Fwd: [GELORA45] Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi
轉寄郵件 主旨: [GELORA45] Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi 日期: Sat, 31 Oct 2020 20:31:36 +0100 從: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] Nampaknya krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 TIDAK MUNGKIN teratasi TANPA lockdown ketat seperti yang dijalankan di Wuhan, Tiongkok itu! Harus menunggu vaksin yang ampuh bisa digunakan, ... masalahnya mungkinkah kita menunggu vaksin baru mencegah krisis ekonomi? Nampaknya juga TIDAK MUNGKIN, ... rakyat banyak sudah berada disimpang jalan, mati karena Covid-19 atau mati kelaparan! Sedang pemerintah juga TIDAK MAMPU menunjang krisis ekonomi yang berkepanjangan, makin lama makin parah, ...! TAK ADA jalan lain kecuali percepat penggunaan vaksin, ...! -- j.gedearka https://news.detik.com/kolom/d-5235779/selesaikan-krisis-kesehatan-mencegah-krisis-ekonomi?tag_from=wp_cb_kolom_list Kolom *Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi* Bambang Soesatyo - detikNews Sabtu, 31 Okt 2020 11:50 WIB Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Foto: dok. MPR RI Jakarta - Krisis kesehatan dan krisis ekonomi dalam waktu bersamaan tidak boleh terjadi. Karena itu, menyelesaikan krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 sekarang ini menjadi prasyarat, bahkan harga mati, agar perekonomian nasional maupun global lolos dari situasi krisis. Apalagi, ketika pandemi COVID-19 belum berakhir, perekonomian dunia sudah masuk zona resesi. Semua negara masih harus all out mengerahkan semua daya dan upaya untuk meminimalisir dampak pandemi terhadap semua aspek kehidupan manusia. Ragam subsidi dan stimulus ekonomi direalisasikan. Mulai dari anggaran untuk merawat mereka yang terinfeksi COVID-19, membiayai ragam program perlindungan sosial hingga tunjangan gaji, subsidi untuk menjaga ketahanan sektor bisnis agar tidak bangkrut hingga alokasi puluhan triliun untuk belanja bahan baku dan program pengadaan vaksin virus Corona. Kocek banyak negara benar-benar terkuras. Untuk membiayai semua program subsidi itu, sebagian negara harus menguras tabungan, sebagian lainnya mencari utang atau hibah. Banyak negara mengalami tekanan pada neraca pembayaran, maupun cadangan devisa yang terkuras. Tak kurang 100 dari 189 negara anggota IMF telah berkomunikasi dengan lembaga keuangan multilateral ini untuk mendapatkan dana darurat. IMF pun mengalokasikan bantuan pinjaman sebesar US$ 1 triliun untuk membantu negara anggota menangani pandemi COVID-19. Pandemi virus Corona menjadi pukulan telak bagi perekonomian dunia. Permintaan barang dan jasa anjlok. Konsekuensinya, sektor bisnis atau perusahaan melakukan efisiensi dengan menurunkan volume produksi hingga mengurangi jumlah karyawan. Karena permintaan pasar dunia melemah, penerimaan banyak negara dari ekspor pun anjlok. Penerimaan dari pajak pun pasti tidak signifikan karena sektor bisnis hanya mampu bertahan dari potensi kebangkrutan. Untuk alasan itu pula banyak negara justru memberi keringanan pajak bagi dunia usaha. Mengharapkan investasi baru pun tidak realistis karena investor atau pemilik modal masih menunggu kepastian baru pasca pandemi. Pertanyaan mendasarnya adalah mau berapa lama lagi situasi seperti sekarang ini akan berlangsung? Seberapa kuat keuangan negara terus mensubsidi atau memberi perlindungan sosial? Pada akhirnya, kemampuan setiap negara ada batasnya dan karena keterbatasan itulah banyak negara berutang. Ketika negara mulai mengurangi atau menurunkan volume subsidi saat perekonomian masih terkontraksi, ancamannya jelas pada memburuknya kualitas kehidupan. Kualitas hidup yang memburuk adalah benih-benih krisis. Sekarang, perekonomian banyak negara, termasuk negara kaya, sudah di zona resesi. Indonesia pun sudah di zona yang sama. Jika stimulus ekonomi yang sudah direalisasikan itu gagal membawa sebuah negara keluar dari zona resesi, yang terjadi kemudian adalah krisis ekonomi. Ketika perekonomian global dilanda krisis, segala sesuatunya menjadi sangat sulit. Apalagi masih ada krisis kesehatan sebagaimana terjadi sekarang ini. Semua negara akan fokus dan berorientasi mengamankan berbagai aspek kepentingan nasional, utamanya bahan pangan. Kalau sudah begitu, negara kaya dengan cadangan devisa melimpah pun tidak akan bebas dari kesulitan. Indonesia pun akan mengalami kesulitan itu karena sejumlah kebutuhan komoditas pangan masih diimpor, seperti biji gandum, gula, kedelai, beras, jagung hingga tepung terigu dan bawang putih. Dengan cadangan devisa per September 2020 sebesar US$ 135,2 miliar sebagaimana dilaporkan Bank Indonesia (BI), nilai tambah dari jumlah itu mungkin menjadi minim ketika perekonomian global dilanda krisis. Volume cadangan devisa itu setara pembiayaan 9,5 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah. Namun, impor bahan pangan menjadi tidak mudah dalam periode krisis global. Karena itu, krisis kesehatan skala global maupun nasional saat ini harus segera dan cepat
