Re: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)
Ujian nasional merupakan sebuah terobosan kebijakan yang sangat bagus dibuat oleh pemerintah sehingga bisa menilai mutu pendidikan di Indonesia beserta segenap masyarakat yg terlibat didalamnya mulai dari siswa, orang tua, guru, kepala sekolah hingga pemimpin daerah. Hasil ujian nasional memberikan efek domino terhadap semua elemen pendidikan yg terlibat untuk dilakukan multiple review dan evaluation untuk selanjutnya dilakukan multiple improvement, control dan development terhadap kinerja pemerintah dan semua elemen yg terlibat didalamnya. Ketika siswa-siswi SMA/SMP bahkan SD khususnya yg ada di Gorontalo mendapatkan nila buruk sehingga tidak lulus ujian nasional dengan persentase ketidaklulusan dengan angka yg cukup tinggi maka seharusnya disikapi ditindaki dengan positif, jangan saling menyalahkan. Harus saling intropeksi diri satu sama lain. Harus menuding diri sendiri dulu baru orang lain. Terkadang sebagian masyarakat termasuk orang tua dari siswa yg tidak lulus ujian akan memberikan cap “bodoh” dan cap-cap lainnya yg bersifat mencemooh/merendahkan siswa tersebut tanpa mengintropeksi diri sendiri dulu. Orang tua siswa yg sehari-hari hidup bersama siswa membiarkan siswa tersebut bermain terus bahkan memberikan uang jajan untuk membeli layangan wanu siswa liyo to kambungu delo tohulontalo, bermain playstation, game2 online diinternet dan ditambah dgn facebook, twitter dan mainan-mainan canggih lainnya dizaman sekarang yg menghabiskan waktu sehingga siswa lupa dgn kewajibannya belajar. Mobalajari wanu ma dekat-dekat mo ujian atau dema lombu mo ujian karena asik bohemoyitohu. Akibatnya tdk lulus ujian karena malas belajar. Demikian juga dengan guru yg bertanggung jawab langsung mentransfer ilmu ke siswa hanya sekedar mengajar saja sesuai dengan kurikulum tanpa memperhatikan kualitas dari cara mengajar atau mentransfer pengetahuan kepada siswa sehingga siswa tdk mengerti dan makin jamongarati. Kondisi siswa jamongarati bukannya membuat guru mengintropeksi diri untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya malah sibuk mengejar gelar akademik yg lebih tinggi S1, S2 bahkan S3 agar mendapatkan jabatan dan kenaikan pangkat padahal siswa-siswi lingoliyo mohulodo ja lulus ujian karena guru-guru lingoliyo jamo tota mongajari dan tdk memiliki metode baru yg unik tapi berkualitas tinggi dalam mengajar lapata’o tingga hi nenge nenge to dalalo wawu to kampungu mangaku ngaku ta’o sikolah molanggato ta o title sarjana ngohuntuwa padahali jamotota mongajari. Didepan dan dibelakang nama mereka semua gelar sarjana harus ditulis lengkap tidak boleh salah tulis apalagi salah cumu padahal belum tentu gelar itu diperoleh secara murni hasil usaha kuliah di universitas tapi ternyata hasil bakupe’e dan mungkin saja dari hasil beli ijazah palsu dari calo ijazah.Akhirnya gelar sarjana lingoliyo ja’o hunaliyo to masyarakat. Demikian juga hal-halnya guru-guru dikota yg tidak mau ditugaskan didaerah-daerah terpencil di Gorontalo. Setiap ada mutasi ke daerah-daerah terpencil seperti di pinogu atau dimongi ilo, selalu dikaitkan dengan alasan politis karena tidak mendukung pemimpin incumbent di pilkada. Padahal ja’o tawa lingoliyo masyarakat to desa-desa butuh tenaga lingoliyo. Bandingkan dengan para missioner Kristen dan Islam yg berasal dari ibukota Jakarta dipedalaman dipedalaman Papua yang bertugas tanpa pamrih untuk penyebaran agama, kesehatan untuk hidup sehat, pendidikan, budaya dan adab kepada masyarakat terbelakang Papua. Selain berjuang mengalahkan diri sendiri karena tidak terbiasa hidup dipedalaman nan sepi dikelilingi hutan lebat, juga harus berjuang melawan keganasan alam dan binatang2 berbahaya seperti nyamuk malaria. Belum lagi ditambah dengan kesulitan keuangan yg serba pas2an. Dana perjuangan hanya diperoleh dari bantuan dari jema’at2 gereja dan masjid termasuk masjid tempat saya bekerja. Tidak ada sedikitpun bantuan dari pemerintah apalagi gaji bulanan yang pasti diterima tiap bulan. Demikian pula halnya ketika ada guru-guru di Gorontalo yang sudah mau dan ikhlas ditugaskan dan mengajar dipedalaman didesa-desa perhatian lo pemerintah lo pejabat-pejabat tidak ada kepada