[ekonomi-nasional] http://www.petitiononline.com/cgi-bin/create_petition.cgi?petisi45
Terimakasih berpartisipasi menyikapi Petisi PANCASILA kepada Presiden Barack Obama [Non-text portions of this message have been removed]
[ekonomi-nasional] OOT: Mat Pithi driving on the U.S. Highway
Mat Pithi on the U.S. Highway A cop pulls over a car driven by Mat (Matt?) Pithi, an Indonesian (to be specific, a Madurese) that full of his friends. The cop says, “Sir, the speed limit on this highway is 55 mph. Why are you going so slow?” Mat Pithi replies, “I saw a lot of signs that said 31, not 55.” The copy says, “Sir, that’s the name of the highway, not the speed limit.” “J.nch.k! Silly me,” Mat Pithi says. “Thanks for letting me know. I’ll be more careful.” But then the copy glances in the back seat where his friends are quaking with fear (speaking in Javanese with Surabaya dialect... "Matek Kon!"... "J.nch.k!"..."Mulakno!"...). He asks, “Excuse me, Sir, what’s wrong with your friends?” Mat Pithi says, “Oh, we just got off Highway 151.” [Non-text portions of this message have been removed]
[ekonomi-nasional] PERPU Pembuktian terbalik harta pejabat yang ada indikasi korupsi
Pak Taufik, justru kita2 yang sepaham, coba menggugah masyarakat untuk memberi tekanan pada pemerintah mengeluarkan perpu tsb. Kalau kita bisa mengumpulkan dukungan lewat internet sebanyak 2 juta dukungan bakal ada impact yg lumayan apalagi kalo masing2 pendukung mau nyumbang 10 ribu rupiah, maka ada dana yg lumayan untuk kampanye diluar media internet yang bisa mempengaruhi masyarakat yang blm menggunakan internet. Memang ini baru berandai andai tapi kalau ada kemauan yang kuat Insya Alloh bisa terlaksana. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: OK Taufik Date: Fri, 12 Mar 2010 18:01:23 To: Subject: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" pembuktian terbalik?? siapa yg berani?.sby pun akan bisa masuk bui..berapa sih gaji PNS/ABRI itu??...masak bisa punya kekayan milyaran... tetangga saya seorang perwira menengah porli..bisa beli rumah 1.8M dari mana duitnya??..budiono itu dalam tempo 6 bln kekayaannya melonjak 5M..berapa sih gaji dia di UGM dan BI itu?.. sebelum perpu disahkan sewa dulu gudang untuk penjara para koruptor 2010/3/12 > Saya mendukung pemerintah mengeluarkan perpu pembuktian terbalik. Bgmn > kalau digalang dukungan lwt web spt dukungan thdp prita. Bapak2 atau ibu2 yg > expert dibdg IT bs mempelopori. Hanya dg cr pembuktian terbalik mungkin > korupsi di ind bs dikurangi. Masa ada pjbt yg skrg ketua bpk dpt hibah > mercy, cherokee, apartment dll. Kalau pak SBY mau menaikkan lg citranya stlh > kasus century mk mengeluarkan perpu pembuktian terbalik adalah slh satu cara > yg terbaik. Seandainya nanti dpr menolak perpu tsb kita tahu bahwa dprlah > sumber korupsi. > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > > -Original Message- > From: igan...@yahoo.com > Date: Fri, 12 Mar 2010 07:18:45 > To: > Subject: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > > Bung Irwan, > > Kita tahu bersama PERC yg berbasis di Hongkong beberapa saat yl merelease > Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Mungkin kalau merujuk pada > Transparansi Internasional (2009) ada beberapa juga di Asia setelah kita > seperti Rusia, Myanmar, Laos dll. Namun China dan India sudah baik indexnya > di bawah 100. Menurut DR Todung Mulia Lubis, ketua Transparansi > Internasional Indonesia (TII), beberapa waktu lalu, DPR merupakan salah satu > lembaga terkorup. Dan kita saksikan sudah berpuluh2 anggota DPR ditangkap > KPK. > > > > Namun, untuk mampu menurunkan index korupsi kita secara drastis, di > butuhkan payung hukum pembuktian terbalik. Tentu DPR tidak akan meloloskan > UU yang mengatur pembuktian terbalik tersebut. Satu2nya jalan adalah SBY > mengeluarkan Perpu pembuktian terbalik. Sehingga dari semua pejabat negara > yang memberikan daftar kekayaannya di KPK akan ditanya asalnya darimana itu? > Kalau misalnya Hadi Purnomo, misalnya seperti investigasi TEMPO, banyak > keanehan asal muasal hartanya yang disebutkan sbg hibah, dengan pembuktian > terbalik akan diketahui kebenaran asal usul hartanya tersebut. > > > > Harapan saya ada civil society yang menggalang Perpu pembuktian terbalik > dalam kasus korupsi ini, > > Salam > > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > Teruuusss...! > > > > -Original Message- > > From: Irwan Lubis > > Date: Fri, 12 Mar 2010 09:08:21 > > To: > > Subject: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > >Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > > > > "...Kejahatan terbesar adalah DPR telah dijadikan tameng melalui "power > > building" > > bagi sebagian anggotanya yang ternyata memiliki skandal2 kejahatan thd > > negara. > > Apa yg diungkap majalah Tempo tentang L/C fiktif Mashbikun ditambah tentang > > Idrus Marham, Setya Novanto, Emir Muis dll. menyisakan pertanyaan..." > > > > Ayo Bang Ganda, kejar terus anggota-anggota DPR bermasalah. Termasuk yg > > kata koran-koran terima uang paling banyak untuk milih deputi senior > > Gubernur BI. > > -Irwan L- > > 2010/3/11 > > > > > > > > > > > Tentu hati siapa yang tidak gundah gulana, sedih, kecewa dengan tingkah > > > Suryo dan beberapa anggota DPR lainnya yg meninGgalkan sidang sesuka2 > > > hatinya. DPR bukanlah lembaga murahan yang dapat di degradasi seenak2 nya > > > setelah susahnya lembaga tersebut diperjuangkan eksistensinya sebagai > pilar > > > demokrasi. Baik di timur maupun di barat ratusan ribu jiwa telah korban > demi > > > menolak monarki. Bahkan, di Indonesia DPR yg kita kenal di masa reformaSi > > > ini masih menyisakan bau keringat dan darah yang belum terlupakan > > > bayangannya dari ribuan mahasiswa, aktivis pro demokrasi dan para > mujahid. > > > Masih ingat dalam kenangan kita, kediktatoran rezim Soeharto telah > membuat > > > DPR hanya sebagi juru Stempel pemerintah saja. > > > > > > Suryo adalah representasi dari orang
Re: [ekonomi-nasional] The End of an Era in Finance (Prof. Rodrik of Harvard)
