CiKEAS Teror Kepada Wartawan di Merauke Kembali Terjadi
Refleksi : Tanah 500.000 ha di sekitar Merauke digadaikan kepada Bin Laden Groups. Jadi tentu saja para wartawan diperingati untuk tidak boleh menulis hal-hal yang bisa merugikan kepentingan kerjasama investor dan pemerintah NKRI http://www.antaranews.com/berita/1280636988/teror-kepada-wartawan-di-merauke-kembali-terjadi Teror Kepada Wartawan di Merauke Kembali Terjadi Minggu, 1 Agustus 2010 11:29 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal | Jayapura (ANTARA News) - Teror wartawan di Kabupaten Merauke, Papua, kembali terjadi dan kali ini dalam bentuk ancaman menggunakan kertas bertuliskan darah. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, Victor Mambor, saat dihubungi di Jayapura, Minggu, membenarkan bahwa dirinya juga sudah menerima laporan tentang ancaman berupa kertas yang ditulis dengan menggunakan darah tersebut. Bentuk teror sudah berubah sekarang dan isi kalimatnya menyebutkan bahwa mereka para peneror sudah tahu sedang dilacak oleh polisi. Pelaku teror pastilah orang terlatih dan terbiasa untuk melakukan teror seperti ini, kata Victor. Ancaman teror dengan kertas bertuliskan darah ini terjadi pada Sabtu (31/7) pukul 18.00 WIB yang dikirimkan orang tak dikenal dengan cara menaruh kertas tersebut di depan rumah wartawan Harian Bintang Papua bernama Lala, di Kabupaten Merauke. Kertas tersebut dibubuhi cap darah dengan kalimat` Ingat, kami tidak pernah main-main dengan ancaman kami. Kami tahu polisi sedang mencari siapa oknum itu. Maaf, kami tidak lengah. Mati Kamu!. Sebelumnya, ancaman terhadap sejumlah jurnalis di Jayapura dilakukan orang tak bertanggung jawab melalui pesan singkat (SMS) yang dikirimkan kepada sejumlah wartawan. Victor Mambor mengatakan, pelaku pasti menyadari bahwa ia perlu mengubah cara terornya agar tidak mudah terlacak. Untuk itu, pihak kepolisian setempat perlu bekerja keras untuk secepat mungkin menemukan pelaku teror ini. Jika situasi seperti ini terus berlangsung hingga pilkada, maka jurnalis akan merasa tidak nyaman untuk meliput pilkada di Merauke, katanya. Sedangkan Lala, wartawan yang menerima ancaman teror itu, menurut Informasi, akan melakukan perjalan menuju Jayapura menggunakan pesawat untuk mengamankan dirinya. Ini tentunya merugikan sebuah proses demokrasi yang sedang didorong oleh berbagai pihak selama ini, ujar Victor. Peran jurnalis dalam pembangunan demokrasi di Indonesia, katanya, seharusnya bisa berjalan normal termasuk dalam mengawal proses pilkada. Kapolres Merauke sendiri, saat dihubungi mengatakan pihak Kepolisian Merauke sedang mengecek langsung kepada wartawan yang bersangkutan. Sementara itu, Wartawan JUBI, Indri mengakui bahwa dirinya merasa takut dengan SMS pesan singkat yang meneror dirinya bersama teman-teman wartawan lainnya. Kami hanya bisa berharap pelakunya bisa ditemukan polisi dan ada kesadaran untuk tidak melakukan teror, ujar Indri, yang bertugas meliput di Merauke, namun saat ini berada di Jayapura. (PSO-186/B/A041)
CiKEAS Kopassus still has long road to go despite ban lifting
http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/29/kopassus-still-has-long-road-go-despite-ban-lifting.html Kopassus still has long road to go despite ban lifting Donny Syofyan, Padang | Thu, 07/29/2010 9:47 AM | Opinion During his visit to Indonesia, US Secretary of Defense Robert M. Gates announced Thursday (July 22) that the US government would lift the ban on the Army's Special Forces (Kopassus). The military cooperation between the US and Indonesia, Gates asserted, would be based on a measured and gradual program of security cooperation activities. The US government decided to take the measure following Indonesian military reforms over the past decade, the ongoing professionalization of the Indonesian Military (TNI) and recent measures taken by the Defense Ministry in response to human rights issues. Despite the US's commitment to place importance on human rights and accountability, the resumption of ties with Kopassus has attracted rejection abroad and at home. Senator Patrick Leahy of Vermont, the author of the law that bans US support to foreign militaries that violate human rights in 1999, believed that Kopassus remains unrepentant, essentially unreformed and unaccountable. In Indonesia, the Commission for Missing Persons and Victims of Violence had long lobbied the US Congress against resumption of cooperation with the Kopassus without taking two important conditions into account: The unit's past accountability and Indonesian military reforms. Current surveys conducted in Indonesia present that Kopassus actually arrives at the point of winning public trust, in contrast to the National Police suffering from lack of public confidence. Widespread opposition to American military reinstatement of ties with Kopassus suggests that the unit still has a long way to go in its reform attempts on three crucial matters. First, the TNI must show its abilities to respect and defend human rights in practice. On many occasions, TNI generals asked for the public not to accuse their soldiers of violating human rights any more. They argue that human rights education has been integrated into Indonesia's military schools and training, noting TNI soldiers especially Kopassus are getting familiar with or knowledgeable about human right issues. However, it is less than enough as Kopassus has failed to reform and the officers accused of human rights crimes continue to serve with the unit. Prabowo Subianto and Sjafrie Sjamsuddin, former Kopassus leaders blamed for gross human rights violations, remain free from any trial or legal cases. The country's military court's position to take no legal action against those violating human rights not only confirms the TNI's approach to settle human rights cases out of court, but also provides the opportunity for future human rights violations. Reforming the Indonesian military justice system, therefore, is a must. For years, military suspects are not provided with many of the basic protections in line with the civilian Criminal Code Procedures, such as the right to an immediate trial, right to advice throughout the process, and access to family members or medical treatment. Things get worse as the Indonesian military justice system has a record of limiting tribunals and sentencing those convicted of serious crimes to extremely light sentences. A credible trial will only succeed if Kopassus cooperates by handing down documents and personnel necessary to prosecuting attorney. Second, reform of the territorial command structure is needed. Despite the TNI's political role has terminated, the Indonesian army's presence at local levels are still there. Such a policy is believed to channel its new power and position into law enforcement, business and even politics. It is ironic while the TNI's role in internal security has reduced, the number of regional military commands has increased, like in West Kalimantan and West Papua. The step has great potential to undermine peace efforts in conflict zone such as Papua, unnecessarily spends state budget, and extends over and covers a part of the police function. Numerous cases at local levels show how military officers are involved in backing businessmen up for land acquisition, harassing, extorting money from, and in some cases using violence against lay people. Hence, the US military aid to Indonesian military should stipulate a friendly, democratic and humanitarian approach of the TNI's territorial command structure. The US should ensure that the content and participants in training, joint exercises, and other assistance must be clear of legal and illegal business activities, human rights violations, and surveillance of government critics. Third, civilian supremacy becomes non-compromised. Military cooperation between the US and Indonesia will be in vain without egging civilian supremacy on. Encouraging civilian supremacy is important to bolster political institutions and
CiKEAS Sihir Setan Gundul bin Nanoteknologi!
