[iagi-net-l] 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Febrie Ekaninggarani
Pak Awang,

Saat ini kami sedang melakukan 1D basin modeling untuk beberapa sumur dalam 
suatu blok dengan menggunakan software. Hasil yang kami dapatkan menunjukkan 
bahwa trend dan kisaran angka maturity dari corrected BHT (thermal maturation) 
pada semua sumur tsb selalu berbeda dengan observed data vitrinite reflectance 
(Ro).
Intinya : perbedaan antara thermal maturation dengan observed Ro cukup 
signifikan dimana nilai thermal maturation lebih besar.

Tahap berikutnya yang biasa dilakukan adalah mengkalibrasi thermal maturation 
terhadap Ro hasil pengukuran.
Sehubungan dengan itu, kami ingin menanyakan :
1. apakah dasar yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi tsb?
2. apakah ada real geological factor yang menjadi penyebabnya (perbedaan nilai 
thermal maturation dengan observed Ro)?


Hal lain yang ingin kami tanyakan adalah tentang kursus. Kami menerima draft 
kursus HAGI 2009 dan berminat untuk mengikuti kursus Bapak yang berjudul 
Petroleum Geochemistry : Essential Concepts and Methods for Exploration  
Production yang akan diselenggarakan pada bulan April ini. Jika boleh tahu, apa 
saja content dari kursus tsb Pak?

Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih.

This e-mail and any information contained are confidential and legally 
privileged.  It is intended solely for the use of the individual or entity to 
whom it is addressed and others authorized to receive it.  If you are not the 
intended recipient, you are hereby notified that any disclosure, copying, 
distribution or taking any action in reliance on the contents of this e-mail is 
strictly prohibited and may be unlawful.  If you have received this e-mail in 
error, please notify us immediately by responding to this e-mail or by 
telephone MedcoEnergi IS Division Helpdesk on +62 21 83991234 then delete this 
email including any attachment(s) from your system.  MedcoEnergi does not 
accept liability for damage caused by any of the foregoing.  This e-mail is 
from PT MedcoEnergi Internasional Tbk and Subsidiaries, having Registered 
Address at Graha Niaga Level 16, Jakarta, Indonesia.


PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt  Bdg), 5 departemen, banyak biro...

tunggulah 'call for paper' utk PIT IAGI ke-38!!!
akan dilaksanakan di Semarang
13-14 Oktober 2009
-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
-



Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s

2009-02-03 Terurut Topik Sugeng Hartono

Bang Syaiful,

Wah, Sampeyan kok malahan cerita kuliner?
Well, ini cerita lama yha: Jawaranya di Kepala Burung (PSC) adalah Petromer 
Trend, perusahaan dari Denver, mulai 1970. Selain itu ada Phillips 
(P.Salawati).
Trend discovery Kasim-1 sekitar 1972, flowing lebih 50,000 bopd (?) dari 
Kais limestone.
Seterusnya Trend menemukan lapangan-2: Walio (315 wells), Kasim (59), Jaya 
(22), Cendrawasih (29), Moi (9), Kasim Utara (11), Kasim Barat (8), Arar 
(4), Klalin (10), Payao (3 well, produksi tinggal 2); bbrp sumur yang kurang 
ekonomis: Klagagi-1, West Klagagi, Klaifi (2), Klagana (2), Klari-1, ada oil 
stain di Sirga sandstone). Klate-1 (paling ujung timur) ada oil stain di 
Crystalline Lmst yang posisinya di bawah Kais, Terumbu-1 (targetnya Klasaman 
carbonate).
Masih ada bbrp sumur lain, dan yang menarik discovery SE Walio-1 (2000 
bopd).
Block ini masih berproduksi sekitar 7000 BOPD dengan watercut (harap tidak 
kaget) 99.0%, sehingga produksi airnya mencapai 780,000 BWPD.

Semua produksi dengan ESP (Reda) pump, mungkin sumur baru masih flowing.
Trend membangun fasilitas produksi dan basecamp yang sangat bagus dan 
lengkap di ujung Papua (mainland) berhadapan dengan P.Kasim (banyak karyawan 
dan keluarga tinggal di sini) dinamakan Kasim Marine Terminal. Kerja di sini 
sangat mengasyikan. Jam 05:00 sudah terlihat hiruk-pikuk, perahu ponton 
tanggung mondar-mandir membawa karyawan dari P.Kasim ke KMT base atau ke 
lapangan. Tepat jam 06:00 sirine berbunyi nyaring...setelah itu keadaan 
menjadi sunyi senyap. Nanti jam 11:30 dan jam 13:00 (istirahat) sirine 
berbunyi lagi. Baru jam 18:00 saat kantor tutup, sekali lagi sirine 
berbunyi.
Kehidupan malam cukup menarik, tidak membosankan. Ada club house yang sangat 
bagus, lengkap dengan film, tivi, bilyar, permainan lain dan bar. Walaupun 
remote area, para pekerja dibuat kerasan dengan kegiatan yang positif. 
sekali-2 kami menyanyi ramai-2 di bar.

