[iagi-net-l] 1D modelling thermal calibration
Pak Awang, Saat ini kami sedang melakukan 1D basin modeling untuk beberapa sumur dalam suatu blok dengan menggunakan software. Hasil yang kami dapatkan menunjukkan bahwa trend dan kisaran angka maturity dari corrected BHT (thermal maturation) pada semua sumur tsb selalu berbeda dengan observed data vitrinite reflectance (Ro). Intinya : perbedaan antara thermal maturation dengan observed Ro cukup signifikan dimana nilai thermal maturation lebih besar. Tahap berikutnya yang biasa dilakukan adalah mengkalibrasi thermal maturation terhadap Ro hasil pengukuran. Sehubungan dengan itu, kami ingin menanyakan : 1. apakah dasar yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi tsb? 2. apakah ada real geological factor yang menjadi penyebabnya (perbedaan nilai thermal maturation dengan observed Ro)? Hal lain yang ingin kami tanyakan adalah tentang kursus. Kami menerima draft kursus HAGI 2009 dan berminat untuk mengikuti kursus Bapak yang berjudul Petroleum Geochemistry : Essential Concepts and Methods for Exploration Production yang akan diselenggarakan pada bulan April ini. Jika boleh tahu, apa saja content dari kursus tsb Pak? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. This e-mail and any information contained are confidential and legally privileged. It is intended solely for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to receive it. If you are not the intended recipient, you are hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any action in reliance on the contents of this e-mail is strictly prohibited and may be unlawful. If you have received this e-mail in error, please notify us immediately by responding to this e-mail or by telephone MedcoEnergi IS Division Helpdesk on +62 21 83991234 then delete this email including any attachment(s) from your system. MedcoEnergi does not accept liability for damage caused by any of the foregoing. This e-mail is from PT MedcoEnergi Internasional Tbk and Subsidiaries, having Registered Address at Graha Niaga Level 16, Jakarta, Indonesia. PP-IAGI 2008-2011: ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com * 2 sekretariat (Jkt Bdg), 5 departemen, banyak biro... tunggulah 'call for paper' utk PIT IAGI ke-38!!! akan dilaksanakan di Semarang 13-14 Oktober 2009 - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi - DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing list. -
Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s
Bang Syaiful, Wah, Sampeyan kok malahan cerita kuliner? Well, ini cerita lama yha: Jawaranya di Kepala Burung (PSC) adalah Petromer Trend, perusahaan dari Denver, mulai 1970. Selain itu ada Phillips (P.Salawati). Trend discovery Kasim-1 sekitar 1972, flowing lebih 50,000 bopd (?) dari Kais limestone. Seterusnya Trend menemukan lapangan-2: Walio (315 wells), Kasim (59), Jaya (22), Cendrawasih (29), Moi (9), Kasim Utara (11), Kasim Barat (8), Arar (4), Klalin (10), Payao (3 well, produksi tinggal 2); bbrp sumur yang kurang ekonomis: Klagagi-1, West Klagagi, Klaifi (2), Klagana (2), Klari-1, ada oil stain di Sirga sandstone). Klate-1 (paling ujung timur) ada oil stain di Crystalline Lmst yang posisinya di bawah Kais, Terumbu-1 (targetnya Klasaman carbonate). Masih ada bbrp sumur lain, dan yang menarik discovery SE Walio-1 (2000 bopd). Block ini masih berproduksi sekitar 7000 BOPD dengan watercut (harap tidak kaget) 99.0%, sehingga produksi airnya mencapai 780,000 BWPD. Semua produksi dengan ESP (Reda) pump, mungkin sumur baru masih flowing. Trend membangun fasilitas produksi dan basecamp yang sangat bagus dan lengkap di ujung Papua (mainland) berhadapan dengan P.Kasim (banyak karyawan dan keluarga tinggal di