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010080100201915 Minggu, 1 Agustus 2010 BURAS Sihir Setan Gundul bin Nanoteknologi! H. Bambang Eka Wijaya SEORANG tokoh dari desa Umar datang menemuinya di kota. Warga desa kita resah! keluh sang tokoh. Ada sepasang setan gundul ahli sihir! Setan gundul seperti apa? potong Umar. Sebetulnya setan gundul itu julukan dari warga desa buat sepasang suami-istri pensiunan dengan kepala sama-sama botak, yang dikirim yayasan tinggal di kompleks tepian desa kita! jelas tokoh. Yang itu! Aku jumpa waktu mudik Lebaran! timpal Umar. Tak mungkin mereka main sihir! Kalau tak melihat sendiri memang tak percaya! tegas tokoh. Warga desa yang melihat langsung menyimpulkan itu sihir! Ceritanya, Pak Joyo pingsan. Suami-istri itu datang membawa kopor berisi botol-botol kosong. Si istri mencolok lengan kiri dengan jarum infus yang nyambung ke botol kosong dari kopornya, suaminya melakukan hal serupa di lengan kanan juga dengan botol kosong! Keduanya berkali-kali menukar botol kosong itu dengan botol kosong lainnya. Akhirnya, setelah satu jam lebih ke botol terakhir milik istrinya, mengalir cairan mirip lemak dari dalam tubuh Pak Joyo! Tak lama Pak Joyo sadar dan menyatakan tubuhnya merasa sehat! Warga yakin, botol-botol kosong itu tempat para jin pelaksana sihirnya! Itu bukan sihir! tegas Umar. Bapak itu ahli nanoteknologi, bisa membuat mesin-mesin berukuran sepermiliar (nano) meter, atau 10 pangkat minus 9. Istrinya ahli mikrobioteknologi, kerjanya membuat virus dari beragam enzim untuk menghasilkan virus yang dibutuhkan! Apa ada teknologi seperti itu? potong tokoh. Maka itu, jangan tergesa menuduh sihir! tegas Umar. Jangan-jangan Pak Joyo kena serangan jantung atau malah strok! Untung cepat datang bantuan pasangan ilmu mutakhir! Kalau tak terlihat mata, sepermiliar meter begitu, bagaimana mereka menanganinya? kejar tokoh. Pakai scanning tunneling microscopy (STM) dan atomic force microscopy--AFM! jelas Umar. Tak cuma kecilnya ukuran yang ditangani alat-alat itu, kecepatan proses kerja atomiknya juga mencapai nanoseconds--sepermiliar detik! Kecil dan cepatnya nanotek itu jadi unggulan teknologi informasi! Intel, tahun 2005 merelis static random access memory (SRAM) 70 MB--mega (juta) bit--chip sebesar kuku itu berisi 500 juta transistor! Kini, persaingan chip di ponsel kita sudah di tataran GB--giga (miliar) bit per detik--1000 kali lebih cepat dari lima tahun lalu! Uedan! entak tokoh. Kemajuan pengetahuan sudah sejauh itu, pendidikan kita bagaimana? Dunia pendidikan kita masih sibuk mencari tambahan kutipan pada orang tua murid! jawab Umar. *** Cetak Berita bening.gifburas.jpgcetak.gif
CiKEAS Perdagangan Sayur dan Buah Indonesia Defisit US$ 500 Juta
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=Newsid=22090 2010-07-30 Perdagangan Sayur dan Buah Indonesia Defisit US$ 500 Juta [JAKARTA] Selama periode 2003-2008, volume dan nilai impor berbagai jenis sayur dan buah terus meningkat. Untuk komoditas sayur, pada 2003 Indonesia mengimpor 343.935 ton dan pada 2008 melonjak menjadi 917.190 ton. Nilai impornya pun melonjak dari US$ 103,39 juta menjadi US$ 442,41 juta. Hal yang sama juga terjadi pada buah. Pada 2003, sebanyak 228.447 ton berbagai jenis buah diimpor dan pada 2008 menjadi 501.962 ton. Nilai impor meningkat dari US$ 194,86 juta menjadi US$ 474,19 juta. Devisa yang dikeluarkan untuk mengimpor sayur dan buah pada 2008 mencapai US$ 916,60 juta atau sekitar Rp 8,25 triliun. Sebaliknya, volume dan nilai ekspor sayur dan buah lebih sedikit. Pada 2008, ekspor sayur tercatat 175.927 ton dengan nilai US$ 171,47 juta dan ekspor buah men- capai 323.888 ton senilai US$ 234,8 juta. Dengan demikian, devisa yang masuk hanya US$ 406,27 juta atau Indonesia masih mengalami defisit US$ 500 juta dalam perdagangan sayur dan buah. Menteri Pertanian (Mentan) Suswono yang dihubungi SP, Jumat (30/7), mengakui peningkatan impor buah-buahan, khususnya dari Tiongkok. Hal itu merupakan konsekuensi penerapan perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok. Namun secara keseluruhan, perdagangan sektor pertanian dengan Tiongkok, Indonesia masih surplus, antara lain melalui produk minyak sawit mentah (CPO), kakao, dan karet. Buah-buahan dari Tiongkok dan beberapa negara lain memang banyak masuk ke Indonesia, terutama ke beberapa kota besar. Tapi buah-buahan itu sudah tidak segar lagi, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan di dalam kontainer. Buah kita jauh lebih segar dan sehat, tegasnya. Untuk itu, Mentan menyarankan masyarakat membeli buah dalam negeri agar petani mendapat pasar yang luas. Pihaknya terus melakukan kampanye konsumsi buah dalam negeri, termasuk di pasar swalayan besar. Sejumlah pasar swalayan sudah bekerja sama dengan petani untuk menjual berbagai macam buah segar. Hotel, restoran, dan berbagai tempat usaha pariwisata juga harus menyuguhkan buah lokal, karena wisatawan datang untuk menikmati makanan lokal, bukan yang diimpor. Suswono mengatakan buah lokal Indonesia sebenarnya sangat eksotik dan diminati banyak negara. Manggis, mangga, dan salak, digemari masyarakat Tiongkok dan Eropa. Sedangkan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati menyatakan impor buah masih dalam koridor aturan perdagangan internasional yang berlaku. Tetapi dia menilai volume dan nilai impor sudah tidak wajar dari sudut kepentingan petani buah, khususnya yang produknya sama atau substitusi dengan yang diimpor. Oleh karena itu, salah satu strategi makro yang disiapkan adalah memanfaatkan berbagai peraturan internasional agar lebih berpihak pada kepentingan nasional, khususnya petani buah. Strategi lainnya adalah upaya di tingkat makro, meso, dan mikro, untuk meningkatkan daya saing produk buah Indonesia. Pasar Dalam Negeri Sementara itu, guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Roedhy Poerwanto menyatakan produk impor harus dibatasi dan diimbangi dengan meningkatkan ekspor produk hortikultura Indonesia. Hal itu bisa diwujudkan dengan meningkatkan kualitas dan mempertahankan kelanjutan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Indonesia sebenarnya sudah mempunyai keunggulan produk hortikultura yang bisa menjadi pemasok utama kebutuhan dunia. Untuk jumlah produksi buah tropika, seperti pisang (menempati urutan 1 dunia), nanas (urutan 3 dunia), mangga (urutan 4 dunia), dan pepaya (urutan 5 dunia). Namun besarnya jumlah produksi tersebut belum mampu menjadi pengekspor utama karena ada sejumlah kendala. Dari sisi produksi hortikultura tropika, Indonesia umumnya unggul. Namun, hal itu tidak sejalan dengan jumlah ekspor kita yang masih sangat minim, tegas mantan Direktur Tanaman Buah, Kementrian Pertanian ini. Dia menjelaskan, sejumlah kendala yang dihadapi adalah kualitas produksi dan penanganan produksi yang ramah lingkungan masih minim, penanganan pascapanen dan kelanjutan produksi yang masih terbatas sehingga sulit menjamin pasokan. Padahal, konsumen dunia sudah mempunyai banyak kriteria kualitas sejak penanaman hingga pasca panen yang harus dipenuhi pihak produsen. Sayur dan buah layak ekspor saat ini harus minim pestisida, penanganan pasca panen yang aman dan baik hingga packaging yang menarik, hingga produksi yang memberatkan petani. Saat ini banyak konsumen yang membeli buah atau sayur dengan catatan memberdayakan petani produsen. Ini merupakan kecenderungan dalam perdagangan hortikultura internasional, katanya. Sedangkan, peneliti Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB Rahmad Suhartanto mengatakan impor hortikultura bisa dibatasi dengan menggenjot produksi untuk mengoptimalkan pasar dalam negeri. Potensi pasar dalam negeri bisa ditingkatkan dengan mendorong investasi pihak swasta. Selain itu, para pejabat dan
CiKEAS Jelang Ramadan, Stok Sembako Lancar
Refleksi : Menjelalang perayaan hari raya agama selalu harga barang-barang, teristimewa harga sembako menjulang ke langit nan biru. Makin sering ada hari raya agama istimewa bukan saja makin baik untuk pebisnis, tetapi juga membawa beban tidak ringan bagi kaum berpendapatan rendah atau miskin. Semoga tidak tinggal hanya harapan abadi,tetapi menjadi kenyataan bahwa sekali-sekali di masa depan penguasa alam semesta bisa menganugerahkan limpahan berkat harga sembako menjadi lebih murah pada perayaan hari besarnyaNya agar kaum miskin bisa dengan lebih gembira bisa turut merayakan hari-hari raya tsb. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/08/01/61292/Jelang-Ramadan-Stok-Sembako-Lancar 01 Agustus 2010 | 23:55 wib | Ekonomi Jelang Ramadan, Stok Sembako Lancar Harga Mulai Merangkak Naik Semarang, CyberNews. Harga sembilan bahan pokok di sejumlah pasar tradisional di Semarang lagi-lagi mengalami kenaikan menjelang Ramadan. Namun, dipastikan tidak akan ada kekurangan pasokan selama Ramadan dan Lebaran nanti. Seperti ayam potong yang mengalami kenaikan Rp 3.000/kg. Bahkan, kenaikan harga tersebut tak diikuti dengan naiknya permintaan. Harga ayam potong broiler berkisar antara Rp 32.000-37.000 per ekor. Menurut Rahmadi (36) pedagang ayam di Pasar Johar, kenaikan ayam potong sudah terjadi sejak beberapa hari silam, setelah harga sejumlah kebutuhan pokok sudah naik terlebih dahulu. Ironisnya, kenaikan ini tak diikuti dengan jumlah pembeli. Seminggu lalu masih Rp 35 ribu untuk ayam ukuran besar. Sebulan lalu Rp 30 ribu, tambahnya. Ia memperkirakan kenaikan harga akan terus terjadi sampai masuk bulan puasa. Namun biasanya pertengahan bulan puasa harga akan kembali turun dan kembali naik menjelang lebaran. Untuk harga daging sapi mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Harga daging per kilogramnya mencapai Rp 60.000 dari Rp 58.000. Beras juga terus mengalami kenaikan harga meskipun tidak ada pengurangan pasokan. Beras dengan harga paling mahal yang dijual saat ini jenis IR42 dengan harga Rp 7.800 per kilogram. Padahal sebulan lalu harga beras jenis serupa sekitar Rp 6.000an. Harga sayur mayur rata-rata juga mengalami kenaikan Rp 1.000 sejak sepekan terakhir. Sementara cabai merah besar stabil di Rp 40 ribu per kilogram, cabai rawit hijau Rp 20 ribu per kilogram dan cabai rawit merah Rp 50 ribu per kilogram. Harga bawang merah masih tinggi, yakni Rp 14 ribu per kilogram. Padahal pekan lalu seharga Rp 10 ribu per kilogram. Yang juga mengalami kenaikan drastis adalah bawang putih, harganya kini mencapai Rp 28 ribu per kilogram dari harga sebelumnya Rp 22 ribu per kilogram. Produk lain seperti telur ayam juga mengalami kenaikan secara bertahap mulai dari Rp 12.000 per kilogram dua minggu lalu sampai hari ini menjadi Rp 16.000 per kilogram. Sementara, minyak goreng curah dijual Rp 8.200 per kilogram dan gula Rp 10.000 per kilogram.
