RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau ikut market yang ada saja?

2005-10-11 Terurut Topik D.H. Natawidjaja
Halo Bung Rovicky apa kabar? 
Iya betul tuh.  Apakah universitas mau ngikutin pasar aja atau mau
berinovasi untuk menciptakan pasar baru?.  Kelihatannya Pendidikan
Geologi Indonesia sekarang masih sangat ditujukan untuk memasok pasar
tenaga kerja di bidang ekplorasi dan eksploitasi SDA (MiGas dan Mineral)
ya ?
Alasannya: kayanya kita semua sudah pada tahu... bidang geologi lain
yang non-migas dan mineral tidak begitu diketahui atau mungkin tidak
dihargai oleh masyarakat, pemerintah dan dunia bisnis...sehingga
lapangan kerjanya sempit (padahal seharusnya bisa besar)...dan kalaupun
ada kerjaannya imbalannyapun mungkin tidak sebesar didunia MiGas.
Dampaknya: sebagian besar lulusan yang terdidik di bidang geologi (baca:
urusan ekplorasi minyak dan mineral) tidak tertampung di dunia-nya
sehingga harus kerja di dunia lain, termasuk di dunia geologi
non-migas/mineral seperti di lembaga penelitian dan instansi pemerintah.
Artinya: lapangan kerja geologi di bidang non migas mineral diisi oleh
para geologiawan yang notabene kurang ahli dengan bidang pekerjaan
barunya ini.
Tentu ini berakibat profesi  geologi di bidang non-migas/mineral ini
akan kurang berkembang atau akan kurang dihargai/dipercaya oleh
masyarakat/bidang disiplin ilmu lainnya yang berkaitan.

Sekedar ilustrasi.  Sekarang ini ada timbul kesadaran di masyarakat
tentang pentingnya mitigasi bencana alam.  Mitigasi bencana ini katanya
sudah seharusnya diperhitungkan dalam pendidikan, kemasyarakatan dan
pembangunan infrastruktur wilayah dan termasuk juga sudah seharusnya
dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari SD. Nah, bagaimana
kesempatan lapangan pekerjaan ini bisa dilaksanakan kalau para ahli
kebumian kita hanya ahli dimasalah migas dan mineral?  Kecuali kalau
kita beranggapan bahwa bidang geologi seperti ini engga perlu
training/pendidikan  khusus, tapi cukup pengetahuan geologi umum
sedikit-sedikit tambah logika... beress.  Dan pada prakteknya mungkin
biar kerjaannya ngawurpun engga apa-apa karena yang meriksa juga engga
tahu itu ngawur atau engga :-)... Mudah-mudahan engga begitu ya.

Dari dulu kita juga suka mengeluhkan bahwa kalangan sipil kurang
menghargai profesi ahli geologi dalam teknik sipil.  Tapi coba telaah
lebih dalam, kenapa begitu?  Apakah karena lulusan geologi kita yang
kerja di bidang ini kerjanya ngawur?  
Saya ingat dulu ada ahli geologi yang mengatakan kalau ada kota yang
dilewati sesar aktif sarannya enak aja: sebaiknya dipindahkan aja
kotanya.  Tentu saja para ahli bidang lain dan pemerintah cuma ketawa
ngakak dengernya kan?
Sebulan lalu saya pernah diundang untuk berbicara dihadapan para ahli
arsitek senior dan beberapa planolog.  Waktu itu saya khusus memberi
penjelasan tentang apa itu sesar aktif dan bagaimana bahayanya kalau
keberadaannya tidak diperhitungkan dalam pembangunan infrastruktur.
Responnya: mereka cukup terperangah.  Mereka bilang kok kita engga
pernah tahu tentang masalah ini, kan ini hal yang sangat penting untuk
diperhitungkan oleh para arsitek, ahli sipil dan planolog?  Saya
terusterang ikut heran juga... apa benar informasi geologi ini tidak
pernah sampai ke bidang lain?  Segitu lemahnya gaung geologi di bidang
non migas dan mineral.