Senang rasanya bung sidqy sudah kembali lagi posting artikel2 bermutu, setelah sekian lama menghilang.. :) Thanks for the articles, bung! Salaam, YS -Original Message- From: sidqy suyitno Date: Fri, 12 Mar 2010 03:38:53 To: Subject: [ekonomi-nasional] The End of an Era in Finance (Prof. Rodrik of Harvard) The End of an Era in Finance Dani Rodrik* 2010-03-11 CAMBRIDGE – In the world of economics and finance, revolutions occur rarely and are often detected only in hindsight. But what happened on February 19 can safely be called the end of an era in global finance. On that day, the International Monetary Fund published a policy note that reversed its long-held position on capital controls. Taxes and other restrictions on capital inflows, the IMF’s economists wrote, can be helpful, and they constitute a “legitimate part” of policymakers’ toolkit. Rediscovering the common sense that had strangely eluded the Fund for two decades, the report noted: “logic suggests that appropriately designed controls on capital inflows could usefully complement” other policies. As late as November of last year, IMF Managing Director Dominique Strauss-Kahn had thrown cold water on Brazil’s efforts to stem inflows of speculative “hot money,” and said that he would not recommend such controls “as a standard prescription.” So February’s policy note is a stunning reversal – as close as an institution can come to recanting without saying, “Sorry, we messed up.” But it parallels a general shift in economists’ opinion. It is telling, for example, that Simon Johnson, the IMF’s chief economist during 2007-2008, has turned into one of the most ardent supporters of strict controls on domestic and international finance. The IMF’s policy note makes clear that controls on cross-border financial flows can be not only desirable, but also effective. This is important, because the traditional argument of last resort against capital controls has been that they could not be made to stick. Financial markets would always outsmart the policymakers. Even if true, evading the controls requires incurring additional costs to move funds in and out of a country – which is precisely what the controls aim to achieve. Otherwise, why would investors and speculators cry bloody murder whenever capital controls are mentioned as a possibility? If they really couldn’t care less, then they shouldn’t care at all. One justification for capital controls is to prevent inflows of hot money from boosting the value of the home currency excessively, thereby undermining competitiveness. Another is to reduce vulnerability to sudden changes in financial-market sentiment, which can wreak havoc with domestic growth and employment. To its credit, the IMF not only acknowledges this, but it also provides evidence that developing countries with capital controls were hit less badly by the fallout from the sub-prime mortgage meltdown. The IMF’s change of heart is important, but it needs to be followed by further action. We currently don’t know much about designing capital-control regimes. The taboo that has attached to capital controls has discouraged practical, policy-oriented work that would help governments to manage capital flows directly. There is some empirical research on the consequences of capital controls in countries such as Chile, Colombia, and Malaysia, but very little systematic research on the appropriate menu of options. The IMF can help to fill the gap. Emerging markets have resorted to a variety of instruments to limit private-sector borrowing abroad: taxes, unremunerated reserve requirements, quantitative restrictions, and verbal persuasion. In view of the sophisticated nature of financial markets, the devil is often in the details – and what works in one setting is unlikely to work well in others. For example, Taiwan’s use of administrative measures that rely heavily on close monitoring of flows may be inappropriate in settings where bureaucratic capacity is more limited. Similarly, Chilean-style unremunerated reserve requirements may be easier to evade in countries with extensive trading in sophisticated derivatives. With the stigma on capital controls gone, the IMF should now get to work on developing guidelines on what kind of controls work best and under what circumstances. The IMF provides countries with technical assistance in a wide range of areas: monetary policy, bank regulation, and fiscal consolidation. It is time to add managing the capital account to this list. With this battle won, the next worthy goal is a global financial transaction tax. Set at a very low level – 0.05% is a commonly mentioned rate – such a tax would raise hundreds of billions of dollars for global public goods while discouraging short-term speculative activities in financial markets. Support for a global financial-transaction tax is growing. A group of NGOs have rechristened it the “Robin Hood tax,” and have launched a global campaign to promote it, complete w
[ekonomi-nasional] Rob rich bankers and give money to the poor (Prof. Sachs of Columbia)
>From The >Timeshttp://www.timesonline.co.uk/tol/comment/columnists/guest_contributors/article7055759.ece > March 10, 2010 Rob rich bankers and give money to the poor Wall Street and the City did little to deserve their record profits. A Robin Hood tax is the only fair solution Jeffrey Sachs Banking occupies a unique niche in the economy. Both vital and prone to crisis, Wall Street and the City of London are the beating hearts of the economy, pumping liquidity through the arteries of industry nationally and globally. When they suffer a financial arrhythmia, as in the dire crisis of September 2008, the entire world economy risks sudden death. Life support systems are wheeled in. The Federal Reserve and the Bank of England, the ultimate providers of liquidity, not only save the banks but pad their profits too. The seignorage of the central banks (income earned by the privilege of money creation) is, in effect, shared with leading banks by lending them funds at near-zero rates that they lend out at a higher rate. Thus were Wall Street’s record profits of 2009 concocted by the Fed, despite the banks’ terrible balance sheets and record of reckless behaviour. The Fed pumped more than a trillion dollars of new liquidity into the system, and Wall Street netted an estimated $55 billion or more of profits. With a knowing smirk, the bankers helped themselves to their share of the seignorage as well, to the tune of $20 billion in bonuses, not even counting unrealised stock options. The big financial institutions, notably the primary dealers for the central banks, such as Barclays, Deutsche Bank and Goldman Sachs, therefore occupy a blessed position. By all rights they are public utilities, vital organs for the economy that owe their financial rewards and lifelines to their proximity to central bank printing presses. The mega-bonuses flow year in, year out, rain or shine, boom or bust. Far-sighted bankers long ago figured out that they too should share the seignorage — not with the public but with the public officials who oversee the Fed and the Treasury. The financial sector is the biggest lobbying industry in America and the biggest campaign donor. The Fed’s money gets spread around. The same occurs in London, Paris, Tokyo and beyond. We are told that bankers’ bonuses are needed so these skilled technicians — who nearly bankrupted us all — do