[GELORA45] Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi
-- j.gedearka https://news.detik.com/kolom/d-5235779/selesaikan-krisis-kesehatan-mencegah-krisis-ekonomi?tag_from=wp_cb_kolom_list Kolom Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi Bambang Soesatyo - detikNews Sabtu, 31 Okt 2020 11:50 WIB 0 komentar SHARE URL telah disalin Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Foto: dok. MPR RI Jakarta - Krisis kesehatan dan krisis ekonomi dalam waktu bersamaan tidak boleh terjadi. Karena itu, menyelesaikan krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 sekarang ini menjadi prasyarat, bahkan harga mati, agar perekonomian nasional maupun global lolos dari situasi krisis. Apalagi, ketika pandemi COVID-19 belum berakhir, perekonomian dunia sudah masuk zona resesi. Semua negara masih harus all out mengerahkan semua daya dan upaya untuk meminimalisir dampak pandemi terhadap semua aspek kehidupan manusia. Ragam subsidi dan stimulus ekonomi direalisasikan. Mulai dari anggaran untuk merawat mereka yang terinfeksi COVID-19, membiayai ragam program perlindungan sosial hingga tunjangan gaji, subsidi untuk menjaga ketahanan sektor bisnis agar tidak bangkrut hingga alokasi puluhan triliun untuk belanja bahan baku dan program pengadaan vaksin virus Corona. Kocek banyak negara benar-benar terkuras. Untuk membiayai semua program subsidi itu, sebagian negara harus menguras tabungan, sebagian lainnya mencari utang atau hibah. Banyak negara mengalami tekanan pada neraca pembayaran, maupun cadangan devisa yang terkuras. Tak kurang 100 dari 189 negara anggota IMF telah berkomunikasi dengan lembaga keuangan multilateral ini untuk mendapatkan dana darurat. IMF pun mengalokasikan bantuan pinjaman sebesar US$ 1 triliun untuk membantu negara anggota menangani pandemi COVID-19. Pandemi virus Corona menjadi pukulan telak bagi perekonomian dunia. Permintaan barang dan jasa anjlok. Konsekuensinya, sektor bisnis atau perusahaan melakukan efisiensi dengan menurunkan volume produksi hingga mengurangi jumlah karyawan. Karena permintaan pasar dunia melemah, penerimaan banyak negara dari ekspor pun anjlok. Penerimaan dari pajak pun pasti tidak signifikan karena sektor bisnis hanya mampu bertahan dari potensi kebangkrutan. Untuk alasan itu pula banyak negara justru memberi keringanan pajak bagi dunia usaha. Mengharapkan investasi baru pun tidak realistis karena investor atau pemilik modal masih menunggu kepastian baru pasca pandemi. Pertanyaan mendasarnya adalah mau berapa lama lagi situasi seperti sekarang ini akan berlangsung? Seberapa kuat keuangan negara terus mensubsidi atau memberi perlindungan sosial? Pada akhirnya, kemampuan setiap negara ada batasnya dan karena keterbatasan itulah banyak negara berutang. Ketika negara mulai mengurangi atau menurunkan volume subsidi saat perekonomian masih terkontraksi, ancamannya jelas pada memburuknya kualitas kehidupan. Kualitas hidup yang memburuk adalah benih-benih krisis. Sekarang, perekonomian banyak negara, termasuk negara kaya, sudah di zona resesi. Indonesia pun sudah di zona yang sama. Jika stimulus ekonomi yang sudah direalisasikan itu gagal membawa sebuah negara keluar dari zona resesi, yang terjadi kemudian adalah krisis ekonomi. Ketika perekonomian global dilanda krisis, segala sesuatunya menjadi sangat sulit. Apalagi masih ada krisis kesehatan sebagaimana terjadi sekarang ini. Semua negara akan fokus dan berorientasi mengamankan berbagai aspek kepentingan nasional, utamanya bahan pangan. Kalau sudah begitu, negara kaya dengan cadangan devisa melimpah pun tidak akan bebas dari kesulitan. Indonesia pun akan mengalami kesulitan itu karena sejumlah kebutuhan komoditas pangan masih diimpor, seperti biji gandum, gula, kedelai, beras, jagung hingga tepung terigu dan bawang putih. Dengan cadangan devisa per September 2020 sebesar US$ 135,2 miliar sebagaimana dilaporkan Bank Indonesia (BI), nilai tambah dari jumlah itu mungkin menjadi minim ketika perekonomian global dilanda krisis. Volume cadangan devisa itu setara pembiayaan 9,5 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah. Namun, impor bahan pangan menjadi tidak mudah dalam periode krisis global. Karena itu, krisis kesehatan skala global maupun nasional saat ini harus segera dan cepat diselesaikan. Hanya itu opsinya agar perekonomian tidak terjerumus ke dalam lingkaran krisis. Untuk menghindari malapetaka, krisis kesehatan yang melanda dunia sekarang ini jangan sampai dibebani lagi dengan krisis ekonomi. Sangat mengerikan jika peradaban sekarang harus menghadapi dua krisis sekaligus di periode waktu yang sama. Untuk alasan strategis itulah kerja dan kesadaran memutus rantai penularan COVID-19 menjadi faktor kunci. Semua elemen masyarakat Indonesia harus aktif berperan dalam upaya memerangi COVID-19. Peran masyarakat jelas sangat menentukan karena besar-kecilnya jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri benar-benar ditentukan oleh perilaku masyarakat, utamanya mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi. Semua orang hanya