OOT: Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-02 Terurut Topik adipranata . suryadi
1. Berbeda dengan jenis olahraga lain, bulutangkis itu memang agak lain. 
Setiap pemain itu bisa mewakili suatu negara tanpa perlu menjadi warga 
negara tersebut. Kita bisa liat belakangan ini ada mantan pemain Indonesia 
yang mewakili Singapura, Hong Kong, Inggris, Amerika Serikat dll. Jadi 
memang dimungkinkan hal yang demikian.

2. Selain paspor (48 atau 36 halaman), dulu ada dokumen perjalanan yang 
namanya surat perjalanan laksana paspor (SPLP) yang bisa dipakai untuk 
satu kali perjalanan ke luar negeri. Ivana dan pemain WNA yang membela tim 
merah putih memakai dokumen ini.

Salam,
Suryadi




agung setiawan <[EMAIL PROTECTED]> 
Sent by: budaya_tionghua@yahoogroups.com
02/03/2006 11:27 AM
Please respond to
budaya_tionghua@yahoogroups.com


To
budaya_tionghua@yahoogroups.com
cc

Subject
Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless






laporin ke IOC ama induk OR dunia, kira2 dibatalin gak
yah gelar juaranya. hehheehe

--- Ambon <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
> 
> Minggu, 29 Jan 2006,
> 
> 
> 
> 
> Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 
> 
> 
> 
> 
> JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya
> diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan
> mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat
> Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat
> untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam
> pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat
> bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 
> 
> Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut
> dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek,
> Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di
> Marioss Place, Jakarta, kemarin. 
> 
> Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang
> hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya
> merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi
> dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi
> pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan,"
> ungkapnya. 
> 
> Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih,
> Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level
> internasional. Prestasinya itu membuat lagu
> kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai
> penjuru dunia. 
> 
> "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik
> kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia.
> Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut
> dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan,
> Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus
> KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat
> kewarganegaraan. 
> 
> Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena
> orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua
> saya datang dari China ke Indonesia dan belum
> berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya
> menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di
> sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 
> 
> Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah
> diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang
> mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis
> lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan
> Hendrawan juga mengalami," katanya. 
> 
> Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan
> Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan
> menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan
> administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang
> bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional
> kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak
> ada juklak dan juknis."
> 
> Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga
> keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan.
> Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi
> bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan
> seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan
> dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan
> anggota DPR tersebut. 
> 
> Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat
> Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies
> University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan,
> permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep
> pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah
> realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja.
> Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang.
> Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena
> merembet dalam banyak hal, terutama status hukum,"
> jelasnya.
> 
> Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal
> diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia,
> diskriminasi tersebut terjadi karena faktor
> eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan
> masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah,
> simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik.
> Yang mengondisikan adalah faktor eksternal,"
> ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor
> politis.
> 
> Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal
> tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak
> ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik.
> "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita
> bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau
> mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu,"
> tegasnya.
> 
> Di sisi lain

Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-02 Terurut Topik Baskoro . Santoso
benernya gampang aja se . . . . asal ada koneksi + duit SBKRI pasti cepet 
keluar.  :p tapi emang sogok sana sogok sini se. .. . .  maklum la . . . 
Indonesia Gitu l . . . .



melani chia <[EMAIL PROTECTED]> 
Sent by: budaya_tionghua@yahoogroups.com
01/02/2006 21:05
Please respond to
budaya_tionghua@yahoogroups.com


To
budaya_tionghua@yahoogroups.com
cc

Subject
Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless






Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd 
dulu kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet 
lah,kalau masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman 
dulu milik org tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee.

BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  Tanpa kewarganegaraan bearti 
ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri 
he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI 
- Original Message - 
  From: Ambon 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM
  Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless
 

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
 
  Minggu, 29 Jan 2006,
 
 
 
 
  Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 
 
 
 

  JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat 
sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat 
Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi 
perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat 
bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 

Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam 
diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar 
di Marioss Place, Jakarta, kemarin. 

Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi 
tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya 
birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain 
nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. 

Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat 
lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. 

"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan 
bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya 
dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," 
ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena 
tidak memiliki surat kewarganegaraan. 

Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan 
belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga 
negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 


Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. 
"Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu 
tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga 
mengalami," katanya. 

Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, 
"Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan 
administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita 
punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak 
ada juklak dan juknis."

Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai 
SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi 
bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya 
disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas 
mantan anggota DPR tersebut. 

Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari 
Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, 
permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih 
berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana 
saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. 
Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status 
hukum," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap 
etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor 
eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan 
lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup 
baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu 
faktor eksternal adalah faktor politis.

Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan 
sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. 
"Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau s

Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-02 Terurut Topik Ambon
Mungkin  diberikan kartu penduduk, tetapi bukan paspor, terkecuali bagi yang 
bertatus "stateless" diberikan semacam "travel document" yang fungsinya 
sebagai paspor bila berperjalanan ke luar negeri.


- Original Message - 
From: "UKM BANGKA" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, February 02, 2006 7:43 AM
Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless


> Kalau ngak salah, Imigrasi juga mengeluarkan paspor khusus untuk WNA di 
> Indonesia.
>
> Wassalam
>  - Original Message - 
>  From: BUD'S
>  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
>  Sent: Wednesday, February 01, 2006 4:00 PM
>  Subject: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
> Stateless
>
>
>  Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa 
> mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI
>- Original Message - 
>From: Ambon
>To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
>Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM
>Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
> Stateless
>
>
>http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
>
>Minggu, 29 Jan 2006,
>
>
>
>
>Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
>
>
>
>
>JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. 
> Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang 
> masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk 
> menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas 
> kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia 
> (SBKRI).
>
>Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam 
> diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar 
> di Marioss Place, Jakarta, kemarin.
>
>Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi 
> tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya 
> birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain 
> nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya.
>
>Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
> mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat 
> lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia.
>
>"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan 
> bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya 
> dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," 
> ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena 
> tidak memiliki surat kewarganegaraan.
>
>Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
> pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan 
> belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga 
> negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya.
>
>Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan 
> PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu 
> tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga 
> mengalami," katanya.
>
>Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, 
> "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan 
> administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita 
> punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak 
> ada juklak dan juknis."
>
>Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa 
> mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan 
> dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti 
> itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 
> 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut.
>
>Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia 
> dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, 
> permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih 
> berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana 
> saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. 
> Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status 
> hukum," jelasnya.
>
>Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi 
> terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena 
> faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa 
> dan lainny

Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-01 Terurut Topik BUD'S
Kalau kasus Ivana kan ortunya masih WNA ??? cobadeh baca dengan teliti berita 
dari indopost ini, ini kutipannya : 

Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum 
berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. 
Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 

  - Original Message - 
  From: melani chia 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, February 01, 2006 9:05 PM
  Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless


  Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu 
kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau 
masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org 
tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee.

  BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  Tanpa kewarganegaraan bearti ngak 
punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he 
aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI 
  - Original Message - 
From: Ambon 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM
Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless


  http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
 
Minggu, 29 Jan 2006,
 
 


Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 




JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat 
sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat 
Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. 
Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti 
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 

  Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi 
yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss 
Place, Jakarta, kemarin. 

  Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi 
tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya 
birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, 
tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. 

  Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu 
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. 

  "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa 
saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan 
menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah 
berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat 
kewarganegaraan. 

  Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum 
berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. 
Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 

  Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. 
"Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis 
lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," 
katanya. 

  Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak 
ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu 
satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan 
nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan 
juknis."

  Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai 
SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi 
bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya 
disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan 
anggota DPR tersebut. 

  Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari 
Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan 
SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini 
sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini 
adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena 
merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.

  Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap 
etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor 
eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan 
lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. 
Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor 
ekste

Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-01 Terurut Topik UKM BANGKA
Kalau ngak salah, Imigrasi juga mengeluarkan paspor khusus untuk WNA di 
Indonesia. 