not jump ship. But where would they go? What economists would call the “opportunity cost” of bankers — their next best salary outside banking — would be a sharp step down without the seignorage. Ouch. Even as they feed on Wall Street largesse, politicians have finally had to face the brazenness of these arrangements. The White House and 10 Downing Street recently called for a new banking tax to recoup some of the seignorage, as have other G20 governments. And none too soon , with the public up in arms about the injustice of it all and national budgets haemorrhaging mega-deficits. Of course, taxation can be only one part of a coherent strategy of reform, including taxes, new regulations on leverage and compensation, controls on derivatives markets and more stable monetary policies than in the Greenspan-Bernanke era. If the public remains alert, therefore, we will have a financial sector tax introduced throughout the G20 economies. But what should we demand of it? For those of us who have advocated for years a global financial transactions tax or banking tax, the answers are well known. First, we should demand international tax harmony, so the banks don’t simply manoeuvre their books and trades to the lowest-tax havens. Second, we should demand a transparent and collectible tax base, focused on leading institutions, with the tax levied on financial transactions, or on banks’ liabilities or on some combination of the two. The choices are largely technical: administrative feasibility, magnitude of collections, incidence of the tax and the benefits in reducing irresponsible bank behaviour. The Obama Administration recently proposed a liabilities tax. The German and French governments, on the other hand, have proposed a financial transactions tax. Both options, and others, should be explored. Third, a key goal should be to recapture some of the privileged profits of the big banking houses. And we should demand justice in the use of these funds, especially in the shadow of broken fiscal promises and broken hopes for economic justice. No small part of the tax should be directed towards deficit reduction, reflecting the urgency for fiscal solvency in all of our countries. But some should be devoted to the global poor — why its proponents call this combination of tax and transfer the Robin Hood tax. As always, the poorest have borne the brunt of financial misdeeds and watched the brazenness of bank bonuses alongside broken promises of global assistance. Pledging part of the tax to development aid would help to harmonise the aid burden. Several European governments, inclu
[ekonomi-nasional] The End of an Era in Finance (Prof. Rodrik of Harvard)
The End of an Era in Finance Dani Rodrik* 2010-03-11 CAMBRIDGE – In the world of economics and finance, revolutions occur rarely and are often detected only in hindsight. But what happened on February 19 can safely be called the end of an era in global finance. On that day, the International Monetary Fund published a policy note that reversed its long-held position on capital controls. Taxes and other restrictions on capital inflows, the IMF’s economists wrote, can be helpful, and they constitute a “legitimate part” of policymakers’ toolkit. Rediscovering the common sense that had strangely eluded the Fund for two decades, the report noted: “logic suggests that appropriately designed controls on capital inflows could usefully complement” other policies. As late as November of last year, IMF Managing Director Dominique Strauss-Kahn had thrown cold water on Brazil’s efforts to stem inflows of speculative “hot money,” and said that he would not recommend such controls “as a standard prescription.” So February’s policy note is a stunning reversal – as close as an institution can come to recanting without saying, “Sorry, we messed up.” But it parallels a general shift in economists’ opinion. It is telling, for example, that Simon Johnson, the IMF’s chief economist during 2007-2008, has turned into one of the most ardent supporters of strict controls on domestic and international finance. The IMF’s policy note makes clear that controls on cross-border financial flows can be not only desirable, but also effective. This is important, because the traditional argument of last resort against capital controls has been that they could not be made to stick. Financial markets would always outsmart the policymakers. Even if true, evading the controls requires incurring additional costs to move funds in and out of a country – which is precisely what the controls aim to achieve. Otherwise, why would investors and speculators cry bloody murder whenever capital controls are mentioned as a possibility? If they really couldn’t care less, then they shouldn’t care at all. One justification for capital controls is to prevent inflows of hot money from boosting the value of the home currency excessively, thereby undermining competitiveness. Another is to reduce vulnerability to sudden changes in financial-market sentiment, which can wreak havoc with domestic growth and employment. To its credit, the IMF not only acknowledges this, but it also provides evidence that developing countries with capital controls were hit less badly by the fallout from the sub-prime mortgage meltdown. The IMF’s change of heart is important, but it needs to be followed by further action. We currently don’t know much about designing capital-control regimes. The taboo that has attached to capital controls has discouraged practical, policy-oriented work that would help governments to manage capital flows directly. There is some empirical research on the consequences of capital controls in countries such as Chile, Colombia, and Malaysia, but very little systematic research on the appropriate menu of options. The IMF can help to fill the gap. Emerging markets have resorted to a variety of instruments to limit private-sector borrowing abroad: taxes, unremunerated reserve requirements, quantitative restrictions, and verbal persuasion. In view of the sophisticated nature of financial markets, the devil is often in the details – and what works in one setting is unlikely to work well in others. For example, Taiwan’s use of administrative measures that rely heavily on close monitoring of flows may be inappropriate in settings where bureaucratic capacity is more limited. Similarly, Chilean-style unremunerated reserve requirements may be easier to evade in countries with extensive trading in sophisticated derivatives. With the stigma on capital controls gone, the IMF should now get to work on developing guidelines on what kind of controls work best and under what circumstances. The IMF provides countries with technical assistance in a wide range of areas: monetary policy, bank regulation, and fiscal consolidation. It is time to add managing the capital account to this list. With this battle won, the next worthy goal is a global financial transaction tax. Set at a very low level – 0.05% is a commonly mentioned rate – such a tax would raise hundreds of billions of dollars for global public goods while discouraging short-term speculative activities in financial markets. Support for a global financial-transaction tax is growing. A group of NGOs have rechristened it the “Robin Hood tax,” and have launched a global campaign to promote it, complete with a deliciously biting video clip featuring British actor Bill Nighy (www.robinhoodtax.org). Significantly, the European Union has thrown its weight behind the tax and urged the IMF to pursue it. The only major holdout is the United States, where Treasury Secretary Tim Geithner has made his distaste for the proposal clear. Wha