mereka memberikan tunjangan2 yg yg lebih baik untuk kesejahteraan mereka dan keluarganya biar mereka lebih semangat dan lebih berkualitas mengajar, fasilitas pendukung untuk mengajar seperti jalan, ruang kelas, motor atau sepeda untuk guru pergi kesekolah untuk mengajar, dan rumah gratis utk guru. Waktu sebelum jadi pejabat, sebelum jadi pemimpin, sebelum jadi anggota dewan samua batariak berjuang atas nama rakyat, lillahita’ala untuk melaksanakan amanah dari rakyat tapi ketika so jadi pejabat malah semua bekerja dan berjuang atas nama doi yg banyak alias lillahi TALA ‘A, biar jadi kaya dan tambah kaya lagi. Dana APBD titipan dari pemerintah pusat untuk pembangun kemajuan kesejahteraan masyarakat hanya dipakai untuk pembangunan gedung-gedung pencakar, gedung2
[GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)
Dear Members, Dari pada somo bakalae gara-gara ini UNAS di Bonbol, mungkin cerita nyata ini bisa membantu memahami mengapa kualitas pendidikan di Bonbol, dan kira-kira apa yang kita bisa lakukan untuk merubahnya. Ceritanya begini: Awal April tahun lalu saya sempat berkunjung ke Pinogu sekedar iseng jalan-jalan. Setelah kaki saya agak sembuh (karna saya jalan kaki kesana(itung-itung hemat ongkos,daripada ojek 150 ribu one way)) saya ke SMP Negeri 4 Pinogu. Kebetulan ada sepupu jauh yang skarang sekolah di SMU kabila lagi pemusatan latihan untuk UAN saat itu di SMP N 4 Suwawa,oleh gurunya di persilahkan untuk melihat anak-anak kelas 3 yang lagi belajar di kelas. Saya bingung mengapa anak-anak itu belajar tanpa diawasi, ketika ditanya ternyata mereka lagi membahas soal-soal UAN, bahasa Inggris kebetulan pada waktu itu. Saya sempat bertanya mana guru pembimbingnya?, kata mereka tidak ada, seminggu brapa kali blajar bahasa Inggris? terakhir kali belajar bahasa Inggris sekali selama kelas 3 SMP (WOW! amazing) ujiannya gimana? asal tebak! (WOW)..lebih parah lagi ternyata bukan hanya pelajaran bahasa inggris saja yang tidak mereka pelajari lagi sejak kelas 3, tapi pelajaran UAN lain seperti fisika juga nasibnya sama Guru bahasa Inggris di sekolah itu adalah sekaligus kepala sekolah, yang hanya seminggu berada di kampung, dan lebih banyak berada di ibu kota kabupaten BONE BOLANGO. (Info ini bisa dipertanggungjawabkan! ) Sampe sekarang saya masih menyimpan foto kenangan saya belajar dengan anak-anak itu. antusiasme belajar mereka sangat tinggi, mereka meminta saya membahas soal UANnya sampe jam 3 sore without break. Mungkin, Pinogu hanya salah satu contoh kebobrokan kualitas pendidikan di Bone Bolango. Tidak perlu mencari siapa yang salah! walau pun There has to be someone held responsible for this! yang paling penting adalah Bagaimana kita berkontribusi terhadap perbaikan kualitas dan kuantitas pendidikan di Bone Bolango menurut saya. Setelah kunjungan itu saya pernah membicarakan solusi long distance learning dengan Camat Pinogu, Nikson Gubali. Saat itu beliau setuju dengan ide merekam pelajaran lewat VCD yang kemudian di putar di depan kelas. Beliau juga seorang mantan Guru, sehingga saya berfikir idenya mungkin lebih masuk kalau dibicirakan dengan beliau. But, Nothing Happens Mungkin saya hanya bisa berbuat sampai disitu, sesuai kemampuan dan keilmuan saya. Mungkin teman-teman bisa berbuat lebih banyak lagi, for the sake of Bone Bolango yang sekarang lagi diperebutkan oleh orang-orang yang mengaku dan merasa bisa memimpin. Maaf kalo ada salah-salah kata Salam, Dewi
Re: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)
Langsung saya tanggapi saja. Bu Dewin, luar biasa skali pengalamannya, saya sangat apresiatif. Begitu pula dengan kondisi yang mengharukan terjadi di Pinogu. Kondisi yang sama pernah saya alami di Dulupi. Saya ke Dulupi karena ingin singgah saja setelah dr Marisa. Lokasinya di pinggir pantai, selatan Boalemo. Saya datang kesana bertepatan dengan ujian SMA. Jarak dari pinggir jalan trans Sulawesi sekitar 10 KM. Kondisi jalan bagus walaupun jarang sekali penduduk. Saya bisa saksikan bagaimana kecemasan anak-anak yang mau ujian besok harinya. Rata-rata karena memang tidak menguasai bahan pelajaran. Keterbatasan wawasan menjadi hal yang utama. Malam itu, PLN juga bikin bencana. Ada pemadaman bergilir sejak