CiKEAS Keteladanan Bagi Icha

2009-02-18 Terurut Topik muhamad agus syafii
Keteladanan Bagi Icha

By: agussyafii

Malam sudah mulai larut. Icha berpidato didepan anak-anak pengajian Amalia. 
Temanya Aku Anak Insan Mulia. Suaranya lantang. Dalam pidatonya Icha 
mengatakan, Icha adalah anak-anak Insan Mulia, ingin menjadi dokter dan 
menjadi guru mengaji seperti bunda berguna bagi semua anak-anak. Terus apa lagi 
ya.. terdengar suara gerr, tertawa anak-anak Amalia. Saya melihat sendiri 
semua yang dikerjakan Icha selalu mengikuti apa yang dikerjakan oleh istri 
saya, termasuk mengikuti  ketika sedang mengajar mengaji. Barangkali itulah 
keteladan bagi Icha. Bercita-cita ingin menjadi dokter dan juga guru mengaji.

Membangun keteladanan dalam keluarga bisa dilakukan oleh ayah ibu,
misalnya sosok ibu yang sangat penyabar dan sangat lembut, sosok ayah yang 
berwibawa. Keagungan seorang ibu tidak terletak pada ketinggian ilmunya, tetapi 
pada berfungsinya sifat keibuan menurut persepsi anggota keluarga. Seorang ibu 
mungkin hanya tammatan SD, tetapi karena kuat sifat keibuannya, ia dipandang 
sangat tinggi oleh anaknya yang doktor. Seorang ayah mungkin hanya guru SD, 
tetapi karena kewibawaan internal dalam keluarganya, ia menjadi idola bagi 
anak-anaknya yang kesemuanya sarjana.

Nah ayah dan ibu tidak serta merta menjadi idola dan teladan bagi
anak-anaknya, tetapi harus membuktikan terlebih dahulu konsistensinya dalam 
hal-hal yang mengagumkan hati anak-anaknya, dan itu biasanya di capai setelah 
sang ayah atau sang ibu berusia lanjut.

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye Program Pendidikan Anak-anak Insan 
Mulia (Amalia)  Program Pendidikan anak-anak dengan kasih sayang, silahkan 
kirimkan dukungan dan komentar anda di 087 8777 12 431 atau di 
http://agussyafii.blogspot.com




  

CiKEAS Keteladanan

2008-08-20 Terurut Topik agussyafii
Keteladanan

Malam sudah mulai larut. Anak-anak mengaji menghapal surat al-ikhlas. 
Hana turut serta mengaji. Biarpun belum bisa menulis, buku dan pensil 
selalu saja tidak lepas dari tangannya. Kalo anak-anak lainnya sibuk 
bermain dengan boneka, Hana lebih memilih pensil dan buku tulis juga 
buku iqro'nya. Semua yang dikerjakan Hana selalu mengikuti apa yang 
dikerjakan oleh ibu termasuk mengikuti ibu ketika mengajar mengaji. 
Barangkali itulah yang disebut dengan keteladanan.


Membangun keteladanan dalam keluarga bisa dilakukan oleh ayah ibu, 
misalnya sosok ibu yang sangat penyabar dan sangat lembut, sosok ayah 
yang berwibawa. Keagungan seorang ibu tidak terletak pada ketinggian 
ilmunya, tetapi pada berfungsinya sifat keibuan menurut persepsi 
anggota keluarga. Seorang ibu mungkin hanya tammatan SD, tetapi 
karena kuat sifat keibuannya, ia dipandang sangat tinggi oleh anaknya 
yang doktor. Seorang ayah mungkin hanya guru SD, tetapi karena 
kewibawaan internal dalam keluarganya, ia menjadi idola bagi 
anak-anaknya yang kesemuanya sarjana. 

Nah ayah dan ibu tidak serta merta menjadi idola dan teladan bagi 
anak-anaknya, tetapi harus membuktikan terlebih dahulu konsistensinya 
dalam hal-hal yang mengagumkan hati anak-anaknya, dan itu biasanya di 
capai setelah sang ayah atau sang ibu berusia lanjut.

Salam Cinta,
agussyafii


===
Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye Andalah Sang Cahaya, sudah
saatnya menerangi kehidupan silahkan kirimkan dukungan dan komentar
anda di http://agussyafii.blogspot.com atau sms 087 8777 12 431







CiKEAS Keteladanan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib

2007-06-08 Terurut Topik adi setiawan wawan

  
  Keteladanan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib 
  
  Selasa, 15 Mei 2007, www.hidayatullah.com
  
  Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan
  Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun.  Bagaimana akhlaq Islam
  dari peristiwa ini?
  
  Hidayatullah.com--Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa
  orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki
  mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari
  menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya
  ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di
  jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda.
  Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi
  di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan
  kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan
  dibelenggu lehernya.
  
  Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh
  pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah
  satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh
  August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of
  Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).
  
  Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan.
  Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin
  dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai
  secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya
  tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.
  
  Sepak Terjang Tentara Salib
  
  Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M)
  yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium
  (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah
  pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai.
  Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian
  itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan
  invasi.
  
  Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani
  merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari
  kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong
  kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari
  cengkeraman kaum yang mereka sebut orang kafir.
  
  Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi
  besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin
  membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang
  menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi
  orang-orang Kristen Eropa. Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah
  suci Palestina harus direbut kembali, kata Paus.
  
  Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096
  oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di
  seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan,
  kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para
  ksatria yang mau berperang.
  
  Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri
  atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat
  sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang
  bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci
  Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, Deus Vult! (Tuhan
  menghendakinya!)
  
  Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi
  perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula
  sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini
  sebagai Perang Demi Salib untuk merebut tanah suci.
  
  Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap
  tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi
  panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan
  petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di
  medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis
  (Yerusalem).
  
  Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia
  (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari
  Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert
  Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum
  Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3
  Juni 1098.
  
  Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai
  orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi.
  Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099.
  Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan
  pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099,
  mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota
  ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari
  Palestina hingga Antakiyah. .