[ekonomi-nasional] Ekonomi Kerakyatan Jauh dari Harapan
Jumat, 12 Maret 2010, 17:17 WIB YOGYAKARTA--Saat ini kurang lebih 67 persen saham perusahaan di BEI, dan 50 persen bank umum dan 85,4 persen ladang migas sudah dikuasai pemodal luar negeri. ''Selain itu, para pemodal asing ini juga mendominasi perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum, aneka tambang dan berbagai sektor strategis lainnya,'' kata Awan Santosa, SE MSc, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) UGM. Ia berbicara pada seminar launching buku ekonomi kerakyatan, berjudul ''Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan Aplikasi'', di Yogyakarta, Jumat (12/3). Buku ini ditulis oleh Awan Santoso. Berbicara juga dalam seminar itu Stepanie Barral, seorang penulis buku dari School for High Studies of Social Sciences, Paris. Menurut dia, sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) telah lama menjadi amanat konstitusi. Kendati begitu, lanjutnya, penerapannya masih jauh dari apa yang diharapkan. ''Yang terjadi sebaliknya, liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis semakin mendominasi struktur ekonomi Indonesia. Mayoritas aset dan pengelolaan produksi nasional dipegang dan dikelola pemodal asing,'' tandasnya. Dari amanat konstitusi, kata Awan Santosa, seharusnya produksi dilakukan bersama dan untuk kepentingan bersama. ''Namun bukan koperasi dan serikat ekonomi yang berkembang. Justru para pemilik korporasi,'' katanya. Menurut Awan, tidak berkembangnya ekonomi kerakyatan disebabkan belum adanya model pengukuran sebagai indikator untuk menentukan berhasil dan tidaknya praktik ekonomi kerakyatan. ''Jangankan model ukuran, sekadar teori saja kita belum punya. Selama ini hanya lebih ke wacana, dibandingkan dengan sistem ekonomi neoliberal, yang memiliki ukuran-ukuran sebagai indikator seperti adanya indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, inflasi, indeks keterbukaan ekonomi dan bisnis dan sebagainya,'' tuturnya. Awan menilai para penggiat dan peneliti ekonomi kerakyatan sudah seharusnya masuk ke wilayah terapan dan tidak lagi berwacana. ''Kita seharusnya menemukan teori baru. Apa variabel ekonomi kerakyatan. Kita harus memiliki ukuran berbeda dari ekonomi neoliberal yang berlaku selama ini,'' katanya. Buku yang diluncurkan ini berisi berbagai konsep ekonomi kerakyatan dengan model pengukuran melalui Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI). Menurut Awan Santosa, IDEI merupakan indeks komposit yang terdiri 3 dimensi utama, demokrasi produksi, demokrasi alokasi dan konsumsi, dan demokrasi penguasaan faktor produksi. ''Secara keseluruhan ada 21 variabel yang bisa sebagai alat ukur penerapan ekonomi kerakyatan,'' kata Awan. [Non-text portions of this message have been removed]
Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik"
pembuktian terbalik?? siapa yg berani?.sby pun akan bisa masuk bui..berapa sih gaji PNS/ABRI itu??...masak bisa punya kekayan milyaran... tetangga saya seorang perwira menengah porli..bisa beli rumah 1.8M dari mana duitnya??..budiono itu dalam tempo 6 bln kekayaannya melonjak 5M..berapa sih gaji dia di UGM dan BI itu?.. sebelum perpu disahkan sewa dulu gudang untuk penjara para koruptor 2010/3/12 > Saya mendukung pemerintah mengeluarkan perpu pembuktian terbalik. Bgmn > kalau digalang dukungan lwt web spt dukungan thdp prita. Bapak2 atau ibu2 yg > expert dibdg IT bs mempelopori. Hanya dg cr pembuktian terbalik mungkin > korupsi di ind bs dikurangi. Masa ada pjbt yg skrg ketua bpk dpt hibah > mercy, cherokee, apartment dll. Kalau pak SBY mau menaikkan lg citranya stlh > kasus century mk mengeluarkan perpu pembuktian terbalik adalah slh satu cara > yg terbaik. Seandainya nanti dpr menolak perpu tsb kita tahu bahwa dprlah > sumber korupsi. > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > > -Original Message- > From: igan...@yahoo.com > Date: Fri, 12 Mar 2010 07:18:45 > To: > Subject: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > > Bung Irwan, > > Kita tahu bersama PERC yg berbasis di Hongkong beberapa saat yl merelease > Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Mungkin kalau merujuk pada > Transparansi Internasional (2009) ada beberapa juga di Asia setelah kita > seperti Rusia, Myanmar, Laos dll. Namun China dan India sudah baik indexnya > di bawah 100. Menurut DR Todung Mulia Lubis, ketua Transparansi > Internasional Indonesia (TII), beberapa waktu lalu, DPR merupakan salah satu > lembaga terkorup. Dan kita saksikan sudah berpuluh2 anggota DPR ditangkap > KPK. > > > > Namun, untuk mampu menurunkan index korupsi kita secara drastis, di > butuhkan payung hukum pembuktian terbalik. Tentu DPR tidak akan meloloskan > UU yang mengatur pembuktian terbalik tersebut. Satu2nya jalan adalah SBY > mengeluarkan Perpu pembuktian terbalik. Sehingga dari semua pejabat negara > yang memberikan daftar kekayaannya di KPK akan ditanya asalnya darimana itu? > Kalau misalnya Hadi Purnomo, misalnya seperti investigasi TEMPO, banyak > keanehan asal muasal hartanya yang disebutkan sbg hibah, dengan pembuktian > terbalik akan diketahui kebenaran asal usul hartanya tersebut. > > > > Harapan saya ada civil society yang menggalang Perpu pembuktian terbalik > dalam kasus korupsi ini, > > Salam > > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > Teruuusss...! > > > > -Original Message- > > From: Irwan Lubis > > Date: Fri, 12 Mar 2010 09:08:21 > > To: > > Subject: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > >Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > > > > "...Kejahatan terbesar adalah DPR telah dijadikan tameng melalui "power > > building" > > bagi sebagian anggotanya yang ternyata memiliki skandal2 kejahatan thd > > negara. > > Apa yg diungkap majalah Tempo tentang L/C fiktif