Wassalam
  - Original Message - 
  From: BUD'S 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, February 01, 2006 4:00 PM
  Subject: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless


  Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa 
mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI 
- Original Message - 
From: Ambon 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM
Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless


http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258

Minggu, 29 Jan 2006,



 
Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 

 


JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat 
sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat 
Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. 
Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti 
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 

Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi 
yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss 
Place, Jakarta, kemarin. 

Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi 
tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya 
birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, 
tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. 

Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu 
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. 

"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan 
bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut 
dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga 
telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat 
kewarganegaraan. 

Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum 
berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. 
Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 

Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. 
"Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis 
lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," 
katanya. 

Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, 
"Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan 
administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita 
punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada 
juklak dan juknis."

Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai 
SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi 
bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya 
disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan 
anggota DPR tersebut. 

Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari 
Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan 
SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini 
sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini 
adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena 
merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap 
etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor 
eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan 
lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. 
Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor 
eksternal adalah faktor politis.

Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan 
sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. 
"Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan 
nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," 
tegasnya.

Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, 
mulai terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan 
dialog multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," 
katanya. 

Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-01 Terurut Topik melani chia
Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu 
kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau 
masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org 
tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari ginee.

BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  Tanpa kewarganegaraan bearti ngak 
punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he 
aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI 
- Original Message - 
  From: Ambon 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM
  Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
  

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
   
  Minggu, 29 Jan 2006,
   
   
  
 
  Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 
  
 
  

  JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat 
sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat 
Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. 
Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti 
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 

Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi 
yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss 
Place, Jakarta, kemarin. 

Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi 
tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya 
birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, 
tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. 

Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu 
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. 

"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa 
saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan 
menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah 
berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat 
kewarganegaraan. 

Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah 
pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum 
berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. 
Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. 

Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan 
hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain 
seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. 

Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak 
ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu 
satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan 
nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan 
juknis."

Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI 
harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang 
mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan 
kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR 
tersebut. 

Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari 
Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan 
SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini 
sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini 
adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena 
merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap 
etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor 
eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan 
lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. 
Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor 
eksternal adalah faktor politis.

Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan 
sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. 
"Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan 
nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," 
tegasnya.

Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai 
terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog 
multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. 

Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta 
Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan 
rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman

OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless

2006-02-01 Terurut Topik BUD'S





Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport 
dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. 
boleh tuh masuk MURI 

  - Original Message - 
  From: 
  Ambon 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  
  Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 
  AM
  Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela 
  Merah Putih Masih Berstatus Stateless
  
  
  http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258
   
  Minggu, 29 Jan 2006,
   
   
   
  Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless 
  
   
  
  JAKARTA - Masyarakat Tionghoa 
  belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara 
  diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas 
  para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas 
  kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 
  Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam 
  diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di 
  Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis 
  nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan 
  salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun 
  saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. 
  Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali 
  mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu 
  kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. 
  "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang 
  menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan 
  saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," 
  ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak 
  memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat 
  kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua 
  saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara 
  Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di 
  sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut 
  didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang 
  mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi 
  Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. 
  Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, 
  "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan 
  administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita 
  punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada 
  juklak dan juknis."Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga 
  keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah 
  tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan 
  seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan 
  rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama 
  diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign 
  Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih 
  belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah 
  realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini 
  adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena 
  merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.Dalam 
  kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis 
  Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. 
  Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di 
  lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang 
  mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal 
  adalah faktor politis.Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor 
  eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan 
  untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan 
  ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau mengadu ke 
  siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya.Di sisi lain, Eddy yakin 
  diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi gerakan-gerakan 
  generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog multikultural. 
  "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. Mereka 
  mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta 
  Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan 
  rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman. "Tidak 
  ada gunanya saling mencela dan kemudian kecenderungan eksklusivitas. 
  Yang penting kesepahaman antara elemen," tegasnya. 
  (yog)





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi we