Re: SV: [GELORA45] BU KINAH – AKTIVIS ANTI-POLIGAMI YANG TERHALANG PULANG

2018-03-14 Terurut Topik Rachmat Hadi-Soetjipto nc-hadis...@netcologne.de [GELORA45]













SV: [GELORA45] BU KINAH – AKTIVIS ANTI-POLIGAMI YANG TERHALANG PULANG

2018-03-13 Terurut Topik S Manap rana...@yahoo.se [GELORA45]
   Saya terharu membaca tulisan tentang Bu Kinah ini. Apalagi melihat fotonya 
di usianya yang sudah diatas 100 tahun. 
   Mau tidak mau saya  menjadi teringat lagi akan suasana dimana kami akan 
meninggalkan Tiongkok  di tahun 80 han abad yang lalu. Sebelum berpisah, Bu 
Kinah berpesan kepada saya dan isteri supaya ditempat baru kami akan ada syarat 
mengurus anak dengan baik. Maksudnya supaya anak-anak kami bisa disekolahkan  
setelah tiba di Eropa.
   Sebetulnya saya masih ingin berkunjung lagi ke pinggiran kota Nanchang 
tempat tinggal kami dulu untuk menemui BU Kinah, Bu Rima  serta kawan-kawan 
lain yang tatap tinggal di situ. Sayangnya keinginan saya itu tidak kesampaian, 
sampai Bu Kinah dan semua kawan lama meninggalkan kita lebih dulu.
   S.Manap. (penghuni tempat tinggal no 8 luaran kota Nanchang). 

Den tisdag, 13 mars 2018 7:38 skrev "Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co..id 
[GELORA45]" :
 

     
Evi Sutrisno menambahkan 4 foto baru.
9 Maret pukul 18:21 · Mengenang Perempuan Menginspirasi 
BU KINAH – AKTIVIS ANTI-POLIGAMI YANG TERHALANG PULANGKami menjumpaimu di 
pinggiran kota Nanchang saat musim rontok 2015. Engkau telah berusia 105 tahun 
dan tak lagi banyak bicara. Namun, dari beberapa kawan lamamu, kudengar kisah 
dirimu. “Cantik jelita” begitu mereka menggambarkanmu. Sebagai perawan muda nan 
cantik, engkau dinikahkan dengan seorang priyayi. Dijadikan istri ke 
sekian…“Biasalah begitu, apalagi di zaman tahun 30-an,” demikian orang memberi 
permakluman. Seolah wajar bila di balik kecantikan seorang perempuan, 
tersembunyi kutukan.Namun engkau menolak takluk. Dengan segenap keberanian, kau 
pergi meninggalkan perkawinan walaupun saat itu engkau telah melahirkan seorang 
bocah laki-laki. Ia kau bawa lari. Aku terbayang betapa banyak ejekan, cacian, 
tekanan yang harus kau pikul atas keputusanmu. Tapi kau lebih memilih 
menghadapi semua itu daripada hidup dimadu.Kemudian kudengar kau menggabungkan 
diri dalam Gerwani. Bersama kawan-kawan aktivis, engkau berjuang demi 
pendidikan anak perempuan, persamaan upah untuk buruh perempuan dan 
menghentikan praktik poligami.Engkau memutuskan menikah kedua kali dengan 
seorang kader PKI Jawa Timur – pak Mamat – demikian ia dikenal. Kalian 
membentuk keluarga baru dengan seorang anak laki-laki dan seorang anak 
perempuan.Awal September 1965, engkau menemani pak Mamat berkunjung ke Cina 
sebagai “delegasi sakit.” Sebutan ini adalah candaan di antara para kawan bagi 
mereka yang datang ke Cina untuk berobat. Saat itu memang ada banyak yang 
melawat ke Cina dalam berbagai rombongan. Ada delegasi wakil rakyat, guru, 
pemuda, olahragawan, seniman, dan wartawan untuk merayakan 1 Oktober - hari 
nasional Cina. Kunjungan berubah menjadi pengasingan saat meletus G-30-S di 
tanah air. Atas pertimbangan keselamatan, pemerintah Cina memberikan 
perlindungan bagi para tamu yang terhalang pulang.Tak terbayang deritamu 
sebagai ibu yang tak dapat mengetahui keselamatan anak-anak dan keluarga. Juga, 
pedihmu saat mendengar teman seperjuangan di Gerwani satu demi satu ditangkapi, 
dianiaya dan diperkosa. Dengan licik Orde Bau memutarkan balikkan sejarah 
perjuangan kalian. Dari pejuang persamaan hak perempuan, Gerwani dituduh jadi 
perempuan pembantai dan penyiksa para jenderal. Sebuah pelintiran sejarah yang 
membuat generasi muda Indonesia menyamakan Gerwani dengan kebuasan dan 
kekejian.Sekitar tahun ’80-an, pak Mamat meninggal dunia... Engkau melanjutkan 
hidup bersama ratusan kawan yang juga terhalang pulang.. Satu demi satu mereka 
gugur di Cina atau mengungsi ke Eropa. Engkau merasa terlalu tua untuk pergi ke 
tempat baru dan memutuskan untuk menetap di pinggiran Nanchang – di sebuah 
pemukiman yg disediakan untuk kaum terhalang pulang. Saat kami mengunjungimu, 
tinggal satu kawan senasib di situ. Sayangnya, ia pun lebih banyak diam 
membisu.Anak-anakmu ternyata selamat dari pembantaian massal. Mereka pernah 
beberapa kali datang menengokmu dan membawa serta cucu dan cicitmu. Kunjungan 
terakhir sekitar tahun 2000, saat engkau berulangtahun ke-90. Kemudian putramu 
meninggal dunia.Saat ragamu tak berdaya, pemerintah Cina menyediakan seorang 
perawat. Di usia tua engkau sulit berbahasa Cina. Sang perawat harus belajar 
beberapa kata Indonesia. “Manti (mandi), makan, titur (tidur), minum” empat 
kata itu dilafalkannya dengan logat yang kental.Saat kita berjumpa, kau telah 
banyak lupa Bahasa Indonesia. Hanya dalam Bahasa Jawa kau masih mampu bicara 
walau terbata-bata. Kugenggam tanganmu, antara sedih dan haru. Di hari tuamu, 
engkau harus menghabiskan hidup dalam sunyi. Sungguh berat saat kami harus 
berpamitan. Aku berbisik di telingamu bak memanjatkan doa 
“Kulo pamit rumiyin nggih, Bu. (Saya pamit dulu, Bu) 
Mugi-mugi bu Kinah terus kuat, seger lan waras (Semoga bu Kinah terus kuat, 
segar dan sehat)
Kulo nyuwun sun nggih, kersane ketularan awet ayu kados Ibu… (Saya minta cium 
ya, supaya ketularan awet cantik seperti ibu)”Tak 

[GELORA45] BU KINAH – AKTIVIS ANTI-POLIGAMI YANG TERHALANG PULANG

2018-03-13 Terurut Topik Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]

Evi Sutrisno menambahkan 4 foto baru.
9 Maret pukul 18:21 · 
Mengenang Perempuan Menginspirasi 
BU KINAH – AKTIVIS ANTI-POLIGAMI YANG TERHALANG PULANG

Kami menjumpaimu di pinggiran kota Nanchang saat musim rontok 2015. Engkau 
telah berusia 105 tahun dan tak lagi banyak bicara. Namun, dari beberapa kawan 
lamamu, kudengar kisah dirimu. “Cantik jelita” begitu mereka menggambarkanmu. 
Sebagai perawan muda nan cantik, engkau dinikahkan dengan seorang priyayi. 
Dijadikan istri ke sekian…“Biasalah begitu, apalagi di zaman tahun 30-an,” 
demikian orang memberi permakluman. Seolah wajar bila di balik kecantikan 
seorang perempuan, tersembunyi kutukan.

Namun engkau menolak takluk. Dengan segenap keberanian, kau pergi meninggalkan 
perkawinan walaupun saat itu engkau telah melahirkan seorang bocah laki-laki. 
Ia kau bawa lari. Aku terbayang betapa banyak ejekan, cacian, tekanan yang 
harus kau pikul atas keputusanmu. Tapi kau lebih memilih menghadapi semua itu 
daripada hidup dimadu.

Kemudian kudengar kau menggabungkan diri dalam Gerwani. Bersama kawan-kawan 
aktivis, engkau berjuang demi pendidikan anak perempuan, persamaan upah untuk 
buruh perempuan dan menghentikan praktik poligami.

Engkau memutuskan menikah kedua kali dengan seorang kader PKI Jawa Timur – pak 
Mamat – demikian ia dikenal. Kalian membentuk keluarga baru dengan seorang anak 
laki-laki dan seorang anak perempuan.

Awal September 1965, engkau menemani pak Mamat berkunjung ke Cina sebagai 
“delegasi sakit.” Sebutan ini adalah candaan di antara para kawan bagi mereka 
yang datang ke Cina untuk berobat. Saat itu memang ada banyak yang melawat ke 
Cina dalam berbagai rombongan. Ada delegasi wakil rakyat, guru, pemuda, 
olahragawan, seniman, dan wartawan untuk merayakan 1 Oktober - hari nasional 
Cina. Kunjungan berubah menjadi pengasingan saat meletus G-30-S di tanah air. 
Atas pertimbangan keselamatan, pemerintah Cina memberikan perlindungan bagi 
para tamu yang terhalang pulang.

Tak terbayang deritamu sebagai ibu yang tak dapat mengetahui keselamatan 
anak-anak dan keluarga. Juga, pedihmu saat mendengar teman seperjuangan di 
Gerwani satu demi satu ditangkapi, dianiaya dan diperkosa. Dengan licik Orde 
Bau memutarkan balikkan sejarah perjuangan kalian. Dari pejuang persamaan hak 
perempuan, Gerwani dituduh jadi perempuan pembantai dan penyiksa para jenderal. 
Sebuah pelintiran sejarah yang membuat generasi muda Indonesia menyamakan 
Gerwani dengan kebuasan dan kekejian.

Sekitar tahun ’80-an, pak Mamat meninggal dunia. Engkau melanjutkan hidup 
bersama ratusan kawan yang juga terhalang pulang. Satu demi satu mereka gugur 
di Cina atau mengungsi ke Eropa. Engkau merasa terlalu tua untuk pergi ke 
tempat baru dan memutuskan untuk menetap di pinggiran Nanchang – di sebuah 
pemukiman yg disediakan untuk kaum terhalang pulang. Saat kami mengunjungimu, 
tinggal satu kawan senasib di situ. Sayangnya, ia pun lebih banyak diam membisu.

Anak-anakmu ternyata selamat dari pembantaian massal. Mereka pernah beberapa 
kali datang menengokmu dan membawa serta cucu dan cicitmu. Kunjungan terakhir 
sekitar tahun 2000, saat engkau berulangtahun ke-90. Kemudian putramu meninggal 
dunia.

Saat ragamu tak berdaya, pemerintah Cina menyediakan seorang perawat. Di usia 
tua engkau sulit berbahasa Cina. Sang perawat harus belajar beberapa kata 
Indonesia. “Manti (mandi), makan, titur (tidur), minum” empat kata itu 
dilafalkannya dengan logat yang kental.

Saat kita berjumpa, kau telah banyak lupa Bahasa Indonesia. Hanya dalam Bahasa 
Jawa kau masih mampu bicara walau terbata-bata. Kugenggam tanganmu, antara 
sedih dan haru. Di hari tuamu, engkau harus menghabiskan hidup dalam sunyi. 
Sungguh berat saat kami harus berpamitan. Aku berbisik di telingamu bak 
memanjatkan doa 
“Kulo pamit rumiyin nggih, Bu. (Saya pamit dulu, Bu) 
Mugi-mugi bu Kinah terus kuat, seger lan waras (Semoga bu Kinah terus kuat, 
segar dan sehat)
Kulo nyuwun sun nggih, kersane ketularan awet ayu kados Ibu… (Saya minta cium 
ya, supaya ketularan awet cantik seperti ibu)”

Tak kami sangka, engkau tertawa lebar mendengar kalimat terakhir. Sebuah tawa, 
yang menurut sang perawat, telah bertahun-tahun tak lagi menghias wajahmu. 
Empat bulan kemudian, kami mendengar kabar duka. Engkau pergi menyusul suami 
dan anakmu tercinta.

Ibu Kinah, kami merasa sangat terhormat dapat berjumpa denganmu
Mendengar lika-liku kisah hidup dan perjuanganmu
Pedih mendengar hidupmu berakhir getir seorang diri 
Namun semangat perjuanganmu demi persamaan hak perempuan terus kami warisi.

Seattle, 8 Maret 2018

Photos by: Adrian Sudjono