sini) dinamakan Kasim Marine Terminal. Kerja di sini sangat mengasyikan. Jam 05:00 sudah terlihat hiruk-pikuk, perahu ponton tanggung mondar-mandir membawa karyawan dari P.Kasim ke KMT base atau ke lapangan. Tepat jam 06:00 sirine berbunyi nyaring...setelah itu keadaan menjadi sunyi senyap. Nanti jam 11:30 dan jam 13:00 (istirahat) sirine berbunyi lagi. Baru jam 18:00 saat kantor tutup, sekali lagi sirine berbunyi. Kehidupan malam cukup menarik, tidak membosankan. Ada club house yang sangat bagus, lengkap dengan film, tivi, bilyar, permainan lain dan bar. Walaupun remote area, para pekerja dibuat kerasan dengan kegiatan yang positif. sekali-2 kami menyanyi ramai-2 di bar. KMT ini sekitar 65 km jauh di selatan kota Sorong lho. Ada kejadian lucu: Biasanya pesawat Merpati dari Jakarta/Makassar mendarat di Jefman (bandara lama, berupa pulau karang) jam 17:00. Para karyawan segera ramai-2 naik ke boat perusahaan. Boat segera berangkat melewati selat, diantara pulau-2 yang banyak sekali jumlahnya (kawan Papua saya ingat nama pulau-2 tersebut); setelah 2 jam, boat sampai KMT. Kami pun turun untuk menuju kamar masing-2. Ada tiga penumpang perlente bertanya: Pak, dimana hotel Cendrawasih (hotel di kota Sorong). Wah, ini gawat. Mereka pikir boat yang ditumpangi menuju kota Sorong :( Sekitar 1993 JOB Pertamina-Trend Salawati baru menemukan Lapangan Matoa di P.Salawati. Sudah ada sekitar 30 sumur, dan bbrp sumur-2 di luar Matoa. Jumlah produskinya sekitar 5600 BOPD. Di lapangan ini lah kami banyak belajar pekerjaan wsg. Kenapa? Di sini seorang wsg dituntut untuk lebih hati-2 menjelang pemboran masuk Kais, karena kita hanya diperbolehkan menembus Kais setebal 10 ft. Bayangkan kalau kawan geophisicyst meleset memprediksi top Kais sekitar 100 ft lebih dalam, bisa-2 kawan wsg akan semalaman tidak tidur. Anehnya, dari sekian banyak sumur, top Kais selalu ditembus setelah tengah malam atau subuh. Kawan Drilling beda lagi; dia mengeluh, setiap running casing 7 selalu hujan lebat. Kalau kegiatan di Jabung (Jambi) lain lagi: Kawan yang pegang operation di Jkt (expat) selalu mengeluh karena TD selalu ditembus hari Jumat. Akibatnya jadwal sofball, golf atau acara keluarga akan terganggu. Ada pengalaman menarik di salah satu sumur Matoa. Ketika completion, sudah ribuan barrel air disedot (swabbing) tetapi hasilnya tetap 100% water. Bagian Operation sudah pesimis, dan ingin menutup sumur secara permanen. Kawan Exploration bersikeras bahwa ini termasuk sumur bagus. Dari laporan wsg terlihat jelas. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata saat drilling in progress sempat terjadi lost circulation, dan sekian ratus atau ribu barrel fresh water dipompakan (tidak dicatat dengan baik). Sebuah Reda pump segera dipasang, sumur disedot. Tidak lama kemudian, muncul 2% oil, 5%, 10% dst sampai flowing. Sumur ini selamat dan berproduksi cukup lama. Dari pengalaman ini, kami selalu menekankan, apapun yang dipompakan ke dalam sumur harus dicatat dengan rapi dan lengkap. Sekian dulu, kalau ada kawan yang ingin menambahkan cerita silahkan. Salam hangat, sugeng - Original Message - From: mohammad syaiful mohammadsyai...@gmail.com To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Tuesday, February 03, 2009 11:32 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s lho, mas sugeng ini kok malah banyak cerita duriannya sih. tapi memang asyik kok, soalnya saya juga dulu sering menikmati durian khas, berukuran kecil (dibandingkan durian sumatra / udanmas dari sumsel), dan sering disebut sbg 'durian mentega. apalagi kalo dicampur dengan sayur ikan tuna yg dimasak oleh seorang drillling supervisor, atau dicampur juga dengan udang bakar yg direnteng seperti sate, ah.. maknyus tenannn...
[iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 – 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. Kita sebenarnya belum paham benar mengapa Ro supression terjadi sebab satu penjelasan memuaskan di satu tempat, tetapi penjelasan yang sama ketika diterapkan ke tempat lain ternyata tak memuaskan. Kebanyakan publikasi cenderung mengatakan bahwa supressed Ro terjadi karena kondisi materi maseral vitrinite-nya sendiri (karena itu mengukur kematangan dengan FAMM adalah lebih baik sebab metode ini menggunakan berbagai maseral bukan hanya vitrinite). Teknologi baru menggunakan VIRF (vitrinite-inertinite reflectance and fluorescence) pun bisa mengatasi masalah Ro supression. Penyebab utama Ro supression yang banyak disebutkan para peneliti adalah akibat (1) dominasi perhydrous vitrinite (kaya hidrogen) di antara maseral2 vitrinite dan (2) keberadaan liptinite (kaya hidrogen) di samping vitrinite dalam maseral. Perhatikan bahwa unsur H di sini ternyata selalu dianggap sebagai penyebab Ro supression. Maka, secara praktis, bila satu kerogen punya HI (hydrogen index) yang tinggi (300), maka harus hati2 bahwa Ro-nya mungkin mengalami supresi. Supresi Ro juga menurut beberapa peneliti akan terjadi di sampel-sampel dengan kandungan exinite kerogen 20 % (dari total kerogen), supresi Ro akan cenderung makin terjadi dengan makin banyaknya kontribusi marin, tetapi juga makin terjadi di lingkungan lakustrin. Juga katanya Ro supression ditemukan banyak terjadi di
Re: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s
matur nuwun, ceritanya pak sugeng. semoga bermanfaat utk semuanya. kalau saya dulu hanya mampir saja di sorong, terus pakai heli atau pesawat kecil terbang ke selatan (inanwatan). masih ingat, kalau pesawat masih di darat (jafman) maka sering membunyikan klakson, sebab ternyata sering ojek menyeberang bandara tsb, he.. he.. tambahan satu lagi, buah sukun dari sorong terkenal besar ukurannya dan uenakkk tenan bila digoreng atau direbus... salam, syaiful On Tue, Feb 3, 2009 at 4:40 PM, Sugeng Hartono sugeng.hart...@petrochina.co.id wrote: Bang Syaiful, Wah, Sampeyan kok malahan cerita kuliner? Well, ini cerita lama yha: Jawaranya di Kepala Burung (PSC) adalah Petromer Trend, perusahaan dari Denver, mulai 1970. Selain itu ada Phillips (P.Salawati). Trend discovery Kasim-1 sekitar 1972, flowing lebih 50,000 bopd (?) dari Kais limestone. Seterusnya Trend menemukan lapangan-2: Walio (315 wells), Kasim (59), Jaya (22), Cendrawasih (29), Moi (9), Kasim Utara (11), Kasim Barat (8), Arar (4), Klalin (10), Payao (3 well, produksi tinggal 2); bbrp sumur yang kurang ekonomis: Klagagi-1, West Klagagi, Klaifi (2), Klagana (2), Klari-1, ada oil stain di Sirga sandstone). Klate-1 (paling ujung timur) ada oil stain di Crystalline Lmst yang posisinya di bawah Kais, Terumbu-1 (targetnya Klasaman carbonate). Masih ada bbrp sumur lain, dan yang menarik discovery SE Walio-1 (2000 bopd). Block ini masih berproduksi sekitar 7000 BOPD dengan watercut (harap tidak kaget) 99.0%, sehingga produksi airnya mencapai 780,000 BWPD. Semua produksi dengan ESP (Reda) pump, mungkin sumur baru masih flowing. Trend membangun fasilitas produksi dan basecamp yang sangat bagus dan lengkap di ujung Papua (mainland) berhadapan dengan P.Kasim (banyak karyawan dan keluarga tinggal di sini) dinamakan Kasim Marine Terminal. Kerja di sini sangat mengasyikan. Jam 05:00 sudah terlihat hiruk-pikuk, perahu ponton tanggung mondar-mandir membawa karyawan dari P.Kasim ke KMT base atau ke lapangan. Tepat jam 06:00 sirine berbunyi nyaring...setelah itu keadaan menjadi sunyi senyap. Nanti jam 11:30 dan jam 13:00 (istirahat) sirine berbunyi lagi. Baru jam 18:00 saat kantor tutup, sekali lagi sirine berbunyi. Kehidupan malam cukup menarik, tidak membosankan. Ada club house yang sangat bagus, lengkap dengan film, tivi, bilyar, permainan lain dan bar. Walaupun remote area, para pekerja dibuat kerasan dengan kegiatan yang positif. sekali-2 kami menyanyi ramai-2 di bar. KMT ini sekitar 65 km jauh di selatan kota Sorong lho. Ada kejadian lucu: Biasanya pesawat Merpati dari Jakarta/Makassar mendarat di Jefman (bandara lama, berupa pulau karang) jam 17:00. Para karyawan segera ramai-2 naik ke boat perusahaan. Boat segera berangkat melewati selat, diantara pulau-2 yang banyak sekali jumlahnya (kawan Papua saya ingat nama pulau-2 tersebut); setelah 2 jam, boat sampai KMT. Kami pun turun untuk menuju kamar masing-2. Ada tiga penumpang perlente bertanya: Pak, dimana hotel Cendrawasih (hotel di kota Sorong). Wah, ini gawat. Mereka pikir boat yang ditumpangi menuju kota Sorong :( Sekitar 1993 JOB Pertamina-Trend Salawati baru menemukan Lapangan Matoa di P.Salawati. Sudah ada sekitar 30 sumur, dan bbrp sumur-2 di luar Matoa. Jumlah produskinya sekitar 5600 BOPD. Di lapangan ini lah kami banyak belajar pekerjaan wsg. Kenapa? Di sini seorang wsg dituntut untuk lebih hati-2 menjelang pemboran masuk Kais, karena kita hanya diperbolehkan menembus Kais setebal 10 ft. Bayangkan kalau kawan geophisicyst meleset memprediksi top Kais sekitar 100 ft lebih dalam, bisa-2 kawan wsg akan semalaman tidak tidur. Anehnya, dari sekian banyak sumur, top Kais selalu ditembus setelah tengah malam atau subuh. Kawan Drilling beda lagi; dia mengeluh, setiap running casing 7 selalu hujan lebat. Kalau kegiatan di Jabung (Jambi) lain lagi: Kawan yang pegang operation di Jkt (expat) selalu mengeluh karena TD selalu ditembus hari Jumat. Akibatnya jadwal sofball, golf atau acara keluarga akan terganggu. Ada pengalaman menarik di salah satu sumur Matoa. Ketika completion, sudah ribuan barrel air disedot (swabbing) tetapi hasilnya tetap 100% water. Bagian Operation sudah pesimis, dan ingin menutup sumur secara permanen. Kawan Exploration bersikeras bahwa ini termasuk sumur bagus. Dari laporan wsg terlihat jelas. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata saat drilling in progress sempat terjadi lost circulation, dan sekian ratus atau ribu barrel fresh water dipompakan (tidak dicatat dengan baik). Sebuah Reda pump segera dipasang, sumur disedot. Tidak lama kemudian, muncul 2% oil, 5%, 10% dst sampai flowing. Sumur ini selamat dan berproduksi cukup lama. Dari pengalaman ini, kami selalu menekankan, apapun yang dipompakan ke dalam sumur harus dicatat dengan rapi dan lengkap. Sekian dulu, kalau ada kawan yang ingin menambahkan cerita silahkan. Salam hangat, sugeng - Original Message - From: mohammad syaiful
Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu, berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong. Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985). Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi. Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin, kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan sendiri dan GG dari publikasi itu. Mudah-mudahan membantu. Salam mnw 2009/2/3 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com: Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 – 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. Kita sebenarnya belum paham
[iagi-net-l] Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration
Pak Min, Saya curiga Ro-nya mengalami retardasi atau supresi sehingga tak akurat. Itu bisa diuji dengan menggunakan parameter kematangan lain (Tmax, SCI, MPI, dll bila ada). Peta Pak Thamrin dkk yang juga dipublikasi IPA (peta GG regional cekungan2 di Indonesia, dan peta heatflow regional cekungan2 di Indonesia) baik dipakai untuk melakukan pengkajian kapasitas generasi hidrokarbon setiap cekungan di Indonesia, terutama yang frontier. Tetapi, sekali ada sumur dibor dengan BHT yang jelas, lalu dikoreksi menggunakan Horner plot atas time of circulation-nya, apalagi kalau ada data temperatur dari DST, tentu penentuan GG lebih tepat berdasarkan data sumur dengan menerapkan ambient surface temperature yang pas. Variasi GG biasa terjadi di dalam satu cekungan. Bila satu cekungan mempunyai beberapa low areas yang dicurigai sebagai kitchen, maka menggunakan satu angka GG regional tidak akan menghasilkan modeling yang tepat. GG sumur yang terdekat dengan low areas akan mewakilinya, kemudian menariknya ke posisi pseudowell di low areas dan memodelkan 1-D thermal modelingnya. Salam, awang -Original Message- From: MINARWAN [mailto:minarw...@gmail.com] Sent: Wednesday, February 04, 2009 5:01 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu, berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong. Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985). Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi. Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin, kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan sendiri dan GG dari publikasi itu. Mudah-mudahan membantu. Salam mnw --- On Tue, 2/3/09, Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com wrote: From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com Subject: Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration To: Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com, William Romodhon william.romod...@medcoenergi.com, RM Iman Argakoesoemah iman.argakoesoe...@medcoenergi.com Cc: Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com, Geo Unpad geo_un...@yahoogroups.com, IAGI iagi-net@iagi.or.id, Forum HAGI fo...@hagi.or.id Date: Tuesday, February 3, 2009, 10:03 PM Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 – 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila
RE: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Febrie, Mungkin untuk practical di software, Febrie harus check dulu, Ro yang dimodelkan oleh software itu perhitungannya seperti apa, karena ada beberapa Pemodelan Ro dari Thermal modelling yang bisa dipakai, hal ini menandakan bahwa memang ada uncertainty yang cukup tinggi dalam pemodelan Ro. Saya biasa pakai software Genesis (dari Zetaware) untuk 1D modeling, disoftware ini ada dua model Ro yang bisa dihitung yaitu ARCO model dan LL model, dua model ini memberikan hasil yang berbeda karena rumus Ro terhadap temperature yang dipakai berbeda, biasanya LL model akan memberikan nilai Ro yang lebih tinggi daripada ARCO model. Di BP malah ada lagi model yang dikembangkan oleh expertise berdasarkan pengamatan dari data-data Ro yang BP punya diseluruh dunia, dan kita punya model Ro minimum dan Ro maximum, RO min dan Max ini berdasarkan data BP sudah mewakili range dari uncertainty nilai Ro terhadap Thermal maturation yang bisa diakibatkan banyak hal salah satunya karena RO supression tadi, as long as Measured Ro ada diantara Minimum dan Maximum modelled Ro, itu sudah cukup valid untuk sebuah model Ro... Semoga bisa membantu edo -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] Sent: Tuesday, February 03, 2009 10:04 PM To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah Cc: IAGI; Geo Unpad; Forum HAGI; Eksplorasi BPMIGAS Subject: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 - 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang
Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)
Pak Awang YTH., Seiring dengan explorasi hydrocarbon di Papua oleh NNGPM, apakah NNGPM juga melakukan explorasi di Papua New Guinea, dan juga menemukan oil discovery...? Kalo NNGPM melakukan explorasi minyak bumi di Papua, bagaimana dengan explorasi tambang ya pak, seperti tembaga, emas, dsb.,... apakah dilakukan oleh Geologist2 dari Belanda juga, mengingat kalo gak salah Van Bemmelen juga pernah menulis tentang petensi SDA selain minyak bumi di Indonesia... Mohon pencerahan nya pak... Terimakasih Best Regards Sigit Ari Prabowo From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com To: iagi-...@iagi..or.id Cc: Geo Unpad geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id; Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com Sent: Monday, February 2, 2009 8:29:50 AM Subject: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s) Edo, sebenarnya yang menanam ranjau darat (land-mines) di sekitar Babo itu bukan Jepang, tetapi karyawan NNGPM sendiri dalam rangka bersiap menyambut kedatangan Jepang yang mungkin akan menduduki Babo, sebagaimana dilakukan Jepang di lapangan-lapangan minyak lain di Indonesia saat pecah Perang Pasifik Desember 1941. Menyambung cerita saya tentang awal eksplorasi Papua 1930s, berikut lanjutannya. Bila cerita kemarin mengisahkan awal peradaban di Babo, maka cerita berikut mengisahkan akhir peradaban di Babo. “Kiamat di Babo” mungkin sebuah judul yang berlebihan, tetapi begitulah mungkin perasaan para karyawan NNGPM dan keluarganya saat bom-bom mulai berjatuhan dari langit oleh pesawat2 tempur Jepang saat mulai pecah Perang Pasifik Desember 1941. Kegembiraan masyarakat Belanda dan para karyawan NNGPM di tempat terpencil Babo di ujung Teluk Berau, Kepala Burung, tidak berlangsung lama, hanya sekitar setahun, setelah penerbangan umum ke Babo dibuka Belanda pada tahun 1940. Dua bulan dari Desember 1941 sampai awal Februari 1942 semuanya adalah penderitaan, tak ada lagi kegembiraan, tak ada lagi pesta-pesta, tak ada lagi nonton bioskop bersama (lihat cerita saya di bawah). Bahkan, mereka harus “merayakan” malam tahun baru 1942 sambil bertiarap di rawa-rawa Teluk Berau berteman nyamuk2 rawa, sambil ketakutan dimangsa buaya muara Berau. 