Re: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)

2010-05-10 Terurut Topik Putra Gorontalo
Ujian nasional merupakan sebuah terobosan kebijakan yang sangat bagus dibuat 
oleh pemerintah sehingga bisa menilai mutu pendidikan di Indonesia beserta 
segenap masyarakat  yg terlibat didalamnya mulai dari siswa, orang tua, guru, 
kepala sekolah hingga pemimpin daerah. Hasil ujian nasional memberikan efek 
domino terhadap semua elemen pendidikan yg terlibat untuk dilakukan multiple 
review dan evaluation untuk selanjutnya dilakukan multiple improvement, control 
dan development terhadap kinerja pemerintah dan semua elemen yg terlibat 
didalamnya.

Ketika siswa-siswi SMA/SMP bahkan SD khususnya yg ada di Gorontalo mendapatkan 
nila buruk sehingga tidak lulus ujian nasional dengan persentase ketidaklulusan 
dengan angka yg cukup tinggi maka seharusnya disikapi   ditindaki dengan 
positif, jangan saling menyalahkan.  Harus saling intropeksi diri satu sama 
lain.  Harus menuding diri sendiri dulu baru orang lain.  

Terkadang sebagian masyarakat termasuk orang tua dari siswa yg tidak lulus 
ujian akan memberikan cap “bodoh” dan cap-cap lainnya yg bersifat 
mencemooh/merendahkan siswa tersebut tanpa mengintropeksi diri sendiri dulu.  
Orang tua siswa yg sehari-hari hidup bersama siswa membiarkan siswa tersebut 
bermain terus bahkan memberikan uang jajan untuk membeli layangan wanu siswa 
liyo to kambungu delo tohulontalo, bermain playstation, game2 online diinternet 
dan ditambah dgn facebook, twitter dan mainan-mainan canggih lainnya dizaman 
sekarang yg menghabiskan waktu sehingga siswa lupa dgn kewajibannya belajar.  
Mobalajari wanu ma dekat-dekat mo ujian atau dema lombu mo ujian karena asik 
bohemoyitohu.  Akibatnya tdk lulus ujian karena malas belajar.
Demikian juga dengan guru yg bertanggung jawab langsung mentransfer ilmu ke 
siswa hanya sekedar mengajar saja sesuai dengan kurikulum tanpa memperhatikan 
kualitas dari cara mengajar atau mentransfer pengetahuan kepada siswa sehingga 
siswa tdk mengerti dan makin jamongarati.  Kondisi siswa jamongarati bukannya 
membuat guru mengintropeksi diri untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya malah 
sibuk mengejar gelar akademik yg lebih tinggi S1, S2 bahkan S3 agar mendapatkan 
jabatan dan kenaikan pangkat padahal siswa-siswi lingoliyo mohulodo ja lulus 
ujian karena guru-guru lingoliyo jamo tota mongajari dan tdk memiliki metode 
baru yg unik tapi berkualitas tinggi dalam mengajar lapata’o tingga hi nenge 
nenge to dalalo wawu to kampungu mangaku ngaku ta’o sikolah molanggato ta o 
title sarjana ngohuntuwa padahali jamotota mongajari. Didepan dan dibelakang 
nama mereka semua gelar sarjana harus ditulis lengkap tidak boleh salah tulis 
apalagi salah cumu padahal
 belum tentu gelar itu diperoleh secara murni hasil usaha kuliah di universitas 
tapi ternyata hasil bakupe’e dan mungkin saja dari hasil beli ijazah palsu dari 
calo ijazah.Akhirnya gelar sarjana lingoliyo ja’o hunaliyo to masyarakat.  
Demikian juga hal-halnya guru-guru dikota yg tidak mau ditugaskan 
didaerah-daerah terpencil di Gorontalo.  Setiap ada mutasi ke daerah-daerah 
terpencil seperti di pinogu atau dimongi ilo, selalu dikaitkan dengan alasan 
politis karena tidak mendukung pemimpin incumbent di pilkada.  Padahal ja’o 
tawa lingoliyo masyarakat to desa-desa butuh tenaga lingoliyo.  
Bandingkan dengan para missioner Kristen dan Islam yg berasal dari ibukota 
Jakarta dipedalaman dipedalaman Papua yang bertugas tanpa pamrih untuk 
penyebaran agama, kesehatan untuk hidup sehat, pendidikan, budaya dan adab 
kepada masyarakat terbelakang Papua.  Selain berjuang mengalahkan diri sendiri 
karena tidak terbiasa hidup dipedalaman nan sepi dikelilingi hutan lebat, juga 
harus berjuang melawan keganasan alam dan binatang2 berbahaya seperti nyamuk 
malaria.  Belum lagi ditambah dengan kesulitan keuangan yg serba pas2an.  Dana 
perjuangan hanya diperoleh dari bantuan dari jema’at2 gereja dan masjid 
termasuk masjid tempat saya bekerja. Tidak ada sedikitpun bantuan dari 
pemerintah apalagi gaji bulanan yang pasti diterima tiap bulan.


Demikian pula halnya ketika ada guru-guru di Gorontalo yang sudah mau dan 
ikhlas ditugaskan dan mengajar dipedalaman didesa-desa perhatian lo pemerintah 
lo pejabat-pejabat tidak ada kepada mereka memberikan tunjangan2 yg yg lebih 
baik untuk kesejahteraan mereka dan keluarganya biar mereka lebih semangat dan 
lebih berkualitas mengajar, fasilitas pendukung untuk mengajar seperti jalan, 
ruang kelas, motor atau sepeda untuk guru pergi kesekolah untuk mengajar, dan 
rumah gratis utk guru.  Waktu sebelum jadi pejabat, sebelum jadi pemimpin, 
sebelum jadi anggota dewan samua batariak berjuang atas nama rakyat, 
lillahita’ala  untuk melaksanakan amanah dari rakyat tapi ketika so jadi 
pejabat malah semua bekerja dan berjuang atas nama doi yg banyak alias lillahi 
TALA ‘A, biar jadi kaya dan tambah kaya lagi.  Dana APBD titipan dari 
pemerintah pusat untuk pembangun kemajuan  kesejahteraan masyarakat hanya 
dipakai untuk pembangunan gedung-gedung pencakar, gedung2
 

[GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)

2010-05-08 Terurut Topik dewi_gorontalo
Dear Members,
Dari pada somo bakalae gara-gara ini UNAS di Bonbol, mungkin cerita nyata ini 
bisa membantu memahami mengapa kualitas pendidikan di Bonbol, dan kira-kira apa 
yang kita bisa lakukan untuk merubahnya.

Ceritanya begini: 
Awal April tahun lalu saya sempat berkunjung ke Pinogu sekedar iseng 
jalan-jalan. Setelah kaki saya agak sembuh (karna saya jalan kaki 
kesana(itung-itung hemat ongkos,daripada ojek 150 ribu one way)) saya ke SMP 
Negeri 4 Pinogu. Kebetulan ada sepupu jauh yang skarang sekolah di SMU kabila 
lagi pemusatan latihan untuk UAN saat itu di SMP N 4 Suwawa,oleh gurunya di 
persilahkan untuk melihat anak-anak kelas 3 yang lagi belajar di kelas. Saya 
bingung mengapa anak-anak itu belajar tanpa diawasi, ketika ditanya ternyata 
mereka lagi membahas soal-soal UAN, bahasa Inggris kebetulan pada waktu itu. 
Saya sempat bertanya mana guru pembimbingnya?, kata mereka tidak ada, seminggu 
brapa kali blajar bahasa Inggris? terakhir kali belajar bahasa Inggris sekali 
selama kelas 3 SMP (WOW! amazing) ujiannya gimana? asal tebak! (WOW)..lebih 
parah lagi ternyata bukan hanya pelajaran bahasa inggris saja yang tidak mereka 
pelajari lagi sejak kelas 3, tapi pelajaran UAN lain seperti fisika juga 
nasibnya sama

Guru bahasa Inggris di sekolah itu adalah sekaligus kepala sekolah, yang hanya 
seminggu berada di kampung, dan lebih banyak berada di ibu kota kabupaten BONE 
BOLANGO. (Info ini bisa dipertanggungjawabkan! ) Sampe sekarang saya masih 
menyimpan foto kenangan saya belajar dengan anak-anak itu. antusiasme belajar 
mereka sangat tinggi, mereka meminta saya membahas soal UANnya sampe jam 3 sore 
without break.

Mungkin, Pinogu hanya salah satu contoh kebobrokan kualitas pendidikan di Bone 
Bolango. Tidak  perlu mencari siapa yang salah! walau pun There has to be 
someone held responsible for this! yang paling penting adalah Bagaimana kita 
berkontribusi terhadap perbaikan kualitas dan kuantitas pendidikan di Bone 
Bolango menurut saya.

Setelah kunjungan itu saya pernah membicarakan solusi long distance learning 
dengan Camat Pinogu, Nikson Gubali. Saat itu beliau setuju dengan ide merekam 
pelajaran lewat VCD yang kemudian di putar di depan kelas. Beliau juga seorang 
mantan Guru, sehingga saya berfikir idenya mungkin lebih masuk kalau 
dibicirakan dengan beliau. But, Nothing Happens

Mungkin saya hanya bisa berbuat sampai disitu, sesuai kemampuan dan keilmuan 
saya. Mungkin teman-teman bisa berbuat lebih banyak lagi, for the sake of Bone 
Bolango yang sekarang lagi diperebutkan oleh orang-orang yang mengaku dan 
merasa bisa memimpin.

Maaf kalo ada salah-salah kata

Salam,

Dewi


  

Re: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)

2010-05-08 Terurut Topik Funco Tanipu

Langsung saya tanggapi saja.

Bu Dewin, luar biasa skali pengalamannya, saya sangat apresiatif. 
Begitu pula dengan kondisi yang mengharukan terjadi di Pinogu.

Kondisi yang sama pernah saya alami di Dulupi. Saya ke Dulupi karena ingin 
singgah saja setelah dr Marisa. Lokasinya di pinggir pantai, selatan Boalemo.

Saya datang kesana bertepatan dengan ujian SMA. Jarak dari pinggir jalan trans 
Sulawesi sekitar 10 KM. Kondisi jalan bagus walaupun jarang sekali penduduk.

Saya bisa saksikan bagaimana kecemasan anak-anak yang mau ujian besok 
harinya. Rata-rata karena memang tidak menguasai bahan pelajaran. Keterbatasan 
wawasan menjadi hal yang utama. 

Malam itu, PLN juga bikin bencana. Ada pemadaman bergilir sejak sore. Terpaksa 
semua anak-anak belajar di bawah lampu morongo ditemani sanggala atau mungkin 
kasubi yilahe.

Kondisi ini hanyalah potret kecil bagaimana pendidikan adalah barang yang sulit 
dijangkau. Dulupi dan Pinogu adalah potret kecil bagaimana pendidikan yang 
menjadi hak setiap anak begitu sulit mereka jangkau.

Disisi lain, lomba kecerdasan berlaku di daerah yang sudah terang benderang 
pembangunannya. Anak-anak sudah pada mengoprek laptop dan Blackberry untuk bisa 
memperdalam wawasan. Bisa ikut tryout ujian yang diselenggarakan oleh himpunan 
mahasiswa. Belajar privat di lembaga kursus milik para dosen. Yang lebih hebat, 
otak mereka ditopang vitamin dan gizi yang luar biasa, sebulan sebelum ujian 
sudah minum susu dan obat cerdas Cerebrovit.

Konstruksi pendidikan kita ditata begitu hebat. Negara dengan segala perangkat 
lengkap mulai dr Pusat hingga desa seperti tak mampu mengatasi ini. 