CiKEAS 30 Juta Penduduk Indonesia Menderita Hepatitis
Refleksi : Setalah meredeka-merdeka 65 tahun terdapat 30 juta penduduk menderita hepatitis? Apakah ada kemungkinan bisa diatasi dengan politik kesehatan rakyat dan sistem pengobatan yang berlaku? http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Nusantara KESEHATAN 30 Juta Penduduk Indonesia Menderita Hepatitis Jumat, 30 Juli 2010 YOGYAKARTA (Suara Karya): Waspadai penyebaran virus hepatitis (A, B, dan C) di sekitar lingkungan hidup Anda. Sebab, saat ini ada sekitar 2 miliar penduduk dunia terinfeksi hepatitis (A, B, dan C) dan 360 juta penduduk di antaranya berakhir kronis. Angka kematian penduduk akibat komplikasi hepatitis masih cukup tinggi mencapai 350 ribu per tahun, kata Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih dalam peringatan hari hepatitis sedunia di Rumah Sakit dr Sardjito, DI Yogyakarta, Rabu (28/7). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan 28 Juli sebagai hari hepatitis sedunia mulai tahun ini dengan pertimbangan masyarakat semakin sadar akan bahaya virus hepatitis. Di Indonesia, menurut Menkes, penderita hepatitis B dan C diperkirakan mencapai 30 juta orang. Sekitar 15 juta orang berpotensi menjadi kronis. Indonesia sendiri tergolong negara dengan prevalensi hepatitis tingkat menengah sampai tinggi di dunia, ujarnya. Namun disayangkan, Menkes menambahkan, penderita hepatitis C justru dialami penduduk usia produktif (30-39 tahun) sebesar 29,6 persen dan kelompok usia 20-29 tahun sebesar 27 persen. Masih tingginya prevalensi hepatitis di Indonesia, menurut Endang Rahayu, akibat masih rendahnya cakupan imunisasi bayi di bawah 7 hari. Begitu juga masih ada anggapan yang salah dari masyarat di daerah yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi sebelum usia 40 hari. Kekurangan lainnya fasilitas diagnosis belum merata dan keberhasilan pengobatan masih kurang karena pasien datang terlambat, resistensi virus, dan harga obat yang relatif mahal. Sementara, operasi dan transplantasi hati masih terbatas dan biaya tinggi, katanya. Biaya pengobatan hepatitis B dan C selama ini masih menjadi beban yang besar bagi masyarakat di negara berkembang. Sebagai gambaran, biaya pengobatan hepatitis B untuk obat oral sekitar 800 ribu per bulan dan dibutuhkan waktu minimal 6 bulan. Pengobatan dengan injeksi bahkan memerlukan biaya tiga kali lipat. Padahal, peluang sembuh hepatitis B hanya sekitar 55 persen. Sedangkan hepatitis C sekitar 70 persen, ucap Menkes. Disinggung soal rencana pemerintah meminimalisasi kasus hepatitis di Tanah Air, Menkes mengatakan, pihaknya akan semakin menggiatkan pemberian imunisasi untuk bayi di bawah 7 hari di seluruh rumah sakit. Pemberian imunisasi hepatitis B untuk memutus rantai penularan dari ibu pengidap kepada bayinya dan memberikan perlindungan hepatitis B di masa datang, katanya. (Tri Wahyuni)
CiKEAS DPR Makin Malas Bersidang
Refleksi : Tidak mengherankan kalau anggota DPR malas bersidang, sebab selain DPR adalah Dewan Penipu Rakyat, juga DPR bukan instansi kesatuan militer. Kalau di militer, prajurit yang rajin bisa naik pangkat sampai jenderal, contohnya Pak Harto, dari prajurit tentara kolonial, kemudian sersan naik lagi jadi kapten, lantas kemudian terus naik-naik menjadi jenderal TNI berbintang-bintang dipundak dan di dada. Tetapi, sebagai anggota DPR, jabatannya hanya 5 tahun, jadi dalam pikiran mereka buat apa merepotkan diri sebab situasinya seperti buruh kontrak. Setelah lima tahun habislah riwayat duduk di kursi empuk. Jadi ikut sidang atau tidak, gaji, tunjangan jalan terus. Gaji dan suapan dari sana sini ditabung, bisa menjadi bekal goyang kaki selama hidup setelah 5 tahun bertugas. Bukankah mengumpul rejeki menjadi target utama untuk menjadi anggota DPR? Misalnya, waktu Pemilu lalu, banyak suami isteri bersama, anak, cucu, kakek, nenek, keponakan, paman etc semua ramai-ramai satu keluarga mencalonkan diri untuk dipilih menjadi anggota DPR. DPR adalah bisnis keluarga. http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini Hadar Navis Gumay DPR Makin Malas Bersidang Sabtu, 31 Juli 2010 Dalam ilmu ketatanegaraan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) biasa disebut parlemen. Parlemen sendiri berasal dari kata parle (bahasa Prancis) yang berarti 'bicara'. Karena itu, 'bicara' (menyuarakan) aspirasi rakyat adalah kewajiban para anggota DPR. Dan, salah satu cara untuk menyuarakan aspirasi rakyat tersebut adalah melalui persidangan secara berkala. Namun, bagaimana mungkin para wakil rakyat itu mampu memperjuangkan aspirasi rakyat jika mereka enggan menghadiri persidangan? Terlebih lagi, sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tugas untuk menghasilkan berbagai produk perundang-undangan yang di dalam mekanismenya harus dirumuskan melalui persidangan. Jadi, bagaimana mungkin para wakil rakyat itu mampu menyuarakan, apalagi memperjuangkan aspirasi rakyat, jika malas-malasan untuk hadir di persidangan? Kondisi macam ini sebenarnya terjadi bukan baru kali ini (pada DPR periode sekarang) saja. Para periode DPR sebelumnya, Badan Kehormatan (BK) DPR, yang seyogianya memiliki tanggung jawab mengawasi kinerja DPR, juga tidak mampu bekerja maksimal. Melihat fakta persoalan tersebut, akhirnya muncullah sejumlah wacana untuk mengatasi masalah malasnya anggota DPR mengikuti persidangan. Salah satunya melalui pemberlakuan absensi dengan menggunakan sistem elektronik (fingerprint). Masalahnya, apakah sistem tersebut benar-benar efektif untuk mendorong agar wakil rakyat rajin mengikuti persidangan? Ini masih perlu pembuktian. Dapatkah sistem tersebut mampu meminimalisasi anggota DPR yang suka bolos? Berikut ini petikan hasil wawancara wartawan Suara Karya Tri Handayani dengan Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay terkait masalah kinerja anggota DPR, di Jakarta, baru-baru ini. Menurut Anda, apakah sistem fingerprint bisa meningkatkan kinerja DPR? Sebenarnya tidak ada masalah kalau menggunakan sistem itu. Tapi, jika tidak diumumkan, siapa yang akan tahu, siapa saja nama-nama anggota yang bolos? Hanya internal DPR saja yang tahu. Berbeda jika hasilnya nanti diumumkan. Penerapan sistem itu memang cukup baik, tetapi akan tidak terlalu berguna bagi masyarakat, jika tidak diumumkan hasil akumulasinya. Yang penting, data absensi itu dibuka ke publik. Itu sebetulnya yang dapat membuat mereka malu. Jika yang tahu hanya orang-orang dari sekretariat, buat apa? Sebab, yang tahu itu internal atau teman-teman DPR lainnya. Jadi, seberapa efektif langkah itu mampu membuat jera anggota DPR yang suka membolos di persidangan? Harus diberikan satu upaya yang dapat membuat mereka kapok agar lebih rajin. Minimal yang perlu dilakukan adalah mengumumkan nama-nama itu. Dan, ini bukan pekerjaan yang sulit. Saat kita di sekolah pun dapat diketahui di dalam rapor itu ada keterangan berapa kali tidak masuk, izin maupun sakit. Nah, itu di DPR juga ada absensinya. Itu dapat diumumkan, dipasang, misalnya di website. Dengan demikian, dengan cara ini, masyarakat bisa secara langsung melihat siapa saja anggota DPR yang memang rajin atau malas. Dan, dengan cara ini pun, mereka akan merasa perlu lebih berhati-hati karena nantinya akan terlihat betul apakah mereka menjalankan tugasnya, menghadiri rapat atau tidak. Ada yang beranggapan, anggota DPR tidak hanya sekadar hadir di persidangan. Mereka juga dituntut kekritisannya selama persidangan. Memang. Tapi, untuk tahap awal, tidak perlu diperdebatkan dahulu apakah yang hadir itu jarang bicara. Yang sederhana saja dulu, bagaimana kehadirannya dapat diperbaiki. Jika mereka mau izin tidak ikut sidang, juga harus jelas alasannya. Itu nantinya juga dapat tertulis di absensi. Minimal langkah itu merupakan upaya pertama untuk meningkatkan kinerja DPR. Apakah perlu ada sanksi lainnya? Tentu saja. Kalau ini dinilai tidak
CiKEAS Menghancurkan Ahmadiah Jembatan Menghancurkan Semua Islam !!!