Saya heran kok banyak lulusan geologi yang tidak mengerti bahwa sumber
gempa itu adalah bidang sesar yang bergerak bukan berupa titik ledak.
Engga ada bedanya dong dengan lulusan geofisika yang mengira bahwa
sumber gempa itu adalah titik episenter meskipun gempanya berskala
(Richter) lebih dari 7.  Padahalkan mereka ini dapat pelajaran tektonik
dan geologi struktur ya ?  Hanya mungkin terlalu difokuskan kepada
pemetaan sesarnya untuk ekplorasi saja, tidak mendalami proses alamnya
sendiri.

Sekian saja, sekedar wacana untuk meramaikan diskusi.

Salam,
Danny


-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Saturday, October 08, 2005 2:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- Re: [iagi-net-l]
kok susah banget nyari geoscientist???

Mas Ben,
Selalu saja ada pendapat yg berbeda (another side of coin). Apakah
kita akan menciptakan market atau kita mengikuti market. Another side
coin tadi menyatakan menciptakan market.

Kasus ini muncul dari kasusnya teori marketing juga, yang sudah kuno.
Karena tidak ada orang bersepatu di Afrika, apakah kita akan mebuat
pabrik sepatu di afrika ? Yang satu sisi menyatakan jangan membuat
pabrik disana karena buat apa bikin pabrik ngga ada yg bersepatu.
Sedangkansisi koin yang lain bilang mumpung belum punya sepatu makanya
kita buat pabriknya supaya dia bersepatu.

Sama halnya dengan geologi, saat ini kebutuhan sedikit karena daya
penyerapan sedikit. Tatapi kalau digelontorin banyak geologist bisa
jadi akan menjadikan wawasan geologi masyarakat menjadi terbuka,
mereka menjadi kenal dengan geologi seperti masyarakat Afrika yang
akhirnya kenal dengan sepatu.

Tentusaja .Kedua sisinya akan mengandung risiko. Tidak ada
tindakan yg tanpa risiko. Seperti sedang 

RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau ikut market yang ada saja?

2005-10-11 Terurut Topik ade kadarusman
Ikut nimbrung sedikit untuk meramaikan wacana marketing lulusan geologi

Selain yang dikemukakan Kang Danny Hilman, sebenarnya ada satu market buat 
lulusan geologi terbaik kita yang memang prosentasinya kecil:

Jadilah Earthscientist atau Researcher atau Lecturer di lembaga-lembaga riset, 
akademis atau universitas/institut di LN.
Tapi memang untuk karier seperti itu, diperlukan minat dan bakat kearah dunia 
akademis dan ini merupakan suatu pilihan hidup.

Memang selama ini geoscientist terbaik kita (walaupun banyak bukan S3) banyak 
bekerja di kumpeni migas dan mineral di LN seperti di ME, Malaysia, North 
Sea,  Amerika dll. Ini yang saya perhatikan di milist IAGI.

Salah satu cara simple tapi tidak mudah adalah ambil S1, S2 di DN, terus cari 
peluang untuk S3 di LN, kalau perlu kerja dulu di kumpeni 2-3 tahun untuk 
ngumpulin modal awal sekolah S3 utk thn 1 atau ke2 di LN, karena berdasarkan 
pengalaman saya pribadi ternyata sangat mudah untuk mendapatkan beasiswa kalau 
sudah diterima dalam PhD program. Publikasikan risetnya dalam jurnal-jurnal 
international ternama (terutama yang memiliki Citation Index yang tinggi), ini 
merupakan modal besar untuk melanjutkan karier di dunia akademis.

Setelah S3, ambil program post doctoral 2-5 tahun sebelum mencari permanen 
position sebagai assisten proffesor, terus berlanjut jadi associate proffessor 
dan akhirnya full professor. Tapi ingat cari program post doct yang terbaik 
dan gaji yang memadai , bukan menjadi ‘slave’ dari professor yang menggajinya.