9 Desember 1941, sebuah sumur tengah dibor di Lapangan Jeflio, Cekungan Salawati. Malam itu, sumur mencapai kedalaman 6275 kaki.. Para geologist Belanda memperkirakan pada kedalaman 7000 kaki akan dijumpai lapisan batugamping Miosen yang telah terkenal produktif di daerah itu (inilah Formasi Kais). Tetapi, malam itu juga sumur diperintahkan untuk ditinggalkan sebab genderang Perang Pasifik telah bertalu dengan pemboman Pearl Harbour di Hawaii oleh Jepang. Ketakutan karyawan NNGPM di Jeflio beralasan sebab tentara Jepang telah menyerang Sorong, kota terdekat. Markas Besar Belanda di Batavia telah memerintahkan Babo untuk mengevakuasi semua perempuan dan anak2 Eropa sesegera mungkin ke Jawa. Maka pada tanggal 17-26 Desember 1941 rombongan pesawat2 KNILM tiba di Babo kemudian segera berangkat membawa para perempuan dan anak2 berkulit putih. Pesawat2 itu lenyap di balik awan di atas Kepala Burung, meninggalkan para suami dan ayah yang melambaikan tangan dengan berat hati. Akankah mereka saling berjumpa lagi ? Sebagian besar tidak… Para karyawan NNGPM yang semula membawa alat las, tang besar, pipa,dll. tiba-tiba dipersenjatai bedil double-barreled, milisi garnisun segera terbentuk, sekitar 40 orang kulit putih ada di milisi itu. Garnisun ini dibentuk untuk tindakan persiapan siapa tahu Jepang mendarat di Babo. Babo cukup terpencil tempatnya, sehingga tak segera menjadi sasaran Jepang setelah Sorong jatuh. Kemudian, rencana tindakan perusakan sendiri atas fasilitas2 perminyakan pun dibuat. Ini selalu dilakukan di lapangan-lapangan minyak Belanda di seluruh Indonesia saat Jepang menyerang. Mengapa dirusak ? Sebab, Jepang memerlukan bahan bakar untuk perang. Bila fasilitas perminyakan dirusak, maka Jepang akan sulit mendapatkan bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesin perangnya. Segera setelah Jepang menyerang Pearl Harbour, telah diputuskan bahwa seluruh material berharga dari berbagai lapangan dan pelabuhan kecil di seluruh Kepala Burung dikumpulkan di Babo. Bila waktu mendesak, barang-barang berharga itu dapat segera diungsikan ke Jawa dari Babo menggunakan pesawat, atau kalau waktu begitu mendesak, maka sekalian barang itu dapat segera dihancurkan. Daftar barang2 berharga ini antara lain : mesin bermotor, dinamo, boiler, steam engine, juga alat2 berat seperti traktor dan buldozer. Peralatan bengkel dan gudang juga masuk dalam daftar barang2 siap dievakuasi atau dihancurkan. Beberapa peralatan berat disembunyikan di hutan sekitar Babo sambil berharap Jepang tak akan menemukannya. Stasiun radio pun mulai dihancurkan satu per satu, kecuali satu yang terbesar dipertahankan untuk berhubungan dengan Batavia atau Ambon. Sementara itu, 200
Re: [iagi-net-l] FW: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration
William, BHT dikoreksi menggunakan informasi yang tersedia di log header sendiri (BHT measurement, time since circulation, depth). Recommended BHT correction method bergantung kepada ketersediaan informasi : - Horner correction, bila ada tiga atau lebih pengukuran BHT dari beberapa kedalaman - Last resort correction, bila tak ada pengukuran multiple BHT. Menurut Corrigan (2003) tinggal menambahkan 18 deg C (33 deg F) kepada measured BHT. Angka itu berdasarkan studinya atas hampir 1000 pengukuran BHT. Saya belum pernah menerapkan last resort correction Corrigan (2003) sebab data BHT umumnya multiple - kebanyakan sumur punya beberapa kali logging run. Publikasi dari Waples dan Ramly (2001), tak memerlukan Horner plot untuk koreksi BHT. Mereka menggunakan indeks fs (correction factor) yang dirumuskan sebagai : fs = (-0.1462 Ln (TSC) + 1.699) / (0.572 . Z exp 0.075) dengan TSC = time since end of mud circulation (dalam jam) dan Z = depth (meter). Indeks fs ini nanti dikalikan terhadap BHT. Saya belum pernah mencoba formula ini dan membandingkannya bila kita menggunakan Horner plot. BHT pada log header harus dikoreksi sebab data BHT pasti lebih dingin (setelah sirkulasi, apalagi yang bottom-up circulation) daripada sebenarnya. Tentang OBM (oil based mud), ini hanya thermal tolerance mud, saya pikir tak mendinginkan formasi, tetapi menahan sifat lumpur saja agar tetap bagus fisiknya dengan temperatur formasi yang tinggi, maka koreksinya masih bisa menggunakan Horner plot. Saya tak pernah membaca publikasi bahwa BHT dalam sistem OBM punya koreksi tersendiri. Mungkin kawan2 lain silakan kalau ada pengalaman soal ini. salam, awang --- On Wed, 2/4/09, Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com wrote: From: Febrie Ekaninggarani febrie.ekaninggar...