KMT ini sekitar 65 km jauh di selatan kota Sorong lho.
Ada kejadian lucu: Biasanya pesawat Merpati dari Jakarta/Makassar mendarat 
di Jefman (bandara lama, berupa pulau karang) jam 17:00. Para karyawan 
segera ramai-2 naik ke boat perusahaan. Boat segera berangkat melewati 
selat, diantara pulau-2 yang banyak sekali jumlahnya (kawan Papua saya ingat 
nama pulau-2 tersebut); setelah 2 jam, boat sampai KMT. Kami pun turun untuk 
menuju kamar masing-2. Ada tiga penumpang perlente bertanya: Pak, dimana 
hotel Cendrawasih (hotel di kota Sorong). Wah, ini gawat. Mereka pikir boat 
yang ditumpangi menuju kota Sorong :(


Sekitar 1993 JOB Pertamina-Trend Salawati baru menemukan Lapangan Matoa di 
P.Salawati.
Sudah ada sekitar 30 sumur, dan bbrp sumur-2 di luar Matoa. Jumlah 
produskinya sekitar 5600 BOPD. Di lapangan ini lah kami banyak belajar 
pekerjaan wsg. Kenapa? Di sini seorang wsg dituntut untuk lebih hati-2 
menjelang pemboran masuk Kais, karena kita hanya diperbolehkan menembus Kais 
setebal 10 ft. Bayangkan kalau kawan geophisicyst meleset memprediksi top 
Kais sekitar 100 ft lebih dalam, bisa-2 kawan wsg akan semalaman tidak 
tidur. Anehnya, dari sekian banyak sumur, top Kais selalu ditembus setelah 
tengah malam atau subuh. Kawan Drilling beda lagi; dia mengeluh, setiap 
running casing 7 selalu hujan lebat.
Kalau kegiatan di Jabung (Jambi) lain lagi: Kawan yang pegang operation di 
Jkt (expat) selalu mengeluh karena TD selalu ditembus hari Jumat. Akibatnya 
jadwal sofball, golf atau acara keluarga akan terganggu.


Ada pengalaman menarik di salah satu sumur Matoa. Ketika completion, sudah 
ribuan barrel air disedot (swabbing) tetapi hasilnya tetap 100% water. 
Bagian Operation sudah pesimis, dan ingin menutup sumur secara permanen. 
Kawan Exploration bersikeras bahwa ini termasuk sumur bagus. Dari laporan 
wsg terlihat jelas. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata saat drilling 
in progress sempat terjadi lost circulation, dan sekian ratus atau ribu 
barrel fresh water dipompakan (tidak dicatat dengan baik). Sebuah Reda pump 
segera dipasang, sumur disedot. Tidak lama kemudian, muncul 2% oil, 5%, 10% 
dst sampai flowing. Sumur ini selamat dan berproduksi cukup lama.
Dari pengalaman ini, kami selalu menekankan, apapun yang dipompakan ke dalam 
sumur harus dicatat dengan rapi dan lengkap.


Sekian dulu, kalau ada kawan yang ingin menambahkan cerita silahkan.

Salam hangat,
sugeng


- Original Message - 
From: mohammad syaiful mohammadsyai...@gmail.com

To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Tuesday, February 03, 2009 11:32 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s


lho, mas sugeng ini kok malah banyak cerita duriannya sih. tapi memang
asyik kok, soalnya saya juga dulu sering menikmati durian khas,
berukuran kecil (dibandingkan durian sumatra / udanmas dari sumsel),
dan sering disebut sbg 'durian mentega. apalagi kalo dicampur dengan
sayur ikan tuna yg dimasak oleh seorang drillling supervisor, atau
dicampur juga dengan udang bakar yg direnteng seperti sate, ah..
maknyus tenannn...


[iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Awang Satyana
Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,
 
Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan 
penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya 
Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir 
no.1 – 3. 
 
Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : 
 
(1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun 
unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada 
nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga 
pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat 
populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup 
bisa diandalkan.
(2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan 
corrected BHT.
(3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.
 
Menjawab pertanyaan Febrie : 
 
Pertanyaan no. 1
 
Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan 
modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini 
benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi.  
 
Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan 
dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya 
satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya 
paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian 
langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara 
nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) 
baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik 
karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan 
biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. 
Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk 
banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan 
smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi
 saja.
 
Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
(seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
disarankan dipakai (misalnya supressed VR).
 
Pertanyaan no. 2
 
Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana 
hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan 
Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. 
 
Kita sebenarnya belum paham benar mengapa Ro supression terjadi sebab satu 
penjelasan memuaskan di satu tempat, tetapi penjelasan yang sama ketika 
diterapkan ke tempat lain ternyata tak memuaskan. Kebanyakan publikasi 
cenderung mengatakan bahwa supressed Ro terjadi karena kondisi materi maseral 
vitrinite-nya sendiri (karena itu mengukur kematangan dengan FAMM adalah lebih 
baik sebab metode ini menggunakan berbagai maseral bukan hanya vitrinite). 
Teknologi baru menggunakan VIRF (vitrinite-inertinite reflectance and 
fluorescence) pun bisa mengatasi masalah Ro supression. 
 
Penyebab utama Ro supression yang banyak disebutkan para peneliti adalah akibat 
(1) dominasi perhydrous vitrinite (kaya hidrogen) di antara maseral2 vitrinite 
dan (2) keberadaan liptinite (kaya hidrogen) di samping vitrinite dalam 
maseral. Perhatikan bahwa unsur H di sini ternyata selalu dianggap sebagai 
penyebab Ro supression. Maka, secara praktis, bila satu kerogen punya HI 
(hydrogen index) yang tinggi (300), maka harus hati2 bahwa Ro-nya mungkin 
mengalami supresi. 
 
Supresi Ro juga menurut beberapa peneliti akan terjadi di sampel-sampel dengan 
kandungan exinite kerogen  20 % (dari total kerogen), supresi Ro akan 
cenderung makin terjadi dengan makin banyaknya kontribusi marin, tetapi juga 
makin terjadi di lingkungan lakustrin. Juga katanya Ro supression ditemukan 
banyak terjadi di 

Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s

2009-02-03 Terurut Topik mohammad syaiful
matur nuwun, ceritanya pak sugeng. semoga bermanfaat utk semuanya.
kalau saya dulu hanya mampir saja di sorong, terus pakai heli atau
pesawat kecil terbang ke selatan (inanwatan). masih ingat, kalau
pesawat masih di darat (jafman) maka sering membunyikan klakson, sebab
ternyata sering ojek menyeberang bandara tsb, he.. he..

tambahan satu lagi, buah sukun dari sorong terkenal besar ukurannya
dan uenakkk tenan bila digoreng atau direbus...

salam,
syaiful

On Tue, Feb 3, 2009 at 4:40 PM, Sugeng Hartono
sugeng.hart...@petrochina.co.id wrote:
 Bang Syaiful,

 Wah, Sampeyan kok malahan cerita kuliner?
 Well, ini cerita lama yha: Jawaranya di Kepala Burung (PSC) adalah Petromer
 Trend, perusahaan dari Denver, mulai 1970. Selain itu ada Phillips
 (P.Salawati).
 Trend discovery Kasim-1 sekitar 1972, flowing lebih 50,000 bopd (?) dari
 Kais limestone.
 Seterusnya Trend menemukan lapangan-2: Walio (315 wells), Kasim (59), Jaya
 (22), Cendrawasih (29), Moi (9), Kasim Utara (11), Kasim Barat (8), Arar
 (4), Klalin (10), Payao (3 well, produksi tinggal 2); bbrp sumur yang kurang
 ekonomis: Klagagi-1, West Klagagi, Klaifi (2), Klagana (2), Klari-1, ada oil
 stain di Sirga sandstone). Klate-1 (paling ujung timur) ada oil stain di
 Crystalline Lmst yang posisinya di bawah Kais, Terumbu-1 (targetnya Klasaman
 carbonate).
 Masih ada bbrp sumur lain, dan yang menarik discovery SE Walio-1 (2000
 bopd).
 Block ini masih berproduksi sekitar 7000 BOPD dengan watercut (harap tidak
 kaget) 99.0%, sehingga produksi airnya mencapai 780,000 BWPD.
 Semua produksi dengan ESP (Reda) pump, mungkin sumur baru masih flowing.
 Trend membangun fasilitas produksi dan basecamp yang sangat bagus dan
 lengkap di ujung Papua (mainland) berhadapan dengan P.Kasim (banyak karyawan
 dan keluarga tinggal di sini) dinamakan Kasim Marine Terminal. Kerja di sini
 sangat mengasyikan. Jam 05:00 sudah terlihat hiruk-pikuk, perahu ponton
 tanggung mondar-mandir membawa karyawan dari P.Kasim ke KMT base atau ke
 lapangan. Tepat jam 06:00 sirine berbunyi nyaring...setelah itu keadaan
 menjadi sunyi senyap. Nanti jam 11:30 dan jam 13:00 (istirahat) sirine
 berbunyi lagi. Baru jam 18:00 saat kantor tutup, sekali lagi sirine
 berbunyi.
 Kehidupan malam cukup menarik, tidak membosankan. Ada club house yang sangat
 bagus, lengkap dengan film, tivi, bilyar, permainan lain dan bar. Walaupun
 remote area, para pekerja dibuat kerasan dengan kegiatan yang positif.
 sekali-2 kami menyanyi ramai-2 di bar.
 KMT ini sekitar 65 km jauh di selatan kota Sorong lho.
 Ada kejadian lucu: Biasanya pesawat Merpati dari Jakarta/Makassar mendarat
 di Jefman (bandara lama, berupa pulau karang) jam 17:00. Para karyawan
 segera ramai-2 naik ke boat perusahaan. Boat segera berangkat melewati
 selat, diantara pulau-2 yang banyak sekali jumlahnya (kawan Papua saya ingat
 nama pulau-2 tersebut); setelah 2 jam, boat sampai KMT. Kami pun turun untuk
 menuju kamar masing-2. Ada tiga penumpang perlente bertanya: Pak, dimana
 hotel Cendrawasih (hotel di kota Sorong). Wah, ini gawat. Mereka pikir boat
 yang ditumpangi menuju kota Sorong :(

 Sekitar 1993 JOB Pertamina-Trend Salawati baru menemukan Lapangan Matoa di
 P.Salawati.
 Sudah ada sekitar 30 sumur, dan bbrp sumur-2 di luar Matoa. Jumlah
 produskinya sekitar 5600 BOPD. Di lapangan ini lah kami banyak belajar
 pekerjaan wsg. Kenapa? Di sini seorang wsg dituntut untuk lebih hati-2
 menjelang pemboran masuk Kais, karena kita hanya diperbolehkan menembus Kais
 setebal 10 ft. Bayangkan kalau kawan geophisicyst meleset memprediksi top
 Kais sekitar 100 ft lebih dalam, bisa-2 kawan wsg akan semalaman tidak
 tidur. Anehnya, dari sekian banyak sumur, top Kais selalu ditembus setelah
 tengah malam atau subuh. Kawan Drilling beda lagi; dia mengeluh, setiap
 running casing 7 selalu hujan lebat.
 Kalau kegiatan di Jabung (Jambi) lain lagi: Kawan yang pegang operation di
 Jkt (expat) selalu mengeluh karena TD selalu ditembus hari Jumat. Akibatnya
 jadwal sofball, golf atau acara keluarga akan terganggu.

 Ada pengalaman menarik di salah satu sumur Matoa. Ketika completion, sudah
 ribuan barrel air disedot (swabbing) tetapi hasilnya tetap 100% water.
 Bagian Operation sudah pesimis, dan ingin menutup sumur secara permanen.
 Kawan Exploration bersikeras bahwa ini termasuk sumur bagus. Dari laporan
 wsg terlihat jelas. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata saat drilling
 in progress sempat terjadi lost circulation, dan sekian ratus atau ribu
 barrel fresh water dipompakan (tidak dicatat dengan baik). Sebuah Reda pump
 segera dipasang, sumur disedot. Tidak lama kemudian, muncul 2% oil, 5%, 10%
 dst sampai flowing. Sumur ini selamat dan berproduksi cukup lama.
 Dari pengalaman ini, kami selalu menekankan, apapun yang dipompakan ke dalam
 sumur harus dicatat dengan rapi dan lengkap.

 Sekian dulu, kalau ada kawan yang ingin menambahkan cerita silahkan.

 Salam hangat,
 sugeng


 - Original Message - From: mohammad syaiful
 

Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik MINARWAN
Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak
ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu
ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi
mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu,
berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong.

Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad
Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985).
Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap
formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau
menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan
formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini
meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi.

Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole
Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah
angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin,
kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan
GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan
hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan
sendiri dan GG dari publikasi itu.

Mudah-mudahan membantu.

Salam
mnw


2009/2/3 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com:
 Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,

 Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa 
 merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, 
 ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 
 Pak Iman butir no.1 – 3.

 Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman :

 (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) 
 walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur 
 daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain 
 mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah 
 terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah 
 daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan.
 (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan 
 menggunakan corrected BHT.
 (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
 cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
 termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.

 Menjawab pertanyaan Febrie :

 Pertanyaan no. 1

 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
 measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan 
 modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
 masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
 pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
 hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
 terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
 tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
 anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
 bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
 analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa 
 diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan 
 lokasi.

 Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
 kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya 
 keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter 
 daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). 
 Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro 
 mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak 
 akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan 
 SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih 
 hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya 
 sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi 
 jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track 
 analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang 
 menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk 
 temperatur tinggi
  saja.

 Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
 (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
 mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
 disarankan dipakai (misalnya supressed VR).

 Pertanyaan no. 2

 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
 dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di 
 mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang 
 disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar.

 Kita sebenarnya belum paham 

[iagi-net-l] Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Awang Satyana
Pak Min,
 
Saya curiga Ro-nya mengalami retardasi atau supresi sehingga tak akurat. Itu 
bisa diuji dengan menggunakan parameter kematangan lain (Tmax, SCI, MPI, dll 
bila ada).
 
Peta Pak Thamrin dkk yang juga dipublikasi IPA (peta GG regional cekungan2 di 
Indonesia, dan peta heatflow regional cekungan2 di Indonesia) baik dipakai 
untuk melakukan pengkajian kapasitas generasi hidrokarbon setiap cekungan di 
Indonesia, terutama yang frontier.
 
Tetapi, sekali ada sumur dibor dengan BHT yang jelas, lalu dikoreksi 
menggunakan Horner plot atas time of circulation-nya, apalagi kalau ada data 
temperatur dari DST, tentu penentuan GG lebih tepat berdasarkan data sumur 
dengan menerapkan ambient surface temperature yang pas.
 
Variasi GG biasa terjadi di dalam satu cekungan. Bila satu cekungan mempunyai 
beberapa low areas yang dicurigai sebagai kitchen, maka menggunakan satu angka 
GG regional tidak akan menghasilkan modeling yang tepat. GG sumur yang terdekat 
dengan low areas akan mewakilinya, kemudian menariknya ke posisi pseudowell di 
low areas dan memodelkan 1-D thermal modelingnya.
 
Salam,
awang
 
-Original Message-
From: MINARWAN [mailto:minarw...@gmail.com] 
Sent: Wednesday, February 04, 2009 5:01 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
 
Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak
ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu
ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi
mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu,
berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong.
 
Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad
Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985).
Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap
formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau
menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan
formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini
meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi.
 
Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole
Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah
angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin,
kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan
GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan
hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan
sendiri dan GG dari publikasi itu.
 
Mudah-mudahan membantu.
 
Salam
mnw

--- On Tue, 2/3/09, Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com wrote:

From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
Subject: Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration
To: Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com, William 
Romodhon william.romod...@medcoenergi.com, RM Iman Argakoesoemah 
iman.argakoesoe...@medcoenergi.com
Cc: Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com, Geo Unpad 
geo_un...@yahoogroups.com, IAGI iagi-net@iagi.or.id, Forum HAGI 
fo...@hagi.or.id
Date: Tuesday, February 3, 2009, 10:03 PM







Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, 
  
Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan 
penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya 
Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir 
no.1 – 3. 
  
Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : 
  
(1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun 
unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada 
nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga 
pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat 
populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup 
bisa diandalkan. 
(2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan 
corrected BHT. 
(3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. 
  
Menjawab pertanyaan Febrie : 
  
Pertanyaan no. 1 
  
Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan 
modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila 

RE: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Edward, Syafron
Febrie,

Mungkin untuk practical di software, Febrie harus check dulu, Ro yang 
dimodelkan oleh software itu perhitungannya seperti apa, karena ada beberapa 
Pemodelan Ro dari Thermal modelling yang bisa dipakai, hal ini menandakan bahwa 
memang ada uncertainty yang cukup tinggi dalam pemodelan Ro.
Saya biasa pakai software Genesis (dari Zetaware) untuk 1D modeling, disoftware 
ini ada dua model Ro yang bisa dihitung yaitu ARCO model dan LL model, dua 
model ini memberikan hasil yang berbeda karena rumus Ro terhadap temperature 
yang dipakai berbeda, biasanya LL model akan memberikan nilai Ro yang lebih 
tinggi daripada ARCO model. Di BP malah ada lagi model yang dikembangkan oleh 
expertise berdasarkan pengamatan dari data-data Ro yang BP punya diseluruh 
dunia, dan kita punya model Ro minimum dan Ro maximum, RO min dan Max ini 
berdasarkan data BP sudah mewakili range dari uncertainty nilai Ro terhadap 
Thermal maturation yang bisa diakibatkan banyak hal salah satunya karena RO 
supression tadi, as long as Measured Ro ada diantara Minimum dan Maximum 
modelled Ro, itu sudah cukup valid untuk sebuah model Ro...

Semoga bisa membantu
edo 

-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] 
Sent: Tuesday, February 03, 2009 10:04 PM
To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah
Cc: IAGI; Geo Unpad; Forum HAGI; Eksplorasi BPMIGAS
Subject: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,
 
Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan 
penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya 
Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir 
no.1 - 3. 
 
Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : 
 
(1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun 
unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada 
nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga 
pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat 
populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup 
bisa diandalkan.
(2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan 
corrected BHT.
(3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.
 
Menjawab pertanyaan Febrie : 
 
Pertanyaan no. 1
 
Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan 
modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini 
benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi.  
 
Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan 
dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya 
satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya 
paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian 
langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara 
nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) 
baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik 
karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan 
biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. 
Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk 
banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan 
smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi  saja.
 
Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
(seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
disarankan dipakai (misalnya supressed VR).
 
Pertanyaan no. 2
 
Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana 
hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang 

Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)

2009-02-03 Terurut Topik sigit prabowo
Pak Awang YTH.,

Seiring dengan explorasi hydrocarbon di Papua oleh NNGPM, apakah NNGPM juga 
melakukan explorasi di Papua New Guinea, dan juga menemukan oil discovery...?

Kalo NNGPM melakukan explorasi minyak bumi di Papua, bagaimana dengan explorasi 
tambang ya pak, seperti tembaga, emas, dsb.,... apakah dilakukan oleh 
Geologist2 dari Belanda juga, mengingat kalo gak salah Van Bemmelen juga pernah 
menulis tentang petensi SDA selain minyak bumi di Indonesia...

Mohon pencerahan nya pak...

Terimakasih

Best Regards
Sigit Ari Prabowo




From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
To: iagi-...@iagi..or.id
Cc: Geo Unpad geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id; 
Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com
Sent: Monday, February 2, 2009 8:29:50 AM
Subject: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)

Edo, sebenarnya yang menanam ranjau darat (land-mines) di sekitar Babo itu 
bukan Jepang, tetapi karyawan NNGPM sendiri dalam rangka bersiap menyambut 
kedatangan Jepang yang mungkin akan menduduki Babo, sebagaimana dilakukan 
Jepang di lapangan-lapangan minyak lain di Indonesia saat pecah Perang Pasifik 
Desember 1941. 
 
Menyambung cerita saya tentang awal eksplorasi Papua 1930s, berikut lanjutannya.
Bila cerita kemarin mengisahkan awal peradaban di Babo, maka cerita berikut 
mengisahkan akhir peradaban di Babo.
 
“Kiamat di Babo”  mungkin sebuah judul yang berlebihan, tetapi begitulah 
mungkin perasaan para karyawan NNGPM dan keluarganya saat bom-bom mulai 
berjatuhan dari langit oleh pesawat2 tempur Jepang saat mulai pecah Perang 
Pasifik Desember 1941. 
 
Kegembiraan masyarakat Belanda dan para karyawan NNGPM di tempat terpencil Babo 
di ujung Teluk Berau, Kepala Burung, tidak berlangsung lama, hanya sekitar 
setahun, setelah penerbangan umum ke Babo dibuka Belanda pada tahun 1940. Dua 
bulan dari Desember 1941 sampai awal Februari 1942 semuanya adalah penderitaan, 
tak ada lagi kegembiraan, tak ada lagi pesta-pesta, tak ada lagi nonton bioskop 
bersama (lihat cerita saya di bawah). Bahkan, mereka harus “merayakan” malam 
tahun baru 1942 sambil bertiarap di rawa-rawa Teluk Berau berteman nyamuk2 
rawa, sambil ketakutan dimangsa buaya muara Berau.
 
9 Desember 1941, sebuah sumur tengah dibor di Lapangan Jeflio, Cekungan 
Salawati. Malam itu, sumur mencapai kedalaman  6275 kaki.. Para geologist 
Belanda memperkirakan pada kedalaman 7000 kaki akan dijumpai lapisan 
batugamping Miosen yang telah terkenal produktif di daerah itu (inilah Formasi 
Kais). Tetapi, malam itu juga sumur diperintahkan untuk ditinggalkan sebab 
genderang Perang Pasifik telah bertalu dengan pemboman Pearl Harbour di Hawaii 
oleh Jepang.  Ketakutan karyawan NNGPM di Jeflio beralasan sebab tentara Jepang 
telah menyerang Sorong, kota terdekat.
 
Markas Besar Belanda di Batavia telah memerintahkan Babo untuk mengevakuasi 
semua perempuan dan anak2 Eropa sesegera mungkin ke Jawa. Maka pada tanggal 
17-26 Desember 1941 rombongan pesawat2 KNILM tiba di Babo kemudian segera 
berangkat membawa para perempuan dan anak2 berkulit putih. Pesawat2 itu lenyap 
di balik awan di atas Kepala Burung, meninggalkan para suami dan ayah yang 
melambaikan tangan dengan berat hati. Akankah mereka saling berjumpa lagi ? 
Sebagian besar tidak…
 
Para karyawan NNGPM yang semula membawa alat las, tang besar, pipa,dll. 
tiba-tiba dipersenjatai bedil double-barreled, milisi garnisun segera 
terbentuk, sekitar 40 orang kulit putih ada di milisi itu. Garnisun ini 
dibentuk untuk tindakan persiapan siapa tahu Jepang mendarat di Babo. Babo 
cukup terpencil tempatnya, sehingga tak segera menjadi sasaran Jepang setelah 
Sorong jatuh.
 
Kemudian, rencana tindakan perusakan sendiri atas fasilitas2 perminyakan pun 
dibuat. Ini selalu dilakukan di lapangan-lapangan minyak Belanda di seluruh 
Indonesia saat Jepang menyerang. Mengapa dirusak ? Sebab, Jepang memerlukan 
bahan bakar untuk perang. Bila fasilitas perminyakan dirusak, maka Jepang akan 
sulit mendapatkan bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesin perangnya. 
 
Segera setelah Jepang menyerang Pearl Harbour, telah diputuskan bahwa seluruh 
material berharga dari berbagai lapangan dan pelabuhan kecil di seluruh Kepala 
Burung dikumpulkan di Babo. Bila waktu mendesak, barang-barang berharga itu 
dapat segera diungsikan ke Jawa dari Babo menggunakan pesawat, atau kalau waktu 
begitu mendesak, maka sekalian barang itu dapat segera dihancurkan. Daftar 
barang2 berharga ini antara lain : mesin bermotor, dinamo, boiler, steam 
engine, juga alat2 berat seperti traktor dan buldozer. Peralatan bengkel dan 
gudang juga masuk dalam daftar barang2 siap dievakuasi atau dihancurkan. 
Beberapa peralatan berat disembunyikan di hutan sekitar Babo sambil berharap 
Jepang tak akan menemukannya. Stasiun radio pun mulai dihancurkan satu per 
satu, kecuali satu yang terbesar dipertahankan untuk berhubungan dengan Batavia 
atau Ambon.
 
Sementara itu, 200 

Re: [iagi-net-l] FW: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Awang Satyana

William,
 


BHT dikoreksi menggunakan informasi yang tersedia di log header sendiri (BHT 
measurement, time since circulation, depth). 
 
Recommended BHT correction method bergantung kepada ketersediaan informasi : 
- Horner correction, bila ada tiga atau lebih pengukuran BHT dari beberapa 
kedalaman
- Last resort correction, bila tak ada pengukuran multiple BHT. Menurut 
Corrigan (2003) tinggal menambahkan 18 deg C (33 deg F) kepada measured BHT. 
Angka itu berdasarkan studinya atas hampir 1000 pengukuran BHT. 
 
Saya belum pernah menerapkan last resort correction Corrigan (2003) sebab data 
BHT umumnya multiple - kebanyakan sumur punya beberapa kali logging run.
 
