[ekonomi-nasional] Pelarangan Buku dan Restorasi Budaya Orba

2009-12-30 Terurut Topik Raymond J. Kusnadi
Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 261 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Pelarangan Buku dan Restorasi Budaya Orba

Oleh Oki Hajiansyah Wahab *

Menjelang akhir tahun publik kembali dikejutkan oleh keputusan Kejaksaan Agung
yang melarang peredaran buku. Kelima buku yang dilarang beredar tersebut
adalah “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”
karangan John Roosa; “Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan
Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karya
Cocrates Sofyan Yoman; “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan
Harian Rakjat 1950-1965” karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.
Dahlan; “Enam Jalan Menuju Tuhan” karya Darmawan MM; serta “Mengungkap Misteri
Keberagamaan Agama” yang ditulis Syahrudin Ahmad.

Kejaksaan Agung menilai kelima buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban
umum dengan bahasa yang lebih lugas dinilai bertentangan dengan UUD 1945,
Pancasila, agama dan SARA seperti yang dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum
Kejaksaan Agung. Uniknya salah satu buku yang dilarang yaitu buku Dalih
Pembunuhan Massal karya John Roosa konon termasuk nominasi buku terbaik dalam
International Convention of Asian Scholars pada tahun 2007. Buku-buku yang di
luar negeri mendapatkan apresiasi dan penghormatan justru terbalik nasibnya di
Indonesia.

Pelarangan peredaran buku oleh Kejaksaan Agung tentunya kembali menuai kritik
dari berbagai pihak. Belum hilang dari ingatan kita, dua tahun lalu tepatnya
tahun 2007, Kejaksaan Agung lewat SK Nomor 19/A/JA/03/2007 juga melarang
peredaran 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA. Alasan
pelarangan adalah hanya karena isi buku tersebut tidak memuat Pemberontakan
Madiun dan 1965 serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Praktis, sejak surat larangan itu dikeluarkan Jaksa Agung, razia bahkan
pembakaran buku-buku sejarah gencar dilakukan di berbagai daerah

Restorasi Budaya Orba

Pelarangan buku di era yang katanya demokratis ini mengingatkan kita pada
pencabutan SIUPP dan pelarangan buku kiri pada masa rezim Orde Baru. Saat itu,
rezim lah yang bisa menentukan mana buku ataupun informasi yang bisa dibaca
atau tidak oleh rakyatnya. Orde Baru tidak segan membunuh kebebasan
berpendapat demi mengamankan kekuasannya. Perbedaan pendapat dengan rezim
dimaknai sebagai sebuah pembangkangan yang tidak bisa diampuni.

Di era Orde Baru setiap barang cetakan mendapat pengawasan ketat dari
institusi pemerintah. Pada masa awal berdirinya Orde Baru, Komando Operasi
untuk Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi lembaga yang sangat berkuasa
untuk melakukan kontrol dan pelarangan peredaran sebuah buku. Pengawasan
barang cetakan sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 4 / PNPS / 1963
tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu
Ketertiban Umum dan Kepja 190/A/JA/3/2003 tanggal 25 Maret 2003 yang
menetapkan sebuah badan bernama clearing house. Di masa Orde Baru, proses
clearing house dilakukan oleh Tim 9 yang anggotanya terdiri dari Badan
Intelijen Negara (BIN), Departemen Dalam Negeri, TNI, dan Kepolisian.

Berbagai alasan dapat diajukan sebagai pertimbangan untuk melakukan pelarangan
terhadap sebuah buku. Dari alasan ideologi, politik, masalah SARA, sampai pada
usaha untuk membatasi serbuan pornografi. Sejak tahun 1965-1996 diperkirakan
sekitar 2.000 buku telah dilarang sejak 1965 (Sen & Hill, 2001). Akibatnya
buku-buku berkualitas-pun tak luput dari larangan beredar oleh Rezim Soeharto.
Buku Militer dan Politik yang merupakan terjemahan dari buku Army and Politics
in Indonesia karya Harold Crouch dilarang beredar pada 1986 karena berisi
analisis tentang sejarah kemunculan militer Indonesia sebagai kekuatan politik
dan ekonomi serta berbagai pergulatan politik sejak masa awal kemerdekaan
hingga rezim Orde Baru berdiri.

Buku Yoshihara Kunio berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara, The Rise of
Ersatz Capitalism in Southeast Asia, terbitan 1990 juga dilarang beredar
akibat analisisnya tentang gejala kapitalisme kroni di lingkungan seputar
kekuasaan Soeharto. Beberapa buku berbahasa Inggris yang juga sempat dilarang
beredar di Indonesia karena menampilkan data dan analisis kritis tentang
praktik kotor kekuasaan Soeharto dan kroninya diantaranya The Indonesian
Tragedy karya Brian May, Soeharto and His Generals karya David Jenkins, dan
Indonesia: The Rise of Capital karya Richard Robison.

