OOT: Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
1. Berbeda dengan jenis olahraga lain, bulutangkis itu memang agak lain. Setiap pemain itu bisa mewakili suatu negara tanpa perlu menjadi warga negara tersebut. Kita bisa liat belakangan ini ada mantan pemain Indonesia yang mewakili Singapura, Hong Kong, Inggris, Amerika Serikat dll. Jadi memang dimungkinkan hal yang demikian. 2. Selain paspor (48 atau 36 halaman), dulu ada dokumen perjalanan yang namanya surat perjalanan laksana paspor (SPLP) yang bisa dipakai untuk satu kali perjalanan ke luar negeri. Ivana dan pemain WNA yang membela tim merah putih memakai dokumen ini. Salam, Suryadi agung setiawan <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: budaya_tionghua@yahoogroups.com 02/03/2006 11:27 AM Please respond to budaya_tionghua@yahoogroups.com To budaya_tionghua@yahoogroups.com cc Subject Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless laporin ke IOC ama induk OR dunia, kira2 dibatalin gak yah gelar juaranya. hehheehe --- Ambon <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 > > Minggu, 29 Jan 2006, > > > > > Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless > > > > > JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya > diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan > mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat > Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat > untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam > pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat > bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). > > Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut > dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, > Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di > Marioss Place, Jakarta, kemarin. > > Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang > hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya > merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi > dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi > pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," > ungkapnya. > > Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, > Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level > internasional. Prestasinya itu membuat lagu > kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai > penjuru dunia. > > "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik > kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. > Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut > dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, > Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus > KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat > kewarganegaraan. > > Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena > orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua > saya datang dari China ke Indonesia dan belum > berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya > menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di > sini sampai menjadi atlet," jelasnya. > > Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah > diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang > mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis > lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan > Hendrawan juga mengalami," katanya. > > Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan > Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan > menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan > administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang > bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional > kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak > ada juklak dan juknis." > > Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga > keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. > Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi > bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan > seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan > dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan > anggota DPR tersebut. > > Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat > Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies > University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, > permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep > pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah > realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. > Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. > Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena > merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," > jelasnya. > > Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal > diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, > diskriminasi tersebut terjadi karena faktor > eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan > masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, > simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. > Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," > ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor > politis. > > Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal > tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak > ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. > "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita > bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau > mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," > tegasnya. > > Di sisi lain
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
benernya gampang aja se . . . . asal ada koneksi + duit SBKRI pasti cepet keluar. :p tapi emang sogok sana sogok sini se. .. . . maklum la . . . Indonesia Gitu l . . . . melani chia <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: budaya_tionghua@yahoogroups.com 01/02/2006 21:05 Please respond to budaya_tionghua@yahoogroups.com To budaya_tionghua@yahoogroups.com cc Subject Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee. BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI - Original Message - From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis." Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis. Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau s
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Mungkin diberikan kartu penduduk, tetapi bukan paspor, terkecuali bagi yang bertatus "stateless" diberikan semacam "travel document" yang fungsinya sebagai paspor bila berperjalanan ke luar negeri. - Original Message - From: "UKM BANGKA" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, February 02, 2006 7:43 AM Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless > Kalau ngak salah, Imigrasi juga mengeluarkan paspor khusus untuk WNA di > Indonesia. > > Wassalam > - Original Message - > From: BUD'S > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Sent: Wednesday, February 01, 2006 4:00 PM > Subject: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus > Stateless > > > Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa > mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI >- Original Message - >From: Ambon >To: budaya_tionghua@yahoogroups.com >Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM >Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus > Stateless > > >http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 > >Minggu, 29 Jan 2006, > > > > >Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless > > > > >JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. > Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang > masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk > menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas > kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia > (SBKRI). > >Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam > diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar > di Marioss Place, Jakarta, kemarin. > >Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi > tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya > birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain > nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. > >Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali > mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat > lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. > >"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan > bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya > dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," > ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena > tidak memiliki surat kewarganegaraan. > >Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah > pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan > belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga > negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. > >Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan > PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu > tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga > mengalami," katanya. > >Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, > "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan > administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita > punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak > ada juklak dan juknis." > >Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa > mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan > dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti > itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap > 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. > >Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia > dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, > permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih > berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana > saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. > Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status > hukum," jelasnya. > >Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi > terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena > faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa > dan lainny
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Kalau kasus Ivana kan ortunya masih WNA ??? cobadeh baca dengan teliti berita dari indopost ini, ini kutipannya : Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. - Original Message - From: melani chia To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Wednesday, February 01, 2006 9:05 PM Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee. BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI - Original Message - From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis." Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor ekste
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Kalau ngak salah, Imigrasi juga mengeluarkan paspor khusus untuk WNA di Indonesia. Wassalam - Original Message - From: BUD'S To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Wednesday, February 01, 2006 4:00 PM Subject: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI - Original Message - From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis." Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis. Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya. Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee. BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI - Original Message - From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis." Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis. Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya. Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman
OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI - Original Message - From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis."Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis.Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya.Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman. "Tidak ada gunanya saling mencela dan kemudian kecenderungan eksklusivitas. Yang penting kesepahaman antara elemen," tegasnya. (yog) .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi we