[ekonomi-nasional] Pidato Politik KP-PRP dalam rangka HUT RI ke-65
Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja Nomor: 266/PI/KP-PRP/e/VIII/10 (Disampaikan pada saat HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010) “5 Setan Dunia Musuh Demokrasi Rakyat Pekerja” Mari Kibarkan Panji-panji Perang, Lawan Sampai Menang! Jakarta, 17 Agustus 2010 Terbanglah garudaku, Singkirkanlah kutu-kutu di sayapmu, Berkibarlah benderaku, Jangan ragu dan jangan malu, Bahwa sesungguhnya kita mampu (“Bangunlah Putra-putri Pertiwi”, Iwan Fals) Kawan-kawan seperjuangan, Hari ini kita mengenang kembali Proklamasi Kemerdekaan RI dalam umur 65 tahun. Waktu melangkah terus, bangsa Indonesia masih jatuh bangun dalam membangun demokrasi. Model demokrasi seperti apa yang dicari oleh Indonesia? Jika menurut konsepsi umum, Indonesia pernah bereksperimen dengan demokrasi parlementer/liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), dan demokrasi Pancasila di bawah Jenderal Soeharto (1966-1998). Kemudian, pada saat ini di bawah Jenderal SBY-Boediono, Indonesia melangkah pada model demokrasi yang menggunakan pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati, dan walikota sebagai mekanisme yang disebut demokratis. Namun, eksperimen model demokrasi selama eksistensi kemerdekaan Indonesia ada, seperti bangunan tanpa fondasi yang ambruk disikat gempa tanpa meninggalkan internalisasi pengetahuan dan tradisi yang demokratis. Sebagai rakyat pekerja yang setia membayar pajak negara, pada kesempatan ini, mari kita blejeti model-model demokrasi —yang telah disebutkan itu— yang dicangkokkan di negeri ini sejak 17 Agustus 1945, yang terbukti mengalienasikan (mengasingkan) rakyat pekerja dengan relasi-relasi sosial-budayanya terhadap kontrol ekonomi-politik negara. Kawan-kawan seperjuangan, Mengapa eksperimen demokrasi dalam sejarah Indonesia merdeka tak menginternalisasikan suatu pengetahuan dan tradisi, baik dalam tatanan pemerintahan maupun relasi dalam berkehidupan bersama sebagai rakyat Indonesia? Mengapa makin lama rakyat pekerja makin merasa tak betah hidup di tanah air sendiri sebagai satu ikatan bangsa yang multi-etnik dan multi-agama, yang di dalamnya terdapat relasi sosial oleh karena perbedaan gender maupun perbedaan kelas? Mengapa rakyat pekerja teralienasi dari model-model demokrasi yang pernah dilahirkan maupun yang sedang dipraktekkan, selama 65 tahun Indonesia merdeka? Jawabannya hanya satu kalimat: Karena konsepsi demokrasi kita merupakan musyawarah mufakat dengan “5 Setan Dunia”, untuk menyingkirkan, mengucilkan, “membunuh” rakyat pekerja dari kehidupannya yang layak. Siapa “5 Setan Dunia” itu? Ialah Neoliberalisme, Kolonialisme, Imperialisme, Patriarkisme, dan Fundamentalisme (NEKOLIMPATFU). Kawan-kawan seperjuangan, Secara kesejarahan, Indonesia adalah negara bangsa yang lahir dari kolonialisme. Kolonialisme telah menjajah sekitar 4 abad lamanya dan berganti-ganti alih kekuasaan dari VOC (perusahaan multinasional pertama di dunia), Hindia Belanda, Inggris, Jepang, sampai kemudian Indonesia mempunyai peluang mendeklarasikan kemerdekaannya di tengah kecamuk Perang Dunia II. Secara formal Soekarno-Hatta —atas desakan pemuda revolusioner— mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tetapi masyarakat internasional baru mengakuinya pada 1949. Sedangkan dari perspektif Belanda, baru mengakui kedaulatan kemerdekaan Indonesia pada Oktober 2005. Ini artinya apa? Dari aspek ekonomi, kepentingan Belanda menjajah Indonesia pada mulanya bukan untuk kepentingan politik dan militer, melainkan untuk kepentingan dagang (bisnis). VOC bukan sama dengan pemerintah Belanda, melainkan konsorsium 6 kamar dagang (investasi) di Belanda. Sehingga kolonialisme di Indonesia berwatak mencari peruntungan dagang dengan memonopoli komoditi hasil bumi sejak rempah-rempah, kayu cendana, beras, kopi, tembakau hingga tambang, laut, hutan, dan lain-lain. Maka terang sudah, disain kolonisasi atas Indonesia hanya menjadikan negeri ini sebagai sumber bahan baku sekaligus pasar —sebagai teritorial untuk memutar kapital modal internasional. Kemerdekaan yang dideklarasikan pada saat itu merupakan gagasan, agar Indonesia tidak lagi menjadi sumber bahan baku dan pasar bagi kepentingan korporasi perusahaan internasional. Syaratnya, secara domestik harus berdikari untuk mengurus dirinya sendiri dari campur tangan kekuatan korporasi modal internasional yang kemudian disebut kaum imperialis. Secara politik, berarti Indonesia harus menciptakan demokrasi yang memberikan kedaualtan kepada rakyat pekerja untuk menentukan sendiri bentuk struktur ekonominya yang tak berwatak kolonial. Tetapi, rupanya tak semudah Soekarno membaca teks proklamasi di Lapangan Ikada pada 17 Agustus 1945. Sebab, tak lama sesudah itu, pemerintah Indonesia yang merdeka mengadakan transaksi utang kepada imperialisme —karena sebuah kenyataan penguasaan modal terpusat di tangan imperialis, dan Indonesia berada dalam
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Mengutuk Serangan Israel terhadap Freedom Flotilla
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 241/PS/KP-PRP/e/VI/10 Hentikan kekerasan! Lawan zionisme dan imperialisme! Perhimpunan Rakyat Pekerja mengutuk serangan brutal Zionist Israel terhadap bala bantuan kemanusiaan, yang dikenal dengan Freedom Flotilla. Bala bantuan kemanusiaan tersebut terdiri dari 6 buah kapal yang membawa 10.000 ton bantuan kemanusiaan. Rencananya bantuan kemanusiaan tersebut akan dibawa ke Gaza yang sejak tahun 2007 telah diblokade oleh Zionist Israel. Blokade tersebut telah mengakibatkan sekitar 1,5 juta rakyat Palestina di Gaza hidup dalam kesengsaraan. Didalam kapal bala bantuan tersebut juga terdapat belasan wartawan dan relawan kemanusiaan yang berasal dari Indonesia. Serangan itu sendiri telah mengakibatkan belasan orang meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka. Israel juga akan memenjarakan relawan-relawan lainnya. Kejahatan kemanusiaan ini, memperpanjang daftar kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh Zionist Israel. Kejahatan kemanusiaan yang sampai sekarang belum pernah dipertanggung jawabkan oleh Zionist Israel. Ini tidak terlepas karena besarnya dukungan Rejim berkuasa di Amerika Serikat, bahkan oleh Obama yang baru saja menerima hadiah Nobel. Dukungan ini jelas sekali terlihat dalam bentuk veto AS terhadap semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang merugikan Israel. Ataupun pelanggaran Resolusi PBB oleh Israel yang dengan mudah diabaikan. Dukungan AS tersebut juga berupa bantuan sebesar 3 miliar US dollar pertahun sejak tahun 1985. Belum termasuk bantuan militer sebesar miliaran US dollar pertahun yang diberikan oleh AS. Sementara Rejim SBY-Budiono tidak jauh berbeda dengan juga bersedia menerima bantuan militer dari AS. Termasuk rencana terakhir, saat Obama akan berkunjung ke Indonesia, adalah menaktifkan kembali kerjasama militer AS dengan Kopassus. Bagaimanapun penindasan yang dialami oleh Rakyat Palestina, belum pernah ada tindakan tegas yang keluar dari Rejim SBY-Budiono terhadap Israel maupun Amerika Serikat. Mereka lebih asik membangun citra dengan pernyataan sikap. Tapi tidak pernah menggunakan kekuasaan politiknya untuk benar-benar mendukung pembebasan Rakyat Palestina. Oleh karena itu Perhimpunan Rakyat Pekerja menuntut: Dihentikannya blokade terhadap Rakyat Palestina di Gaza Pembebasan terhadap seluruh relawan dan wartawan yang berada dalam armada Freedom Flotilla Obama menghentikan dukungan militer dan diplomatik yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Zionist Israel. SBY-Boediono harus menuntut agar PBB menyeret Zionist Israel ke Pengadilan HAM Internasional karena kejahatan perang dan kemanusiaan. Mendukung dan menyerukannya pembangunan solidaritas internasional untuk melawan Rejim Zionist Israel dan Imperialis Amerika Serikat. Perhimpunan Rakyat Pekerja menyampaikan solidaritasnya kepada Rakyat Palestina. Serta menegaskan komitment kami untuk membangun solidaritas internasional dan mendukung kemerdekaan sejati bagi rakyat Palestina. Jakarta, 1 Juni 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal ttd. (Anwar Ma'ruf) ttd. (Rendro Prayogo) filtered {margin:0.79in;}P {margin-bottom:0.08in;}-->___*___Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja! Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global! Bersatu Bangun Partai Kelas Pekerja! Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP) JL Cikoko Barat IV No. 13 RT 04/RW 05, Pancoran, Jakarta Selatan 12770 Phone/Fax: (021) 798-2566 Email: komite.pu...@prp-indonesia.org / prppu...@yahoo.com Website: www.prp-indonesia.org [Non-text portions of this message have been removed]
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Menuntut Pembebasan 13 Aktifis Talaga Raya
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 236/PS/KP-PRP/e/V/10 Bebaskan 13 aktifis dan warga Talaga Raya yang ditangkap! Rezim neoliberal semakin represif kepada rakyat! Salam rakyat pekerja, Represifitas rezim neoliberal dan mengkriminalisasi rakyat, melalui aparat kepolisian, akhirnya kembali dilakukan. Sebanyak 13 orang aktifis dan warga di Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 16 Mei 2010. Penangkapan tersebut akibat kerusuhan yang terjadi sebelumnya. Warga Talaga Raya berhasil menduduki dan melakukan penyegelan terhadap kantor PT Arga Morini Indah (AMI), perusahaan nikel yang kabarnya di bawah Trans-Asia, milik Roman Abramovich. Pendudukan dan penyegelan tersebut akhirnya berlangsung ricuh karena warga Talaga Raya menghadapi preman-preman bersenjata yang dibayar oleh PT Arga Morini Indah (AMI). Pendudukan dan penyegelan PT Arga Morini Indah (AMI) dilatarbelakangi oleh mangkirnya PT AMI dari kesepakatannya dengan warga. Pada tahun 2009 lalu, PT AMI membuat kesepakatan ganti rugi lahan dan tanaman milik warga. Kesepakatan ganti rugi ini muncul karena keberadaan PT AMI telah merusak ekologi sekitar pertambangan dan membuat tambak rumput laut milik warga rusak. Hal ini diakibatkan karena semenjak keberadaan PT AMI, air laut berubah menjadi kuning karena eksplorasi penambangan yang dilakukan oleh PT AMI. Dalam kesepakatan tersebut tertera, bahwa PT AMI harus mengganti rugi lahan dan tanaman milik warga. Untuk tanaman, PT AMI bersedia untuk membayar Rp 7.000/meter, sedangkan tanaman milik warga diganti rugi sebesar Rp 500.000/pohon. Namun dalam perjalanannya, kesepakatan ini kemudian dirubah secara sepihak oleh Pemda Buton, dari Rp 7.000/meter menjadi Rp 1.000/meter, sementara ganti rugi pohon turun setengahnya, yaitu Rp 250.000/meter. Bahkan ganti rugi ini hendak disubsitusi oleh Pemda Buton dengan beras raskin dan pembebasan retribusi lahan selama setahun. Jelas sekali, bahwa Pemda Buton sangat berpihak kepada pemilik modal, dalam hal ini PT AMI. Padahal jelas-jelas, PT AMI telah merusak ekologi sekitar penambangan dan merusak tanaman warga. Karena masalah tersebut, warga kemudian melakukan pendudukan dan penyegelan PT AMI. Selain itu, warga juga memblokir dermaga pengapalan nikel PT AMI. Pemboikotan terhadap aktivitas PT AMI sebenarnya juga pernah dilakukan oleh warga pada tahun 2009. Dengan kata lain, mangkirnya PT AMI dari kesepakatan yang telah dibuat, telah berkali-kali dilakukan. Namun PT AMI selalu saja didukung oleh Pemda Buton dan malah menuding warga sebagai penghuni ilegal. Ini jelas merupakan bentuk persengkokolan antara pemilik modal dengan aparat birokrasi pemerintahan yang ingin memiskinkan rakyat. Demi keuntungan pemilik modal, aparat birokrasi pemerintahan rela untuk menjerumuskan rakyatnya ke jurang kemiskinan. Dalam bentrokan antara warga dengan preman-preman bersenjata yang dibayar oleh PT AMI, pihak kepolisian juga tidak berbuat apapun. Malah dengan penangkapan terhadap 13 aktifis dan warga Talaga Raya, semakin menunjukkan bahwa aparat kepolisian juga bersekongkol dengan pemilik modal. Sementara rakyat telah kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan dan petani. Selain itu rakyat juga dirugikan karena tambak rumput laut milik mereka telah rusak akibat penambangan nikel PT AMI. Bahkan ganti rugi yang telah disepakati sebelumnya tidak pernah dibayarkan oleh PT AMI. Inilah salah satu fakta, bahwa rezim neoliberal tidak akan pernah peduli dengan nasib rakyatnya. Rezim neoliberal hanya akan peduli dengan kepentingan para pemilik modal. Inilah kekuatan para penguasa yang mengagung-agungkan Neoliberalisme, demi kepentingan para pemilik modal. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Bebaskan 13 aktivis dan warga Talaga Raya yang ditangkap oleh aparat kepolisian Bangun persatuan dan wadah politik alternatif bagi seluruh rakyat pekerja di Indonesia, untuk melawan neoliberalisme Neoliberalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat akan sejahtera. Jakarta, 19 Mei 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Menolak Korupsi HAM
PERNYATAAN SOLIDARITAS PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 235/PS/KP-PRP/e/V/10 Tolak Korupsi Hak Asasi Manusia! Hak Pemulihan untuk korban adalah tanggung jawab negara! Salam rakyat pekerja, Pada tanggal 12 Mei 2010, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menyatakan pengusutan terhadap kasus orang hilang (penghilangan paksa) akan memunculkan kegaduhan politik. Bersamaan dengan itu, di hari yang sama, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sedang memperingati peristiwa penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Seakan-akan pernyataan tersebut memupuskan harapan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya keluarga korban penghilangan paksa, untuk mencari keadilan. Pernyataan Menteri Hukum dan HAM pun dapat diartikan bahwa setiap pengungkapan kebenaran terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya akan membuat negara kita tidak stabil, sehingga sebaiknya dilupakan saja. Pernyataan lanjut dari Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, mengungkapkan bahwa keluarga korban penghilangan paksa akan mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja di Kementerian Hukum dan HAM. Bagi Patrialis Akbar, pemberian pekerjaan kepada keluarga korban penghilangan paksa tersebut merupakan bentuk kompensasi kepada keluarga korban penghilangan paksa. Pemenuhan hak pemulihan dan pengusutan akan suatu kasus pelanggaran HAM masa lalu jelas merupakan tanggung jawab negara. Namun dari kedua pernyataan Menteri Hukum dan HAM tersebut, terlihat bahwa pemberian pekerjaan kepada keluarga korban seperti sebuah “sogokan” dari rezim neoliberal, melalui Menteri Hukum dan HAM, kepada para keluarga korban pelanggaran HAM. “Sogokan” tersebut dimaksudkan agar para keluarga korban pelanggaran HAM tidak selalu menuntut kepada rezim Neoliberal akan keadilan dan pemenuhan hak pemulihan. Inilah korupsi terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Neoliberal kepada para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Hak pemulihan terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM merupakan salah satu tanggung jawab yang harus segera direalisasikan oleh negara. Namun bentuk yang ditawarkan oleh rezim Neoliberal mengenai “kompensasi”pemberian pekerjaan kepada keluarga korban penghilangan paksa, tetapi melupakan proses pengusutan kasus tersebut merupakan salah besar. Ini merupakan upaya dari rezim neoliberal untuk “lari” dari tanggung jawabnya kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pemberian hak pemulihan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak boleh melupakan proses pengusutan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dengan memberikan kompensasi pekerjaan kepada para keluarga korban penghilangan paksa tanpa pengusutan kasus tersebut, jelas tidak akan membuat efek jera kepada para pelakunya. Hal ini artinya ada kemungkinan kasus-kasus pelanggaran HAM akan terus terjadi di masa mendatang seperti halnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jika pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung, maka pelanggaran HAM tersebut bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Solusi yang diberikan oleh rezim Neoliberal untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di masa mendatang, bisa jadi hanya akan memberikan “pekerjaan” kepada keluarga korban pelanggaran HAM. Untuk menjalankan atau mensukseskan agenda-agenda Neoliberalisme di Indonesia pada masa Orde Baru, memang membutuhkan suatu “kepatuhan” dari rakyatnya. Untuk itu negara memberikan jaminan keamanan untuk berinvestasi bagi para pemilik modal. Jaminan akan keamanan untuk berinvestasi tersebut akhirnya yang memunculkan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu, ketika rakyat berupaya menolak penindasan yang dilakukan oleh para pemilik modal. Jelas lah, bahwa neoliberalisme bukan hanya akan menyengsarakan rakyat Indonesia, namun juga akan membuat rakyat Indonesia menjadi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di negerinya sendiri. Rezim Neoliberal juga berupaya untuk melindungi para pelanggar HAM, bahkan para pelanggar HAM masa lalu telah mendapatkan posisi yang sangat strategis di kancah perpolitikan Indonesia, baik menjadi pejabat birokrasi di pemerintahan maupun menjadi pemimpin partai politik. Inilah wajah rezim Neoliberal yang selalu berupaya melindungi para pemilik modal, para pelanggar HAM, dan para koruptor. Untuk itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Tolak Korupsi Hak Asasi Manusia yang ditawarkan oleh Rezim Neoliberal. Bangun kekuatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, bersama-sama kekuatan rakyat yang lainnya untuk melawan neoliberalisme. Neoliberalisme hanya akan menyengsarakan rakyat dan membuat rakyat menjadi korban pelanggaran HAM, dan hanya dengan SOSIALISME lah rakyat akan sejahtera
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP mendukung pemogokan kaum buruh
PERNYATAAN SOLIDARITAS PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 232/PS/KP-PRP/e/V/10 Pemogokan merupakan senjata kaum buruh! Hapus Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing! Salam rakyat pekerja, Beberapa hari ini, kita sering mendengar berita pemogokan yang dilakukan oleh buruh-buruh di Indonesia. Yang paling santer terdengar adalah pemogokan buruh di Teriminal Peti Kemas (TPK Koja) dan PT Pertamina UP VI Balongan. Kedua pemogokan buruh tersebut dipicu oleh permasalahan yang sama, yaitu tertindasnya hak-hak buruh dalam hubungan industrial di Indonesia. Inilah dampak dari penerapan sistem neoliberalisme di Indonesia. Beberapa hari lalu, kawan-kawan Serikat Pekerja Terminal Peti Kemas Koja (SP TPK Koja) melakukan aksi pemogokan selama 3 hari, dimulai dari tanggal 1-3 Mei 2010. Aksi mogok kerja ini dipicu karena status perusahaan TPK Koja yang hingga saat ini masih Kerjasama Operasional (KSO). Hal ini menyebabkan nasib buruh-buruh terminal peti kemas Koja tidak menentu. Namun dari aksi pemogokan SP TPK Koja tersebut ditanggapi negatif oleh rezim neoliberal. Bagi rezim neoliberal, pemogokan yang dilakukan SP TPK Koja selama 3 hari tersebut, telah merugikan perekonomian nasional sebesar Rp 3 miliar. Rezim neoliberal menyayangkan pemogokan tersebut karena telah merugikan para pemilik modal. Inilah yang dipikirkan oleh rezim Neoliberal selama ini. Mereka hanya mementingkan kepentingan para pemilik modal tanpa memikirkan nasib para buruhnya. Jelas, bahwa kerugian yang dinyatakan oleh rezm neoliberal tidak sebanding dengan penderitaan dan ketertindasan yang dialami oleh para buruh selama bertahun-tahun. Begitu juga yang dilakukan oleh Serikat Buruh Indramayu (SBI), yang merupakan anggota Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Mereka saat ini tengah melakukan aksi pemogokan di PT Pertamina (Persero) UP VI Balongan. Aksi pemogokan tersebut dipicu karena hingga saat ini PT Pertamina (Persero) UP VI Balongan tidak pernah menyesuaikan Upah Minimum Sektoral di Migas (UMS Migas). Padahal UMS Migas telah ditetapkan untuk tahun 2010 oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, dan penetapan tersebut merupakan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Daerah dan bupati masing-masing kota/kabupaten. Namun, UMS Migas tidak pernah diterapkan di wilayah Indramayu, sementara kota/kabupaten lainnya, seperti Bekasi dan Sukabumi, telah menerapkan ketetapan Gubernur tersebut. Berkali-kali SBI-KASBI telah berupaya berunding dengan pihak PT Pertamina UP VI Balongan, namun yang didapat hanyalah janji-janji yang hingga kini tidak pernah direalisasikan. Kehidupan buruh-buruh di PT Pertamina (Persero) UP VI Balogan juga diperparah dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian kerja bagi para buruh tersebut. Pemogokan selama ini dianggap hanya akan merugikan perekonomian nasional oleh rezim neoliberal. Namun rezim neoliberal tidak pernah menyebutkan berapa kerugian yang telah diderita oleh para buruh-buruh di Indonesia akibat sistem kerja kontrak/outsourcing serta penindasan yang dilakukan oleh para pemilik modal kepada para buruhnya. Upaya penindasan terhadap buruh tersebut juga didukung selama ini oleh rejim Neoliberal dengan memberlakukan aturan-aturan ketenagakerjaan yang menindas serta membiarkan penindasan tersebut berlangsung terus menerus. Praktek dari sistem Neoliberalisme memang selalu hanya ingin menguntungkan para pemilik modal dan selalu menindas para buruh. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Mogok kerja adalah hak kaum buruh, dimana merupakan senjata buruh dalam berhadapan dengan pemilik modal maupun rezim neoliberal. Untuk itu, kami mendukung sepenuhnya aksi-aksi mogok kerja yang dilakukan oleh kaum buruh di Indonesia, termasuk pemogokan yang dilakukan oleh SP TPK Koja dan SBI-KASBI. Sistem kerja kontrak dan outsourcing telah nyata terbukti hanya menyengsarakan kaum buruh di Indonesia. Praktik neoliberalisme dalam bidang ketenagakerjaan ini telah membuat kaum buruh berada dalam jurang kemiskinan dan ketidakpastian kerja, serta mendapatkan upah murah. Bangun kekuatan politik alternatif dari gerakan rakyat pekerja untuk melawan praktek neoliberalisme di Indonesia. Neoliberalisme-kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat akan sejahtera. Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera !!! Jakarta, 6 Mei 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja Ketua Nasional Sekretaris Jenderal Anwar Maruf Rendro Prayogo filtered {margin:0.79in;}P {margin-bottom:0.08in;}--> ___*___ Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja! Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global! Bersatu Bangun Partai Kelas Peke
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP: Neoliberalisme telah gagal mensejahterakan rakyat
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 228/PS/KP-PRP/e/IV/10 Neoliberalisme telah gagal mensejahterakan rakyat! Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera! Salam rakyat pekerja, Sudah hampir 12 tahun transisi demokrasi, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, telah berjalan. Tumbangnya diktator Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, tadinya diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia. Namun kenyataannya, Orde Reformasi yang saat ini berjalan tak ubahnya seperti masa kekuasaan Orde Baru yang memberangus kehidupan demokrasi rakyat. Kesejahteraan pun semakin jauh dari jangkauan rakyat, karena rezim yang berkuasa menerapkan kebijakan neoliberalisme. Ketertundukan pemerintah Indonesia terhadap neoliberalisme ditunjukkan dengan kebijakan-kebijakannya yang semakin menyengsarakan rakyat. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 2009, dan belum usai hingga saat ini, kenyataannya menelurkan solusi yang tidak pernah dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Lihat saja hasil rekomendasi National Summit yang dilakukan oleh rezim ini pada bulan Oktober 2009, kenyataannya hanyalah menguntungkan para pemilik modal. Percepatan pembangunan infrastruktur yang dihasilkan dari pertemuan para penguasa negeri ini hanya akan menyengsarakan rakyat. Konsekuensi dari percepatan pembangunan infrastruktur tersebut hanya akan menggusur lahan-lahan rakyat karena kebutuhan lahan bagi pembangunan infrastruktur. Kerusuhan Koja, Tanjung Priok yang terjadi baru-baru ini menjelaskan, bahwa penggusuran yang dilakukan oleh rezim neoliberal hanya untuk kepentingan para pemilik modal. Dampak dari kerusuhan tersebut adalah jatuhnya korban jiwa akibat berseterunya sesama rakyat pekerja (warga versus Satpol PP). Belum lagi ketika kita melihat kebijakan-kebijakan yang diterapkan di perburuhan. Sistem kerja kontrak dan outsourcing menjadi salah satu andalan bagi para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Kebijakan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dimunculkan oleh pemerintah tentunya menjelaskan bahwa rezim ini merupakan rezim neoliberal, yang tidak peduli terhadap nasib rakyatnya. Belum ditambah dengan penerapan upah murah bagi buruh-buruh di pabrik sementara rezim neoliberal memberikan kenyamanan bagi para pemilik modal. Untuk kesejahteraan rakyat pun dapat dilihat bahwa rezim neoliberal berupaya menunda-nunda atau bisa dikatakan berupaya untuk tidak memberikan kepada rakyat Indonesia. Lihat saja berlarut-larutnya proses pengesahan RUU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Sudah seharusnya lah yang namanya sistem jaminan sosial tidak dianggap sebagai urusan usaha bisnis atau upaya mengeruk keuntungan. Dibentuknya sebuah sistem jaminan sosial justru menjadi jawaban atas kegagalan usaha bisnis mewujudkan keadilan sosial sekaligus kepastian perlindungan yang berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun berbeda di negeri ini, sistem jaminan sosial yang seharusnya diberikan untuk mensejahterakan rakyat, kenyataannya diupayakan sebagai ladang bisnis. Inilah kegagalan neoliberalisme yang menerapkan segalanya berdasarkan keuntungan semata. Tidak ada dalam logika neoliberalisme untuk mensejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Neoliberalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dan hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat akan sejahtera. Bangun kekuatan politik alternatif dari seluruh elemen gerakan rakyat untuk melawan kekuasaan neoliberal di Indonesia. Jakarta, 22 April 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal ttd. (Anwar Ma'ruf) ttd. (Rendro Pr
[ekonomi-nasional] Pernyataan Solidaritas PRP untuk Korban Banjir Karawang
PERNYATAAN SOLIDARITAS PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 219/PS/KP-PRP/e/III/10 Solidaritas terhadap korban pengungsi banjir di Karawang! Negara harus menjamin kehidupan para pengungsi banjir di Karawang! Salam rakyat pekerja, Bencana kembali dialami oleh rakyat Indonesia. Kali ini bencana banjir sejak tanggal 18 Maret 2010 hingga hari ini, terjadi di Karawang. Bencana banjir yang menggenangi setidaknya 10 kecamatan di Karawang, terjadi karena luapan sungai Citarum. Berdasarkan data Dinas Sosial Karawang, hingga kini terdapat 16.000 rumah yang terendam banjir di 10 kecamatan, seperti Kecamatan Karawang Barat, Karawang Timur, Telukjambe Timur, Telukjambe Barat, Ciampel, Batujaya, Pakisjaya, Rengasdengklok, Klari, dan Jayakerta. Dari 16.000 rumah yang terendam banjir tersebut terdapat 17.604 KK dan 66.382 jiwa yang menjadi korban banjir akibat meluapnya sungai Citarum. Dampak dari bencana banjir di Karawang inipun akhirnya juga dialami oleh anak-anak yang tidak bisa bersekolah dan kondisi yang sangat memprihatinkan di posko pengungsian serta para buruh yang tidak dapat bekerja. Pembangunan posko-posko pengungsian ini dikelola secara swadaya karena hampir tidak ada bantuan resmi yang mereka dapatkan dari pemerintah. Pengelolaan posko-posko pengungsian ini biasanya dilakukan oleh serikat-serikat buruh/pekerja yang berada di Karawang. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang menjadi tempat bekerjanya para pengungsi juga hanya memberikan bantuan minimal kepada para pekerjanya, berupa bantuan makanan siap santap yang hanya diberikan dalam 2 hari pertama musibah banjir. Selebihnya para pegungsi harus berusaha sendiri untuk bertahan hidup. Bahkan banyak perusahaan di Karawang yang hanya memberikan dispensasi/ijin untuk tidak kerja secara penuh kepada para pekerja hanya selama 2 hari saja. Hal ini menyebabkan pada hari ketiga, para pekerja dengan terpaksa harus bekerja kembali secara normal. Sementara para pekerja yang tergabung dalam serikat-serikat buruh/pekerja juga memiliki tanggung jawab untuk mengelola posko pengungsian dan pencarian bantuan. Pihak manajemen perusahaan-perusahaan tersebut, berusaha menutup mata akan hal itu. Mereka tetap pada kebijakannya, bahwa bagi para buruh yang tidak bekerja, maka perusahaan akan memotong cuti atau dinyatakan alpa/mangkir dengan upah tidak dibayar serta berpotensi menerima sanksi dikemudian hari karena dianggap melanggar peraturan perusahaan. Hal ini tentu saja menjadi dilema bagi para pekerja yang terlibat di dalam serikat buruh/pekerja. Di satu sisi para pekerja tersebut mengelola posko pengungsian, karena pemerintah tidak menjalankan tanggung jawabnya. Di sisi lain, para pekerja dipaksa bekerja oleh perusahaan, karena perusahaan tidak memiliki toleransi terhadap musibah yang dialami oleh pekerjanya. Artinya selalu saja pekerja yang dikorbankan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk segera memberikan bantuan yang menyeluruh kepada seluruh pengungsi bencana banjir di Karawang. Pemerintah pusat dan daerah harus mendesak dan menindak perusahaan-perusahaan yang memaksa pekerjanya untuk bekerja selama musibah banjir, terutama kepada para pengurus serikat pekeraj yang bertanggung jawab dalam pengelolaan posko pengungsi. Mendesak perusahaan untuk memberikan bantuan berupa makanan siap konsumsi/makanan instan/bantuan lainnya kepada para pekerjanya yang mengalami musibah banjir sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja yang selama ini sudah bekerja dengan penuh dedikasi untuk kemajuan perusahaan. Kepada seluruh elemen gerakan rakyat untuk bersolidaritas terhadap para pengungsi musibah banjir di Karawang. Jakarta, 27 Maret 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal ttd. (Anwar
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Mendukung Perjuangan Buruh PT Pertamina Balongan, Indramayu
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 210/PS/KP-PRP/e/III/10 PT PERTAMINA harus memenuhi tuntutan para buruh !!! Tindak tegas pihak kepolisian dan TNI yang mengintimidasi buruh !!! Salam rakyat pekerja, Sudah 4 hari (mulai dari tanggal 17 Maret 2010) para buruh/pekerja yang bekerja dengan status kontrak melakukan mogok kerja di PT Pertamina Balongan, Indramayu. Hal ini dipicu karena PT Pertamina telah berulang kali bertindak secara arogan dengan membiarkan tuntutan buruh agar mereka diangkat sebagai buruh tetap. Selain itu mereka juga menuntut adanya penyesuaian Upah Minimum Sekotral di Migas (UMS Migas). Namun hingga hari ini, hal tersebut tidak pernah direalisasikan oleh PT Pertamina. Pada tanggal 11 Maret 2010, para pekerja PT Pertamina tersebut telah berhasil menemui pihak manajemen perusahaan. Namun pertemuan tersebut akhirnya hanya menghasilkan janji-janji yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada buruhnya untuk memenuhi tuntutan dari para buruh. Berdasarkan dari pengingkaran janji yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan, maka pada tanggal 17 Maret 2010 (hingga hari ini) buruh-buruh dari unit Pertamina, seperti LPG, TTU, EP, dan yang lainnya, melaksanakan mogok kerja di PT Pertamina Balongan, Indramayu. Namun pada tanggal 19-20 Maret 2010, aksi sweeping ke rumah-rumah buruh dilakukan oleh pihak Kepolisian dan TNI, yang didampingi oleh pihak manajemen untuk memaksa para buruh bekerja kembali. Hal ini tentu saja menunjukkan keberpihakan pihak Kepolisian dan TNI kepada para pemilik modal, sementara jelas dalam hal ini yang paling dirugikan adalah para buruh. Sweeping yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dan TNI tersebut jelas-jelas membuat buruh sangat ketakutan karena dalam aksi sweeping tersebut, pihak kepolisian menggunakan senjata laras panjang untuk mengintimidasi para buruh. Dari hasil sweeping tersebut diketahui, bahwa 3 orang buruh telah dibawa paksa oleh aparat Brigade Mobil (Brimob) Polri dan pihak manajemen Pertamina Balongan ke tempat pekerjaan dari rumah mereka. Selama 2 hari berturut-turut aksi sweeping dilakukan oleh pihak Kepolisian dan manajemen PT PERTAMINA. Hal ini kemudian memaksa para buruh untuk bekerja kembali karena ada ancamana dari manajemen dari pihak PERTAMINA yang didampingi oleh aparat Brimob. Keberpihakan aparat Kepolisian dan TNI kepada para pemilik modal untuk melindungi aset-aset yang dimiliki oleh aparat Kepolisian dan TNI tentu saja bukan merupakan masalah yang baru. Hal ini telah diketahui sejak lama, tanpa ada desakan apapun dari pihak kopolisian. Perampasan terhadap atribut aksi yang dibawa oleh kawan-kawan buruh dari Serikat Buruh Indramayu – Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (SBI-KASBI) juga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Tentu saja hal ini harus segera diperbaiki oleh pihak Kepolisian, mengingat citranya semakin buruk, dengan adanya beberapa skandal Makelar Kasus di tubuh institusi hukum tersebut. Bisa jadi upaya perlindungan terhadap pemilik modal seperti halnya yang terjadi di beberapa kasus yang lain. Aparat Kepolisian yang sebenarnya merupakan salah satu elemen dari sektor perburuhan. Namun karena doktrin yang begitu kuat dari penguasa dan pemilik modal saat ini, membuat aparat Kepolisian menjadi “musuh” dari gerakan rakyat yang mulai melawan. Sementara, seharusnya pihak perlawanan, termasuk aparat Kepolisian dapat bersatu untuk memperjuangkan kesejehtaran rakyat, neoliberalisme memang mampu membuat individu-individu yang seharusnya masuk ke dalam kelas pekerja, menjadi tercerai berai dan bermusuhan satu sama lainnya. Untuk itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Mendukung sepenuhnya perlawanan yang dilakukan oleh buruh-buruh PT Pertamina Balongan, Indramayu dalam melakukan mogok kerja. Buruh-buruh yang bekerja di PT Pertamina harus bersatu dan melakukan perlawanan yang lebih besar dan politis untuk pergantian rezim dan sistem kekuasaan di Indonesia. Kapitalisme sudah gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia, hanya SOSIALISME lah yang mampu mensejahterakan rakyat Indonesia. Jakarta, 21 Maret 2010 Komite Pusat – Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Mengecam Tindakan Aparat Mengkriminalisasi Rakyat
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 207/PS/KP-PRP/e/III/10 Hentikan upaya pembungkaman terhadap rakyat! Mengecam tindakan kriminalisasi terhadap anggota Forum Warga Kota (FWK) Padang! Salam rakyat pekerja, Upaya pembungkaman terhadap demokratisasi di Indonesia, ternyata masih sering kali terjadi. Pembungkaman demokratisasi terhadap rakyat Indonesia selalu saja dilakukan oleh rejim Neoliberal. Hal ini tentunya dilakukan demi mengejar keuntungan semata yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah dan pemilik modal. Upaya pembungkaman demokratisasi, bahkan hingga tindakan kriminalisasi terhadap rakyat yang berpendapat pun dilakukan oleh pemerintah kota Padang dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Padang. Penangkapan secara sewenang-wenang dilakukan oleh Poltabes Padang terhadap para anggota FWK Padang, karena telah melakukan aksi unjuk rasa di rumah dinas Walikota Padang. Aksi unjuk rasa itu pun sebenarnya dilakukan karena keangkuhan Walikota Padang yang tidak mengindahkan suara-suara dari rakyat. Walikota Padang dengan dibantu aparat TNI Yon Zikof 13/kf Jakarta, telah memaksakan kehendaknya dengan membangun kios dan los sementara. Akibat pembangunan kios dan los sementara tersebut akhirnya menyebabkan tertutupnya akses transportasi, hilangnya akses berusaha sekitar 250 pedagang, dan tertutupnya akses kegiatan jual beli. Pembangunan kios dan los, yang dibantu oleh TNI Yon Zikof 13/kf Jakarta tersebut bernilai kontrak Rp 2,4 miliar. Bukan hanya masalah pembangunan kios dan los sementara tersebut, namun FWK Padang juga mempermasalahkan tidak disalurkannya dana bantuan gempa bumi 2007 oleh pemerintah kota Padang, kasus pencaplokan paksa tanah di teluk Sirih dan Kurao Pagang, kasus korupsi meterisasi penerangan jalan umum dan lain-lain. Akibat kasus-kasus ini, FWK Padang yang merupakan gabungan dari para korban di Sumatera Barat, menyatakan protes kepada walikota Padang. Namun Walikota Padang tidak pernah mengindahkan tuntutan dari rakyat yang tergabung di FWK Padang. Bahkan desakan untuk menghentikan dan pembongkaran kios dan los sementara ini juga dilakukan oleh DPRD Kota Padang dan DPRD Sumatera Barat. Desakan-desakan tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius oleh walikota Padang, bahkan ditanggapi dengan ancaman-ancaman kepada anggota FWK melalui Satpol PP. Keangkuhan walikota Padang ini menunjukkan praktek ketidakpedulian rezim neoliberal terhadap rakyatnya telah merambah hingga ke rejim di daerah. Bahkan upaya protes yang dilakukan oleh rakyat, akhirnya malah dibungkam dengan tindakan kriminalisasi oleh pihak kepolisian. Tindakan kriminalisasi dalam bentuk penangkapan dan penahanan anggota FWK Padang ini, sebenarnya cacat secara hukum karena aparat kepolisian tidak pernah bisa menunjukkan surat tugas dan surat penahanan terlebih dahulu. Bahkan aparat Poltabes Padang memaksa dan mengancam anggota FWK Padang untuk menandatangani BAP. Inilah pembungkaman yang dilakukan oleh rejim Neoliberal kepada rakyatnya. Rakyat Indonesia terus menerus dieksploitasi dan dimiskinkan hanya untuk kepentingan agenda Neoliberalisme. Berlarut-larutnya kasus ini, yang telah dimulai dari tahun akhir 2009 hingga saat ini, menunjukkan ketidakpedulian rejim Neoliberal terhadap rakyatnya. Rakyat pun tidak mendapatkan perlindungan dari manapun karena tidak adanya oposisi dari parlemen yang berani melakukan perlawanan terhadap tindakan-tindakan walikota Padang. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Mengecam keras pembungkaman demokratisasi dan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Walikota Padang dan Kepolisian Kota Besar Padang. Bebaskan anggota Forum Warga Kota (FWK) Padang yang hingga kini masih ditahan oleh aparat Kepolisian. Bangun kekuatan politik oposisi rakyat untuk melawan neoliberalisme yang telah menindas rakyat Indonesia. Kapitalisme-neoliberalisme telah gagal mensejahterakan rakyat Indonesia, hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat Indonesia akan sejahtera. Jakarta, 9 Maret 2010 Komite Pusat – Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional Sekretaris Jenderal (Anwar
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP: Pansus Skandal Bank Century hanya dagelan politik
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA No.: 202 /PS/KP-PRP/e/II/10 Pansus Skandal Bank Century hanya dagelan politik! Bangun kekuatan politik oposisi alternatif! Salam rakyat pekerja, Episode skandal Bank Century yang ditangani oleh DPR semakin menyita perhatian masyarakat. Hasil kesimpulan akhir Pansus Bank Century yang mengerucut pada dua nama pejabat Negara, Sri Mulyani Indrawati dan Boediono, dianggap sebagai sebuah keberpihakan DPR terhadap nasib rakyat. Namun yang harus diwaspadai adalah upaya partai-partai politik di parlemen yang hanya akan mengaitkan kedua nama pejabat Negara itu saja yang paling bertanggungjawab dalam skandal Bank Century. Memang benar, bahwa Boediono dan Sri Mulyani merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam skandal Bank Century, namun SBY sebagai presiden RI ketika itu, tentunya patut dimintai pertanggungjawaban atas skandal tersebut. Karena jelas SBY sebagai presiden RI bertanggungjawab akan berjalannya penyelenggaraan pemerintah ini dan yang dilakukan oleh bawahan-bawahannya, apalagi ketika terkait dengan upaya penyelesaian krisis ekonomi. Aliran dana Bank Century yang misterius itu pun diindikasikan menyebar ke berbagai partai politik untuk mendanai kampanye-kampanye partai politik pada Pemilu 2009. Hal ini mengakibatkan tawar menawar politik dalam hal siapa yang akan dikorbankan dalam skandal Bank Century semakin santer terdengar. Boediono dan Sri Mulyani Indrawati, yang bukan merupakan anggota partai politik apapun di parlemen, tentunya menjadi sasaran yang empuk untuk menimpakan seluruh kesalahan dari operasi politik borjuasi yang berjalan di Indonesia. Sementara anggota-anggota partai politik yang terlibat, termasuk SBY, sudah dipersiapkan jalur penyelamatan agar tidak terseret dalam skandal Bank Century tersebut. Sudah sejak awal, Pansus Skandal Bank Century dicurigai hanya akan menjadi renegosiasi politik atau kocok ulang posisi kursi kabinet dari partai-partai politik di parlemen. Perubahan komposisi suara di pansus dan rapuhnya koalisi partai pendukung rejim Neoliberal menunjukan bahwa seluruh partai politik di parlemen serta elit-elitnya berupaya unutk merebut kue kekuasaan. Di benak mereka, tidak pernah terpikir bahwa apa yang mereka lakukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Akibat dari munculnya skandal Bank Century, beberapa persoalan yang lain kemudian muncul ke permukaan dan akhirnya diketahui oleh rakyat. Sebut saja misalnya beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota-anggota partai politik dan kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie. Namun munculnya beberapa kasus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh upaya pembungkaman atau tawar menawar agar skandal Bank Century ini tidak merembet kemana-mana. Munculnya beberapa kasus tersebut, sebenarnya menunjukkan kebobrokan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh rejim Neoliberal. Kebobrokan tersebut tentunya juga menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ini tidak diperuntukan bagi kepentingan rakyat, namun hanya untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal dan elit-elit politik. Hal ini bisa terjadi dikarenakan seluruh kebijakan ekonomi politik di Indonesia ditentukan oleh elit-elit politik yang tunduk kepada rejim Neoliberalisme. Kepentingan rakyat hanya dijadikan jargon tidak berguna, dan tentunya lebih mementingkan kepentingan para pemilik modal dan elit politik borjuasi. Tidak adanya kekuatan politik alternatif atau oposisi di parlemen tentunya akan melanggengkan cengkeraman Neoliberalisme di Indonesia. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap: Keputusan yang akan dihasilkan dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 2 Maret hanyalah dagelan politik baru dari politik borjuasi. Bangun kekuatan oposisi rakyat untuk melawan rejim Neoliberal Kapitalisme-Neoliberalisme terbukti gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat Indonesia akan sejahtera. Jakarta, 27 Februari 2010 Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja Ketua Nasional Sekretaris Jenderal (Anwar
[ekonomi-nasional] Pernyataan Sikap PRP Menolak "Indonesia Solution"
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA Nomor: 189/PS/KP-PRP/e/II/10 Stop Kriminalisasi Aktifis! Tolak “Indonesia Solution”! Bebaskan Para Pengungsi! Tolak Penjara Bagi Para Pencari Suaka di Indonesia dan Australia! Rezim SBY-Budiono Boneka Australia! Salam rakyat pekerja, Lima tahun seratus hari Rezim Neoliberal yang saat ini dipimpin oleh SBY bukan hanya gagal dalam mensejahterakan rakyatnya sendiri, namun juga gagal dalam menangani masalah para pengungsi Tamil. Bahkan kegagalan dalam menangani pengungsi Tamil ini menunjukkan, bahwa Rezim SBY sangat tunduk pada Neoliberalisme. Sudah lebih dari 100 hari para pengungsi Tamil berada di Merak, Banten, tanpa kejelasan mengenai statusnya. Mereka lari dari negaranya untuk menghindari persecution dan perang sipil karena para pengungsi itu adalah bagian dari etnis minoritas Tamil. Mereka khawatir jika mereka kembali ke Sri Lanka, maka akan dipenjarakan atau bahkan dibunuh. Hal ini sudah terbukti ketika satu orang pengungsi dengan suka rela kembali ke Sri Lanka, karena mendengar Ibunya sakit keras. Pengungsi tersebut hingga sekarang justru dipenjarakan di Penjara Boosa, Sri Lanka. Para pengungsi tersebut yang berjumlah sekitar 240 orang hingga kini hidup di kapal kayu yang diperuntukan untuk 50 orang. Mereka tidak ingin keluar dari kapal karena takut akan dideportasi kembali ke Sri Lanka atau akan mendiami tempat tahanan di Indonesia selama bertahun-tahun tanpa masa depan jelas. Perhimpunan Rakyat Pekerja telah memberikan solidaritas kepada para pengungsi sejak awal mereka dipaksa berlabuh di Merak pada bulan Oktober 2009 hingga kini. Pada awalnya kami dapat bertemu dengan para pengungsi untuk memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan. Namun sejak tanggal 15 Nopember 2009 daerah pelabuhan tempat para pengungsi berada dinyatakan sebagai daerah terlarang dan untuk memasukinya harus mendapatkan ijin dari Departemen Luar Negeri Indonesia. Upaya-upaya untuk mendapatkan akses juga telah kami lakukan namun selalu ditolak oleh Departemen Luar Negeri dengan berbagai alasan. Upaya penghambatan dengan mempersulit pemberian ijin kepada Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) dari pemerintah, tentunya menunjukkan bahwa Rezim Neoliberal di Indonesia tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap para pengungsi. Jelas, para pengungsi sangat membutuhkan bantuan-bantuan kemanusiaan agar mereka dapat bertahan hidup lokasi pengungsian. Namun demi citra yang baik dan mematuhi kesepakatan antara Indonesia dan Australia, Rezim Neoliberal di Indonesia meminggirkan perspektif kemanusiaan. Hal ini terbukti dengan meninggalnya salah satu pengungsi yang bernama Jacob pada tanggal 23 Desember 2009, karena sakit dan tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak dari Rezim Neoliberal. Selain mempersulit para pengungsi untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan, Rezim Neoliberal, yang dipimpin oleh SBY, berusaha keras agar masalah pengungsi ini tidak mendapatkan solidaritas dari berbagai elemen masyarakat, baik dari Indonesia maupun di dunia internasional. Upaya “penutupan” masalah pengungsi Tamil ini ditanggapi oleh Rezim Neoliberal dengan upaya penangkapan terhadap beberapa aktifis yang ingin memberikan solidaritasnya. Upaya penangkapan terhadap salah seorang aktifis dari Refugee Action Coalition (RAC) pernah dicoba dilakukan oleh rezim Neoliberal SBY. Aktifis RAC tersebut ketika itu sedang terlibat aksi bersama-sama dengan Perhimpunan Rakyat Pekerja (Indonesia), Konfederasi KASBI (Indonesia), dan Refugee Action Coalition (Australia) di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tanggal 4 Desember 2009. Namun upaya penangkapan terhadap seorang aktifis Refugee Action Coalition (RAC) tersebut dapat digagalkan oleh persatuan gerakan rakyat yang dibangun ketika itu. Kemudian upaya penangkapan terhadap aktifis berlanjut pada tanggal 26 Januari 2010. Tiga orang aktifis dari Kanada dan Australia yang berkunjung ke Merak ditangkap, diinterogasi, dan barang-barang mereka-termasuk passport disita. Ketiga aktifis tersebut adalah Saradha Nathan, Pamela Curr dan Jessica Devi. Penangkapan tersebut sama sekali tidak dilandasi oleh alasan jelas selain tuduhan-tuduhan, bahwa para aktifis tersebut terlibat dalam penyelundupan manusia ataupun para aktifis tersebut memasuki daerah terlarang. Passport mereka akhirnya dikembalikan dengan syarat mereka tidak boleh berbicara pada media dan mereka bertiga akhirnya dideportasi dari Indonesia pada tanggal 29 Januari 2010 dan dilarang kembali ke Indonesia dalam jangka waktu 6 bulan. Pelarangan terhadap ketiga aktifis tersebut untuk berbicara kepada media, tentunya merupakan upaya untuk menaikkan citra rezim Neoliberal di dunia internasional. Inilah memang pola politik pencitraan yang dibangun oleh Rezim Neoliberal di Indonesia. Tuduhan bahwa mereka terlibat dalam penyelundupan manusia jelas mengada-ngada. Formulir visa kemanusiaan Australia yang diberikan oleh para aktifis tersebut kepada para