Yah memang dibandingkan dgn bekerja di kumpeni, gaji memang relatif kecil, di 
US mungkin sekitar 2500-5000 $ per bulan untuk post doc, 3500-6000 $ untuk 
assisten atau associate prof. Tapi profesi ini cukup menjanjikan, dan menjamin 
kebebasan akademik.

Ingat dua tahun lalu, ada wacana “Malaysia menculik doctor-doktor terbaik 
kita”. Atau dalam kata lain Malaysia memperkerjakan doktor-doktor terbaik kita 
untuk bekerja di instansi penelitian atau akademisi mereka, dgn iming-iming 
gaji yang tinggi. Memang sayangnya yang diculik adalah staf pengajar terbaik 
kita di PTN atau PTS ternama.

Yah itulah kenyataan yang terjadi saat ini, bukan hanya melulu berpikir dalam 
kerangka ‘nasionalism’ atau ‘brain drain’, tetapi suatu peluang karier buat 
lulusan geologi terbaik kita.

Conto yang terbaik adalah Prof. Sangkot Marzuki (direktur Lembaga Biologi 
Eijkman), sebelum dipanggil pulang oleh Habibie. Beliau adalah Proffesor di 
salah satu universitas di Australia, setelah memiliki labnya sendiri, beliau 
mempekerjakan banyak staf PhD dan mhs PhD dari Indonesia untuk menunjang 
risetnya.

Conto yang lain Dr Joni Setiawan yang bekerja di Max Planct Institute, Jerman 
atau Dr. Roby Muhammad di New York, dan banyak conto-conto yang lain. 
Di bidang lain seperti IT, Biologi, Fisika dll banyak sekali scientist kita 
berkiprah di LN, tapi kenapa di bidang G  G tidak terdengar gaungnya.
Selama ini market tersebut diisi oleh geoscientist dari China, Jepang, India, 
Pakistan, Mesir dll.

Salam

Ade Kadarusman
von Humboldt Research Fellow
Institut fuer Mineralogie und Kristallchemie, 
Universitaet Stuttgart, Azenbergstr. 18, 70174, 
Stuttgart, Germany

On leave from Puslit Geoteknologi-LIPI Bandung


Quoting D.H. Natawidjaja [EMAIL PROTECTED]:

 Halo Bung Rovicky apa kabar? 
 Iya betul tuh.  Apakah universitas mau ngikutin pasar aja atau mau
 berinovasi untuk menciptakan pasar baru?.  Kelihatannya Pendidikan
 Geologi Indonesia sekarang masih sangat ditujukan untuk memasok pasar
 tenaga kerja di bidang ekplorasi dan eksploitasi SDA (MiGas dan Mineral)
 ya ?
 Alasannya: kayanya kita semua sudah pada tahu... bidang geologi lain
 yang non-migas dan mineral tidak begitu diketahui atau mungkin tidak
 dihargai oleh masyarakat, pemerintah dan dunia bisnis...sehingga
 lapangan kerjanya sempit (padahal seharusnya bisa besar)...dan kalaupun
 ada kerjaannya imbalannyapun mungkin tidak sebesar didunia MiGas.
 Dampaknya: sebagian besar lulusan yang terdidik di bidang geologi (baca:
 urusan ekplorasi minyak dan mineral) tidak tertampung di dunia-nya
 sehingga harus kerja di dunia lain, termasuk di dunia geologi
 non-migas/mineral seperti di lembaga penelitian dan instansi pemerintah.
 Artinya: lapangan kerja geologi di bidang non migas mineral diisi oleh
 para geologiawan yang notabene kurang ahli dengan bidang pekerjaan
 barunya ini.
 Tentu ini berakibat profesi  geologi di bidang non-migas/mineral ini
 akan kurang berkembang atau akan kurang dihargai/dipercaya oleh
 masyarakat/bidang disiplin ilmu lainnya yang berkaitan.
 
 Sekedar ilustrasi.  Sekarang ini ada timbul kesadaran di masyarakat
 tentang pentingnya mitigasi bencana alam.  Mitigasi bencana ini katanya
 sudah seharusnya diperhitungkan dalam pendidikan, kemasyarakatan dan
 pembangunan infrastruktur wilayah dan termasuk juga sudah seharusnya
 dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari SD. Nah, bagaimana
 kesempatan lapangan pekerjaan ini bisa dilaksanakan kalau para ahli
 

RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau ikut market yang ada saja?