Menghancurkan Ahmadiah Jembatan Menghancurkan Semua Islam !!! Umum bagi ajaran semua agama adalah melatih perasaan berdosa apabila umatnya berbuat salah yang merugikan kelompok umatnya. Berjalan sejajar bersamaan ajaran ini juga dilatih perasaan berjasa dan berpahala apabila perbuatan salah ini dilakukan terhadap musuhnya. Inilah ajaran Islam yang paling unik, mendidik umatnya untuk saling menghancurkan dengan kata2 selubung sebagai saling melindungi, saling memperingatkan, saling memperbaiki yang kesemua kata2 ini akan berakhir dengan total self-destruction. Membakar bangunan mesjid yang disucikan akan membuat pelakunya yang muslim bisa mati mendadak, bisa lumpuh, dan bisa gila atau hilang ingatan yang kesemuanya diakibatkan keimanan yang tinggi terhadap kepercayaan yang diagungkannya dialam bawah sadarnya. Dengan menanamkan akidah bahwa mesjid itu adalah musuh akidah agamanya yang berpahala apabila dibakar dan halal umatnya dijarah akan menciptakan conditional reflex dalam alam bawah sadarnya apabila dilakukan ber-ulang2. Akhirnya dimasa depan, perasaan ini sudah tertanam sehingga meskipun bukan lagi mesjid Ahmadiah, meskipun bukan umat Ahmadiah, para pelaku yang sudah ditanamkan conditional reflex ini tidak lagi canggung atau merasa berdosa apabila dilakukan pembakaran kepada mesjidnya sendiri dan penjarahan kepada sesama umatnya sendiri. Pembakaran mesjid dan penjarahan muslimin Ahmadiah merupakan teknik fisiologis penanaman conditioned reflex yang merupakan cara alQuran mendidik muslimin menuju total self-destruction. Russian behavioral psychologist Ivan Pavlov, adalah pencipta teknik ini ditahun 1870 yang kemudian digunakan untuk menghancurkan musuh melalui total self-destruction persis seperti yang dilakukan umat Islam diseluruh dunia sekarang ini. http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/1904/pavlov-bio.html Sesungguhnya cara ini termasuk dalam teknik brainwashing dan sudah dikenal sejak zaman sebelum nabi Muhammad dilahirkan dimana waktu itu dianggap sebagai sihir A mysterious mix of oriental mystery and Soviet rationality, the technique now seemed like witchcraft, with its incantations, trances, poisons, and potions, with a strange fl air of science about it all, like a devil dancer in a tuxedo carrying his magic brew in a test tube. sunny am...@... wrote: Tindak tegas pelaku anarki Ahmadiah, Tentu saja presiden tidak tegas, sebab yang bertindak adalah anak buahnya. Hendaklah diingat bahwa yang sekarang presiden, dulunya adalah salah satu sponsor pengiriman Laskar Jihad Sunnah Wal Jamaah ke Sulawesi Tengah dan Maluku. Bukankah sponsornya menyababkan puluhan ribu rakyat menjadi korban. http://ngc.dukejournals.org/cgi/reprint/35/1_103/145.pdf Russian behavioral psychologist Ivan Pavlov, whose insights had supposedly made it possible to supplant an individual's consciousness with fabricated beliefs, memories, and even traits. Conditioned refl exes, Hunter explained, could conceivably be produced to make [a man] react like [a] dog that rolled over at its trainer's signal. . . . the Kremlin could use words as signals—any words would do—imperialism, learning, running dog of the imperialists, people, friend of the people, big brother, without any relationship to their actual meaning. Saling bunuh sesama Islam diseluruh dunia sejak zaman Muhammad merupakan hasil dari keajaiban conditional reflex yang sekarang tidak terlepas dari bagian strategi perang ideologi, perang dingin, dan perang fisik. Dengan bukti2 ajaran Islam seperti ini diperkuat dengan kenyataan bahwa pencetakan AlQuran pertama kali oleh pendeta2 Katolik di Venice, tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa AlQuran memang diciptakan dalam kerangka perang antara katolik dan yahudi dengan menyihir mereka para pelaku dengan ajaran Islam. Islam merupakan ajaran yang sangat spesifik dalam mempertunjukkan bagaimana cara melatih conditional reflex sejalan dengan brainwashing yang menuju total self-destruction. Sejarah juga membuktikan, begitu kuatnya kerajaan2 Islam pada mulanya akhirnya hancur dengan sendirinya tanpa perlu diserang dari musuh2 diluarnya. Untuk lebih memahami teknik pelatihan conditional reflex dalam perang modern sekarang ini, saya mendorong para pembaca membaca secara teliti website yang saya cantumkan diatas. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Rawan Pangan Mengancam Separuh Penduduk NTT
Refleksi: Astafirullah, ada saja bencana. Menjelang hari raya agama, kelaparan berada di ambang pintu rakyat NTT. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=258631 PASOKAN BELUM STABIL Rawan Pangan Mengancam Separuh Penduduk NTT Kamis, 29 Juli 2010 KUPANG (Suara Karya): Rawan pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini sudah semakin serius. Sedikitnya 1. 236.479 warga NTT yang tersebar di 1.481 desa/kelurahan dari 2.836 desa/kelurahan di daerah itu terancam rawan pangan serius. Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT, Alexander Sena, yang dihubungi di kantornya, Rabu (28/7), menjelaskan, pada April lalu rawan pangan hanya mengancam 206 desa di 7 dari 21 kabupaten di Provinsi NTT. Namun, pada bulan ini ancaman rawan pangan makin meluas ke 1.481 desa/kelurahan yang tersebar di 201 kecamatan di NTT. Menurut Sena, dari jumlah desa/kelurahan yang terancam rawan pangan itu, 400 desa/kelurahan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 74.774 (356.007 jiwa) mengalami rawan pangan dengan risiko rendah, risiko sedang 335 desa/kelurahan dengan 64.658 KK (332. 104 jiwa), dan risiko tinggi sebanyak 746 desa/kelurahan dengan jumlah 189. 058 KK (548.368 jiwa). Sena menuturkan, desa yang berisiko rawan pangan tinggi atau kategori merah berdasarkan kesimpulan analisis tim dari BKPP perlu mendapat perhatian serius berupa penanggulangan cepat dan tepat. Dikatakannya, langkah-langkah yang telah diambil pemerintah pada April lalu ketika muncul ancaman rawan pangan, yakni pemberian bantuan beras yang bersumber dari dana intervensi rawan pangan APBD NTT sebesar Rp 1.050. 