CiKEAS> Moralitas Bangsa Merdeka! (4)
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008082009565116 Rabu, 20 Agustus 2008 BURAS Moralitas Bangsa Merdeka! (4) "MORALITAS merdeka sebagai satu bangsa menetas 28 Oktober 1928, anak-anak garuda mengepakkan sayap keluar dari cangkang nepotisme-feodalistik, primordialisme, dan sektarianisme, menyatu dalam cakrawala kebangsaan yang luas terbuka--Indonesia!" ujar Temin. "Anehnya, setelah 63 tahun merdeka, elitenya malah mengapsulkan diri kembali masuk cangkang-cangkang lapuk yang telah lama ditinggalkan itu, menyeret massa terjebak dalam lorong buntu! Bangsa pun terpojok, satu dekade tidak mampu menemukan jalan keluar dari multikrisis!" "Kondisi itu seperti lambang negara garuda yang melanglang cakrawala, diganti puyuh nyungsep di semak!" timpal Temon. "Lebih celaka, partai politik sebagai sarana modern keluar dari cangkang-cangkang itu, dalam mengusung calon anggota legislatif (caleg) atau kepala daerah, ikut menempuh jalan serupa! Nepotis-feodalistik saat sanak-keluarga ketua partai diberi nomor jadi caleg! Atau, memilih calon kepala daerah berorientasi primordial dan sektarian! Moralitas berbangsa pun mundur jauh ke zaman pra-Sumpah Pemuda!" "Konsekuensinya, sentimen suku dan agama menajam, kian lama merdeka cara pandang masyarakatnya justru makin terbelakang!" tukas Temin. "Menghadapi tantangan nyata globalisasi, kecenderungan itu mengerdilkan kapasitas bangsa di kancah persaingan! Moralitas merdeka mengangkat warga berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain, tidak serta merta! Bangsa-bangsa lain mengepakkan sayap hegemoni global, elite kita malah (cuma bisa) jongkok akibat kapsul tempat kiprahnya sempit!" "Untung masih ada generasi muda tampil di Olimpiade berbagai bidang, dari olahraga, matematika sampai fisika, mengukir prestasi global mengharumkan nama bangsa!" timpal Temon. "Di celah merebaknya pandangan sempit antiasing--seperti menuding 'agen asing' LSM yang menangani program universal--kibar sukses global anak negeri diharapkan menginspirasi warga bangsa untuk keluar dari cangkang yang digunakan elite untuk bersembunyi dari gemuruh globalisasi yang makin tidak bisa diikutinya! Sudah ketinggalan, terbelakang, nggandoli pula! Warga bangsa merdeka akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain hanya bila mampu bersaing dan unggul di arena global dalam segala bidang!" "Lagi pula, bagaimana mau mewujudkan amanat konstitusi memajukan kesejahteraan umum, jika elitenya xenophobia--takut pada asing--hingga malah melangkah mundur dari persaingan global dan bersembunyi dalam cangkang masa lalu?" tukas Temin. "Dengan globalisasi tak bisa ditawar-tawar, jika tidak dimanfaatkan sebagai peluang untuk mencari solusi dan malah terus nyungsep dalam cangkang nepotis, primordialis, dan sektarianis untuk menghindari eksesnya, moralitas kita sebagai bangsa merdeka untuk setara degan bangsa-bangsa lain bisa kehilangan momentum! Akibatnya, bukan keluar dari multkrisis, justru setiap kali muncul masalah baru yang lebih rumit dan makin mustahil bisa keluar dari krisis!" H.Bambang Eka WIjaya <><>
CiKEAS> Moralitas Bangsa Merdeka! (3)
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008081909172017 Selasa, 19 Agustus 2008 BURAS Moralitas Bangsa Merdeka! (3) "KONDISI terkapsulnya elite dalam keasyikan dan kepentingan sendiri larut jadi disorientasi terhadap realitas pergumulan kesulitan hidup rakyat!" ujar Temin. "Egosentrisme menonjol, beranggapan hanya dirinya paling benar, layak mendapat hak-hak istimewa hingga membenci dan memusuhi orang lain yang menginginkan hal serupa! Gejala ini tidak terbatas pada lurah dan mantan lurah sering tidak akur, bahkan di antara mantan presiden kita neng-nengan--tidak saling bicara!" "Saling benci dan curiga antarelite merebak dengan fragmentasi pendukungnya, warga tercabik dalam kotak-kotak antagonisme horizontal--menonjolkan dan mempertajam perbedaan hingga yang terkecil dan tersembunyil!" sambut Temon. "Sejauh persaingan berjalan sehat, itu bisa menjadi pemacu kemajuan! Tapi dengan kenyataan saling hujat dan membusukkan pihak lain, fragmentasi jadi belantara fitnah dan cari kesalahan, persaingan jadi kontraproduktif!" "Moralitas bangsa merdeka yang seharusnya menghormati kepentingan orang lain sesama warga bangsa pun, dengan begitu berubah menjadi saling curiga dan saling jegal, ada kalanya malah berusaha saling bunuh," tegas Temin. "Kebersamaan dan ke-kita-an sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa tinggal sebatas penghias bibir! Realitasnya, elite terfragmentasi dalam egosentrisme dan segala bentuk