@medcoenergi.com Subject: [iagi-net-l] FW: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration To: iagi-net@iagi.or.id iagi-net@iagi.or.id Date: Wednesday, February 4, 2009, 9:36 AM Forward, -febrie- From: William Romodhon Sent: Wednesday, February 04, 2009 9:05 AM To: awangsaty...@yahoo.com; Febrie Ekaninggarani; RM Iman Argakoesoemah; Forum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Cc: Eksplorasi BPMIGAS; Geo Unpad; IAGI Subject: RE: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration Terima kasih atas semua masukan dari Bapak2. Pak Awang, Kaitannya dengan GG, Temperature diambil pada saat lumpur masih berada di dalam sumur, sehingga pembacaan temperature pasti lebih dingin dari yang sebenarnya. Apalagi untuk logging yang dilakukan bottom-up, artinya waktu antara berhentinya sirkulasi dengan waktu pada saat pengukuran semakin besar. Setahu saya koreksi BHT dengan Horner Plot dapat dilakukan apabila pengukuran BHT dilakukan lebih dari satu kali, misalnya dua kali logging pada kedalaman yang sama, karena hasil akhirnya adalah penarikan garis berat yang linear. Bagaimana kalau hanya satukali pengukuran? Jika kita mempunyai data temperature log, apakah ini bisa digunakan untuk perhitungan GG tanpa melakukan koreksi ?? Walaupun tetap ada pendingin di dalam sumur, tentu saja akan lebih baik untuk metode pengukuran top-bottom. Bagaimana dengan OBM, apakah ada metode koreksi khusus yang bisa digunakan untuk case OBM atau cukup deengan Horner Plot saja? Salam, william PS : moderator, mohon di subscribe alamat email berikut : william.romod...@medcoenergi.commailto:william.romod...@medcoenergi.com From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] Sent: Wednesday, February 04, 2009 8:38 AM To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah; Forum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Cc: Eksplorasi BPMIGAS; Geo Unpad; IAGI Subject: Re: [Forum-HAGI] 1D modelling thermal calibration Pak Min, Saya curiga Ro-nya mengalami retardasi atau supresi sehingga tak akurat. Itu bisa diuji dengan menggunakan parameter kematangan lain (Tmax, SCI, MPI, dll bila ada). Peta Pak Thamrin dkk yang juga dipublikasi IPA (peta GG regional cekungan2 di Indonesia, dan peta heatflow regional cekungan2 di Indonesia) baik dipakai untuk melakukan pengkajian kapasitas generasi hidrokarbon setiap cekungan di Indonesia, terutama yang frontier. Tetapi, sekali ada sumur dibor dengan BHT yang jelas, lalu dikoreksi menggunakan Horner plot atas time of circulation-nya, apalagi kalau ada data temperatur dari DST, tentu penentuan GG lebih tepat berdasarkan data sumur dengan menerapkan ambient surface temperature yang pas. Variasi GG biasa terjadi di dalam satu cekungan. Bila satu cekungan mempunyai beberapa low areas yang dicurigai sebagai kitchen, maka menggunakan satu angka GG regional tidak akan menghasilkan modeling yang tepat. GG sumur yang terdekat dengan low areas akan mewakilinya, kemudian menariknya ke posisi pseudowell di low areas dan memodelkan 1-D thermal modelingnya. Salam, awang -Original Message- From: MINARWAN [mailto:minarw...@gmail.com] Sent:
Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)