Secara umum batasan pelarangan sendiri sebenarnya sangat kabur. Sebuah buku
dapat dilarang karena “dianggap” bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Aturan ini sebenarnya sangat terbuka untuk diinterpretasikan dan
diperdebatkan. Celakanya, hanya penguasa yang berhak mengartikan apa batasan
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Faktanya, kebanyakan
pelarangan peredaran sebuah buku lebih banyak akibat ketersinggungan penguasa
karena adanya informasi baru atau analisis

[ekonomi-nasional] Pelarangan Buku dan Restorasi Budaya Orba

2009-12-30 Terurut Topik Raymond J. Kusnadi
Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 261 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Pelarangan Buku dan Restorasi Budaya Orba

Oleh Oki Hajiansyah Wahab *

Menjelang akhir tahun publik kembali dikejutkan oleh keputusan Kejaksaan Agung
yang melarang peredaran buku. Kelima buku yang dilarang beredar tersebut
adalah “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”
karangan John Roosa; “Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan
Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karya
Cocrates Sofyan Yoman; “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan
Harian Rakjat 1950-1965” karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.
Dahlan; “Enam Jalan Menuju Tuhan” karya Darmawan MM; serta “Mengungkap Misteri
Keberagamaan Agama” yang ditulis Syahrudin Ahmad.

Kejaksaan Agung menilai kelima buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban
umum dengan bahasa yang lebih lugas dinilai bertentangan dengan UUD 1945,
Pancasila, agama dan SARA seperti yang dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum
Kejaksaan Agung. Uniknya salah satu buku yang dilarang yaitu buku Dalih
Pembunuhan Massal karya John Roosa konon termasuk nominasi buku terbaik dalam
International Convention of Asian Scholars pada tahun 2007. Buku-buku yang di
luar negeri mendapatkan apresiasi dan penghormatan justru terbalik nasibnya di
Indonesia.

Pelarangan peredaran buku oleh Kejaksaan Agung tentunya kembali menuai kritik
dari berbagai pihak. Belum hilang dari ingatan kita, dua tahun lalu tepatnya
tahun 2007, Kejaksaan Agung lewat SK Nomor 19/A/JA/03/2007 juga melarang
peredaran 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA. Alasan
pelarangan adalah hanya karena isi buku tersebut tidak memuat Pemberontakan
Madiun dan 1965 serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Praktis, sejak surat larangan itu dikeluarkan Jaksa Agung, razia bahkan
pembakaran buku-buku sejarah gencar dilakukan di berbagai daerah

Restorasi Budaya Orba

Pelarangan buku di era yang katanya demokratis ini mengingatkan kita pada
pencabutan SIUPP dan pelarangan buku kiri pada masa rezim Orde Baru. Saat itu,
rezim lah yang bisa menentukan mana buku ataupun informasi yang bisa dibaca
atau tidak oleh rakyatnya. Orde Baru tidak segan membunuh kebebasan
berpendapat demi mengamankan kekuasannya. Perbedaan pendapat dengan rezim
dimaknai sebagai sebuah pembangkangan yang tidak bisa diampuni.

Di era Orde Baru setiap barang cetakan mendapat pengawasan ketat dari
institusi pemerintah. Pada masa awal berdirinya Orde Baru, Komando Operasi
untuk Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi lembaga yang sangat berkuasa
untuk melakukan kontrol dan pelarangan peredaran sebuah buku. Pengawasan
barang cetakan sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 4 / PNPS / 1963
tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu
Ketertiban Umum dan Kepja 190/A/JA/3/2003 tanggal 25 Maret 2003 yang
menetapkan sebuah badan bernama clearing house. Di masa Orde Baru, proses
clearing house dilakukan oleh Tim 9 yang anggotanya terdiri dari Badan
Intelijen Negara (BIN), Departemen Dalam Negeri, TNI, dan Kepolisian.

Berbagai alasan dapat diajukan sebagai pertimbangan untuk melakukan pelarangan
terhadap sebuah buku. Dari alasan ideologi, politik, masalah SARA, sampai pada
usaha untuk membatasi serbuan pornografi. Sejak tahun 1965-1996 diperkirakan
sekitar 2.000 buku telah dilarang sejak 1965 (Sen & Hill, 2001). Akibatnya
buku-buku berkualitas-pun tak luput dari larangan beredar oleh Rezim Soeharto.
Buku Militer dan Politik yang merupakan terjemahan dari buku Army and Politics
in Indonesia karya Harold Crouch dilarang beredar pada 1986 karena berisi
analisis tentang sejarah kemunculan militer Indonesia sebagai kekuatan politik
dan ekonomi serta berbagai pergulatan politik sejak masa awal kemerdekaan
hingga rezim Orde Baru berdiri.

Buku Yoshihara Kunio berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara, The Rise of
Ersatz Capitalism in Southeast Asia, terbitan 1990 juga dilarang beredar
akibat analisisnya tentang gejala kapitalisme kroni di lingkungan seputar
kekuasaan Soeharto. Beberapa buku berbahasa Inggris yang juga sempat dilarang
beredar di Indonesia karena menampilkan data dan analisis kritis tentang
praktik kotor kekuasaan Soeharto dan kroninya diantaranya The Indonesian
Tragedy karya Brian May, Soeharto and His Generals karya David Jenkins, dan
Indonesia: The Rise of Capital karya Richard Robison.

