Re: [GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA

2009-03-13 Terurut Topik reza romantis
salam kenal Ronal Hutagalung, Aku Rico Ginting... HORA 

--- On Wed, 3/11/09, ronal hutagalung  wrote:
From: ronal hutagalung 
Subject: [GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Wednesday, March 11, 2009, 8:43 PM













Salam smart...
Pernahkan anda bertanya pada diri sendiri tentang beberapa hal dibawah ini :
Kenapa sih dimasyarakat ada orang kaya dan orang miskin?
ada orang yang dianggap pintar dan orang yang di “cap” bodoh?
Ada orang sukses dan orang gagal?
Pertanyaan diatas adalah sedikit pertanyaan yang sering saya tanyakan pada diri 
sendiri ketika awal-awal masuk di dunia kuliah. berbekal keingin tahuan akan 
jawaban dari pertanyaan diatas, sayapun membaca berbagai macam buku, mengikuti 
berbagai seminar, dan berdiskusi dengan mereka yang saya anggap tahu tentang 
jawaban yang sedang saya cari. 
Setelah menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, ternyata saya masih merasa 
ada sebuah lubang di dalam pikiran saya (bukan lubang di dalam hati seperti 
lagu barunya Letto). terjawabnya pertanyaan di atas membuat saya kembali 
bertanya dalam diri :
Kenapa sih ada lulusan Universitas terkemuka dengan predikat Cum Laude namun 
kalah sukses dibandingkan dengan seorang SDTT (sekolah Dasat Tidak Tamat) jika 
meminjam istilahnya Andrie Wongso?
Kenapa sih menjadi lulusan sebuah universitas bergengsi dengan IPK yang sangat 
memuaskan tidak dapat menjamin seseorang berhasil dalam hidupnya, bahkan harus 
mengemis-ngemis pekerjaan dari mereka yang DO dari kuliahnya?
Kenapa sih ada anak keturunan orang kaya yang memiliki banyak modal namun kalah 
bersaing dengan anak keturunan dari orang miskin?
Tertantang untuk mencari jawaban dari pertanyaan barusan membuat saya menekuni 
bidang pengembangan SDM atau HRD (Human Resource Development) . rasa haus 
itupun mendorong saya untuk mengambil program Lisenced di bidang Neuro 
Linguistic Programming dan certified di bidang Hypnotherapy.
Dalam beberapa perbincangan bersama para top level di berbagai Instansi 
pemerintah maupun perusahaan swasta, ada satu hal menarik yang selalu menjadi 
sebuah bahan diskusi kami bersama, yaitu masalah SDM Gorontalo.
terlepas dari seperti apakah sifat dan gaya kepemimpinan dari para top level 
tersebut,  secara umum hal yang sering dikeluhkan mereka terhadap SDM di bawah 
pimpinannya adalah rendahnya: semangat kerja, disiplin, inovasi dan 
kreativitas, produkstivitas, sportifitas, serta rasa tanggung jawab. Dan 
tingginya : iri dengki, budaya carlota yang mengarah pada hasut, suka 
menyalahkan, mencari kambing hitam, dan egois.
Salah seorang dari mereka bercerita bahwa pada beberapa Instansi pemerintah 
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan, upaya pengembangan SDM pun 
dilakukan, mulai dari kegiatan seminar maupun workshop di bidang peningkatan 
kompetensi, hingga pemberian beasiswa S2 hingga S3 baik di dalam maupun di luar 
negeri. Harapan utama dari pemberian Beasiswa ini adalah meningkatnya kualitas 
dari SDM tersebut, dengan sebuah asumsi dasar bahwa semakin tinggi tingkat 
pendidikan maka akan semakin tinggi kualitas dan produktivitas SDM. Sayangnya, 
yang terjadi adalah sesuatu yang jauh dari harapan. Selain sedikit bertambahnya 
“pengetahuan” terhadap suatu hal serta bertambahnya titel yang dicantumkan 
dalam setiap penulisan nama, mereka yang diberikan peluang mengikuti program 
beasiswa S2 dan S3 ini  hanya sedikit membawa perubahan positif bagi 
instansinya.
 Dengan titel baru yang dimiliki, langkah pertama yang di kerjakan adalah 
mengajukan peyetaraan pangkat. Selanjutnya karena merasa memiliki pendidikan 
yang lebih tinggi , jabatan yang lebih tinggi, dan pangkat yang lebih tinggi, 
orang-orang ini cenderung bersikap sombong dan meremehkan orang lain. mereka 
menjadi mahir dalam mendelegasikan setiap tugas dan kewajibannya pada 
orang-orang yang dibawahnya. hingga akhirnya timbullah sifat MOHIHIYA dari 
orang-orang disekitarnya dan berlanjut pada TUTUHIYA dan TITIUWA.
Jika kita coba mencari benang merah antara pertanyaan-pertanya an pada paragraf 
sebelumnya, keluhan terhadap SDM di Gorontalo dan bahasan “hangat” di milist 
ini tentang budaya TUTUHIYA dan TITIUWA maka jawabanya ada dalam sebuah kata 
yaitu “MINDSET”.
Perbedaan Mindset yang menjadi alasan kenapa Bill Gates yang dikenal Drop Out 
dari kampus namun sukses mendirikan perusahaan yang mempekerjakan para lulusan 
terbaik dari universitas ternama.
Perbedaan Mindset yang menjadi sebab kenapa seseorang berhasil dalam hidupnya 
dan seseorang yang lain gagal.
Tanpa perubahan Mindset, seseorang yang melanjutkan study di tingkat lebih 
tinggi (s2 atau s3) tidak akan mengalami perubahan berarti dalam hidupnya.
Mindset atau pola pikirlah yang menyebabkan timbul perilaku TUTUHIYA dan 
TITIUWA.
Jika Gorontalo ingin maju, maka Mindset masyarakatlah yang pertama kali harus 
di ubah. seluruh program bagus yang dicanangkan oleh pemerintah tidak akan 
berjalan dengan baik jika Mindset masyarakat masih konvensi

[GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA

2009-03-11 Terurut Topik ronal hutagalung
Salam smart...
Pernahkan anda bertanya pada diri sendiri tentang beberapa hal dibawah ini :
Kenapa sih dimasyarakat ada orang kaya dan orang miskin?
ada orang yang dianggap pintar dan orang yang di “cap” bodoh?
Ada orang sukses dan orang gagal?
Pertanyaan diatas adalah sedikit pertanyaan yang sering saya tanyakan pada diri 
sendiri ketika awal-awal masuk di dunia kuliah. berbekal keingin tahuan akan 
jawaban dari pertanyaan diatas, sayapun membaca berbagai macam buku, mengikuti 
berbagai seminar, dan berdiskusi dengan mereka yang saya anggap tahu tentang 
jawaban yang sedang saya cari. 
Setelah menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, ternyata saya masih merasa 
ada sebuah lubang di dalam pikiran saya (bukan lubang di dalam hati seperti 
lagu barunya Letto). terjawabnya pertanyaan di atas membuat saya kembali 
bertanya dalam diri :
Kenapa sih ada lulusan Universitas terkemuka dengan predikat Cum Laude namun 
kalah sukses dibandingkan dengan seorang SDTT (sekolah Dasat Tidak Tamat) jika 
meminjam istilahnya Andrie Wongso?
Kenapa sih menjadi lulusan sebuah universitas bergengsi dengan IPK yang sangat 
memuaskan tidak dapat menjamin seseorang berhasil dalam hidupnya, bahkan harus 
mengemis-ngemis pekerjaan dari mereka yang DO dari kuliahnya?
Kenapa sih ada anak keturunan orang kaya yang memiliki banyak modal namun kalah 
bersaing dengan anak keturunan dari orang miskin?
Tertantang untuk mencari jawaban dari pertanyaan barusan membuat saya menekuni 
bidang pengembangan SDM atau HRD (Human Resource Development). rasa haus itupun 
mendorong saya untuk mengambil program Lisenced di bidang Neuro Linguistic 
Programming dan certified di bidang Hypnotherapy.
Dalam beberapa perbincangan bersama para top level di berbagai Instansi 
pemerintah maupun perusahaan swasta, ada satu hal menarik yang selalu menjadi 
sebuah bahan diskusi kami bersama, yaitu masalah SDM Gorontalo.
terlepas dari seperti apakah sifat dan gaya kepemimpinan dari para top level 
tersebut,  secara umum hal yang sering dikeluhkan mereka terhadap SDM di bawah 
pimpinannya adalah rendahnya: semangat kerja, disiplin, inovasi dan 
kreativitas, produkstivitas, sportifitas, serta rasa tanggung jawab. Dan 
tingginya : iri dengki, budaya carlota yang mengarah pada hasut, suka 
menyalahkan, mencari kambing hitam, dan egois.
Salah seorang dari mereka bercerita bahwa pada beberapa Instansi pemerintah 
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan, upaya pengembangan SDM pun 