Sigit, NNGPM hanya beroperasi di wilayah Papua, tak di PNG sebab wilayah PNG sejak zaman Belanda di Indonesia sudah dikontrol oleh Inggris. PNG tak punya wilayah seperti Kepala Burung Papua yang kaya minyak dan gas. Lapangan minyak Walio yang ditemukan tahun 1973 sempat merupakan lapangan minyak dengan perangkap reefal carbonate terbesar di Asia Tenggara (Longman, 1993). Kompleks lapangan Tangguh, kita tahu adalah lapangan2 gas raksasa. Tetapi kekayaan hidrokarbon PNG terletak di punggung dan paparannya. Punggung Papua dan bagian selatannya (Asmat-Merauke) relatif tak tergarap sebab berbagai hambatan, terutama tumpang tindih dengan wilayah kehutanan (Punggung Papua) dan akses yang jauh (Asmat-Merauke platform). Wilayah yang sama di PNG (punggung yang fold-thrust belt dan paparannya yang foreland) sudah terbukti sebagai wilayah yang kaya akan minyak dan gas. Berikut sedikit petikan dari paper saya dkk. di IPA 2008 (Satyana et al., 2008 : Collision and post-collision tectonics in Indonesia : roles for basin formation and petroleum systems) tentang petroleum status punggung Papua-PNG. Punggung Papua dan PNG adalah collision belt. There has been very little exploration in the Irian Jaya thrust fold belt to date although some petroleum blocks have existed in the area since 1971 (Figure 8a). This is in contrast to its counterpart in the Papuan fold belt of Papua New Guinea with the producing fields of Moran, Agogo, Kutubu, Hedinia/Iagifu, and Hides. A total of nine wells have been drilled in the Irian Jaya Central Range. Two of which resulted in non-commercial oil discoveries in the Irian Jaya foldbelt and foreland. Cross Catalina-1 identified a 51m oil column in the Woniwogi Formation, but it had low effective porosity of 8%, as a result of extensive silicafication of the reservoir. Kau-2, near the PNG border, saw oil flow (47 API) at 55 BOPD plus minor gas from the Tithonian (latest Jurassic) sandstones. Oil was recorded in the Digul-1, Kariem-1 and Kau-1 wells in the eastern Irian Jaya fold belt. Statistik terakhir menunjukkan bahwa 3,1 BBO telah ditemukan di foldbelt PNG dan 320 MMBO telah ditemukan di foreland PNG. Hal yang sama tak mustahil bisa ditemukan di foldbelt dan foreland Papua. Tentang mineralisasi, tentu saja Pemerintah Belanda maupun para pencari mineral independent telah masuk ke Papua sejak dulu, termasuk Dozy dan Lorentz yang menemukan Ertsberg alias Gunung Bijih (Freeport sekarang). Juga Dienst van Het Mijnwezen (Dinas Pertambangan Belanda) telah sejak lama mengirimkan geologist2nya untuk menyelidiki mineral2 berharga Papua sejak dulu, bahkan untuk area yang lebih luas daripada cakupan penyelidikan NNGPM. Dapat dibilang bahwa laporan-laporan geologi dan pertambangan yang saya lihat di Kanwil Pertambangan Jayapura pada Juni 1988 itu (lihat cerita saya pertama tentang Papua exploration 1930's), 3/4-nya adalah tentang mineralisasi. Cakupan laporan : seluruh Papua dan pulau2 sekitarnya (Batanta, Waigeo, Kofiau, dll.) untuk eksplorasi emas, perak, nikel, dll. salam, awang --- On Wed, 2/4/09, sigit prabowo sigit_p...@yahoo.com wrote: From: sigit prabowo sigit_p...@yahoo.com Subject: Re: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s) To: iagi-net@iagi.or.id, awang satyana awangsaty...@yahoo.com Date: Wednesday, February 4, 2009, 10:32 AM Pak Awang YTH., Seiring dengan explorasi hydrocarbon di Papua oleh NNGPM, apakah NNGPM juga melakukan explorasi di Papua New Guinea, dan juga menemukan oil discovery...? Kalo NNGPM melakukan explorasi minyak bumi di Papua, bagaimana dengan explorasi tambang ya pak, seperti tembaga, emas, dsb..,... apakah dilakukan oleh Geologist2 dari Belanda juga, mengingat kalo gak salah Van Bemmelen juga pernah menulis tentang petensi SDA selain minyak bumi di Indonesia... Mohon pencerahan nya pak... Terimakasih Best Regards Sigit Ari Prabowo From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com To: iagi-net@iagi.or.id Cc: Geo Unpad geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id; Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com Sent: Monday, February 2, 2009 8:29:50 AM Subject: [iagi-net-l] Kiamat di Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s) Edo, sebenarnya yang menanam ranjau darat (land-mines) di sekitar Babo itu bukan Jepang, tetapi karyawan NNGPM sendiri dalam rangka bersiap menyambut kedatangan Jepang yang mungkin akan menduduki Babo, sebagaimana dilakukan Jepang di lapangan-lapangan minyak lain di Indonesia saat pecah Perang Pasifik Desember 1941. Menyambung cerita saya tentang awal eksplorasi Papua 1930s, berikut lanjutannya. Bila cerita kemarin mengisahkan awal peradaban di Babo, maka cerita berikut mengisahkan akhir peradaban di Babo. “Kiamat di Babo” mungkin sebuah judul yang berlebihan, tetapi begitulah mungkin perasaan para karyawan NNGPM dan keluarganya saat bom-bom mulai berjatuhan dari langit oleh pesawat2 tempur Jepang saat mulai pecah Perang Pasifik