ke-kami-an--dari nepotis, primordialis, sektarianis, sampai partisan!" "Kohesivitas warisan leluhur, seperti biduk lalu kiambang bertaut, fragmentasi yang terjadi saat pemilihan lurah segera melebur usai pesta demokrasi itu, berubah jadi dendam hingga pemilihan lurah atau pilkada berikutnya!" timpal Temon. "Moralitas merdeka yang mempersatukan segala perbedaan elemen bangsa tercabik-cabik oleh egosentrisme dan ke-kami-an yang sempit! Murid dan mahasiswa tawuran hanya akibat perbedaan sepele! Ini pertanda ke depan fragmentasi sosial bisa makin serius!" "Dengan moralitas berbangsa kita harus kembali ke akar struktur dasar masyarakat bangsa, RT-RW-Dusun!" tegas Temin, Di dasar itu masih ada majelis taklim, pengajian bersama malam Jumat, masih ada giliran ronda menjaga keamanan kampung, masih ada gotong royong dan saling membantu baik saat kesusahan maupun pesta! Bangsa retak centang-perenang di struktur bangunan atas, tapi di bawah, fondasinya masih utuh! Itulah modal sosial terpenting bangsa ini untuk bangkit kembali dengan moralitas bangsa merdeka, bangkit bersama semua unsur dan elemen masyarakat, bukan kelompok satu mau hidup sendiri dengan mengeliminasikan kelompok lain!" "Malangnya hubungan warga strutur paling bawah itu dengan elite seperti istri terhadap suami--swargo nunut, neroko katut!" tukas Temin. "Ketika konflik elite merebak, rakyat di bawah duluan kejeblos dijadikan tumbal! Sedang elitenya, justru mendapat posisi tawar baru dengan timbulnya konflik!" H. Bambang Eka Wijaya <><>
CiKEAS> Moralitas Bangsa Merdeka! (2)
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008081809161616 Senin, 18 Agustus 2008 BURAS Moralitas Bangsa Merdeka! (2) "ELITE yang tidak kenal kata 'cukup' dengan tumpukan hartanya menjadi kendala untuk berbagi dengan rakyat yang tercekam kemiskinan!" tukas Temin. "Jadi, asumsimu kalau makmur selalu cukup untuk dibagi, keliru! Buktinya, alam negeri kita kaya dan makmur, dieksploitasi nyaris tanpa sisa pun--hutan-hutan gundul, minyak bumi hampir habis--rakyat tetap miskin! Itu, selain akibat minimnya sikap adil elite, rasa tanggung jawab moralnya sebagai bangsa merdeka juga rendah! Kemerdekaan cuma jadi praktek bebas menggunakan kekuasaan untuk kepuasan diri, keluarga dan kroni! Tanggung jawab pada rakyat yang memberi mereka kekuasaan, sebatas retorika!" "Tanggung jawab sebagai elemen moralitas bangsa merdeka itu harus ditarik ke asal-usul kekuasaan, yakni kedaulatan rakyat!" timpal Temon. "Kekuasaan elite politik di ranah publik itu diperoleh dari rakyat si pemegang kedaulatan lewat proses pemilihan langsung! Maka itu, sebelum menuntut tanggung jawab elite atas amanah yang diberi rakyat, ditanya dahulu apakah rakyat telah melakukan pilihan bagi penentuan nasibnya secara bertanggung jawab? Kalau ternyata memilih asal-asalan, misal, menukar kedaulatannya dengan satu kresek sembako, harus siap menanggung konsekuensinya--masa depannya telah ditukar sembako itu!" "Untuk itu rakyat tak bisa dijadikan keranjang sampah kesalahan elite!" tegas Temin. "Rakyat berpegang pada janji elite! Kerbau dipegang talinya, manusia, apalagi pemimpin, yang dipegang janjinya! Kalau terbukti dia ingkar janji serta khianat pada amanah yang diterima dari rakyat, bukan salah rakyat, tapi tanggung jawab elite itu atas perbuatannya! Katanya hidup adalah perbuatan!" "Tapi rakyat tetap menanggung konsekuensi dari kesalahannya memilih pemimpin!" timpal Temon. "Mereka harus menyadari, rakyatlah pemilik mahkota kedaulatan negara, hingga pelaksanaan tanggung jawabnya untuk itu sebagai amalan moralitas bangsa merdeka harus dilakukan sebaik-baiknya! Mahkota itu jangan dijual murah, apalagi cuma dibayar janji kosong!" "Rakyat tidak berpikir sejauh itu atas mahkota kedaulatannya!" tegas Temin. "Bahkan bagi sebagian besar rakyat, memilih dalam pemilu masih dianggap kewajiban ketimbang hak! Juga, itu dipandang tidak lebih penting dari tanggung jawab menafkahi keluarga atau menjaga keamanan desa! Belum dipandang sebagai penentu nasib! Kalau tidak kerja keras, keluarga kelaparan!" "Sikap rakyat itu, kurang peduli terhadap janji elite bagi perbaikan nasibnya, salah satu pemicu krisis rasa tanggung jawab kalangan elite!" tukas Temon. "Karena usai memilih di pemilu, rakyat segera terbenam kembali dalam usaha bertahan hidup, elite jadi personalized dengan kekuasaannya--kekuasaan diperlakukan sebagai milik pribadi yang tidak perlu bertanggung jawab kepada rakyat! Elite jadi terkapsul dalam keasyikan dan kepentingan sendiri! Pada yang lain, cukup silat lidah menutupi ingkar janji!" H. Bambang Eka WIjaya <><>
CiKEAS> Moralitas Bangsa Merdeka!