2005-10-11 Terurut Topik Pangestu, Sonny T
Danny  RDP  temen-temen semua,
mungkin itulah juga sebabnya, insinyur arsitek lulusan indonesia gak laku di 
amerika dan jepang.
insinyur arsitek lulusan amerika baru boleh jual jasanya setelah dia punya 
sertifikat memahami geologi dan gempabumi. (kebetulan saya punya paman, seorang 
arsitek di los angeles).
mungkin di tanah air perlu juga dipikirkan pewajiban semacam ini karena akan 
menyangkut kepada tanggungjawab apabila sebuah bangunan runtuh yang bisa 
menyebabkan tewas. bahkan bisa berkembang ke masalah hukum pidana.

lalu , mungkin kita tidak perlu berharap terlalu banyak dulu bahwa geologi bisa 
dipahami masyarakat karena kita belum berbuat banyak untuk masyarakat. walaupun 
rasanya sudah habis-habisan kita memasyarakatkan geologi. namun kenyataannya 
bukan geologi yang dicari masyarakat kok.
yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat khalayak ramai merasa 
berkepentingan untuk mengerti dan paham tentang bumi tempat mereka berpijak dan 
tempat mereka hidup. kalau ini sudah tercapai dengan sendirinya keingintahuan 
khalayak lah pada akhirnya yang akan mengantar mereka kepada geologi sebagai 
sumber ilmu pengetahuannyanya.
hal ini perlu dimulai kepada anak-anak di sekolah, sejak mereka sekolah dasar.
demikian juga guru-guru di sekolah secara terus-menerus perlu kita bekali 
dengan informasi yang betul.
kemasannya juga perlu kita pikirkan dengan baik  kita buat yang menarik hati , 
tidak membosankan , tidak terlihat rumit , mudah dikenang.
kalau kesadaran ini sudah tertanam sejak seorang masih di sekolah dasar, maka 
ketika misalnya dia nanti akan memilih jurusan arsitek atau sipil atau apa pun 
jurusannya, dia sudah punya kesadaran bahwa tempat dia hidup dan tempat dia 
mengamalkan ilmunya pasti memerhitungkan bumi. dia dengan sendirinya akan 
mencari ilmu dan berusaha lebih memahami tentang bumi ini. mereka akan merasa 
bhw kalau mereka tidak memahami itu mereka bisa terkena akibatnya, atau merasa 
rugi, atau mendapatkan kesulitan dan lain-lain.

perjuangan semacam ini yang antara lain sedang saya lakukan tanpa mendompleng 
nama geologi atau pertambangan.
karena sudah banyak kenyataan yang kami hadapi bahwa kalau kita mengedepankan 
kedua kata itu terlebih dahulu maka alergi atau resistensi mereka lah yang 
kita dapatkan.
kami menyentuh dan menyapa mereka dari arah yang sebaliknya, kami sapa mereka 
mulai dari kegiatan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
kemasannya kami buat dalam bentuk permainan atau pertunjukan, dibuat dengan 
bantuan beberapa seniman, ahli komunikasi, ahli animasi, desain, fotografer, 
video, musik, dll. kadang-kadang kami sediakan juga hadiah agar mereka 
terkenang dengan pesan yang kami kemas di dalamnya.

sekedar berbagi pengalaman
wassalam
sonny

-Original Message-
From: D.H. Natawidjaja [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: 09 Oktober 2005 18:22
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau
ikut market yang ada saja?