Mashbikun ditambah tentang > > Idrus Marham, Setya Novanto, Emir Muis dll. menyisakan pertanyaan..." > > > > Ayo Bang Ganda, kejar terus anggota-anggota DPR bermasalah. Termasuk yg > > kata koran-koran terima uang paling banyak untuk milih deputi senior > > Gubernur BI. > > -Irwan L- > > 2010/3/11 > > > > > > > > > > > Tentu hati siapa yang tidak gundah gulana, sedih, kecewa dengan tingkah > > > Suryo dan beberapa anggota DPR lainnya yg meninGgalkan sidang sesuka2 > > > hatinya. DPR bukanlah lembaga murahan yang dapat di degradasi seenak2 nya > > > setelah susahnya lembaga tersebut diperjuangkan eksistensinya sebagai > pilar > > > demokrasi. Baik di timur maupun di barat ratusan ribu jiwa telah korban > demi > > > menolak monarki. Bahkan, di Indonesia DPR yg kita kenal di masa reformaSi > > > ini masih menyisakan bau keringat dan darah yang belum terlupakan > > > bayangannya dari ribuan mahasiswa, aktivis pro demokrasi dan para > mujahid. > > > Masih ingat dalam kenangan kita, kediktatoran rezim Soeharto telah > membuat > > > DPR hanya sebagi juru Stempel pemerintah saja. > > > > > > Suryo adalah representasi dari orang2 yang mungkin khilaf karena proses > > > politik dalam kehidupannya terlalu pendek sebelum dia menyadari telah > berada > > > di puncak lembaga politik. Atau mungkin juga ia membandingkan secara > salah > > > dengan parlemen inggris yg teriakan h sering menggema. Suryo adalah > > > sosok selebritis yg diperalat atau dijebak partai politik (dulu hanya > vote > > > getter) utk masuk kesebuah lembaga yg sesungguhny tanggung jawabnya > terhadap > > > nasib bangsa ini sangat vital. Sementara partai politikpun kehilangat > > > ideologi, visi dan karakter sehingga tdk mampu memberikan pematangan > politik > > > atau kaderisasi kepada selebritis2 seperti Suryo, para artis, anak, > ponakan > > > dan mantu pejabat dll. > > > > > > Sesungguhnya secara moral, kelakuan Suryo bukanlah hal pr
Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik"
Bung Nizami, Pengertian "power" itu sesungguhnya harus kita bedah lebih dalam lagi. Setidaknya ada 5 elemen power yg perlu kita catat yakni Parpol/DPR, uang (pengusaha), massa (ormas/Lsm), pemerintah dan Media. Tentu ada elemen2 lain spt International Community, dll, jika kita masukkan. Analisa kita atas kecenderungan negatif kekuasaan, "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", hanya dapat lebih detail jika matriks kita memuat lebih banyak variabel. Hasilnya kita akan sebut sebagai "efective power". Seorang menteri, misalnya, susah mengendalikan aparatnya jika aparat2 tersebut dari mulai eselon IV sampai dirjen diurus pangkatnya oleh pebisnis tertentu. Seorang presiden X, misalnya, tidak mampu mengendalikan anggota2 DPR se partainya jika biaya kampanye anggota Dpr tsb dibiayai oleh pebisnis tertentu. Belum lagi media massa yang ikut mempengaruhi alokasi power. Apa urgensinya, misalnya, Metro TV dan TV One, menayangkan berjam2 dan berhari2 demo HMI vs Polisi di Makassar. Apakah HMI itu (maaf) mewakili kepentingan mayoritas? Apa memang "century gate" harus di masukkan TV itu tiap hari??? Belum lagi media2 cetak dan online. Bukankah akhirnya mereka memiliki power? Begitu juga massa yang kita lihat membuat adanya power pada dirinya. Pemerintah sendiri di masa lalu mengontrol semua kekuatan. Saat ini semakin sedikit karena terbagi dalam berbagai elemen2 kekuasaan tadi. Bahkan SBY gagal mengontrol percaturan politik di dalm kasus Century, saat di mana dia diagung2kan mengantongi 60% suara rakyat. Jadi saya sedikit berbeda dengan bung Nizami. Menurut saya yang berbahaya bukan parpol besar atau pemerintah berkuasa, tapi adalah orang yang bisa menjadi "system integrator" dari semua elemen kekuasaan tsb, tentu bisa konglomerat hitam, Presiden, atau lainnya??. Wassalam, syahganda Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: A Nizami Date: Fri, 12 Mar 2010 15:55:59 To: Subject: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" Biasanya yang korupsi itu adalah pihak yang berkuasa. Sebab dengan kekuasaan itulah dia bisa menawarkan seseorang untuk mendapatkan uang suap. Oleh karena itu secara logika, pihak yang berkuasa dan partai penguasalah yang bisa melakukan korupsi. Ada pun partai kecil/pinggiran, paling sekedar perantara yang dapat uang receh. Ibaratnya anggota DPR ada 560 orang. Untuk butuh 1 UU atau budget atau hal lain yang perlu persetujuan mayoritas anggota DPR, minimal "kita" (na'udzubullah min dzalik) harus menyuap 231 orang (ini kalau korupsinya benar lho). Kalau cuma 200 orang saja, itu buang2 uang. Nah tentu yang kita coba suap adalah tokoh dari parpol2 terbesar. Sebab kalau menyuap parpol yang suaranya cuma kurang dari 10% rugi... Jadi kalau yang kena cuma parpol pinggiran, sepertinya ada tebang pilih. Ada juga sih besan penguasa yang tertangkap, namun tak lama para petinggi KPK jadi pesakitan...:) BTW, isu korupsi ini sering dilantunkan oleh Bank Dunia dan IMF. Ujung2nya untuk "solusi" mereka suruh Indonesia memprivatisasi/menjual BUMN2 nya agar tidak dikorup... === Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits http://media-islam.or.id Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com --- Pada Kam, 11/3/10, igan...@yahoo.com menulis: > Dari: igan...@yahoo.com > Judul: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > Kepada: ekonomi-nasional@yahoogroups.com > Tanggal: Kamis, 11 Maret, 2010, 11:18 PM > Bung Irwan, > Kita tahu bersama PERC yg berbasis di Hongkong beberapa > saat yl merelease Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. > Mungkin kalau merujuk pada Transparansi Internasional (2009) > ada beberapa juga di Asia setelah kita seperti Rusia, > Myanmar, Laos dll. Namun China dan India sudah baik indexnya > di bawah 100. Menurut DR Todung Mulia Lubis, ketua > Transparansi Internasional Indonesia (TII), beberapa waktu > lalu, DPR merupakan salah satu lembaga terkorup. Dan kita > saksikan sudah berpuluh2 anggota DPR ditangkap KPK. > > Namun, untuk mampu menurunkan index korupsi kita secara > drastis, di butuhkan payung hukum pembuktian terbalik. Tentu > DPR tidak akan meloloskan UU yang mengatur pembuktian > terbalik tersebut. Satu2nya jalan adalah SBY mengeluarkan > Perpu pembuktian terbalik. Sehingga dari semua pejabat > negara yang memberikan daftar kekayaannya di KPK akan > ditanya asalnya darimana itu? Kalau misalnya Hadi Purnomo, > misalnya seperti investigasi TEMPO, banyak keanehan asal > muasal hartanya yang disebutkan sbg hibah, dengan pembuktian > terbalik akan diketahui kebenaran asal usul hartanya > tersebut. > > Harapan saya ada civil society yang menggalang Perpu > pembuktian terbalik dalam kasus korupsi ini, > Salam > Sent from my
[ekonomi-nasional] Tujuh WNI Terkaya di Indonesia.
