sendiri, sedangkan para elit menggunakannya sebagai senjata tak terlihat, senjata wasiat untuk mengadu domba rakyatnya sendiri demi mengeruk keuntungan dan menyembunyikan dosa-dosa mereka agar tak terlihat oleh rakyatnya. Saya setuju dengan ajakan: Kembalikan kata kepada asalnya yang semula. Tapi tidak dalam pengertian membikin puisi absurd yang hakekatnya menegasi semua ujud kata menjadi nihil dan tak berfungsi. Apakah etnis Cina