dilakukan, mulai dari kegiatan seminar maupun workshop di bidang peningkatan 
kompetensi, hingga pemberian beasiswa S2 hingga S3 baik di dalam maupun di luar 
negeri. Harapan utama dari pemberian Beasiswa ini adalah meningkatnya kualitas 
dari SDM tersebut, dengan sebuah asumsi dasar bahwa semakin tinggi tingkat 
pendidikan maka akan semakin tinggi kualitas dan produktivitas SDM. Sayangnya, 
yang terjadi adalah sesuatu yang jauh dari harapan. Selain sedikit bertambahnya 
“pengetahuan” terhadap suatu hal serta bertambahnya titel yang dicantumkan 
dalam setiap penulisan nama, mereka yang diberikan peluang mengikuti program 
beasiswa S2 dan S3 ini  hanya sedikit membawa perubahan positif bagi 
instansinya. Dengan titel baru yang dimiliki, langkah pertama yang di kerjakan 
adalah mengajukan peyetaraan pangkat.
 Selanjutnya karena merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi , jabatan yang 
lebih tinggi, dan pangkat yang lebih tinggi, orang-orang ini cenderung bersikap 
sombong dan meremehkan orang lain. mereka menjadi mahir dalam mendelegasikan 
setiap tugas dan kewajibannya pada orang-orang yang dibawahnya. hingga akhirnya 
timbullah sifat MOHIHIYA dari orang-orang disekitarnya dan berlanjut pada 
TUTUHIYA dan TITIUWA.
Jika kita coba mencari benang merah antara pertanyaan-pertanyaan pada paragraf 
sebelumnya, keluhan terhadap SDM di Gorontalo dan bahasan “hangat” di milist 
ini tentang budaya TUTUHIYA dan TITIUWA maka jawabanya ada dalam sebuah kata 
yaitu “MINDSET”.
Perbedaan Mindset yang menjadi alasan kenapa Bill Gates yang dikenal Drop Out 
dari kampus namun sukses mendirikan perusahaan yang mempekerjakan para lulusan 
terbaik dari universitas ternama.
Perbedaan Mindset yang menjadi sebab kenapa seseorang berhasil dalam hidupnya 
dan seseorang yang lain gagal.
Tanpa perubahan Mindset, seseorang yang melanjutkan study di tingkat lebih 
tinggi (s2 atau s3) tidak akan mengalami perubahan berarti dalam hidupnya.
Mindset atau pola pikirlah yang menyebabkan timbul perilaku TUTUHIYA dan 
TITIUWA.
Jika Gorontalo ingin maju, maka Mindset masyarakatlah yang pertama kali harus 
di ubah. seluruh program bagus yang dicanangkan oleh pemerintah tidak akan 
berjalan dengan baik jika Mindset masyarakat masih konvensional. Kita bisa 
lihat bersama batapa mandegnya kedua program pemerintah (Agropolitan dan Hasil 
laut) hanya dikarenakan mindset SDM yang tidak mendukung. 
AYO kita lakukan TRANSFORMASI MINDSET
Salam Smart
Ronal Hutagalung, CHt. M.NLP
Trainer, NLP-Hypnosis Consultant
Mobile : 08114309010