Lansiran terbaru dari majalah Forbes, terdapat tujuh orang Indonesiayang masuk dalam daftar seribu orang di seluruh dunia yang mempunyai kekayaan minimal satu Milyar USDollar atau sekitar hampir sembilan setengah Trilyun Rupiah. Dilihat dari perbandingan kekayaan mereka itu menunjukkan walau kata banyak orang bahwa ekonomi dunia sedang dilanda krisis dan Indonesiaterancam krisis serupa yang sistemik, ternyata jumlah kekayaan mereka justru bertambah besar. Jumlah kekayaan dari ke tujuh orang terkaya di Indonesiaitu mencapai lebih dari seratus limapuluh Trilyun Rupiah. Ke tujuh orang Indonesia tersebut adalah Michael Bambang Hartono alias Oei Hwie Siang, Robert Budi Hartono alias Oei Hwie Tjhong, Martua Sitorus alias Thio Seng Hap, Peter Sondakh, Sukanto Tanoto alias Tan Kang Hoo, Low Tuck Kwong, Chairul Tanjung. Pada urutan teratas adalah Michael Bambang Hartono alias Oei Hwie Siang, dan Robert Budi Hartono alias Oei Hwie Tjhong. Mereka adalah anak dari Oei Wie Gwan, pendiri pabrik rokok Djarum. Saat ini mereka melalui Farindo Holding Ltd menguasai 51 persen saham bank BCA. Kakak beradik milyuner Indonesia ini pada tahun 2009 ada di peringkat 400 dengan total kekayaan sebesar Rp. 15,81 Trilyun, lalu pada tahun 2010 melonjak naik ke peringkat 258 dengan total kekayaan sebesar Rp. 32,55 Trilyun. Menyusul dibawahnya di peringkat ke 316 adalah Martua Sirotus alias Thio Seng Hap. Pemilik dari Wilmar International Ltd yang mempunyai nama panggilan A Hokini pada tahun 2009 berada di peringkat ke 522 dengan jumlah kekayaan sebesar Rp. 13,02 Trilyun, sedangkan di tahun 2010 ini melejit ke peringkat 316 dengan jumlah kekayaan sebesar Rp. 27,90 Trilyun. Selanjutnya adalah pemilik Grup Rajawali, Peter Sondakh. Milyuner ini pada tahun 2009 berada di peringkat ke 701 dengan kekayaan sebesar Rp. 9,30 Trilyun, sedangkan di tahun 2010 ini melesat ke peringkat 437 dengan jumlah kekayaan sebesar Rp. 20,46 Trilyun. Disusul kemudian oleh Sukanto Tanoto alias Tan Kang Hoo. Milyuner pemilik Raja Garuda Mas Grup ini pada tahun 2009 berada di peringkat ke 450 dengan kekayaan sebesar Rp. 14,88 Trilyun, sedangkan di tahun 2010 ini peringkatnya melorot menjadi ke 536, walau jumlah kekayaannya tidak melorot namun bertambah menjadi sebesar Rp. 17, 67 Trilyun. Di peringkat berikutnya ditempati oleh dua orang Indonesiayang berhasil menjadi pendatang baru dalam daftar orang dengan minimal kekayaan sebesar Satu Milyar USDollar. Low Tuck Kwong pemilik Bayan Resources ini pada tahun 2010 ini berada di urutan peringkat ke 828 dengan total kekayaan sebesar Rp. 11,16 Trilyun. Lalu, Chairul Tanjung pemilik bank Mega dan Trans TV menjadi pendatang baru di urutan 937 dengan total kekayaan sebesar Rp. 9,30 Trilyun. Akhirulkalam, jika dilihat dari daftar diatas, pada tahun 2009 yang lalu Indonesia hanya mencatatkan lima orang saja dengan total kekayaan sekitar enam puluh delapan Trilyun Rupiah saja, sedangkan pada tahun 2010 ini berhasil bertambah menjadi tujuh orang dengan total kekayaan lebih dari seratus lima puluh Trilyun Rupiah. Sedikit banyaknya ini tentu ada andil prestasi dari pemerintah Indonesiadalam menambah jumlah orang Indonesiayang mempunyai kekayaan lebih dari satu Milyar USDollar dan pertambahan kekayaannya hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, bagaimana dengan sekitar Dua Ratus LimaPuluh Juta orang lainnya ?. Sudah berapa banyakkah dari mereka itu yang telah ikut tersejahterakan tingkat kehidupannya ?. Bagaimana dengan perfomance prestasi di seputar Gini Index ?. Wallahualambishshawab. * Catatan Kaki: Artikel yang berjudul ‘ Cukup 1 Riyal Saja ’ dapat dibaca dengan mengklik di sini . * Tujuh Orang Terkaya di Indonesia http://ekonomi.kompasiana.com/2010/03/12/tujuh-orang-terkaya-di-indonesia/ * Pemerintah memastikan tidak akan ada kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL (Tarif Dasar Listrik) pada tahun 2010 meskipun harga minyak dunia saat ini masih berfluktuasi. Demikian pernyataan yang dikemukakan oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pada hari Rabu tanggal 13 Januari 2010, Pernyataan tersebut dikutip dari sebuah berita berjudul ‘Pemerintah Pastikan Harga BBM dan TDL Tidak Akan Naik’, yang dapat diakses langsung ke sumber beritanya dengan mengklik di sini. Selain itu, dari sumber berita yang lain disebutkan juga bahwa masyarakat tak perlu khawatir TDL akan naik begitu memasuki 2010. Pemerintah telah berjanji tidak akan menaikkan tarif listrik. Berkaitan dengan janji pemerintah yang tidak akan menaikkan tarif listrik itu, Menko Perekonomian mengatakan bahwa dibandingkan dengan menaikkan TDL, pemerintah akan lebih fokus kepada upaya membenahi sektor kelistrikan secara menyeluruh dimulai dari PLN. “Kita akan coba selesaikan permasalahan di PLN”, kata Hatta Rajasa. Menko Perekonomian mengakui bahwa tidak adanya kenaikan TDL tersebut akan membuat beban subsidi makin berat. Meskipun demikian, potensi
Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik"
Saya mendukung pemerintah mengeluarkan perpu pembuktian terbalik. Bgmn kalau digalang dukungan lwt web spt dukungan thdp prita. Bapak2 atau ibu2 yg expert dibdg IT bs mempelopori. Hanya dg cr pembuktian terbalik mungkin korupsi di ind bs dikurangi. Masa ada pjbt yg skrg ketua bpk dpt hibah mercy, cherokee, apartment dll. Kalau pak SBY mau menaikkan lg citranya stlh kasus century mk mengeluarkan perpu pembuktian terbalik adalah slh satu cara yg terbaik. Seandainya nanti dpr menolak perpu tsb kita tahu bahwa dprlah sumber korupsi. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: igan...@yahoo.com Date: Fri, 12 Mar 2010 07:18:45 To: Subject: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" Bung Irwan, Kita tahu bersama PERC yg berbasis di Hongkong beberapa saat yl merelease Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Mungkin kalau merujuk pada Transparansi Internasional (2009) ada beberapa juga di Asia setelah kita seperti Rusia, Myanmar, Laos dll. Namun China dan India sudah baik indexnya di bawah 100. Menurut DR Todung Mulia Lubis, ketua Transparansi Internasional Indonesia (TII), beberapa waktu lalu, DPR merupakan salah satu lembaga terkorup. Dan kita saksikan sudah berpuluh2 anggota DPR ditangkap KPK. Namun, untuk mampu menurunkan index korupsi kita secara drastis, di butuhkan payung hukum pembuktian terbalik. Tentu DPR tidak akan meloloskan UU yang mengatur pembuktian terbalik tersebut. Satu2nya jalan adalah SBY mengeluarkan Perpu pembuktian terbalik. Sehingga dari semua pejabat negara yang memberikan daftar kekayaannya di KPK akan ditanya asalnya darimana itu? Kalau misalnya Hadi Purnomo, misalnya seperti investigasi TEMPO, banyak keanehan asal muasal hartanya yang disebutkan sbg hibah, dengan pembuktian terbalik akan diketahui kebenaran asal usul hartanya tersebut. Harapan saya ada civil society yang menggalang Perpu pembuktian terbalik dalam kasus korupsi ini, Salam Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: Irwan Lubis Date: Fri, 12 Mar 2010 09:08:21 To: Subject: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" "...Kejahatan terbesar adalah DPR telah dijadikan tameng melalui "power building" bagi sebagian anggotanya yang ternyata memiliki skandal2 kejahatan thd negara. Apa yg diungkap majalah Tempo tentang L/C fiktif Mashbikun ditambah tentang Idrus Marham, Setya Novanto, Emir Muis dll. menyisakan pertanyaan..." Ayo Bang Ganda, kejar terus anggota-anggota DPR bermasalah. Termasuk yg kata koran-koran terima uang paling banyak untuk milih deputi senior Gubernur BI. -Irwan L- 2010/3/11 > > > Tentu hati siapa yang tidak gundah gulana, sedih, kecewa dengan tingkah > Suryo dan beberapa anggota DPR lainnya yg meninGgalkan sidang sesuka2 > hatinya. DPR bukanlah lembaga murahan yang dapat di degradasi seenak2 nya > setelah susahnya lembaga tersebut diperjuangkan eksistensinya sebagai pilar > demokrasi. Baik di timur maupun di barat ratusan ribu jiwa telah korban demi > menolak monarki. Bahkan, di Indonesia DPR yg kita kenal di masa reformaSi > ini masih menyisakan bau keringat dan darah yang belum terlupakan > bayangannya dari ribuan mahasiswa, aktivis pro demokrasi dan para mujahid. > Masih ingat dalam kenangan kita, kediktatoran rezim Soeharto telah membuat > DPR hanya sebagi juru Stempel pemerintah saja. > > Suryo adalah representasi dari orang2 yang mungkin khilaf karena proses > politik dalam kehidupannya terlalu pendek sebelum dia menyadari telah berada > di puncak lembaga politik. Atau mungkin juga ia membandingkan secara salah > dengan parlemen inggris yg teriakan h sering menggema. Suryo adalah > sosok selebritis yg diperalat atau dijebak partai politik (dulu hanya vote > getter) utk masuk kesebuah lembaga yg sesungguhny tanggung jawabnya terhadap > nasib bangsa ini sangat vital. Sementara partai politikpun kehilangat > ideologi, visi dan karakter sehingga tdk mampu memberikan pematangan politik > atau kaderisasi kepada selebritis2 seperti Suryo, para artis, anak, ponakan > dan mantu pejabat dll. > > Sesungguhnya secara moral, kelakuan Suryo bukanlah hal primer meskipun itu > penting dipersoalkan. Lalu apakah yang primer? Kejahatan terbesar adalah DPR > telah dijadikan tameng melalui "power building" bagi sebagian anggotanya > yang ternyata memiliki skandal2 kejahatan thd negara. Apa yg diungkap > majalah Tempo tentang L/C fiktif Mashbikun ditambah tentang Idrus Marham, > Setya Novanto, Emir Muis dll. menyisakan pertanyaan apakah hak2 eksklusif yg > diberikan rakyat pada para anggota DPR ini akan mampu menjadi kekuatannya > rakyat??? > > Kalau seandainya mayoritas anggota DPR baik langsung maupun tidak terkait > dengan bisnis, mungkinkah dia akan mencu
Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik"