000.000 atau ekuivalen 175 ton beras dengan asumsi harga Rp 6.000/kg. Beras itu diprioritaskan di desa-desa dengan rawan pangan berisiko tinggi. Sena menguraikan, pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota di NTT harus bisa mengupayakan bantuan pangan dari pemerintah pusat. Pasalnya, saat ini cadangan pangan pada posisi Juli 2010 yang menjadi kewenangan gubernur sebanyak 400 ton dan kewenangan bupati/wali kota masing-masing sebanyak 100 ton. Jumlah beras itu, menurutnya, belum termasuk beras untuk rumah tangga miskin (raskin) sebanyak 94. 000 ton bagi 553.770 rumah tangga miskin (RTM) di NTT. Beras itu diperkirakan bisa untuk melayani tindakan tanggap darurat. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi NTT Edy Ismail yang ditemui terpisah di kantornya mengakui, kenaikan harga barang di NTT saat ini bersifat sementara. Pasalnya, pasokan barang dari sentra produksi-seperti Sulawesi, Jawa Timur, dan NTB-tidak lancar akibat cuaca buruk. Edy juga mengaku, bersama tim turun langsung memantau perkembangan kenaikan harga barang di sejumlah pasar di Kota Kupang. Kita sudah turun memantau langsung perkembangan kenaikan harga barang-barang di semua pasar tradisional dalam Kota Kupang. Kesimpulan sementara, kenaikan harga barang itu dipicu oleh pasokan barang dari sentra produksi yang belum stabil akibat cuaca buruk, katanya. (Bonne Pukan)
CiKEAS Amerika Menyebar Agama Seperti Menyebar Racun !!!
Amerika Menyebar Agama Seperti Menyebar Racun !!! Tanpa kata2, Amerika secara implisit menyampaikan pesan kepada bangsanya bahwa agama itu racun. Sebaliknya pesan implisit ini disampaikan kepada negara2 lain diluarnya justru sebaliknya, agama adalah Obat. Melarang pelajaran Agama disemua kegiatan ilmiah di Amerika merupakan tekad bangsa ini untuk menjadi pelopor penemuan2 ilmiah yang menguasai semua teknologi yang akan dikonsumsi bangsa2 lainnya. Dan terbukti, Amerika berhasil, bukan berhasil karena kebetulan melainkan berhasil melalui perencanaan yang sangat teliti. Disetiap laboratorium IBM selalu terpampang tulisan peringatan: Tajamkan Logika Anda Bukan Kepercayaan Anda. Wal Suparmo wal.supa...@... wrote: Semua agama itu seperti komunisme, teorinya setinggi langit tetapi prakteknya serendah comberan dan yang memegang rekord adalah agama Islam. Itulah sebabnya, untuk membuat kesimpulan secara scientifik digunakan angka2 yang dalam hal ini adalah angka statistik bukan kata2. Karena kata2 yang biasa digunakan dalam agama merupakan mantera2 yang melumpuhkan kemampuan pikiran orang. Sekali angka2 berbicara maka punahlah mantera2 tersebut. Kalo anda teliti fungsi logic dalam komputer anda, maka ada bagian yang dinamakan ALU (arithmetic logic unit) yang membuat fungsi komputer ini mampu memproses apa saja. Dan yang perlu anda ketahui bahwa fungsi logic itu terdiri dari 3 aktivitas yaitu: comparing (antara lebih besar, lebih kecil, atau sama), processing (antara lain menambah, mengurang, kali dan bagi), dan storing (menyimpan hasilnya untuk proses yang lebih lanjut). Demikianlah, kemampuan pikiran manusia persis menyerupai ALU ini, namun oleh keimanan, kepercayaan, doa atau mantera2 maka fungsi ALU ini dirusak secara total. Hal inilah menyebabkan tidak memungkinkan dunia agama untuk melahirkan ilmuwan2 yang tangguh. Jadi bukan asal2an keputusan pemerintah Amerika yang melarang semua pelajaran agama di-sekolah2 publik dalam meraih cita2 bangsa ini untuk menjadi pelopor dan pemegang copyright semua penemuan2 yang canggih. Dan jangan dilupakan, semua kegiatan beragama diarahkan kedunia luar meskipun pusat research semua agama dikembangkan di Amerika dalam menguasai semua negara2 lain didunia tanpa perlu perang tapi melalui keimanan dan kepercayaan agama masing2. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS All Is Not Well With Indonesia, as Country Struggles to Shake Its New Order Past
http://www.thejakartaglobe.com/comentary/all-is-not-well-with-indonesia-as-country-struggles-to-shake-its-new-order-past/388855 August 01, 2010 All Is Not Well With Indonesia, as Country Struggles to Shake Its New Order Past Despite remarkable strides in the last 11 years after the economic, social and political chaos of the Asian financial crisis, Indonesia remains to some extent caught in the coils of Suharto's New Order - overly dependent on resource extraction and with its political and social institutions still inadequately developed - according to an exhaustive 105-page report by a Harvard University program. Improving the quality of Indonesian government institutions will not be easy, the report claims, under the unwieldy title From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia's Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Democracy has not eliminated corruption or strengthened the rule of law. The economic oligarchy has survived the crisis intact, and its relationship to the state is largely unchanged, it says. The report, by the Indonesia program at Harvard's Kennedy School, is bound to stir up controversy in Jakarta, which has been the flavor of the month with investment bankers for its accomplishments through the global financial crisis of 2008-09 and with a government and society in a self-congratulatory mood. Indonesia's economic performance through the crisis was remarkably smooth, built on domestic consumption rather than exports. Although the economy slowed, Indonesia, along with China and India, became the only G-20 members to record GDP growth during the crisis. Government planners used fiscal stimulus and monetary policy judiciously to counter the effects of the crisis. On July 30 it was announced that for the first time car sales in Indonesia had surpassed Thailand's, rising 