Halo Bung Rovicky apa kabar? 
Iya betul tuh.  Apakah universitas mau ngikutin pasar aja atau mau
berinovasi untuk menciptakan pasar baru?.  Kelihatannya Pendidikan
Geologi Indonesia sekarang masih sangat ditujukan untuk memasok pasar
tenaga kerja di bidang ekplorasi dan eksploitasi SDA (MiGas dan Mineral)
ya ?
Alasannya: kayanya kita semua sudah pada tahu... bidang geologi lain
yang non-migas dan mineral tidak begitu diketahui atau mungkin tidak
dihargai oleh masyarakat, pemerintah dan dunia bisnis...sehingga
lapangan kerjanya sempit (padahal seharusnya bisa besar)...dan kalaupun
ada kerjaannya imbalannyapun mungkin tidak sebesar didunia MiGas.
Dampaknya: sebagian besar lulusan yang terdidik di bidang geologi (baca:
urusan ekplorasi minyak dan mineral) tidak tertampung di dunia-nya
sehingga harus kerja di dunia lain, termasuk di dunia geologi
non-migas/mineral seperti di lembaga penelitian dan instansi pemerintah.
Artinya: lapangan kerja geologi di bidang non migas mineral diisi oleh
para geologiawan yang notabene kurang ahli dengan bidang pekerjaan
barunya ini.
Tentu ini berakibat profesi  geologi di bidang non-migas/mineral ini
akan kurang berkembang atau akan kurang dihargai/dipercaya oleh
masyarakat/bidang disiplin ilmu lainnya yang berkaitan.

Sekedar ilustrasi.  Sekarang ini ada timbul kesadaran di masyarakat
tentang pentingnya mitigasi bencana alam.  Mitigasi bencana ini katanya
sudah seharusnya diperhitungkan dalam pendidikan, kemasyarakatan dan
pembangunan infrastruktur wilayah dan termasuk juga sudah seharusnya
dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari SD. Nah, bagaimana
kesempatan lapangan pekerjaan ini bisa dilaksanakan kalau para ahli
kebumian kita hanya ahli dimasalah migas dan mineral?  Kecuali kalau
kita beranggapan bahwa bidang geologi seperti ini engga perlu
training/pendidikan  khusus, tapi cukup pengetahuan geologi umum
sedikit-sedikit tambah logika... beress.  Dan pada prakteknya mungkin
biar kerjaannya ngawurpun engga apa-apa karena yang meriksa juga engga
tahu itu ngawur

RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau ikut market yang ada saja?

2005-10-11 Terurut Topik D.H. Natawidjaja

Bang Sony dan teman-teman semua, 
Ini menarik sekali.  Ya, saya sependapat. 
Menurut saya salah satu sebab kenapa pengetahuan geologi itu seperti
jauh dari masyarakat karena para ahli geologi kita kurang terdidik dalam
memahami proses dan bentang alam yang kelihatan oleh kita sekarang alias
proses geologi yang berumur ratusan-puluhan ribu sampai dengan yang
berumur puluhan tahun saja. Kita terlalu fokus kepada proses geologi
yang umurnya jutaan dan 
puluhan juta tahun lalu (karena untuk diterapkan dalam eksplorasi dan 
eksploitasi SDA).  Padahal masyarakat umumnya lebih ingin mengerti
tentang 
alam yang mereka lihat, bumi yang mereka pijak dan proses yang masih
berlangsung SEKARANG. 
Coba saja tanya geologiawan Indonesia tentang proses volkanik dan
sedimentasi di Jawa Barat pada masa jutaan tahun lalu, mereka bisa
cerita panjang lebar berdasarkan data stratigrafi singkapan, data
seismik, data bor, dsb.  Sekarang coba tanya tentang G. Tangkuban Perahu
(kapan kaldera terbentuk, sudah berapa kali meletus? kapan terakhir,
kapan meletus lagi?), apa itu Bukit Tunggul?, atau tentang kipas
alluvial Bandung, atau tentang dinamika Sungai Cikapundung atau Citarum
dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang hidup disekitarnya (termasuk
siklus banjir).  Kebanyakan para lulusan geologi kita akan kesulitan
menjawabnya ya?.  Atau misalnya kalau para ahli/mahasiswa geologi kita
disuruh menganalisa proses geologi (sedimentasi, volkanisme, tektonik)
dari bentang alam dan stratigrafi TANAH sampai kedalaman hanya 10 meter
saja dari permukaan tanah, apakah kebanyakan lulusan geologi bisa?
Tentunya keahlian yang diperlukan tidak sama dengan menganalisa geologi
dari singkapan batuan yang berumur jutaan tahun, data sumur dari
kedalaman ratusan sampai ribuan meter, dan data seismik refleksi, bukan?
Padahal untuk terjun di bidang geologi teknik, lingkungan, dan
kebencanaan lulusan geologi perlu pemahaman dan keahlian dalam urusan
geologi yang dekat dengan permukaan tanah yang kita pijak sekarang ini.

