Re: [GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA
salam kenal Ronal Hutagalung, Aku Rico Ginting... HORA --- On Wed, 3/11/09, ronal hutagalung wrote: From: ronal hutagalung Subject: [GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Wednesday, March 11, 2009, 8:43 PM Salam smart... Pernahkan anda bertanya pada diri sendiri tentang beberapa hal dibawah ini : Kenapa sih dimasyarakat ada orang kaya dan orang miskin? ada orang yang dianggap pintar dan orang yang di “cap” bodoh? Ada orang sukses dan orang gagal? Pertanyaan diatas adalah sedikit pertanyaan yang sering saya tanyakan pada diri sendiri ketika awal-awal masuk di dunia kuliah. berbekal keingin tahuan akan jawaban dari pertanyaan diatas, sayapun membaca berbagai macam buku, mengikuti berbagai seminar, dan berdiskusi dengan mereka yang saya anggap tahu tentang jawaban yang sedang saya cari. Setelah menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, ternyata saya masih merasa ada sebuah lubang di dalam pikiran saya (bukan lubang di dalam hati seperti lagu barunya Letto). terjawabnya pertanyaan di atas membuat saya kembali bertanya dalam diri : Kenapa sih ada lulusan Universitas terkemuka dengan predikat Cum Laude namun kalah sukses dibandingkan dengan seorang SDTT (sekolah Dasat Tidak Tamat) jika meminjam istilahnya Andrie Wongso? Kenapa sih menjadi lulusan sebuah universitas bergengsi dengan IPK yang sangat memuaskan tidak dapat menjamin seseorang berhasil dalam hidupnya, bahkan harus mengemis-ngemis pekerjaan dari mereka yang DO dari kuliahnya? Kenapa sih ada anak keturunan orang kaya yang memiliki banyak modal namun kalah bersaing dengan anak keturunan dari orang miskin? Tertantang untuk mencari jawaban dari pertanyaan barusan membuat saya menekuni bidang pengembangan SDM atau HRD (Human Resource Development) . rasa haus itupun mendorong saya untuk mengambil program Lisenced di bidang Neuro Linguistic Programming dan certified di bidang Hypnotherapy. Dalam beberapa perbincangan bersama para top level di berbagai Instansi pemerintah maupun perusahaan swasta, ada satu hal menarik yang selalu menjadi sebuah bahan diskusi kami bersama, yaitu masalah SDM Gorontalo. terlepas dari seperti apakah sifat dan gaya kepemimpinan dari para top level tersebut, secara umum hal yang sering dikeluhkan mereka terhadap SDM di bawah pimpinannya adalah rendahnya: semangat kerja, disiplin, inovasi dan kreativitas, produkstivitas, sportifitas, serta rasa tanggung jawab. Dan tingginya : iri dengki, budaya carlota yang mengarah pada hasut, suka menyalahkan, mencari kambing hitam, dan egois. Salah seorang dari mereka bercerita bahwa pada beberapa Instansi pemerintah khususnya yang berkaitan dengan pendidikan, upaya pengembangan SDM pun dilakukan, mulai dari kegiatan seminar maupun workshop di bidang peningkatan kompetensi, hingga pemberian beasiswa S2 hingga S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Harapan utama dari pemberian Beasiswa ini adalah meningkatnya kualitas dari SDM tersebut, dengan sebuah asumsi dasar bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi kualitas dan produktivitas SDM. Sayangnya, yang terjadi adalah sesuatu yang jauh dari harapan. Selain sedikit bertambahnya “pengetahuan” terhadap suatu hal serta bertambahnya titel yang dicantumkan dalam setiap penulisan nama, mereka yang diberikan peluang mengikuti program beasiswa S2 dan S3 ini hanya sedikit membawa perubahan positif bagi instansinya. Dengan titel baru yang dimiliki, langkah pertama yang di kerjakan adalah mengajukan peyetaraan pangkat. Selanjutnya karena merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi , jabatan yang lebih tinggi, dan pangkat yang lebih tinggi, orang-orang ini cenderung bersikap sombong dan meremehkan orang lain. mereka menjadi mahir dalam mendelegasikan setiap tugas dan kewajibannya pada orang-orang yang dibawahnya. hingga akhirnya timbullah sifat MOHIHIYA dari orang-orang disekitarnya dan berlanjut pada TUTUHIYA dan TITIUWA. Jika kita coba mencari benang merah antara pertanyaan-pertanya an pada paragraf sebelumnya, keluhan terhadap SDM di Gorontalo dan bahasan “hangat” di milist ini tentang budaya TUTUHIYA dan TITIUWA maka jawabanya ada dalam sebuah kata yaitu “MINDSET”. Perbedaan Mindset yang menjadi alasan kenapa Bill Gates yang dikenal Drop Out dari kampus namun sukses mendirikan perusahaan yang mempekerjakan para lulusan terbaik dari universitas ternama. Perbedaan Mindset yang menjadi sebab kenapa seseorang berhasil dalam hidupnya dan seseorang yang lain gagal. Tanpa perubahan Mindset, seseorang yang melanjutkan study di tingkat lebih tinggi (s2 atau s3) tidak akan mengalami perubahan berarti dalam hidupnya. Mindset atau pola pikirlah yang menyebabkan timbul perilaku TUTUHIYA dan TITIUWA. Jika Gorontalo ingin maju, maka Mindset masyarakatlah yang pertama kali harus di ubah. seluruh program bagus yang dicanangkan oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan baik jika Mindset masyarakat masih konvensi