"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" Biasanya yang korupsi itu adalah pihak yang berkuasa. Sebab dengan kekuasaan itulah dia bisa menawarkan seseorang untuk mendapatkan uang suap. Oleh karena itu secara logika, pihak yang berkuasa dan partai penguasalah yang bisa melakukan korupsi. Ada pun partai kecil/pinggiran, paling sekedar perantara yang dapat uang receh. Ibaratnya anggota DPR ada 560 orang. Untuk butuh 1 UU atau budget atau hal lain yang perlu persetujuan mayoritas anggota DPR, minimal "kita" (na'udzubullah min dzalik) harus menyuap 231 orang (ini kalau korupsinya benar lho). Kalau cuma 200 orang saja, itu buang2 uang. Nah tentu yang kita coba suap adalah tokoh dari parpol2 terbesar. Sebab kalau menyuap parpol yang suaranya cuma kurang dari 10% rugi... Jadi kalau yang kena cuma parpol pinggiran, sepertinya ada tebang pilih. Ada juga sih besan penguasa yang tertangkap, namun tak lama para petinggi KPK jadi pesakitan...:) BTW, isu korupsi ini sering dilantunkan oleh Bank Dunia dan IMF. Ujung2nya untuk "solusi" mereka suruh Indonesia memprivatisasi/menjual BUMN2 nya agar tidak dikorup... === Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits http://media-islam.or.id Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com --- Pada Kam, 11/3/10, igan...@yahoo.com menulis: > Dari: igan...@yahoo.com > Judul: Re: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] Roy Suryo & > Character Assassination.=> "Sebuah Moral Politik" > Kepada: ekonomi-nasional@yahoogroups.com > Tanggal: Kamis, 11 Maret, 2010, 11:18 PM > Bung Irwan, > Kita tahu bersama PERC yg berbasis di Hongkong beberapa > saat yl merelease Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. > Mungkin kalau merujuk pada Transparansi Internasional (2009) > ada beberapa juga di Asia setelah kita seperti Rusia, > Myanmar, Laos dll. Namun China dan India sudah baik indexnya > di bawah 100. Menurut DR Todung Mulia Lubis, ketua > Transparansi Internasional Indonesia (TII), beberapa waktu > lalu, DPR merupakan salah satu lembaga terkorup. Dan kita > saksikan sudah berpuluh2 anggota DPR ditangkap KPK. > > Namun, untuk mampu menurunkan index korupsi kita secara > drastis, di butuhkan payung hukum pembuktian terbalik. Tentu > DPR tidak akan meloloskan UU yang mengatur pembuktian > terbalik tersebut. Satu2nya jalan adalah SBY mengeluarkan > Perpu pembuktian terbalik. Sehingga dari semua pejabat > negara yang memberikan daftar kekayaannya di KPK akan > ditanya asalnya darimana itu? Kalau misalnya Hadi Purnomo, > misalnya seperti investigasi TEMPO, banyak keanehan asal > muasal hartanya yang disebutkan sbg hibah, dengan pembuktian > terbalik akan diketahui kebenaran asal usul hartanya > tersebut. > > Harapan saya ada civil society yang menggalang Perpu > pembuktian terbalik dalam kasus korupsi ini, > Salam > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, > Nyambung Teruuusss...! > > -Original Message- > From: Irwan Lubis > Date: Fri, 12 Mar 2010 09:08:21 > To: > Subject: Kejar terus, Bang Ganda...Re: [ekonomi-nasional] > Roy Suryo & > Character Assassination.=> "Sebuah > Moral Politik" > > "...Kejahatan terbesar adalah DPR telah dijadikan tameng > melalui "power > building" > bagi sebagian anggotanya yang ternyata memiliki skandal2 > kejahatan thd > negara. > Apa yg diungkap majalah Tempo tentang L/C fiktif Mashbikun > ditambah tentang > Idrus Marham, Setya Novanto, Emir Muis dll. menyisakan > pertanyaan..." > > Ayo Bang Ganda, kejar terus anggota-anggota DPR bermasalah. > Termasuk yg > kata koran-koran terima uang paling banyak untuk milih > deputi senior > Gubernur BI. > -Irwan L- > 2010/3/11 > > > > > > > Tentu hati siapa yang tidak gundah gulana, sedih, > kecewa dengan tingkah > > Suryo dan beberapa anggota DPR lainnya yg meninGgalkan > sidang sesuka2 > > hatinya. DPR bukanlah lembaga murahan yang dapat di > degradasi seenak2 nya > > setelah susahnya lembaga tersebut diperjuangkan > eksistensinya sebagai pilar > > demokrasi. Baik di timur maupun di barat ratusan ribu > jiwa telah korban demi > > menolak monarki. Bahkan, di Indonesia DPR yg kita > kenal di masa reformaSi > > ini masih menyisakan bau keringat dan darah yang belum > terlupakan > > bayangannya dari ribuan mahasiswa, aktivis pro > demokrasi dan para mujahid. > > Masih ingat dalam kenangan kita, kediktatoran rezim > Soeharto telah membuat > > DPR hanya sebagi juru Stempel pemerintah saja. > > > > Suryo adalah representasi dari orang2 yang mungkin > khilaf karena proses > > politik dalam kehidupannya terlalu pendek sebelum dia > menyadari telah berada > > di puncak lembaga politik. Atau mungkin juga ia > membandingkan secara salah > > dengan parlemen inggris yg teriakan h sering > menggema. Suryo adalah > > sosok selebritis yg diperalat atau dijebak partai > politik (dulu hanya vote > > getter) utk masuk kesebuah lembaga yg sesungguhny > tanggung jawabnya terhadap > > nasib bangsa ini sangat vital. Sementara partai