Contoh lain, coba suruh para mahasiswa geologi menarik garis patahan
berdasarkan data singkapan, data seismik, atau data bor, tentu mereka 
kebanyakan pandai-pandai.  Tapi kalau disuruh menarik garis patahan yang
masih aktif pada peta topografi atau foto udara, atau di ajak ke lembang
terus disuruh menunjukkan mana jalur patahan Lembang itu, mungkin
kebanyakan agak puyeng... 

Akhir kata, tentunya akan lebih baik kalau anak sekolah tertarik masuk
geologi karena ingin mempelajari proses alam yang terjadi disekitarnya
bukan hanya karena ingin masuk kumpeni dan kaya toh.

Ngomong-ngomong menarik sekali apa yang dilakukan oleh Bang Sony dalam
membuat modul geologi untuk pendidikan masyarakat umum, kapan-kapan saya
ingin lihat.

Salam, 
Danny


-Original Message-
From: Pangestu, Sonny T [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, October 11, 2005 4:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] Marketing lulusan geologi --- pendidikan mau
ikut market yang ada saja?

Danny  RDP  temen-temen semua,
mungkin itulah juga sebabnya, insinyur arsitek lulusan indonesia gak
laku di amerika dan jepang.
insinyur arsitek lulusan amerika baru boleh jual jasanya setelah dia
punya sertifikat memahami geologi dan gempabumi. (kebetulan saya punya
paman, seorang arsitek di los angeles).
mungkin di tanah air perlu juga dipikirkan pewajiban semacam ini karena
akan menyangkut kepada tanggungjawab apabila sebuah bangunan runtuh yang
bisa menyebabkan tewas. bahkan bisa berkembang ke masalah hukum pidana.

lalu , mungkin kita tidak perlu berharap terlalu banyak dulu bahwa
geologi bisa dipahami masyarakat karena kita belum berbuat banyak untuk
masyarakat. walaupun rasanya sudah habis-habisan kita memasyarakatkan
geologi. namun kenyataannya bukan geologi yang dicari masyarakat kok.
yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat khalayak ramai merasa
berkepentingan untuk mengerti dan paham tentang bumi tempat mereka
berpijak dan tempat mereka hidup. kalau ini sudah tercapai dengan
sendirinya keingintahuan khalayak lah pada akhirnya yang akan mengantar
mereka kepada geologi sebagai sumber ilmu pengetahuannyanya.
hal ini perlu dimulai kepada anak-anak di sekolah, sejak mereka sekolah
dasar.
demikian juga guru-guru di sekolah secara terus-menerus perlu kita
bekali dengan informasi yang betul.
kemasannya juga perlu kita pikirkan dengan baik  kita buat yang menarik
hati , tidak membosankan , tidak terlihat rumit , mudah dikenang.
kalau kesadaran ini sudah tertanam sejak seorang masih di sekolah dasar,
maka ketika misalnya dia nanti akan memilih jurusan arsitek atau sipil
atau apa pun jurusannya, dia sudah punya kesadaran bahwa tempat dia
hidup dan tempat dia mengamalkan ilmunya pasti memerhitungkan bumi. dia
dengan sendirinya akan mencari ilmu dan berusaha lebih memahami tentang
bumi ini. mereka akan merasa bhw kalau mereka tidak memahami itu mereka
bisa terkena akibatnya, atau merasa rugi, atau mendapatkan kesulitan dan
lain-lain.


perjuangan semacam ini