76 percent in the first half of 2010 to make the country the biggest auto market in the region. Nonetheless, the report says, reformasi, which began with Suharto's fall in 1998 to create what hopefully would be a more open and liberal political and social environment, must move to the hard work of substantive institutional transformation. While Indonesia deals with the political and institutional legacy of the Suharto era, the rest of the world is rewriting the rules of production and trade and if Indonesia doesn't transform its institutions in a hurry to take advantage of globalization, it will remain mired in heavy dependency on natural resources and low-wage manufacturing. Unfortunately, according to the report, oligarchy and collusive democracy have left Indonesia ill equipped to respond to the challenge of globalization. Most analysts point to widespread institutional corruption, particularly the judicial system and the police force, which have received considerable attention in the last few weeks. In recent weeks the National Police managed to ignore evidence that top officers had bank accounts holding far more money than would have been possible given their salaries, instead attempting to buy up all the copies of a magazine that detailed the amounts in the accounts, as reported by Asia Sentinel on June 29. Also, charges were dropped against two high-ranking officers, Brig. Gen. Edmond Ilyas and Brig. Gen. Raja Erizman, who had been indirectly implicated by the National Police's former chief of detectives, Comr. Gen. Susno Duadji, for receiving bribes in relation to a case against rogue tax official Gayus Tambunan. The current chief of detectives, Comr. Gen. Ito Sumardi, told journalists last week that there was no indication of wrongdoing by the officers. Economic oligarchy and political collusion are maintained through high barriers to entry, a dysfunctional legal system, patrimonial politics, disempowered citizens and political gangsterism, the report says. While domestic demand carried the country through the financial crisis, that will not be enough for Indonesia to compete on an international stage. Indonesian companies, the report says, must be more nimble, tied more closely to the international economy and less dependent on government protection. Barriers to entry to the formation of new firms must be eliminated, since it is likely that many of the world beaters of the future will not be the legacy firms carried over from the New Order. Barriers to job growth and the formation of small businesses must also be relaxed to give hard-working Indonesians a chance to reduce the risk of falling into poverty and to secure their hard-won middle-class status. Unsettlingly, Indonesia's social indicators are also trailing other middle-income countries, with the country falling behind on technological readiness, infrastructure, health, primary education, higher education and training and labor market efficiency. Growth in manufactured exports has been slow in comparison with
CiKEAS Kekerasan Meningkat Negara Mengendur
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/02/159384/265/114/Kekerasan-Meningkat-Negara-Mengendur Kekerasan Meningkat Negara Mengendur Senin, 02 Agustus 2010 00:00 WIB AKSI kekerasan massa semakin marak. Ironisnya, negara bungkam terhadap fenomena penggunaan kekerasan itu. Sedikitnya telah terjadi tiga kasus kekerasan dalam sepekan terakhir, seperti bentrokan antara warga Ahmadiyah dan massa ormas di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis (29/7). Disusul bentrokan antarmassa ormas di Rempoa, Tangerang Selatan, pada Sabtu (31/7), lalu bentrokan antara massa ormas dan jemaat yang sedang beribadah di Bekasi, Jawa Barat, kemarin. Ada dua bentuk kekerasan yang kerap terjadi. Pertama, kekerasan antarormas seperti yang terjadi di Rempoa. Kedua, kekerasan atas nama agama seperti di Kuningan dan Bekasi. Sebaran kekerasan jenis kedua itu semakin luas (lihat grafis). Ketua DPR Marzuki Alie di Jakarta, kemarin, meminta aparat kepolisian harus menindak tegas pelaku dan aktor intelektual di balik kerusuhan yang membawa-bawa nama ormas. Dia mengingatkan kepolisian agar bisa bertindak tegas sehingga ormas-ormas seperti itu tidak dibiarkan berkembang. Menurut Marzuki, akan sangat berbahaya jika aksi anarki yang dilakukan pendukung ormas itu dibiarkan. Jika terus dibiarkan, baik aturan maupun lembaga atau institusi yang formal, menjadi tidak berfungsi. Ibarat bendungan Sejauh ini, terhadap kekerasan antarormas, kepolisian mengupayakan perdamaian antarpemimpinnya. Akan tetapi, terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama, kepolisian seperti belum maksimal. Itulah sebabnya, Ketua Komisi Nasional HAM Ifdal Kasim mengingatkan bahwa negara wajib melindungi warga dalam menjalankan ibadah. Kewajiban negara itu sering diabaikan. Sosiolog Imam B Prasodjo pun meminta negara melakukan mediasi diiringi langkah tegas agar aksi kekerasan di masyarakat tidak terus-menerus terjadi. Negara di sini bisa berperan seperti pendidik sambil mengedukasi para pihak terkait. Cendekiawan Komaruddin Hidayat juga melihat kelemahan negara mengontrol ormas. Ini pangkalnya di pemerintah. Seharusnya pemerintah tegas dalam melihat fenomena yang ada. Kalau perlu, anggap ormas-ormas yang membandel sebagai organisasi terlarang, pintanya. Ia menyesalkan bahwa agama dibawa-bawa ketika ormas-ormas beraksi di masyarakat. Ironisnya, kata dia, pemerintah mengendur jika berhadapan dengan ormas membawa agama atau etnik tertentu. Tidak peduli mau membawa agama atau etnik apa, kalau merugikan masyarakat, harus ditindak. Ini masalah hukum. Mestinya ditindak tegas dari dulu karena ibarat bendungan, kalau bocornya masih kecil, masih mudah diperbaiki, tapi kalau sudah besar, akan repot. (Tim/X-3)
CiKEAS STOP PRESS... Pemerintah Akan Potong Uang !!!