Publikasi dari Waples dan Ramly (2001), tak memerlukan Horner plot untuk 
koreksi BHT. Mereka menggunakan indeks fs (correction factor) yang dirumuskan 
sebagai : 
 
fs = (-0.1462 Ln (TSC) + 1.699) / (0.572 . Z exp 0.075)
 
dengan TSC = time since end of mud circulation (dalam jam) dan Z = depth 
(meter). Indeks fs ini nanti dikalikan terhadap BHT. Saya belum pernah mencoba 
formula ini dan membandingkannya bila kita menggunakan Horner plot.
 
BHT pada log header harus dikoreksi sebab data BHT pasti lebih dingin (setelah 
sirkulasi, apalagi yang bottom-up circulation) daripada sebenarnya.
 
Tentang OBM (oil based mud), ini hanya thermal tolerance mud, saya pikir tak 
mendinginkan formasi, tetapi menahan sifat lumpur saja agar tetap bagus 
fisiknya dengan temperatur formasi yang tinggi, maka koreksinya masih bisa 
menggunakan Horner plot. Saya tak pernah membaca publikasi bahwa BHT dalam 
sistem OBM punya koreksi tersendiri. Mungkin kawan2 lain silakan kalau ada 
pengalaman soal ini.
 
salam,
awang

--- On Wed, 2/4/09, Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com 
wrote:




From: Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com
Subject: [iagi-net-l] FW: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration
To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id
Date: Wednesday, February 4, 2009, 9:36 AM

Forward,

-febrie-


From: William Romodhon
Sent: Wednesday, February 04, 2009 9:05 AM
To: awangsaty...@yahoo.com; Febrie Ekaninggarani; RM Iman Argakoesoemah; Forum
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia
Cc: Eksplorasi BPMIGAS; Geo Unpad; IAGI
Subject: RE: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration

Terima kasih atas semua masukan dari Bapak2.

Pak Awang,
Kaitannya dengan GG,
Temperature diambil pada saat lumpur masih berada di dalam sumur, sehingga
pembacaan temperature pasti lebih dingin dari yang sebenarnya. Apalagi untuk
logging yang dilakukan bottom-up, artinya waktu antara berhentinya sirkulasi
dengan waktu pada saat pengukuran semakin besar.
Setahu saya koreksi BHT dengan Horner Plot dapat dilakukan apabila pengukuran
BHT dilakukan lebih dari satu kali, misalnya dua kali logging pada kedalaman
yang sama, karena hasil akhirnya adalah penarikan garis berat yang linear.
Bagaimana kalau hanya satukali pengukuran?

Jika kita mempunyai data temperature log, apakah ini bisa digunakan untuk
perhitungan GG tanpa melakukan koreksi ??
Walaupun tetap ada pendingin di dalam sumur, tentu saja akan lebih baik untuk
metode pengukuran top-bottom.

Bagaimana dengan OBM, apakah ada metode koreksi khusus yang bisa digunakan
untuk case OBM atau cukup deengan Horner Plot saja?

Salam,
william

PS : moderator, mohon di subscribe alamat email berikut :
william.romod...@medcoenergi.commailto:william.romod...@medcoenergi.com



From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com]
Sent: Wednesday, February 04, 2009 8:38 AM
To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah; Forum
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia
Cc: Eksplorasi BPMIGAS; Geo Unpad; IAGI
Subject: Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration


Pak Min,



Saya curiga Ro-nya mengalami retardasi atau supresi sehingga tak akurat. Itu
bisa diuji dengan menggunakan parameter kematangan lain (Tmax, SCI, MPI, dll
bila ada).



Peta Pak Thamrin dkk yang juga dipublikasi IPA (peta GG regional cekungan2 di
Indonesia, dan peta heatflow regional cekungan2 di Indonesia) baik dipakai untuk
melakukan pengkajian kapasitas generasi hidrokarbon setiap cekungan di
Indonesia, terutama yang frontier.



Tetapi, sekali ada sumur dibor dengan BHT yang jelas, lalu dikoreksi
menggunakan Horner plot atas time of circulation-nya, apalagi kalau ada data
temperatur dari DST, tentu penentuan GG lebih tepat berdasarkan data sumur
dengan menerapkan ambient surface temperature yang pas.



Variasi GG biasa terjadi di dalam satu cekungan. Bila satu cekungan mempunyai
beberapa low areas yang dicurigai sebagai kitchen, maka menggunakan satu angka
GG regional tidak akan menghasilkan modeling yang tepat. GG sumur yang terdekat
dengan low areas akan mewakilinya, kemudian menariknya ke posisi pseudowell di
low areas dan memodelkan 1-D thermal modelingnya.



Salam,

awang



-Original Message-
From: MINARWAN [mailto:minarw...@gmail.com]
Sent: 

Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)

2009-02-03 Terurut Topik Awang Satyana
Sigit,
 
NNGPM hanya beroperasi di wilayah Papua, tak di PNG sebab wilayah PNG sejak 
zaman Belanda di Indonesia sudah dikontrol oleh Inggris.
 
PNG tak punya wilayah seperti Kepala Burung Papua yang kaya minyak dan gas. 
Lapangan minyak Walio yang ditemukan tahun 1973 sempat merupakan lapangan 
minyak dengan perangkap reefal carbonate terbesar di Asia Tenggara (Longman, 
1993). Kompleks lapangan Tangguh, kita tahu adalah lapangan2 gas raksasa. 
Tetapi kekayaan hidrokarbon PNG terletak di punggung dan paparannya.
 
Punggung Papua dan bagian selatannya (Asmat-Merauke) relatif tak tergarap sebab 
berbagai hambatan, terutama tumpang tindih dengan wilayah kehutanan (Punggung 
Papua) dan akses yang jauh (Asmat-Merauke platform). Wilayah yang sama di PNG 
(punggung yang fold-thrust belt dan paparannya yang foreland) sudah terbukti 
sebagai wilayah yang kaya akan minyak dan gas.
 
Berikut sedikit petikan dari paper saya dkk. di IPA 2008 (Satyana et al., 2008 
: Collision and post-collision tectonics in Indonesia : roles for basin 
formation and petroleum systems) tentang petroleum status punggung Papua-PNG. 
Punggung Papua dan PNG adalah collision belt.
 
There has been very little exploration in the Irian
Jaya thrust fold belt to date although some
petroleum blocks have existed in the area since
1971 (Figure 8a). This is in contrast to its
counterpart in the Papuan fold belt of Papua New
Guinea with the producing fields of Moran, Agogo,
Kutubu, Hedinia/Iagifu, and Hides. A total of nine
wells have been drilled in the Irian Jaya Central
Range. Two of which resulted in non-commercial
oil discoveries in the Irian Jaya foldbelt and
foreland. Cross Catalina-1 identified a 51m oil
column in the Woniwogi Formation, but it had low
effective porosity of 8%, as a result of extensive
silicafication of the reservoir. Kau-2, near the PNG border, saw oil flow
(47 API) at 55 BOPD plus minor gas from the
Tithonian (latest Jurassic) sandstones. Oil was
recorded in the Digul-1, Kariem-1 and Kau-1 wells
in the eastern Irian Jaya fold belt.

Statistik terakhir menunjukkan bahwa 3,1 BBO telah ditemukan di foldbelt PNG 
dan 320 MMBO telah ditemukan di foreland PNG. Hal yang sama tak mustahil bisa 
ditemukan di foldbelt dan foreland Papua.
 
Tentang mineralisasi, tentu saja Pemerintah Belanda maupun para pencari mineral 
independent telah masuk ke Papua sejak dulu, termasuk Dozy dan Lorentz yang 
menemukan Ertsberg alias Gunung Bijih (Freeport sekarang). Juga Dienst van Het 
Mijnwezen (Dinas Pertambangan Belanda) telah sejak lama mengirimkan 
geologist2nya untuk menyelidiki mineral2 berharga Papua sejak dulu, bahkan 
untuk area yang lebih luas daripada cakupan penyelidikan NNGPM. 
 
Dapat dibilang bahwa laporan-laporan geologi dan pertambangan yang saya lihat 
di Kanwil Pertambangan Jayapura pada Juni 1988 itu (lihat cerita saya pertama 
tentang Papua exploration 1930's), 3/4-nya adalah tentang mineralisasi. Cakupan 
laporan : seluruh Papua dan pulau2 sekitarnya (Batanta, Waigeo, Kofiau, dll.) 
untuk eksplorasi emas, perak, nikel, dll.
 
salam,
awang

--- On Wed, 2/4/09, sigit prabowo sigit_p...@yahoo.com wrote:

From: sigit prabowo sigit_p...@yahoo.com
Subject: Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 
1930s)
To: iagi-net@iagi.or.id, awang satyana awangsaty...@yahoo.com
Date: Wednesday, February 4, 2009, 10:32 AM






Pak Awang YTH.,
 
Seiring dengan explorasi hydrocarbon di Papua oleh NNGPM, apakah NNGPM juga 
melakukan explorasi di Papua New Guinea, dan juga menemukan oil discovery...?
 
Kalo NNGPM melakukan explorasi minyak bumi di Papua, bagaimana dengan explorasi 
tambang ya pak, seperti tembaga, emas, dsb..,... apakah dilakukan oleh 
Geologist2 dari Belanda juga, mengingat kalo gak salah Van Bemmelen juga pernah 
menulis tentang petensi SDA selain minyak bumi di Indonesia...
 
Mohon pencerahan nya pak...
 
Terimakasih
 
Best Regards
Sigit Ari Prabowo




From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Geo Unpad geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id; 
Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com
Sent: Monday, February 2, 2009 8:29:50 AM
Subject: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)

Edo, sebenarnya yang menanam ranjau darat (land-mines) di sekitar Babo itu 
bukan Jepang, tetapi karyawan NNGPM sendiri dalam rangka bersiap menyambut 
kedatangan Jepang yang mungkin akan menduduki Babo, sebagaimana dilakukan 
Jepang di lapangan-lapangan minyak lain di Indonesia saat pecah Perang Pasifik 
Desember 1941. 
 
Menyambung cerita saya tentang awal eksplorasi Papua 1930s, berikut lanjutannya.
Bila cerita kemarin mengisahkan awal peradaban di Babo, maka cerita berikut 
mengisahkan akhir peradaban di Babo.
 
“Kiamat di Babo”  mungkin sebuah judul yang berlebihan, tetapi begitulah 
mungkin perasaan para karyawan NNGPM dan keluarganya saat bom-bom mulai 
berjatuhan dari langit oleh pesawat2 tempur Jepang saat mulai pecah Perang 
Pasifik