Secara umum batasan pelarangan sendiri sebenarnya sangat kabur. Sebuah buku
dapat dilarang karena “dianggap” bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Aturan ini sebenarnya sangat terbuka untuk diinterpretasikan dan
diperdebatkan. Celakanya, hanya penguasa yang berhak mengartikan apa batasan
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Faktanya, kebanyakan
pelarangan peredaran sebuah buku lebih banyak akibat ketersinggungan penguasa
karena adanya informasi baru atau analisis

[ekonomi-nasional] Dubai debt woes give Islamic finance its first big crisis

2009-12-30 Terurut Topik Harlizon MBAu
Kalau nga salah, Nabi Muhammad pernah berdoá kepada Allah agar dia dijauhkan
dari hutang...
Dan, begitu banyak ayat Quran yang melarang melakukan riba...
Riba bukan berarti bunga uang (interest) saja, tapi juga menyangkut
pemberlakuan hal-hal "fiktif" atau berpotensi "fiktif" dalam ekonomi serta
ketidak adilan ekonomi lainnya (seperti upah yang tidak adil) dsb...




Dubai debt woes give Islamic finance its first big crisis

http://www.dur.ac.uk/sgia/news/?itemno=9171&rehref=%2Fsgia%2F&resubj=%20Headlines

(11 December 2009)

DUBAI, UAE (AFP)
Dubai World’s plan to delay repaying a huge Islamic bond issue may damage
the image of sharia finance, not due to inherent problems but rather because
investors have ignored key questions, analysts say.

“In many ways, this has been an extraordinary crisis, but it is the first
for the embryonic sukuk industry,” said Khalid Howladar of Moody’s Investors
Service.

Another expert, Professor Habib Ahmed of Durham University, said the crisis
points to the need for a better understanding of the rules applying to
sukuk.

“This case is a wake-up call for Islamic finance to focus more on ethical
and moral issues that it has been ignoring for so long,” Ahmed told AFP.

A widespread view among economists is that fears about the rights of the
Dubai World bondholders relate at least as much to a lack of clarity in the
Dubai legal system as they do to the rules of Islamic finance.

In addition, much of Dubai’s spending has gone on speculative construction
projects and the 50 percent fall in property prices in the emirate means all
real estate-related finance deals face a problem whether using Islamic or
Western rules, they say.

Islamic sharia rules forbid usury, so anyone lending money is barred from
charging interest. Instead, investors are granted a share of the assets and
in the case of a property developer, the issuer of a sukuk will typically
pay a rent until refunding the loan when it matures.

Dubai World’s property unit Nakheel, developer of Dubai’s iconic Palm
Jumeirah artificial island resort, is scheduled to repay a 3.5 billion
dollars sukuk on December 14, so it is the first subsidiary affected by the
group’s request last week for a six-months halt to debt repayments.

“The maturity date of the sukuk was December 14, 2009 when Nakheel was
supposed to pay the last rental coupon and buy back the assets, but instead
declared its inability to perform,” said Ahmed, chair in Islamic law and
finance at Durham’s Institute of Middle Eastern and Islamic Studies.

Theoretically at least, Islamic laws on financial transactions have some
inherent features that induce stability, he said.

“The ban on interest and other rules would prevent Islamic investors
investing in certain instruments such as conventional bonds and
derivatives,” which caused last year’s global credit crunch, Ahmed said.

“Until now, Islamic economists have been saying that Islamic finance was not
affected directly by the subprime problems. The Nakheel problem shows that
Islamic finance can have similar problems if wrong investments are made,” he
said.

One reason for this is that many sukuk are structured to resemble
conventional bonds, meaning the risks of ownership are transferred to the
issuer rather than shared by the investors, the professor said.

“This is one of the criticisms of Islamic products: instead of coming up
with products that reflect the spirit and substance of Islamic law, they are
structured very similar to conventional products,” Ahmed said.

A source who asked to remain anonymous because his company has extensive
dealings in the region said credit ratings agencies have valued Islamic debt
on the creditworthiness of the issuer rather than the assets because of
doubts over investors’ claim to the assets.

“Noone has confidence in sukuk investors to foreclose on the assets” they
have lent money on in Dubai and several countries using sharia rules,
because the legal system in those countries is “underdeveloped,” he said.

The Dubai International Financial Centre, a business district which opened
in 2004 with the aim of making the emirate a world-class financial hub, uses
English law within its perimeter because of the lack of precision in sharia
law, the source told AFP. Moody’s Howladar agreed with Ahmed that many
sukuks are too similar to convention finance for their own good.

“The desire for Middle Eastern corporate credit exposure and unsecured debt
has created sukuk instruments that, in substance, attempt to be identical to
conventional bonds,” he said in a study released this week.

Restructurings such as Dubai World’s are common in mature markets, but the
“immature and opaque nature” of Dubai’s law system and the lack of precedent
“give little comfort to investors spread across the world,” he said.

“Given the sheer scale and complexity of Dubai World, this event will be an
important test of investors’ rights. If some sukuk are not found to be
equivalent to conventional bonds in a defau