STOP PRESS... Pemerintah Akan Potong Uang !!! Keselamatan uang anda tergantung dari kecepatan anda memahami berita yang saya tulis dibawah ini. Kalo pemerintah RI menghadapi financial crisis, maka cara yang paling gampang adalah menjarah hasil keringat rakyatnya sendiri dengan cara sanering. Ternyata masih belum cukup cuma menjarah harta benda umat Ahmadiah, gantian sekarang semua rakyat akan dijarah melalui sanering tanpa membedakan apa agama anda. Cara ini sudah yang ketiga kalinya dalam sejarah berdirinya RI. Pemerintah RI sudah mengakui sedang mempersiapkan sanering yaitu pemotongan uang Rp 1000 menjadi Rp 1 dalam bentuk uang yang baru dikeluarkan seri-nya. http://us.detikfinance.com/read/2010/08/02/100240/1411525/5/dpr-redenominasi-rupiah-jangan-sampai-timbulkan-gejolak?f9911013 Meskipun oleh pemerintah itu dinamakan sebagai redominasi yang katanya nilainya tidak berubah, tetap nilainya menjadi berubah juga dan rakyat dirugikan. http://us.detikfinance.com/read/2010/08/02/092723/1411500/5/redenominasi-rupiah-bisa-kacaukan-perekonomian-ri?f9911013 Dulu juga pernah saya alami dilakukan oleh Sukarno dan juga Suharto, namun yang dilakukan Sukarno lebih parah dalam merampok rakyatnya melalui sanering ini. Dizaman Sukarno, uang Rp 1000 menjadi Rp 1 dimana nilainya benar2 cuma satu rupiah dari tadinya seribu rupiah. Dizaman Suharto, juga uang Rp 1000 menjadi Rp 1 yang katanya nilainya tidak berubah karena Rp 1 ini pun didapat dengan menukarkan dengan uang baru Rp 1. Tapi apa yang dikatakan Suharto tidak berubah nilainya ternyata bohong, kenyataannya apa bila anda membawa uang Rp 1000 untuk ditukarkan dengan uang baru, maka anda hanya mendapatkan Rp 0,90, karena yang 10 sen ini merupakan biaya tukar seperti kalo anda menukarkan uang rupiah dengan dollar yang ada biaya atau ongkosnya. Pada waktu pemotongan nilai uang dizaman dulu, sebelum keluarnya pengumuman pemotongan uang ini pada hari d, dimasyarakat sudah tersebar isu2 tentang pemotongan ini, namun kebanyakan masyarakat tidak mengerti bagaimana prosesnya hanya percaya saja apa yang dikatakan pemerintah tentang tidak merugikan masyarakat karena nilainnya katanya tidak berobah. Tetapi para pejabatnya dan para pedagang2 yang mengerti waktu itu, semuanya sudah melepaskan uang2 pecahan besar dan hanya menyimpan uang2 pecahan kecil saja agar tidak merugikan. Demikianlah, dizaman Bung Karno banyak masyarakat yang dirugikan akhirnya bunuh diri terutama mereka yang berhutang dimana hutangnya jadi 1000x lipat dari yang dihutangnya. Sebaliknya, dizaman Suharto setelah sanering ini, semua barang harganya naik lebih dari 10x padahal cuma di denominasi 1000x yang katanya tidak mempengaruhi nilainya. Untuk yang mau cari selamat saya cuma menasihati agar anda mulai sekarang memegang US$ saja daripada resiko memegang rupiah, dan bagi yang biasa boleh menukarkan uangnya dengan Yen, Euro, atau emas batangan. Pemerintah telah resmi memberi tahukan rencana pemotongan uang ini akan dilakukan dalam jangka 5 tahun kedepan, tetapi jangan kaget kalo dilakukannya justru 5 hari kedepan, atau 5 minggu kedepan. Karena setelah pemberitahuan ini, pemerintah harus cepat2 melaksanakannya untuk menghindari masyarakat yang mengalihkan uangnya dengan mata uang lain yang menyebabkan situasi ekonomi jadi goyang dan bank2 akan mengalami rush kalo tidak secepatnya dilakukan oleh pemerintah RI yang akibatnya malah akan merugikan pemerintah lebih banyak lagi. Cara sanering ini memang sama dengan merampok atau menjarah masyarakat terang2an. Tapi memang beginilah kehidupan Islamiah, biarpun sama2 Islam akan halal menjarah harta benda umat Islam Ahmadiah, lalu apa bedanya menjarah sesama bangsa sendiri, sesama rakyat sendiri bukan cuma sesama agama sendiri Bedanya, kalo menjarah sesama Islam dari umat Ahmadiah difatwakan oleh MUI, maka menjarah sesama bangsa melalui sanering ini difatwakan oleh Departement Keuangan RI. Ke-dua2nya adalah fatwa yang tidak bisa dihindari, paling tidak bisa dikurangi akibat2 yang merugikan anda. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Sanering Cara Suharto !!!
Sanering Cara Suharto !!! Dulu Suharto juga melakukan sanering, 99% rakyat mutlak dirugikan, hanya para pejabat dan pedagang besar saja yang jumlahnya kira2 1% yang tidak dirugikan malah diuntungkan. Pemerintah kelihatannya akan melakukan cara2 Suharto bukan cara2 Sukarno yang betul2 mematikan merampok secara brutal rakyatnya sendiri demi revolusi. Saya akan memaparkan cara2nya dimasa lalu itu agar anda semua bisa mempersiapkan segala kemungkinan dalam memperkecil kerugian. Kalo anda punya selembar uang Rp 10 ribu sebelum sanering, maka setelah sanering uang itu anda tukar atau belanjakan maka nilainya cuma Rp 9 uang baru. Sebaliknya, apabila anda berhutang pajak kepada pemerintah sebelum saneering sebanyak Rp 10 ribu, maka setelah sanering anda membayar pajak anda sebesar Rp 10 (bukan Rp 9). Jadi dalam proses sanering ini, pemerintah menerbitkan uang versi baru dengan nominasi seperseribu lebih kecil tapi nilainya dianggap sama meskipun waktu dibelanjakan nilainya jadi lebih kecil 10%. Jadi, nanti pasca sanering, apabila anda punya selembar uang Rp 10 ribu uang lama, maka waktu anda deposito atau anda masukkan kedalam tabungan, maka tertulis dalam deposito atau tabungan anda hanya Rp 9. Sebaliknya, kalo anda punya 100 lembar pecahan Rp 100 (yang nilainya adalah Rp 10 ribu) dan anda bawa ke bank untuk ditabungkan, maka akan tertulis dalam tabungan anda adalah Rp 10 (nilai uang baru). Itulah sebabnya dizaman Suharto, para pedagang sebelum sanering telah menukarkan lebih dulu uang2 besarnya dengan pecahan kecil2 agar nilainya jangan dikurangi 10%. Tetapi saya kira cara pemerintah sekarang akan melakukan pemotongan 10% tidak peduli apakah uang anda itu pecahan besar ataupun pecahan kecil. Oleh karena itu, jangan cari resiko, tukarkan aja semua simpanan anda jadi dollar daripada terpotong 10% atau bahkan lebih. Namun menukarkan dollar juga tetap saja besarnya uang anda juga terpangkas oleh harga jual dollar itu sendiri, namun tetap nilai dollar nanti setelah sanering akan meroket sehingga bisa menutupi kerugian anda bahkan besar kemungkinan malah bisa untung berlipat kali. Tapi, menukarkan uang anda dengan dollar juga belum tentu berhasil, karena disemua tempat dollar dan mata uang asing lainnya akan kosong diserbu pejabat, penguasa, abri dan ulama yang biasanya diberi prioritas oleh pemerintah untuk menyelamatkan kekayaan mereka. Oleh karena itu berusahalah bergerak cepat, gagal beli dollar cari mata uang lainnya, gagal juga mata uang lainnya, maka belilah emas, tapi kalo harga emas meroket tidak masuk akal, maka tumpuklah sembako. Tapi kalo anda terlambat, maka semua tindakan itupun tidak ada gunanya. Begitulah sanering dizaman Suharto, dan dizaman Sukarno betul2 perupakan pelanggaran HAM, karena kalo anda punya tabungan Rp10 ribu, maka kalo anda tarik akan dibayar bank pemerintah cuma Rp 1 uang lama tanpa perlu pemerintah mengeluarkan uang baru. Naaah... Selamat berjuang mengejar waktu. Ny. Muslim binti Muskitawati.