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008081522503813 Sabtu, 16 Agustus 2008 BURAS Moralitas Bangsa Merdeka! H.Bambang Eka Wijaya "SELAMA 63 tahun merdeka, hidup kita begini-begini terus, selalu dirundung derita dan sengsara!" keluh Temin. "Katanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nyatanya yang kaya tambah kaya, yang melarat kian sekarat!" "Jangan mengeluh melulu!" timpal Temon. "Arti utama merdeka sudah terwujud, negara kita berdaulat, tidak lagi dijajah atau diperintah asing! Dengan kedaulatan itu kita jadi setara dengan bangsa-bangsa lain, duduk sama rendah berdiri sama tinggi! Itu ajaran pertama moralitas bangsa merdeka!" "Apa dengan merasa setara saja cukup kalau kenyataan kita cuma bertahan hidup dari raskin, BLT, jamkesmas, dan sejenisnya?" tukas Temin. "Padahal, konstitusi menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan! Mana buktinya?" "Negara bukan Santa Klaus!" jawab Temon. "Janji negara itu berupa hak bagi warga yang harus diraih, dikejar, atau bahkan direbut--pursuit the happiness! Moralitasnya, hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berusaha meraihnya! Negara jadi fasilitator dengan memberi bekal kemampuan lewat pendidikan untuk usaha meraih hak itu!" "Sebagai fasilitator itu, selain wajib belajar sembilan tahun sekolahnya belum gratis, di arena pursuit the happiness lulusan wajib belajar SMP diadu dengan sarjana!"timpal Temin. "Akhirnya cuma bisa pasrah, dan moralitasmu tidak laku! Jangankan merasa setara dengan bangsa-bangsa lain, untuk setara dengan sesama bangsa sendiri saja tidak bisa! Tampak, masalah dalam moralitas justru karena kita tenggelam dalam slogan-slogan seperti moralitas kesetaraanmu itu!" "Kenyataan memang begitu! Tapi jangan menyerah pada kenyataan, seperti para pendahulu kita yang pantang menyerah pada kenyataan sebagai bangsa terjajah!" tegas Temon. "Kalau pasrah dan menyerah para pendahulu tidak berjuang mengusir penjajah, kita tetap sebagai bangsa terjajah! Jadi, inti moralitas itu berjuang dan berjuang guna menyetarakan diri di antara sesama dan bangsa asing! Jika pendahulu berjuang meraih kemerdekaan, kita pursuit the happiness!" "Tapi tetap, dengan moralitas kesetaraanmu itu pun, persaingan di arena pursuit the happiness tidak akan pernah adil!" tukas Temin. "Maka itu, yang lebih diperlukan justru menciptakan keadilan--pursuit the fairness! Ini pohonnya, sedang pursuit the happiness cuma buahnya! Adil dahulu baru makmur! Jika yang kaya tambah kaya dan yang melarat kian sekarat, itu disebabkan kian timpangnya keadilan baik secara substantif--sosial ekonomis--maupun keadilan hukum! Berarti moralitas utama bangsa merdeka sikap adil, adil pada keluarga, adil pada masyarakat!" "Tapi jangan harap keadilan tercipta dalam ketimpangan sosial!" tegas Temon. "Keadilan itu sendiri buah keseimbangan struktur dasar masyarakat, yakni sosial-ekonomi! Artinya, makmur dahulu baru adil! Karena struktur dasar makin jomplang, yang menderita kian sengsara! Lihat saja, makin makmur suatu negara, kian adil masyarakatnya! Kalau makmur, yang dibagi-bagi cukup--jadi bisa relatif lebih adil! Dirgahayu bangsaku!" <><>