[GM2020] MINDSET TUTUHIYA & TITIUWA
Salam smart... Pernahkan anda bertanya pada diri sendiri tentang beberapa hal dibawah ini : Kenapa sih dimasyarakat ada orang kaya dan orang miskin? ada orang yang dianggap pintar dan orang yang di “cap” bodoh? Ada orang sukses dan orang gagal? Pertanyaan diatas adalah sedikit pertanyaan yang sering saya tanyakan pada diri sendiri ketika awal-awal masuk di dunia kuliah. berbekal keingin tahuan akan jawaban dari pertanyaan diatas, sayapun membaca berbagai macam buku, mengikuti berbagai seminar, dan berdiskusi dengan mereka yang saya anggap tahu tentang jawaban yang sedang saya cari. Setelah menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, ternyata saya masih merasa ada sebuah lubang di dalam pikiran saya (bukan lubang di dalam hati seperti lagu barunya Letto). terjawabnya pertanyaan di atas membuat saya kembali bertanya dalam diri : Kenapa sih ada lulusan Universitas terkemuka dengan predikat Cum Laude namun kalah sukses dibandingkan dengan seorang SDTT (sekolah Dasat Tidak Tamat) jika meminjam istilahnya Andrie Wongso? Kenapa sih menjadi lulusan sebuah universitas bergengsi dengan IPK yang sangat memuaskan tidak dapat menjamin seseorang berhasil dalam hidupnya, bahkan harus mengemis-ngemis pekerjaan dari mereka yang DO dari kuliahnya? Kenapa sih ada anak keturunan orang kaya yang memiliki banyak modal namun kalah bersaing dengan anak keturunan dari orang miskin? Tertantang untuk mencari jawaban dari pertanyaan barusan membuat saya menekuni bidang pengembangan SDM atau HRD (Human Resource Development). rasa haus itupun mendorong saya untuk mengambil program Lisenced di bidang Neuro Linguistic Programming dan certified di bidang Hypnotherapy. Dalam beberapa perbincangan bersama para top level di berbagai Instansi pemerintah maupun perusahaan swasta, ada satu hal menarik yang selalu menjadi sebuah bahan diskusi kami bersama, yaitu masalah SDM Gorontalo. terlepas dari seperti apakah sifat dan gaya kepemimpinan dari para top level tersebut, secara umum hal yang sering dikeluhkan mereka terhadap SDM di bawah pimpinannya adalah rendahnya: semangat kerja, disiplin, inovasi dan kreativitas, produkstivitas, sportifitas, serta rasa tanggung jawab. Dan tingginya : iri dengki, budaya carlota yang mengarah pada hasut, suka menyalahkan, mencari kambing hitam, dan egois. Salah seorang dari mereka bercerita bahwa pada beberapa Instansi pemerintah khususnya yang berkaitan dengan pendidikan, upaya pengembangan SDM pun dilakukan, mulai dari kegiatan seminar maupun workshop di bidang peningkatan kompetensi, hingga pemberian beasiswa S2 hingga S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Harapan utama dari pemberian Beasiswa ini adalah meningkatnya kualitas dari SDM tersebut, dengan sebuah asumsi dasar bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi kualitas dan produktivitas SDM. Sayangnya, yang terjadi adalah sesuatu yang jauh dari harapan. Selain sedikit bertambahnya “pengetahuan” terhadap suatu hal serta bertambahnya titel yang dicantumkan dalam setiap penulisan nama, mereka yang diberikan peluang mengikuti program beasiswa S2 dan S3 ini hanya sedikit membawa perubahan positif bagi instansinya. Dengan titel baru yang dimiliki, langkah pertama yang di kerjakan adalah mengajukan peyetaraan pangkat. Selanjutnya karena merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi , jabatan yang lebih tinggi, dan pangkat yang lebih tinggi, orang-orang ini cenderung bersikap sombong dan meremehkan orang lain. mereka menjadi mahir dalam mendelegasikan setiap tugas dan kewajibannya pada orang-orang yang dibawahnya. hingga akhirnya timbullah sifat MOHIHIYA dari orang-orang disekitarnya dan berlanjut pada TUTUHIYA dan TITIUWA. Jika kita coba mencari benang merah antara pertanyaan-pertanyaan pada paragraf sebelumnya, keluhan terhadap SDM di Gorontalo dan bahasan “hangat” di milist ini tentang budaya TUTUHIYA dan TITIUWA maka jawabanya ada dalam sebuah kata yaitu “MINDSET”. Perbedaan Mindset yang menjadi alasan kenapa Bill Gates yang dikenal Drop Out dari kampus namun sukses mendirikan perusahaan yang mempekerjakan para lulusan terbaik dari universitas ternama. Perbedaan Mindset yang menjadi sebab kenapa seseorang berhasil dalam hidupnya dan seseorang yang lain gagal. Tanpa perubahan Mindset, seseorang yang melanjutkan study di tingkat lebih tinggi (s2 atau s3) tidak akan mengalami perubahan berarti dalam hidupnya. Mindset atau pola pikirlah yang menyebabkan timbul perilaku TUTUHIYA dan TITIUWA. Jika Gorontalo ingin maju, maka Mindset masyarakatlah yang pertama kali harus di ubah. seluruh program bagus yang dicanangkan oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan baik jika Mindset masyarakat masih konvensional. Kita bisa lihat bersama batapa mandegnya kedua program pemerintah (Agropolitan dan Hasil laut) hanya dikarenakan mindset SDM yang tidak mendukung. AYO kita lakukan TRANSFORMASI MINDSET Salam Smart Ronal Hutagalung, CHt. M.NLP Trainer, NLP-Hypnosis Consultant Mobile : 08114309010