Posisi, jabatan, kedudukan bukan lagi sebagai ruang mengolah amanah, tetapi 
menjadi arena mengeruk rupiah. Setiap yang sudah ber-eselon mumpuni, 
berlomba-lomba menjadi Kepala Dinas agar bisa mengamankan 10 persen di tiap 
proyek. Mendapat fasilitas gratis selama menjabat.

Kondisi ini terpelihara dan diawetkan oleh balsem kapital. Fenomena ini adalah 
hal umum terjadi di negeri ini. 

Fenomena Ujian Nasional adalah pemaksaan kehendak Negara untuk memberlakukan 
standar agar bisa mengikuti selera pasar. Doktrin ekonomi liberal mendikte kita 
agar sumber daya manusia harus siap jika kita mau terlibat dalam skema ekonomi 
global. Makanya, kualitas sumber daya manusia haruslah sama, baik di Pinogu, 
Dulupi, Taluditi, Pangahu, Biluhu, yang mesti sama dengan SMA Cendekia, SMA 
Wira Bhakti, SMA I Kota, SMA 3. Persoalan beda geografi, fasilitas, wawasan, 
tenaga pengajar dll, itu hal yang lain, yang penting standar kelulusan mesti 
sesuai dengan kehendak pasar global.

Pemerintah memaksakan hal ini, karena pendidikan kita dibiayai dari dana 
pinjaman luar negeri. Makanya, luar negeri mensyaratkan agar kualitas harus 
dinaikkan, jika tidak tentu pinjaman tak akan masuk.

Ini skenario ketergantungan yang dibangun dengan sistematis.









Terima Kasih


Funco Tanipu

-Original Message-
From: dewi_gorontalo safr...@yahoo.com
Date: Sat, 8 May 2010 21:55:58 
To: gmgorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu)

Dear Members,
Dari pada somo bakalae gara-gara ini UNAS di Bonbol, mungkin cerita nyata ini 
bisa membantu memahami mengapa kualitas pendidikan di Bonbol, dan kira-kira apa 
yang kita bisa lakukan untuk merubahnya.

Ceritanya begini: 
Awal April tahun lalu saya sempat berkunjung ke Pinogu sekedar iseng 
jalan-jalan. Setelah kaki saya agak sembuh (karna saya jalan kaki 
kesana(itung-itung hemat ongkos,daripada ojek 150 ribu one way)) saya ke SMP 
Negeri 4 Pinogu. Kebetulan ada sepupu jauh yang skarang sekolah di SMU kabila 
lagi pemusatan latihan untuk UAN saat itu di SMP N 4 Suwawa,oleh gurunya di 
persilahkan untuk melihat anak-anak kelas 3 yang lagi belajar di kelas. Saya 
bingung mengapa anak-anak itu belajar tanpa diawasi, ketika ditanya ternyata 
mereka lagi membahas soal-soal UAN, bahasa Inggris kebetulan pada waktu itu. 
Saya sempat bertanya mana guru pembimbingnya?, kata mereka tidak ada, seminggu 
brapa kali blajar bahasa Inggris? terakhir kali belajar bahasa Inggris sekali 
selama kelas 3 SMP (WOW! amazing) ujiannya gimana? asal tebak! (WOW)..lebih 
parah lagi ternyata bukan hanya pelajaran bahasa inggris saja yang tidak mereka 
pelajari lagi sejak kelas 3, tapi pelajaran UAN lain seperti fisika juga 
nasibnya sama

Guru bahasa Inggris di sekolah itu adalah sekaligus kepala sekolah, yang hanya 
seminggu berada di kampung, dan lebih banyak berada di ibu kota kabupaten BONE 
BOLANGO. (Info ini bisa dipertanggungjawabkan! ) Sampe sekarang saya masih 
menyimpan foto kenangan saya belajar dengan anak-anak itu. antusiasme belajar 
mereka sangat tinggi, mereka meminta saya membahas soal UANnya sampe jam 3 sore 
without break.

Mungkin, Pinogu hanya salah satu contoh kebobrokan kualitas pendidikan di Bone 
Bolango. Tidak  perlu mencari siapa yang salah! walau pun There has to be 
someone held responsible for this! yang paling penting adalah