sore. Terpaksa semua anak-anak belajar di bawah lampu morongo ditemani sanggala atau mungkin kasubi yilahe. Kondisi ini hanyalah potret kecil bagaimana pendidikan adalah barang yang sulit dijangkau. Dulupi dan Pinogu adalah potret kecil bagaimana pendidikan yang menjadi hak setiap anak begitu sulit mereka jangkau. Disisi lain, lomba kecerdasan berlaku di daerah yang sudah terang benderang pembangunannya. Anak-anak sudah pada mengoprek laptop dan Blackberry untuk bisa memperdalam wawasan. Bisa ikut tryout ujian yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa. Belajar privat di lembaga kursus milik para dosen. Yang lebih hebat, otak mereka ditopang vitamin dan gizi yang luar biasa, sebulan sebelum ujian sudah minum susu dan obat cerdas Cerebrovit. Konstruksi pendidikan kita ditata begitu hebat. Negara dengan segala perangkat lengkap mulai dr Pusat hingga desa seperti tak mampu mengatasi ini. Posisi, jabatan, kedudukan bukan lagi sebagai ruang mengolah amanah, tetapi menjadi arena mengeruk rupiah. Setiap yang sudah ber-eselon mumpuni, berlomba-lomba menjadi Kepala Dinas agar bisa mengamankan 10 persen di tiap proyek. Mendapat fasilitas gratis selama menjabat. Kondisi ini terpelihara dan diawetkan oleh balsem kapital. Fenomena ini adalah hal umum terjadi di negeri ini. Fenomena Ujian Nasional adalah pemaksaan kehendak Negara untuk memberlakukan standar agar bisa mengikuti selera pasar. Doktrin ekonomi liberal mendikte kita agar sumber daya manusia harus siap jika kita mau terlibat dalam skema ekonomi global. Makanya, kualitas sumber daya manusia haruslah sama, baik di Pinogu, Dulupi, Taluditi, Pangahu, Biluhu, yang mesti sama dengan SMA Cendekia, SMA Wira Bhakti, SMA I Kota, SMA 3. Persoalan beda geografi, fasilitas, wawasan, tenaga pengajar dll, itu hal yang lain, yang penting standar kelulusan mesti sesuai dengan kehendak pasar global. Pemerintah memaksakan hal ini, karena pendidikan kita dibiayai dari dana pinjaman luar negeri. Makanya, luar negeri mensyaratkan agar kualitas harus dinaikkan, jika tidak tentu pinjaman tak akan masuk. Ini skenario ketergantungan yang dibangun dengan sistematis. Terima Kasih Funco Tanipu -Original Message- From: dewi_gorontalo safr...@yahoo.com Date: Sat, 8 May 2010 21:55:58 To: gmgorontalomaju2020@yahoogroups.com Subject: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu) Dear Members, Dari pada somo bakalae gara-gara ini UNAS di Bonbol, mungkin cerita nyata ini bisa membantu memahami mengapa kualitas pendidikan di Bonbol, dan kira-kira apa yang kita bisa lakukan untuk merubahnya. Ceritanya begini: Awal April tahun lalu saya sempat berkunjung ke Pinogu sekedar iseng jalan-jalan. Setelah kaki saya agak sembuh (karna saya jalan kaki kesana(itung-itung hemat ongkos,daripada ojek 150 ribu one way)) saya ke SMP Negeri 4 Pinogu. Kebetulan ada sepupu jauh yang skarang sekolah di SMU kabila lagi pemusatan latihan untuk UAN saat itu di SMP N 4 Suwawa,oleh gurunya di persilahkan untuk melihat anak-anak kelas 3 yang lagi belajar di kelas. Saya bingung mengapa anak-anak itu belajar tanpa diawasi, ketika ditanya ternyata mereka lagi membahas soal-soal UAN, bahasa Inggris kebetulan pada waktu itu. Saya sempat bertanya mana guru pembimbingnya?, kata mereka tidak ada, seminggu brapa kali blajar bahasa Inggris? terakhir kali belajar bahasa Inggris sekali selama kelas 3 SMP (WOW! amazing) ujiannya gimana? asal tebak! (WOW)..lebih parah lagi ternyata bukan hanya pelajaran bahasa inggris saja yang tidak mereka pelajari lagi sejak kelas 3, tapi pelajaran UAN lain seperti fisika juga nasibnya sama Guru bahasa Inggris di sekolah itu adalah sekaligus kepala sekolah, yang hanya seminggu berada di kampung, dan lebih banyak berada di ibu kota kabupaten BONE BOLANGO. (Info ini bisa dipertanggungjawabkan! ) Sampe sekarang saya masih menyimpan foto kenangan saya belajar dengan anak-anak itu. antusiasme belajar mereka sangat tinggi, mereka meminta saya membahas soal UANnya sampe jam 3 sore without break. Mungkin, Pinogu hanya salah satu contoh kebobrokan kualitas pendidikan di Bone Bolango. Tidak perlu mencari siapa yang salah! walau pun There has to be someone held responsible for this! yang paling penting adalah